gaulislam edisi 811/tahun ke-16 (18 Syawal 1444 H/ 8 Mei 2023)
Bagi banyak orang, humor adalah sebuah hiburan. Bercanda juga bagian dari menghibur diri. Menonton stand-up comedy menjadi alternatif hiburan dan candaan. Meski banyak juga komedian yang malah menggunakan bahasa yang kasar sebagai penyampai pesannya. Sebab, ada anggapan bahwa penggunaan bahasa yang kasar itu sebagai alat untuk meningkatkan efek humor atau untuk menciptakan suasana yang lebih santai dan akrab antara komedian dan penonton. Beberapa komedian menggunakan bahasa yang kasar untuk menghidupkan situasi yang konyol atau untuk menekankan lelucon mereka.
Selain itu, penggunaan bahasa yang kasar juga dapat digunakan sebagai bentuk protes sosial atau politik. Beberapa komedian mengkritik atau mengejek norma atau kebijakan tertentu dalam masyarakat dengan menggunakan bahasa yang kontroversial atau vulgar.
Itu sebabnya, ada yang menormalisasi alias menganggap bahwa penggunaan bahasa yang kasar dalam stand-up comedy itu wajar. Ada tuh pro-kontra di media sosial yang mengomentari salah satu komedian yang lagi stand-up comedy dengan tema “ambil wudhu”, isinya sebenarnya lumayan menghibur, tetapi penggunaan kata-kata kasar bernada makian dan menyebut nama-nama hewan tertentu malah menjadi nggak asyik. Ketika ada yang ngomentarin bahwa itu akan menjadi citra yang negatif, eh para pembela komedian tersebut malah bilang, “stand-up comedy memang begitu, kasar. Lagian ini bukan ceramah!”
Hadeuuh… memangnya kalo bercanda jadi boleh gitu berkata kasar? Rasanya pengen nonjok dada orang yang komen gitu, minimal dengan pukulan yang terdengar kayak bunyi intro Netflix (apalagi kalo volumenya full dari 100.000 watt daya output speaker yang biasa dipake buat konser di stadion sepak bola). Jeduk jeduk. Eh, kalo nonjok malah kasar juga ya? Main fisik. Hehehe… sori deh. Tapi emang ngeselin sih. Nah, karena nggak semua orang suka dengan candaan, apalagi candaan yang kasar, maka semua orang kudu introspeksi. Kalo nggak, alias bawa ego masing-masing gimana enak dan sukanya, ya nggak bakal ada titik temu, nggak kelar urusannya. Begitu terus. Sebab, saling keukeuh pegang pendapat masing-masing. Padahal, ketika ada di ranah publik, ya kita kudu ngikut aturan, batasan, dan tanggung jawab masing-masing supaya tahu batasan dan jika ada persoalan yang timbul kita bisa nyari solusinya. Jangan sampe debat berkepanjangan sampe terjadi pertumpahan dahak, lalu berujung pertumpahan darah.
Alasan bercanda
Sobat gaulislam, bercanda boleh aja, nggak ada yang melarang. Sebab, bercanda bagian dari cara manusia untuk menghibur diri. Dari literatur yang saya baca, manusia emang suka bercanda. Mengapa? Sebab humor dan kejenakaan dapat memberikan banyak manfaat, baik secara psikologis maupun sosial. Apa aja sih manfaatnya?
Pertama, meningkatkan suasana hati. Bercanda dapat meningkatkan suasana hati dan memicu pelepasan endorfin dan dopamin, yang memberikan perasaan senang dan bahagia.
Kedua, meringankan stres. Kita bisa kena stres kalo banyak kerjaan atau tugas numpuk. Nah, humor dapat membantu meredakan stres dan menurunkan tingkat kecemasan dan depresi. Tawa dan senyum dapat membantu mengurangi produksi hormon stres seperti kortisol dan meningkatkan produksi hormon yang merangsang sistem kekebalan tubuh.
Ketiga, meningkatkan hubungan sosial. Bercanda dapat membantu membangun hubungan sosial dan keakraban antar individu. Humor dapat membantu meredakan ketegangan dan meningkatkan rasa saling percaya di antara orang-orang. Tertawa bareng saat kelucuan diperlihatkan.
