Friday, 22 November 2024, 00:54
terorisme

gaulislam edisi 825/tahun ke-16 (27 Muharram 1445 H/ 14 Agustus 2023)

Kalo kamu ngikutin berita, baik di media massa maupun media sosial, kamu bakalan ngeh bahwa ada kasus terorisme lagi. Secara seragam diberitakan media massa bahwa terduga teroris berinisial DE ditangkap tak jauh dari rumahnya di Jalan Raya Bulak Sentul, RT. 07/ RW. 027, Harapan Jaya, Bekasi Utara, Senin siang (14/8).

Beberapa senjata api, ratusan peluru, ponsel, laptop, kamera, dan bendera yang terafiliasi ISIS dijejerkan di teras rumah DE. Pelaku rapi banget menyimpan ratusan peluru dan beberapa senjata api, ya?

Juru Bicara Densus 88 AT Polri Kombes Aswin Siregar sebelumnya mengungkapkan, DE merupakan pendukung Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Ia juga aktif melakukan propaganda jihad di media sosial dengan cara memberikan motivasi untuk berjihad dan menyerukan agar bersatu dalam tujuan berjihad melalui Facebook. Kabarnya pelaku juga adalah karyawan di salah satu BUMN. Dia meninggalkan jejak identitas sehingga gampang dilacak.

Sobat gaulislam, pemberitaan seperti ini, sebenarnya udah sering, sih. Jauh sebelumnya juga berjejalan informasi seputar terorisme ini. Secara fakta bisa jadi memang ada orang yang berpikiran dan memilih tindakan seperti itu. Sayangnya, meski jumlahnya segelintir, akhirnya yang kebawa citra buruk adalah umat Islam secara umum dan luas. Bahkan banyak individu muslim yang kemudian merasa takut dengan Islam, termasuk orang Islam yang memang lemah iman, yang kemudian benci terhadap agamanya sendiri. Sungguh memprihatinkan. Gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga.

Namun demikian, di banyak negara, termasuk di negeri ini, kasus terorisme tak sekadar kejahatan atau kriminal murni, tetapi juga menjadi bumbu politis atau malah dipolitisasi untuk tujuan tertentu dari banyak orang. Baik digunakan oleh pelakunya yang memilih jalan kekerasan, atau keberadaan pelaku dan kompolotannya justru dimanfaatkan pihak lain dengan tujuan membuat framing jahat terhadap Islam dan umat Islam. Jadi, pelaku terorisme yang mungkin punya idealisme seperti itu, dimanfaatkan pihak tertentu untuk memberi stigma (citra buruk) terhadap Islam dan umat Islam secara umum. Waduh, nggak bahaya tah? Jelas bahaya, karena hal itu bisa menggiring opini dan membuat bimbang kaum muslimin yang lemah iman, apalagi yang nggak ngerti banyak soal akidah dan syariat Islam. Ujung-ujungnya minder dan depresi lalu malah membenci agamanya sendiri. Udah banyak kasus model gini.

Inilah yang kemudian muncul istilah islamofobia alias ketakutan berlebihan terhadap Islam. Sebab, dalam banyak kasus terorisme, Islam akhirnya menjadi “musuh bersama” musuhnya. Itu sebabnya, kaum muslimin yang nggak ngerti politik, dakwah, dan juga perjuangan Islam akan terpedaya propaganda jahat untuk mencitraburukkan Islam dan kaum muslimin yang dilakukan musuh-musuhnya.

Jadi, kayak antar sekolah bermusuhan. Udah dikenal sekolah A itu musuhnya sekolah B. Ini sering bentrok dan hobi tawuran. Jelas membahayakan. Masing-masing anak sekolah ini jadi saling curiga. Bahkan bila perlu memanfaatkan pihak ketiga untuk bikin rusuh dan menjadi alasan salah satu sekolah melakukan penyerangan. Padahal, yang memanfaatkan situasi itu adalah anak sekolah A yang meminta pihak ketiga bikin ribut di sekolah A atas nama anak sekolah B. Intinya, yang anak sekolah B difitnah. Lalu anak sekolah A merasa berhak melakukan penyerangan dengan alasan membela diri. Atau lebih ngeri lagi, dalam kasus tertentu dengan tujuan diadu domba, baik anak sekolah A atau anak sekolah B nggak tahu apa-apa, nggak ngerti persoalan. Tiba-tiba ada yang provokasi agar mereka saling bertempur. Nah, berarti ada pihak lain yang bermain dan memanfaatkan situasi itu.

Baik, semoga analogi sederhana ini bisa kamu pahami, ya. Islam dan kaum muslimin saat ini (atau bahkan sejak lama sekali), diposisikan berseberangan dengan orang-orang yang nggak suka atau bahkan benci dengan Islam. Lihat aja di media sosial ketika kejadian terorisme berulang, mereka yang benci Islam itu selalu menyematkan istilah radikal, intoleran, kadrun, dan sejenisnya kepada kaum muslimin yang berbeda pilihan politik. Ditumpahkan sumpah serapah kebenciannya. Meski mereka menyasar individu muslim, patut dicurigai bahwa sebenarnya mereka benci Islam.

