gaulislam edisi 829/tahun ke-16 (26 Shafar 1445 H/ 11 September 2023)
Waduh, kesannya yang nulis udah tua banget, ya. Sebenarnya bukan kesannya lagi, tetapi emang udah tua. Udah punya anak, bahkan punya cucu (aduh, jadi buka jati diri, ketauan ketuaan). Hmm… jadi gini. Petuah itu diperlukan, biasanya memang yang ngasih petuah itu usianya udah tua. So, wajar banget kalo judul buletin kesayangan kamu edisi kali ini nulis judulnya begitu. Nasihat, intinya.
Oya, bagi para remaja memang membutuhkan nasihat. Butuh arahan dan bimbingan. Saya ngajar para santri di pondok, ada materi pelajaran khusus yang dikemas menarik untuk remaja. Mungkin di pondok lain juga ada. Nah, materi pelajaran tersebut, Problematika Anak Muda. Jangan salah sangka, bukan berarti yang disampaikan melulu problem, tetapi ada solusinya, dong. Ya, solusi islami tentunya. Di sini saya bisa mengeksplor masalah apa saja yang dihadapi remaja (SMP dan SMA), selain berbekal pengalaman menemani remaja melalui tulisan di majalah dan buku serta buletin sejak tahun 1995 hingga sekarang, juga pengalaman langsung menghadapi dinamika remaja. Unik, menarik, penuh kejutan, dan tentunya ada tantangan. Tak selalu mudah menaklukannya, bahkan ada yang perlu berbilang waktu untuk menyelesaikannya. Itu pun ada yang selesai masalahnya, ada yang tak bisa diselesaikan.
Ada lho, remaja yang suka maki-maki nggak jelas. Bahkan ada yang memanggil temannya dengan nama-nama binatang. Aduh, serasa di kebun binatang dan di hutan. Silakan kamu amati sendiri di sekolahmu dan di lingkungan sekitarmu. Teman sepergaulanmu. Kalo seandainya di pondok ada yang kayak begitu, wah saya akan langsung menegur dan menasihati. Kalo masih ngeyel, ya akan diberikan sanksi yang sekiranya bisa menyadarkannya. Emangnya keren ya kalo ngobrol dengan temanmu lalu ditambahi, maaf, kata “anjir, goblok, dongo, tolol, dan sejenisnya”, gitu? Sama sekali nggak! Nah, masalahnya adalah bahasa-bahasa pergaulan seperti ini udah dianggap biasa. Atau jangan-jangan kamu nggak tahu kalo itu kasar dan abnormal? Waduh, perlu belajar lagi, deh.
Selain komunikasi dalam pergaulan, banyak juga remaja yang nggak ngeh tujuan hidup. Kok bisa? Dulu banget, ketika awal-awal menulis buku dan diterbitkan, mulai tahun 2002, saya sering mengisi kajian-kajian untuk remaja di berbagai daerah, terutama sekalian promo buku dari penerbit. Jadi roadshow bedah buku biasanya. Nah, ada banyak tuh remaja yang kalo ditanya, “Tujuan hidup kamu apa?” Eh, bingung. Lalu disederhanakan pertanyaannya, “Kamu mau lanjut ke mana setelah lulus sekolah?” Ternyata masih sama. Bingung. Dia bilang, “Nggak tahu, Pak!” sambil cengengesan. Wah, sayang sekali, ya. Saya jadi ikutan bingung juga harus ngomong apa lagi. Sebab, saya juga heran, “Kok bisa, ya. Nggak punya rencana dalam hidup?” Minimal yang jangka pendek, syukur-syukur bisa punya rencana jangka panjang.
Ada masalah lainnya? Banyak sebenarnya. Soal empati dengan orang lain juga masih perlu diperbaiki. Banyak remaja cuek, karena yang dipikirin cuma dirinya sendiri, atau kalo melibatkan orang lain, ujung-ujungnya demi kepentingan pribadi juga. Nggak tulus berempati.
Soal keuangan gimana? Ada beberapa remaja udah bisa mengelola keuangan. Meski baru level bagaimana mengatur uang jajan yang diberikan ortunya. Ada juga yang udah lumayan maju, yakni berwirausaha. Misalnya, beli roti sekian, lalu dijual lagi di sekolah. Ya, sambil belajar di sekolah, nyambi jualan kecil-kecilan. Bagus. Namun, di sisi lain banyak remaja yang belum peduli ngatur duit. Bisanya cuma ngabisin. Duit abis, tinggal nagih ke ortu. Aduh, jangan gitu, dong. Suatu saat kamu tetap harus mandiri. Nggak selamanya nodong mulu sama ortu.
