Wednesday, 4 December 2024, 00:32
bebaslepas

gaulislam edisi 880/tahun ke-17 (28 Shafar 1446 H/ 2 September 2024)

Kalo kamu mengendarai sepeda motor, selain bisa secara teknis keterampilan dalam menggunakannya, juga kamu kudu bisa berpikir. Jangan cuma terampil tetapi pikiranmu liar. Bukan tak mungkin remaja yang sekadar bisa mengendarai sepeda motor tapi mengabaikan pikirannya bakalan ugal-ugalan saat mengendarai sepeda motor. Tentu, itu bakal membahayakan dirinya dan juga orang lain. Lagian, kalo kamu berkumpul dan berinteraksi dengan orang lain di suatu komunitas atau lingkungan masyarakat, pasti bakalan ketemu aturan dan batasan. Artinya, nggak bisa bebas begitu aja. Sama kayak kamu semangat menggeber gas sepeda motormu hingga kecepatan tinggi, tetap aja kamu butuh rem untuk mengendalikannya. Kalo tancap gas terus ya, bisa bahaya. Sebab, jalan yang kamu lalui, meski di sirkuit, tetapi ada belokannya. Nggak lurus semua. Saat itulah rem difungsikan dengan benar dan baik.

Saat kita pengen bebas dalam hidup ini, agama bisa berperan untuk mengatur dan membatasi. Inilah hidup. Memang demikian adanya. Agama kita, yakni Islam, tentu akan menyelamatkan kita di dunia dan juga di akhirat. Islam yang akan mengatur cara berpikir dan bertindak kita. Nggak akan dibiarkan bebas berpendapat dan berperilaku. Ada aturan dan batasan. Itulah peran agama. Maka, sangat heran kalo ada yang malah menyingkirkan agama dari kehidupan. Bahkan sesumbar kalo Tuhan sudah mati. Wah, itu sih sama aja misi bunuh diri. Beneran.

Ngomong-ngomong soal ini, kamu pernah dengar atau tahu nama Friedrich Nietzsche? Ya, dia adalah filsuf Jerman yang menggegerkan dunia dengan kalimat provokatifnya, “Gott ist gestorben” atau “Tuhan sudah mati”. Bukan hanya sekadar pernyataan, tapi sebuah bom pemikiran yang mengguncang iman dan keyakinan banyak orang. Tapi, jangan langsung terperangah. Di balik ketegasan Nietzsche, tersimpan psikologi yang rumit dan penuh teka-teki—suatu gambaran dari kelemahan manusia itu sendiri.

Dalam refleksi mendalamnya, Nietzsche menuturkan, “Setiap filsafat besar adalah pengakuan pribadi sang filsuf.” Pernyataan ini memperlihatkan bahwa pemikiran Nietzsche tak lahir dalam ruang hampa; ia adalah produk dari jiwa yang terperangkap dalam pencarian makna, bahkan jika itu berarti menolak Tuhan. “Ateisme bagiku bukan sekadar hasil pemikiran, tapi dorongan naluri,” katanya lagi. Sebuah pengakuan yang menunjukkan betapa ide-ide Nietzsche lebih merupakan cermin dari jiwanya yang bergejolak.

Namun, apakah Nietzsche benar-benar memahami apa yang ia tolak? Ataukah ia hanyalah potret dari keterbatasan akal manusia yang berusaha memahami Sang Pencipta dengan cara yang terlalu rasional? Ini adalah bukti bahwa manusia, dengan segala kecerdasannya, tetap membutuhkan panduan ilahi. Dan di sinilah peran agama yang sebenarnya.

Nggak cuma Nietzsche, Sigmund Freud, psikolog kondang dengan teori kekafirannya, juga menambah daftar tokoh yang menolak agama. Dalam The Future of an Illusion, Freud menyatakan bahwa agama hanyalah ilusi belaka, produk ketakutan manusia akan alam semesta yang tak terkendali. Bagi Freud, agama adalah bentuk pelarian, sebuah ilusi yang menghibur manusia dari kenyataan pahit kehidupan.

Ironisnya, meski mengklaim menolak agama, pemikiran mereka justru menegaskan kebutuhan manusia akan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Fitrah manusia—yaitu naluri beragama—tidak bisa dihilangkan. Bahkan kaum ateis pun, dalam banyak kasus, tetap mencari “tokoh” yang mereka agungkan, meski itu bukan Tuhan.