Jadi, ini memang perang opini. Terorisme masih menjadi andalan pihak tertentu untuk mencitraburukkan Islam dan kaum muslimin, walau belakangan sebenarnya nggak laku-laku amat karena banyak orang udah paham alur ceritanya. Biasanya jika ada kasus tertentu yang lagi rame dan berpotensi membahayakan pihak tertentu, lalu tiba-tiba muncul kasus model gini. Setidaknya perhatian masyarakat teralihkan. Walau seringnya sih, hanya sementara karena saat ini banyak orang yang udah melek informasi.

Menurut Noam Chomsky, seorang filosoper terkemuka di Amerika, aktivis politik, dan profesor kehormatan bidang linguistik pada Massachusetts Institute of Technology (MIT), elemen utama dari kontrol sosial adalah strategi gangguan yang akan mengalihkan perhatian publik dari isu penting yang ditentukan oleh elite politik maupun elite ekonomi dengan cara membanjiri dengan informasi yang membingungkan atau informasi-informasi yang tidak penting.

Strategi gangguan ini juga penting untuk mencegah perhatian publik dari pengetahuan-pengetahuan penting. Saya menilai, bahwa ada upaya tertentu untuk menghalangi publik dari sebuah isu atau fakta yang seharusnya lebih penting ketimbang isu terorisme. Pengelola media massa yang berkolaborasi dengan elit politik dan elit ekonomi—sebagaimana yang dituturkan Noam Chomsky—bisa jadi sudah dipraktekkan saat ini. Intinya, perhatian publik dialihkan dari problem yang sebenarnya, dipikat dengan materi-materi berita yang sebenarnya bukan kepentingan utama. Publik dibuat sibuk, sibuk, sibuk, sibuk, dan sibuk memikirkan dan membicarakan hal itu. Tak ada waktu lagi untuk memikirkan yang lain. Padahal, bisa jadi problem utama sedang merayap pelan (atau bahkan cepat) bersamaan dengan perhatian publik pada urusan terorisme yang baru aja terjadi lagi. Sebab, kok kebetulan banget dengan kasus yang seharusnya lebih penting untuk mendapatkan perhatian seperti Panji Gumilang yang udah jadi tersangka penistaan agama (walau tetap ada yang membelanya karena memang seperti dibiarkan jadi duri dalam daging bagi umat Islam), demo buruh menolak Omnibus Law, pengurangan hukuman Ferdy Sambo Cs, gonjang ganjing food estate yang gagal, korupsi BTS, dan lainnya. Silakan berpikir, ini tahun politik. Bisa banyak hal terjadi demi kepentingan tertentu. Ini yang perlu diwaspadai.

Remaja di persimpanan jalan

Sobat gaulislam, di antara kamu mungkin ada yang bingung, ya. Kok kasus terorisme itu selalu identik dengan Islam dan kaum muslimin. Padahal, banyak pihak lain, termasuk orang kafir yang melakukan teror. Namun, dunia bungkam selama ini terhadap Israel yang menjajah Palestina. Dunia bisu, padahal Amerika Serikat si paling doyan ikut campur urusan negara lain. Dunia juga mengunci mulut dan menutup mata, padahal di hadapannya para penguasa negara yang membabi buta menzalimi kaum muslimin seperti di Myanmar (yang membantai Muslim Rohingya), India (yang udah langganan menzalimi Muslim di sana), China (yang udah lama membatasi bahkan berusaha melakukan genosida terhadap Muslim Uighur), dan masih banyak lagi.

Makin bingung lagi, sesama saudara di negeri sendiri malah berantem. Ada organisasi Islam yang melarang pengajian jamaah lain, ada yang mencap bid’ah jamaah pengajian lain, ada pula yang malah mendukung orang kafir sembari membenci saudara seiman. Ini jelas bikin aneh. Remaja banyak yang bingung dengan kondisi begini. Kalo seumuran saya, ya mau heran tapi ini memang faktanya. Ketika Islam tidak dijadikan gaya hidup kaum muslimin, tidak diterapkan sebagai ideologi negara, maka akan banyak merugikan umat Islam. Tidak muncul ukhuwah di antara sesama muslim. Menyedihkan. Tak ada pembelaaan serius terhadap kaun muslimin yang dizalimi.

Kondisi kayak gini, yang bikin banyak orang fobia terhadap Islam, termasuk umat Islam sendiri yang lemah iman tersebab hanya fokus ngejar dunia sembari mengabaikan akhirat. Banyak banget kan, yang jarang shalat dan malah lebih doyan maksiat? Nah, saudara kita yang modelan gitu malah jadi bikin beban, bukannya meneliti kabar dan mengulik fakta, malah ikutan termakan propaganda jahat musuh-musuh Islam. Ikut-ikutan menuding saudaranya yang belum tentu terlibat terorisme dengan sebutan teroris. Hanya puas menerima informasi satu pintu dari pihak yang menyudutkan. Ayolah, bangun dari tidurmu. Ini akhir zaman, dan makin banyak ujian bagi kita, kaum muslimin.