Oya, remaja alias para pemuda perlu tahu juga lho soal dinamika kehidupan orang lain, bahkan soal negara ini. Orang sering menyebutnya masalah keumatan, termasuk di dalamnya bersentuhan dengan politik, ekonomi, sosial, hukum, pemerintahan, ideologi dan lain sebagainya. Jadi, sebagai pemuda perlu tahu banyak soal ini. Jangan cuma mikirin diri sendiri, kesenangan diri, hobi dan segala hal dunia remaja doang. Sebab, gimana pun itu pasti berhubungan erat. Kalo kamu ngefans sama grup band favoritmu, maka di situ ada hubungan antara budaya, hukum, sosial, bahkan ekonomi dan politik. Beneran.
Begini contohnya. Kamu dan jutaan kawanmu merasa bangga dengan sebutan ARMY karena mengidolakan grup BTS (Bangtan Sonyeondan) yang asal Korea Selatan itu, maka ada potensi ekonomi bagi pelaku usaha. Misalnya bikin deh merchandise bernuansa BTS. Dijual ke siapa? Ya, ke pasar seperti kamu. Lumayan, kan? Masih inget nggak waktu McD bikin menu spesial BTS Meal? Itu kejadian 2 tahun lalu (tahun 2021, tepatnya bulan Juni). Dijual di seluruh gerai McD, baik di Indonesia maupun di dunia.
Apa yang terjadi? Masih ingat? Iya, gerai McD diserbu para ARMY dan juga mereka yang sekadar FOMO alias “Fear of Missing Out”, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai “Rasa Takut Ketinggalan”. Istilah ini merujuk pada perasaan cemas atau kecemasan yang dialami seseorang ketika mereka merasa bahwa mereka sedang melewatkan pengalaman atau aktivitas yang seru atau penting yang sedang berlangsung di media sosial atau di tempat lain. Jadi waktu itu, stok BTS Meal untuk 1 bulan di seluruh gerai McD di Indonesia ludes terjual dalam waktu kurang dari 5 jam. Pasti cuan banget, kan?
Belajar dari kasus BTS Meal ini, selain erat hubungannya dengan ekonomi, juga soal budaya dan sosial. Jika ingin menilai dan meluruskan maka akan berhubungan dengan hukum dan politik. Jadi nyambung, kok. Padahal, mungkin awalnya ada di antara kamu yang cuma berpikir itu masalah remaja yang ngefans grup band, doang. Ternyata nggak sesederhana itu, kan?
Kalo mau ditulis semua, ya banyak banget, sih. Nggak cukup di satu bahasan di buletin ini. Nggak bakalan muat. Lagian kalo banyak yang ditulis juga jadi nggak fokus, terus kamu jadi capek bacanya karena tulisan ini jadi panjang. Cocoknya dijadiin buku, kali ya? Eh.
Belajar sejak dari rumah
Sobat gaulislam, bagi remaja seumuran kamu, sebenarnya yang perlu sudah rapi jali sebelum masuk sekolah tingkat menengah dan atas, adalah soal penerapan adab di rumah. Ortumu yang mengarahkan dan membimbing sejak awal pertumbuhan kamu. Saya sendiri merasakan betul peran ibu saya. Ibu saya terbilang tegas, mungkin bagi sebagian orang yang melihat cara ibu saya mendidik, akan mengatakan galak.
Saya (dan juga adik-adik saya) dibentuk dengan peraturan ketat, yang tidak biasanya. Bahkan untuk mendidik saya, lebih ketat lagi. Berbeda dengan anak tetangga. Soal makan contohnya, tidak boleh ada yang mengambil makanan di luar jatah masing-masing. Makan wajib duduk, kalo bergerak ke sana kemari apalagi sambil ngobrol pasti ditegur. Ngomong kasar udah disiapin cabe yang akan dimasukkan ke mulut, belum lagi diomelin. Jangan mengambil begitu saja mainan teman, jika mau pinjam harus izin. Terlarang masuk ke kamar orang tua teman, jika kebetulan diajak main di rumahnya. Aturan ini berlaku di rumah, nggak boleh ngajak main teman untuk masuk ke kamar.
Belum lagi aturan kalo saya wajib ikut pengajian di mushola. Jika jam 5 sore belum pulang ke rumah, pasti dicariin sampe ketemu. Lalu diajak pulang, dan dipaksa pulang kalo saya menolak. Sampe rumah disuruh mandi, lalu siap-siap berangkat ngaji. Adakalanya saya merasa malas, tetapi saya langsung berangkat buru-buru ketika ibu sudah siap sapu lidi di tangannya. Sempat juga beberapa kali jejak sapu lidi membekas di betis saya.