Ancaman nyata

Sobat gaulislam, di dunia yang makin liberal seperti sekarang, di mana kebebasan beragama dan kebebasan berpendapat dikampanyekan sebagai hak asasi manusia, ancaman nyata justru muncul dari kecenderungan untuk menyingkirkan agama. Nietzsche dengan lantang meneriakkan kematian Tuhan, sementara Freud menyebut agama sebagai ilusi. Apakah ini sekadar opini pribadi atau cerminan dari realitas dunia yang semakin mengesampingkan spiritualitas?

Faktanya, di banyak tempat, agama hanya menjadi status tanpa makna. Ada orang yang mengaku beragama, tapi perilakunya jauh dari ajaran agamanya sendiri. Fenomena ini tidak jarang membuat kita bertanya-tanya: apakah agama masih relevan di dunia yang semakin materialistis ini?

Kalo kamu getol menyimak dan membaca beragam fakta, baik di media sosial mapun di kehidupan nyata, ada banyak orang yang jauh dari ajaran agama. Ngakunya muslim tetapi jadi koruptor. Di KTP tertulis agama Islam, tetapi kelakuan jauh dari ajaran Islam. Doyan fitnah, mengadu domba, menjadi buzzer rezim yang siap sedia membela meski rezim sangat zalim. Modelan begitu, bisa terkategori munafiq. Gampangnya, ngaku muslim tetapi pikiran dan hati membenci Islam dan kaum muslimin, dan itu ditegaskan dalam perilaku. Membuat aturan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Di saat bersamaan, orang-orang kafir justru dijadikan sahabat karib dan aturan kehidupan dipercayakan kepada aturan buatan manusia. Ini aneh bin ajaib. Jelas sebuah ancaman yang nyata.

Beragama itu fitrah

Manusia, pada dasarnya, diciptakan dengan potensi kehidupan yang unik. Sama seperti hewan, manusia memiliki kebutuhan jasmani dan naluri. Tapi ada satu hal yang membedakan: akal. Dan dengan akalnya, manusia memiliki naluri untuk mencari dan menyembah sesuatu yang lebih besar dari dirinya—naluri beragama yang dalam Islam disebut gharizatu at-tadayyun.

Firman Allah dalam al-Quran mengingatkan kita bahwa segala sesuatu di alam ini bertasbih kepada-Nya, meskipun kita tidak memahaminya (QS al-Isra [17]: 44). Ini membuktikan bahwa seluruh makhluk hidup memiliki naluri untuk mengagungkan Penciptanya.

Dalam ayat lain Allah Ta’ala (yang artinya), “Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya.” (QS an-Nuur [24]: 41)

Pengertian ‘tasbih’ ini sebagai bentuk naluri beragama, yakni mensucikan sesuatu yang diyakini, bahwa Dialah Sang Pencipta. Oya, pensucian ini adakalanya ditampakkan dengan bentuk ibadah, kadang juga cuma sebatas penghormatan atau kekaguman aja (ini minimal banget, lho).

Perasaan lemah, kurang, dan kerdil manusia di hadapan zat Yang Maha Agung, yang membuat manusia kemudian mengagung-kanNya dalam ibadah. Eh, sebenarnya nggak cuma dalam ibadah lho perasaan seperti ini. Bergama itu fitrah. Itu sebabnya, di luar ibadah pun manusia tetep memerlukan agama yang sesuai dengan fitrah-nya yang lemah, kurang, dan tentunya memerlukan banget zat Yang Maha Agung.

Maka, nggak salah dong kalo kemudian manusia akan mencari agama yang sesuai dengan fitrah-, yakni agama yang diturunkan oleh zat Yang Maha Agung, Dialah, Allah Ta’ala. Jadi jelas, inilah alasan rasional bahwa manusia membutuhkan agama dan membutuhkan agama dari Allah Ta’ala dan bukannya dari yang lain.

Nah, dengan demikian, kalo ada orang yang masih nekatz nggak membutuhkan agama dengan alasan agama adalah candu dan cuma hayalan aja, maka jelas tuh orang lagi ngigo, bukannya mikir. Tul nggak? Itu sebabnya, para penulis biografi Nietzsche menganggap Nietzsche lagi nggak nyadar ngomong begitu. 

Jadi ateis? Dia tertipu!

Sobat gaulislam, orang-orang yang mengaku ateis sebenarnya sedang membohongi diri mereka sendiri. Mereka mungkin menolak keberadaan Tuhan, tapi mereka tetap memerlukan sesuatu untuk disucikan—entah itu ideologi, tokoh, atau kekuasaan. Mengalihkan penghormatan mereka kepada hal-hal yang bersifat duniawi adalah bukti bahwa mereka tidak bisa menghilangkan kebutuhan spiritual yang ada dalam diri mereka.