Perang melawan terorisme ini sebenarnya perang yang membingungkan. Bisa dimanfaatkan siapa saja, terutama oleh mereka yang membenci Islam dan kaum muslimin. Mengapa teror yang dijadikan sasaran? Sebab, umumnya orang lebih mudah takut dengan kekerasan. Padahal, teror dari segi keimanan juga nggak kalah bahaya. Banyak tuh orang-orang munafik yang mengacak-acak tatanan syariat, cuma kalo yang model gini ancamannya hanya dirasakan sama mereka yang ngerti aja seperti para ustaz, mubaligh, akademisi, dan ulama.

Buat para remaja, yuk perbaiki keimanan dan tambah ilmu. Jangan bengong bin diem aja. Gerak. Ayo! Gerak gimana? Seperti apa gerakan yang bisa kita lakukan? Gerakan kita adalah upaya untuk mencerdaskan diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Minimal banget mereka nggak ikut-ikutan larut dalam kemaksiatan yang ada, langkah selanjutnya mengajak mereka untuk berubah. Jika tidak bisa, setidaknya kita sudah menyebarkan dakwah kepada siapa pun agar kaum muslimin tak menjadi korban pembodohan dan rekayasa media massa untuk menjauhkan umat dari pemahaman agama yang shahih dan jelas.

Mulai dari mana? Nggak usah ribet. Mulai saja sekarang dengan sadar diri untuk mengkaji Islam. Sudah sangat banyak kajian keislaman di sekitar kita. Ikuti yang benar dan jangan ikuti yang salah. Lihat orang-orang yang mengajarinya, lihat perilaku kesehariannya. Kalo kamu masih bingung menentukan langkah, silakan ikuti yang sudah jelas identitasnya. Jangan yang abal-abal. Mulailah dari ikutan kegiatan rohis atau remaja masjid yang ada pembimbingnya yang diketahui jatidirinya oleh masyarakat secara umum. Belajarlah tentang keislaman secara menyeluruh, yakni dari akidah, syariat, kepribadian, dakwah, pendidikan, sosial, hukum, ekonomi, politik, dan sejenisnya yang memang mencakup segala hal yang diajarkan Islam.

Masih bingung juga? Ya sudah, pelan-pelan aja dulu. Ikuti temanmu yang sudah lebih dulu baik dan aktif di rohis. Kamu bisa mulai belajar darinya. Insya Allah suatu saat nanti kamu bisa juga memilih dan memilah mana yang harus diikuti, mana yang tak perlu diikuti. Oke?

Sobat gaulislam, terakhir, di tengah kondisi yang tak menentu di berbagai sisi ini, tetaplah berpegang teguh kepada Islam, bukan kepada yang lain. Jangan mudah percaya dengan beragam informasi yang bisa menyesatkan, apalagi jika itu datangnya dari media massa saat ini yang sering menjelek-jelekkan Islam dan kaum muslimin. Waspadalah!

Allah Ta’ala befirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS al-Hujuraat [49]: 6)

Jadi, bagi kamu, para remaja nggak usah bingung lagi. Tetap dalam keimanan dan kebenaran Islam. Periksa segala informasi, teliti terlebih dahulu. Jika isinya memberikan stigma (cap buruk) kepada Islam, layak untuk tidak dipercayai.  Jangan ikut-ikutan jadi fobia terhadap Islam, apalagi memfitnah kaum muslimin.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Memercayai fitnah lebih buruk daripada memfitnah itu sendiri. Fitnah itu sifatnya menuduh, sedangkan memercayainya berarti membenarkan. Orang yang menuduh sesuatu, tentu berbeda dengan orang yang menerima dan membenarkannya.” (dalam Shafwah ash-Shafwah, jilid 2, hlm. 168)

Nah, sebaliknya justru ini kesempatan untuk menunjukkan bahwa umat Islam itu bukan teroris. Jika pun ada yang begitu, banyak alasannya. Bisa jadi itu memang ideologi kekerasan yang dipilihnya, bisa juga dia korban cuci otak pihak tertentu lalu dimanfaatkan untuk mencitraburukkan Islam dan kaum muslimin. Bisa juga dimanfaatkan pihak yang “mata duitan” (karena selau ngejar setoran) untuk nyari cuan ke lembaga asing yang bisa gelontorin dana untuk proyek terorisme. Maklum, ideologi Kapitalisme, juga Sosialisme dan komunisme memang nggak suka ideologi Islam bangkit kembali. Begitu. Semoga kamu paham. [O. Solihin | IG @osolihin]