Keempat, mempererat hubungan interpersonal. Bercanda dan lelucon sering digunakan dalam percakapan sehari-hari untuk mempererat hubungan interpersonal antar individu. Hal ini dapat membantu membangun keakraban dan memperkuat ikatan sosial.
Konon kabarnya, beberapa penelitian ilmiah juga menunjukkan bahwa bercanda dapat membantu meningkatkan kemampuan kognitif, kreativitas, dan kepemimpinan. Namun, penting untuk diingat bahwa bercanda harus tetap sesuai dengan konteks dan tidak menyinggung atau merugikan pihak lain. Apalagi menggunakan kata-kata kasar dan makian. Itu sih, nggak banget. Maksudnya bercanda tapi bisa berujung tahlilan. Lho kok bisa? Iya, kalo bercandanya kebangetan, terus ada yang nggak terima dan main pukul atau menggunakan sajam, bisa ada yang lewat alias wafat. Terus, biasanya tahlilan deh. Ih, ngeri!
Adab bercanda
Secara umum sebenarnya udah dibahas pada bab adab berbicara. Iya, karena yang bercanda umumnya menyampaikan pesan lewat kata-kata. Namun, nggak ada salahnya kita bahas lebih fokus soal ini.
Nah, penting kamu tahu batasan dalam bercanda. Ada adabnya, lho. Saya ringkas dari laman muslimah.or.id, di antaranya:
Pertama, meluruskan tujuan, yakni bercanda untuk menghilangkan kepenatan, rasa bosan dan lesu, serta menyegarkan suasana dengan canda yang dibolehkan. Sehingga kita bisa memperoleh semangat baru dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat.
Kedua, jangan melewati batas. Sebagian orang sering berlebihan dalam bercanda hingga melanggar norma-norma. Terlalu banyak bercanda akan menjatuhkan wibawa seseorang.
Ketiga, jangan bercanda dengan orang yang tidak suka bercanda. Terkadang ada orang yang bercanda dengan seseorang yang tidak suka bercanda, atau tidak suka dengan canda orang tersebut. Hal itu akan menimbulkan akibat buruk. Itu sebabnya, lihatlah dengan siapa kita hendak bercanda.
Keempat, jangan bercanda dalam perkara-perkara yang serius. Seperti dalam majelis penguasa, majelis ilmu, majelis hakim (pengadilan-ed), ketika memberikan persaksian dan lain sebagainya. Kalo dalam kondisi ini dibecandain juga, ya kebangetan.
Kelima, hindari perkara yang dilarang Allah Ta’ala saat bercanda. Misalnya, menakut-nakuti seorang muslim dalam bercanda. Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang milik saudaranya, baik bercanda maupun bersungguh-sungguh.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya), “Tidak halal bagi seorang muslim untuk menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR Abu Dawud)
Perkara apa lagi yang dilarang dalam bercanda? Ya, nggak boleh berdusta saat bercanda. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku menjamin dengan sebuah istana di bagian tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia berada di pihak yang benar, sebuah istana di bagian tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meski ia sedang bercanda, dan istana di bagian atas surga bagi seseorang yang memperbaiki akhlaknya.” (HR Abu Dawud)
Rasullullah pun telah memberi ancaman terhadap orang yang berdusta untuk membuat orang lain tertawa dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia.” (HR Imam Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hal apa lagi yang dilarang Allah Ta’ala saat bercanda? Melecehkan sekelompok orang tertentu. Misalnya bercanda dengan melecehkan penduduk daerah tertentu, atau profesi tertentu, bahasa tertentu dan lain sebagainya, yang perbuatan ini sangat dilarang.
Berikutnya, yang dilarang Allah Ta’ala adalah canda yang berisi tuduhan dan fitnah terhadap orang lain. Sebagian orang bercanda dengan temannya lalu mencela, memfitnahnya, atau menyifatinya dengan perbuatan yang keji untuk membuat orang lain tertawa. Idih, nggak banget, deh!
Keenam, hindari bercanda dengan aksi atau kata-kata yang buruk. Allah telah berfirman, yang artinya, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS al-Isra’ [17]: 53)
Termasuk di dalamnya menggunakan kata makian dan juga berkata kasar dengan memanggil panggilan yang buruk seperti dengan nama-nama hewan. Jelas, itu berdosa.
Ketujuh, tidak banyak tertawa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan agar tidak banyak tertawa, “Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR Ibnu Majah)
Kedelapan, bercanda dengan orang-orang yang membutuhkannya. Maksudnya, dia lagi pusing bin mumet, lalu minta kita bercanda, boleh. Tujuannya bisa menghibur dia, karena dia butuh itu.
Kesembilan, jangan melecehkan syiar-syiar agama dalam bercanda. Umpamanya celotehan dan guyonan para pelawak yang mempermainkan simbol-simbol agama, ayat-ayat al-Quran atau hadits. Jangan sampe deh. Sungguh perbuatan itu bisa menjatuhkan pelakunya dalam kemunafikan dan kekufuran. Banyak banget kan akhhir-akhir yang begitu, mereka melabeliya “dark joke”. Ah, emang setan udah menguasai manusia model begitu. Sesuatu yang buruk dipoles sehingga terlihat seolah indah. Bahaya!
Beberapa canda Nabi
Sobat gaulislam, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga kadang bercanda. Namun, tentu ada batasannya dan beliau mencontohkan seperti apa jika harus bercanda. Beberapa contoh canda beliau yang saya nukil dari laman almanhaj.or.id:
Pertama, kisah Anas radhiyallahu ‘anhu menceritakan salah satu bentuk canda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanggilnya dengan sebutan, “Wahai, pemilik dua telinga!”
Kedua, Anas radhiyallahu anhu mengisahkan, Ummu Sulaim radhiyallahu anha memiliki seorang putera yang bernama Abu ‘Umair. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering bercanda dengannya setiap kali beliau datang. Pada suatu hari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang mengunjunginya untuk bercanda, namun tampaknya anak itu sedang sedih. Mereka berkata: “Wahai, Rasulullah! Burung yang biasa diajaknya bermain sudah mati,” lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda dengannya, beliau berkata, “Wahai Abu ‘Umair, apakah gerangan yang sedang dikerjakan oleh burung kecil itu?”
Ketiga, Anas bin Malik radhiyallahu anhu bercerita, ada seorang pria dusun bernama Zahir bin Haram. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukainya. Hanya saja tampang pria ini jelek.
Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya ketika ia sedang menjual barang dagangan. Tiba-tiba Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memeluknya dari belakang, sehingga ia tidak dapat melihat beliau. Zahir bin Haram pun berseru, “Lepaskan aku! Siapakah ini?”
Setelah menoleh ia pun mengetahui, ternyata yang memeluknya ialah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk merapatkan punggungnya ke dada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Siapakah yang sudi membeli hamba sahaya ini?”
Dia menyahut,”Demi Allah, wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian aku tidak akan laku dijual!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membalas: “Justru di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala engkau sangat mahal harganya!”
Keempat, diriwayatkan dari Anas radhiyallahu anhu, bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, bawalah aku?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Kami akan membawamu di atas anak unta.” Laki-laki itu berkata: “Apa yang bisa aku lakukan dengan anak unta?” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Bukankah unta yang melahirkan anak unta?”
Demikian beberapa contoh canda yang dilakukan Nabi. Nggak ada unsur kedustaan alias kebohongan. Nggak ada yang dibuat-buat agar orang tertawa. Apa adanya, sesuai fakta. Beda banget kan dengan cara bercanda orang zaman sekarang? Apalagi di stand-up comedy, ngeri. Udahlah banyak yang menggunakan kata-kata kasar, kita juga nggak tahu apakah yang disampaikannya itu benar atau dusta. Bijaklah dalam mencari hiburan dan candaan, dan lebih bijak lagi jangan asal bercanda. So, bercanda boleh, kasar jangan! [O. Solihin | IG @osolihin]