Lantas, mengapa banyak ilmuwan beralih menjadi ateis? Ehm, kamu masih ingat kasus tewasnya Galileo Galilei? Yup, karena ilmuwan yang satu ini menyatakan perbedaan pendapatnya dengan para rohaniwan gereja yang keukeuh meyakini bahwa bumi adalah pusat tatasurya. Tapi Galileo mengatakan, matahari adalah pusat tatasurya, terutama setelah ia yakini dengan pasti ketika berhasil membuat teleskop. Hasilnya, Galileo tewas dibakar dan dianggap pernyataannya yang kontroversial itu sebagai bentuk pembangkangan atas ‘fatwa’ gereja yang udah disepakati itu.

Setelah itu, ribuan ilmuwan Barat, terutama di Perancis berbondong-bondong ninggalin agama mereka. Mereka menjadi ateis. Celaka dua belas tuh!

Banyak lho, di sini juga yang begitu. Kaum muslimin yang kritis tapi lemah iman dan ilmu, mereka cepat nggak puas dengan ajaran Islam yang dinilainya nggak bisa mengubah kondisi masyarakat. Kebetulan yang dilihatnya dari Islam sebatas ibadah ritual belaka.

Mereka mikir, bahwa wirid dan sekadar baca “yasinan” dan melakukan “tahlilan” nggak bakalan ngubah kondisi masyarakat yang terus meluncur masuk jurang kerusakan di berbagai bidang. Ujungnya, meski sebagian masih ada yang mengenakan stempel muslim, tapi mereka udah memilih menjadi pengikut sosialisme-komunisme. Bahkan yang mengagetkan, banyak mahasiswa muslim di negeri ini bangga menjadi bagain dari kaum “Marx”: “I am Marxis!” Naudzubillahi min dzalik!

Ngeri. Jangan sampe agama sekadar jadi status aja. Tapi sebaliknya, agama kudu kita jadikan sebagai pandangan hidup. Kita wajib menjadi pejuang dan pembela untuknya. Ya, layaknya yang udah jatuh cinta, kita kudu mengorbankan diri kita, sepenuh hati kita. Oke deh, buang jauh-jauh semua pikiran yang nggak bener dalam benak kita. Jadi kalo ada yang masih bangga dengan paham ateis, mending ke laut aja deh! Tul nggak?

Bersama Islam, kita bahagia

Sobat gaulislam, agama bukanlah sekadar status, apalagi sesuatu yang bisa diabaikan. Islam adalah pandangan hidup yang memberikan panduan komprehensif tentang bagaimana kita menjalani kehidupan di dunia ini, sekaligus mempersiapkan kita untuk akhirat. Allah Ta’ala dengan tegas menyatakan bahwa satu-satunya agama yang diridhai di sisi-Nya adalah Islam (QS Ali Imran [3]: 19). Jadi, tak ada alasan untuk mencari agama lain, apalagi menolak agama.

Menolak agama sama saja dengan menolak fitrah kita sebagai manusia. Islam hadir untuk memenuhi kebutuhan kita akan petunjuk yang benar, dan menuntun kita menuju kebahagiaan sejati. Jangan sampai kita terjebak dalam pemikiran yang salah, hanya karena dunia modern menawarkan alternatif yang terlihat lebih menarik. Pada akhirnya, kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan dengan menjadikan Islam sebagai pedoman hidup.

Jadi, jelas bahwa cuma agama Islam yang diridhai sama Allah. Itu sebabnya, kita kudu bangga en pede jadi muslim. Jangan pernah pindah ke lain akidah, deh. Cukup kita yakini Islam sebagai pandangan hidup kita. Harus itu!

Itu sebabnya, dalam ayat lain Allah menjelaskan dalam firman-Nya (yang artinya), “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS ali Imran [3]: 85)

Wah rugi tuh orang yang nggak menjadikan Islam sebagai agamanya. Apalagi jadi ateis. Kagak pake dah! Jadi jelas lho, beragama itu, dan yang pasti beragama Islam, adalah sebuah pemenuhan yang rasional. Kita nggak bisa lagi berlindung di balik alasan apa pun untuk menyingkirkan Islam dari kehidupan kita. Hanya Islam yang akan menyelamatkan kita di dunia dan di akhirat. Agama yang Allah Ta’ala ridhai. [O. Solihin | TikTok @osolihin_]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *