Wednesday, 4 December 2024, 00:05
smartphone

gaulislam edisi 873/tahun ke-17 (9 Muharram 1446 H/ 15 Juli 2024)

Ada emangnya yang begitu? Banyak! Kamu bisa cek aja di timeline media sosial. Banyak pake banget yang modelan begitu. Nulis asal njeplak kagak dipikir lagi dampaknya. Emangnya kalo nyebarin berita bohong boleh? Nggak banget, lah. Hati-hati juga kalo lagi di jalan, karena saat ini banyak orang yang punya smartphone tapi nggak smart. Begitu ada kejadian tertentu, kamera hapenya auto beraksi. Direkam lalu disebarkan di medsos. Nggak dipikir dulu kira-kira apa dampaknya. Padahal persoalan itu mungkin hanya dilihat dari mata si perekam video tanpa klarifikasi kepada orang yang ada dan terlibat dalam suatu kejadian. Apalagi sampai diberikan narasi menurut persepsi dia sendiri. Padahal secara fakta ternyata tidak begitu kejadiannya. Lha, terus gimana udah terlanjur disebar dan bahkan viral? Biasanya juga sekadar minta maaf. Memprihatinkan.

Belum lagi para konten kreator yang ngejar viral demi meraup cuan. Video nge-prank jadi pilihan. Anehnya banyak aja penotonnya. Aduh, nggak tahu deh siapa yang tak smart, pembuat konten atau penontonnya. Ada juga yang konon kabarnya bikin eksperimen sosial dan divideokan secara candid. Misalnya, sengaja ngejatuhin duit seratus ribuan di dekat orang yang dilewatinya, kemudian dia bilang ke orang tersebut, “itu uangnya, Pak?” Lalu orang yang ditanya langsung ambil duitnya. Begitu seterusnya lalu diberikan judul video: menguji kejujuran. Lha, itu orang yang ‘diujinya’ tahu dan setuju nggak video tersebut bakal diupload di media sosial? Kalo nggak kan berarti mempermalukan orang tersebut di tempat umum. Tapi kalo itu settingan, ya harus ada penjelasan bahwa itu edukasi. Seperti di film atau sinetron. Tapi kalo seperti itu jadi kurang gereget mungkin, ya. Sebab, bukan eksperimen sosial lagi namanya.

Selain itu, atas nama hiburan ada juga orang yang upload video dirinya sedang joget-joget. Banyak yang model begitu? Bejibun! Kebanyakan perempuan, bahkan ada yang berkerudung pula. Ditonton ribuan orang, dan mendapat like. Nafsu kepengen eksis dan orang yang mencari hiburan model begitu dipertemukan dalam media sosial. Pelaku senang, penonton girang. Kalo dipikir-pikir, apa mereka nggak malu video jogetnya itu dilihat banyak orang? Mempertontonkan sesuatu yang justru tidak menjaga kehormatan dirinya. Gimana kalo udah punya suami, gimana saudaranya, gimana ortunya kalo mereka lihat? Kalo seandainya merasa senang juga, berarti ada yang nggak beres. Smartphone malah dipake untuk begituan, gimana bisa disebut smart pemiliknya?

Edisi pekan kemarin buletin ini membahas soal judol dan pinjol. Nah, itu. Judi online dan pinjaman online itu kan paling mudah ya pake smartphone. Ada aplikasinya. Kalo pemiliknya smart, memikirkan dampak sebelum berbuat, maka nggak bakalan terpedaya judol dan terjerat pinjol. Begitulah, kalo nggak dibekali dengan pengetahuan dan etika, jadinya ngawur. Nggak cerdas.

Saring sebelum sharing

Sobat gaulislam, ini prinsip yang perlu kita jaga. Jangan sampe nyebarin sesuatu yang ngawur apalagi keburukan. Saring dulu sejak dalam perencanaan. Nggak asal bikin. Harus ada alasan mengapa bikin konten tersebut, apa manfaatnya, apakah konten tersebut diperlukan masyarakat luas, jika kontenya memungkinkan akan ada pro dan kontra maka harus dibuat cover both side alias dikroscek dari dua sisi (pro dan kontra), dan apa dampak jika disebarkan. Sederet perlakuan ini mesti dipikirkan dan disusun sebelum membuat konten. Nggak asal aja. Inilah proses saringnya, ada filternya. Itu sebabnya, dalam tradisi jurnalistik meskipun itu berita bakal pro dan kontra, tetapi memenuhi standar yang bisa dipertanggungjawabkan. Kalo sekarang di era media sosial, siapa pun bisa jadi penyampai pesan walau tidak dibekali ilmu. Jadi, memang perlu smart kalo punya smartphone.

Nah, termasuk dalam hal ini kalo menerima berita atau pesan di media sosial. Jangan asal sebar atau share. Cek dan teliti terlebih dahulu, jangan keburu nafsu pengen segera menjadi yang pertama menyebarkan. Gimana kalo salah? Aduh, urusannya ribet. Apalagi kalo udah viral, bisa ke mana-mana itu. Tentu akan lebih berat untuk mengklarifikasinya. Memang bisa saja melakukan permintaan maaf dan diupload di media sosial miliknya, mengatakan bahwa apa yang sebelumnya disampaikan adalah salah dan jangan dipercaya. Namun, itu akan mengurangi kepercayaan orang lain terhadap dirinya, apalagi kalo dilakukan berulang. Duh, jangan sampe deh. Lebih baik mencegah daripada mengobati.

Jadi, emang kudu ati-ati kalo mau share sesuatu. Khawatir hoax, siapa tahu itu malah keburukan. Jangan asal ada info lalu sebar. Nggak disaring dulu. Jangan. Malah jadi dituduh berdusta nantinya.

Hafsh bin ‘Ashim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukup seseorang dikatakan dusta, jika ia menceritakan segala apa yang ia dengar.” (HR Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah membawakan hadits di atas pada Shahih Muslim dalam judul Bab “Larangan membicarakan semua yang didengar.”

Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim ketika menjelaskan hadits di atas menyatakan, “Seseorang bisa dikatakan berdusta, karena berita yang didengar bisa jadi ditambah-tambah. Adapun makna hadits dan atsar yang ada dalam bab ini berisi peringatan membicarakan setiap apa yang didengar oleh manusia. Karena yang didengar bisa jadi benar, bisa jadi dusta. Itulah kebiasaan yang terjadi di tengah-tengah kita. Jika seseorang menceritakan setiap apa yang ia dengar, maka ia telah berdusta karena memberitakan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.”

Itu sebabnya, kudu ati-ati. Jangan tergiur ingin menyebarkan semua informasi yang ada di media sosial. Pilih dan pilah. Jangan sampe salah.

Bijak di medsos

Sobat gaulislam, nggak sedikit yang berperilaku tak pantas di medsos. Ada yang menyebarkan aib orang lain, ada yang caci maki ketika mengomentari sebuah postingan video atau foto atau informasi tertulis, ada yang malas mencari informasi yang benar karena merasa cukup dengan informasi yang memuaskan nafsunya semata, ada yang bertingkah konyol, dan lain sebagainya. Sepertinya merasa ingin menjadi penyampai informasi dan opini, tetapi lupa menjadi pendengar yang baik. Sebelum bersuara, mestinya mendengarkan terlebih dahulu. Menyimak. Jadi, ketika mendapatkan sebuah pesan, simak baik-baik, teliti, lalu berikan penilaian sesuai ilmu yang dimiliki. Jangan asal komentar, jangan asal menuduh, jangan asal menyerang, jangan pula sengaja melakukan keburukan kepada orang lain atau sengaja menyebarkan keburukan.