Ibu juga membentuk saya agar menjadi orang yang bertanggung jawab. Saya punya adik 5 orang ketika saya baru naik kelas 6 SD. Saya anak pertama dan laki-laki. Maka, ibu saya membentuk karakter saya dengan sangat ketat. Saya diberikan banyak tanggung jawab waktu itu: jaga adik, bersihin halaman rumah setiap pagi dan sore, memelihara ayam dan memastikan makanannya tersedia dan kandangnya bersih, menimba air dari sumur untuk mengisi bak mandi besar. Jika musim kemarau kayak sekarang, saya juga diminta ambil air di sumber air, walau tidak banyak dan sekalian mandi saja di sana. Intinya, saya dibentuk sejak kecil untuk tanggung jawab pada diri sendiri dan juga menerima tugas dari orang tua untuk memikirkan orang lain, yakni menjaga adik-adik saya. Masa pembentukan karakter saya sejak kecil hingga SMP, karena masih bersama orang tua di rumah.
Semua itu baru saya menyadari hikmahnya ketika saya kos dan jauh dari orang tua. Saat itu, saya sekolah jenjang SMK di Bogor, ujung barat Jawa Barat. Jaraknya sekitar 360 km dari kampung saya, di ujung timur Jawa Barat. Masih satu provinsi tapi beda kabupaten. Alhamdulillah saya bisa mandiri, bisa menjaga pergaulan (bukan saja dalam berkomunikasi yang santun, tetapi juga saya bisa memilih pergaulan seperti apa yang harus saya ikuti dan mana yang harus dihindari). Apalagi ketika ikut rohis, alhamdulillah jadi lebih ajeg dan punya prinsip islami.
Oya, ini sekadar sharing aja, itu pun cuma sekilas. Dan, tentu masih jauh dari sempurna. Sekadar berbagi karena pernah menjadi remaja. Kalo mau keren lagi ya bisa membaca biografi para ulama, pasti banyak teladan dan hikmah. Bagaimana para ulama ketika kecil dididik di rumah dan di tempat belajarnya, bagaimana semangat belajarnya dan lain sebagainya. Itu bisa menjadi inspirasi terbaik bagi kita semua. Belum lagi kalo membaca biografi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih hebat lagi kalo kita bisa memahami perjalanan hidup baginda kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti banyak teladan hebat yang bisa menjadi penyemangat kita dalam kehidupan ini.
Petuah singkat
Sobat gaulislam, jika pun harus ngasih petuah, tentu ini sekadarnya saja. Saya juga masih belum sempurna. Belum banyak kebaikannya. Namun setidaknya saya punya pengalaman yang bisa dibagikan kepada kamu semua. Jadi singkatnya: iman yang utama, takwa berikutnya, jaga adabmu, tentukan tujuan hidupmu, semangat belajar dan bekali dengan keterampilan yang memadai (termasuk dalam berkomunikasi), siapkan kesabaran dan daya tahan fisik karena rintangan dalam kehidupan akan lebih terjal. Selain itu, kita jangan fokus hanya memikirkan diri sendiri. Mulailah untuk memikirkan saudara kita, teman kita, kaum muslimin secara umum di belahan dunia, juga memikirkan agama ini.
Ibnu Muflih al-Hanbali rahimahullah berkata, “Di antara kritikanku terhadap perkara yang mengherankan dari umat manusia adalah: Kebanyakannya, mereka meratapi hancurnya rumah dan kematian kerabat. Mereka juga merasa sedih dengan kurangnya rezeki dengan mencela zaman dan orang-orang yang ada di dalamnya. Mereka mengeluhkan sulitnya kehidupan dunianya. Di saat yang sama, mereka menyaksikan runtuhnya (nilai-nilai) keislaman, tercerai-berainya urusan agama, matinya sunnah, munculnya bid’ah, dan maksiat merajalela. Akan tetapi, aku tidak mendapati mereka meratapi nasib agamanya, tidak menangisi umur yang berlalu sia-sia, dan tidak bersedih atas waktu yang terbuang begitu saja. Aku tidak memandang ada sebab terjadinya itu semua melainkan karena mereka tidak peduli dengan agamanya dan karena dunia terlalu besar di mata mereka.” (dalam al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 3, hlm. 240)
Nasihat dari Ibnu Muflih ini menjadi tambahan petuah bagi kita semua. Bukan cuma untuk kamu, para pemuda. Semoga kita bisa istiqamah dalam agama kita. Berani menunjukkan jati diri mukmin sejati. [O. Solihin | IG @osolihin]