Perkara larangan menyebarkan aib orang lain ada aturannya, lho. Nggak asal aja. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang larangan mencari-cari aib orang lain melalui sebuah hadis (yang artinya), “Jauhilah oleh kalian prasangka, sebab prasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara.” (HR Bukhari)

Oya, kalo kita menutupi aib seseorang, kita akan mendapat ganjaran dari Allah Ta’ala yang setimpal. Aib kita akan ditutup oleh Allah Ta’ala. “Barang siapa menutupi aib seorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR Muslim)

Imam Tirmidzi juga meriwayatkan terkait larangan membuka aib orang lain. Hadis itu menjelaskan, ketika orang lain membuka aib kita, Allah akan membuka aib orang tersebut, “Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya padahal iman itu belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin! Janganlah menjelekkan mereka! Jangan mencari-cari kekurangan mereka! Sebab, barang siapa mencari-cari kekurangan saudaranya yang muslim, niscaya Allah akan mencari-cari kekurangannya. Barang siapa yang Allah cari-cari kekurangannya, niscaya Allah akan membongkar aibnya dan mempermalukannya, walaupun dia berada di dalam rumahnya.” (HR Tirmidzi no. 2032, Ibnu Hibban no. 5763, dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma) 

Misalnya nih, ada teman kamu yang malas shalat. Hanya kamu dan dia yang tahu persoalan itu. Kamu juga udah sering nasihatin supaya dia rajin shalat. Cukup sampe di situ. Jangan kamu umbar aibnya ke teman lain. Sebab, itu memang nggak perlu juga diketahui oleh orang lain. Itu aibnya. Dia sedang berproses menjadi baik. Lagian itu juga urusan pribadinya. Nggak terkait dengan kepentingan orang lain dan nggak merugikan orang lain. Ini harus kamu tutup aib temanmu itu. Nasihati terus sampai dia berubah jadi lebih baik.

Termasuk perilaku lainnya (yang orang itu nggak suka kalo diketahui orang lain) dari orang yang kita kenal maupun tidak kita kenal. Dan, perilakunya itu nggak merugikan orang lain atau memang tidak perlu diketahui oleh orang lain yang nggak punya kepentingan terhadap orang tersebut. Ketika dia punya aib dalam maslaah tersebut, jangan kamu sebarkan aibnya. Toh urusannya mungkin hanya dengan kamu saja. Atau cuma kamu yang tahu. Jangan mempermalukannya di depan orang banyak.

Misalnya yang masih viral tuh, orang yang ngamuk-ngamuk dalam persoalan mobil yang berpapasan di tanjakan dan diberikan narasi “nggak mau ngalah”. Videonya udah tersebar ke mana-mana. Kalo menurut saya, itu persoalan dia dan orang tersebut. Kenapa pula yang merekamnya merasa harus diupload ke media sosial dan diumbar aib orang tersebut. Dari peristiwanya nggak merugikan banyak orang, hanya dia dan beberapa orang saja. Dan, itu sifatnya ya kejadian biasa yang sehari-hari orang bisa mengalaminya.

Tapi ada juga yang membelanya, “Kalo nggak diviralkan, orang-orang model gitu akan tetap arogan.” Ya, sebenarnya nggak juga. Nggak ada jaminan juga orang kapok kalo soal itu. Bisa jadi dia malah tambah marah karena merasa dipermalukan di depan umum.

Memang, jika sampai terjadi permasalan hukum, video tersebut bisa menjadi salah satu bukti di pengadilan. Siapa yang salah dan siapa yang benar akan diperiksa di pengadilan. Video itu bisa menjadi salah satu alat bukti. Kalo mentok di pengadilan dan nggak ada solusi, bisa saja memberikan ‘ancaman’, bahwa video ini akan disebar, lho. Misalnya begitu. Karena di zaman sekarang, kalo nggak gitu, nggak bakalan diproses hukum. Itu pilihan saja. Setelah melalui prosedur yang benar tidak ada solusi. Tapi tetap mengedapankan kebaikan. Menutup aibnya. Apalagi itu bukan persoalan yang melibatkan seluruh warga negara. Nah, lain soal kalo kebijakan yang diterapkan pemimpin negara, dimana kebijakannya itu merugikan seluruh rakyat, itu sih wajib dibongkar mengapa dia melakukan kebijakan yang nggak bijak itu.

Ikut aturan Islam

Sobat gaulislam, perlu kamu tahu, dalam Kitab Riyadhus Shalihin karya Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits no 240, bahwa tidak semua menutupi aib seseorang itu terpuji dan tidak juga tercela pada setiap keadaanya, tetapi hal itu ada dua macam:

Pertama, menutupi aib yang terpuji dan merupakan hak bagi seseorang muslim yang lurus, yang tidak dikenal berbuat kejahatan dan tidak terjadi padanya sesuatu kebencian kecuali hanya sedikit, maka orang ini hendaknya ditutupi (aibnya), dinasihati dan jelaskan kepadanya bahwa ia telah keliru, inilah menutupi aib yang terpuji.

Kedua, menutupi aib seseorang yang meremehkan perkara-perkara agama dan sering melakukan kejahatan kepada hamba Allah Ta’ala, maka orang seperti ini janganlah ditutupi aibnya, bahkan disyariatkan untuk menjelaskan perkaranya kepada para pemegang kekuasaan, sehingga mereka bisa mencegah perbuatannya dan menjadi perhatian bagi yang lain. Menutupi aib itu menyertai kemaslahatan. Jika dalam menutupi aib itu ada kemaslahantannya, maka ini lebih utama untuk ditutupi dan jika dalam membuka aibnya ini terdapat kemaslahatan, maka lebih baik dibuka aibnya, dan jika seseorang ragu-ragu antara dua hal ini maka lebih baik ia menutupi aibnya. 

Nah, termasuk dalam hal ini, bagi orang yang suka menyebarkan keburukannya, dipamerin pula di depan banyak orang. Belum lama ada 5 orang yang mengaku dari ormas Islam berkunjung ke Israel dan foto bersama presiden negara penjajah Palestina tersebut. Tentu saja menuai kritik. Kalo yang model begini malah kudu dibongkar aibnya, jangan ditutupi. Mereka udah berkhianat kepada umat Islam.

Oya, jangan sampe pula kaum muslimin merasa bangga berbuat dosa dengan mempublikasikan dosa tersebut, padahal Allah Ta’ala udah menutupinya. Sebab, di zaman sekarang orang udah pegang smartphone dan bisa melakukan apa saja. Misalnya, merekam perbuatan dosanya lalu upload di media sosialnya. Duh, nggak smart banget. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap umatku akan di maafkan (dosanya), kecuali mereka yang menzahirkan perbuatan dosanya dengan terang-terangan dan sesungguhnya termasuk di antara perbuatan tersebut ialah seorang hamba yang melakukan perbuatan dosa pada malam hari, kemudian hingga pagi hari Allah telah menutup dosa tersebut, kemudian dia berkata, “Wahai fulan, semalam, aku melakukan begini dan begitu.” Padahal Allah telah menutupi dosa tersebut semalaman. Dia pun tidur dalam keadaan (dosanya) yang telah ditutup oleh Allah, tetapi pada pagi hari dia telah membuka sendiri dosanya tersebut yang telah ditutup oleh Allah.” (HR Bukhari no. 6069 Muslim no. 2990)

Yuk, bijak menggunakan gawai alias gadget. Perlu smart, jangan cuma ponselnya yang smart. Itu sebabnya, yuk ngaji yang benar, perluas pengetahuan dan tetap menjaga adab, menjaga etika. Apalagi ketika bergaul dengan banyak orang, termasuk di media sosial. Jangan sampe ada satire: punya smarthone, tapi nggak smart. Sebaliknya, manfatkan smartphone untuk dakwah, untuk menyebarkan kebaikan dan manfaat di berbagai akun medsos yang kamu miliki. Ini baru smart! [O. Solihin | Tiktok @osolihin_]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *