gaulislam edisi 893/tahun ke-18 (30 Jumadil Awal 1446 H/ 2 Desember 2024)
Waduh, ini berita kayak drama Netflix, tapi tanpa ending yang jelas. Remaja 14 tahun jadi tokoh utama dalam tragedi yang bikin kita semua geleng-geleng kepala, sambil ngerasa dan bertanya dalam hati, “kok bisa ya?” Memang, kalau ngomongin kasus ini tuh berat, kayak ngerjain PR Matematika pas listrik mati. Tapi satu yang pasti, cerita MAS (14 tahun) ini nggak sekadar berita kriminal biasa—ada lapisan emosi, luka batin, dan misteri di baliknya.
Cukup salut sih buat KPAI yang mencoba mendekati MAS tanpa nge-judge. Gaya ngobrol mereka yang santai, cuma nanya soal “udah makan belum” atau “hobinya apa”, kayak teman curhat di jam istirahat. Soalnya, kadang yang paling dibutuhin anak kayak MAS tuh bukan interogasi ala detektif, tapi rasa aman buat mulai cerita.
Tapi ya jujur aja, kita juga penasaran banget sama latar belakang kasus ini. Apa yang bikin seorang anak bisa melakukan hal seberat itu? Trauma? Tekanan? Atau sesuatu yang belum terungkap? Ini kayak cliffhanger di akhir episode, bikin kita semua nggak sabar nunggu plot twist-nya.
Cuma memang, kita jangan buru-buru ngecap MAS sebagai “monster” atau semacamnya. Dia tuh tetap anak yang, di balik aksinya, pasti ada cerita besar yang belum terungkap. Kasus ini jadi pengingat buat kita semua, yakni keluarga itu nggak cuma soal tinggal serumah, tapi juga soal saling mendengarkan, memahami, dan ngasih dukungan. Kalo salah satu bagian hancur, efeknya bisa berantai kayak domino jatuh.
Ya, sebagaimana dilansir laman megapolitan.kompas.com, kasus tragis yang melibatkan MAS (14), remaja yang membunuh ayahnya, APW (40), dan neneknya, RM (69), serta menikam ibunya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, masih menjadi misteri.
Hingga kini, polisi belum mengungkap pemicu dan motif di balik aksi sadis MAS terhadap keluarganya tersebut.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, mengatakan telah bertemu langsung dengan MAS. Pertemuan yang berlangsung santai itu bertujuan menciptakan rasa aman bagi MAS yang masih diliputi kesedihan.
“Kami bertemu di hari Sabtu, cukup lama berdialog. Tetapi memang kapasitas kami bukan psikolog, jadi kami punya rambu-rambu. Ketika bertemu anak, kami lebih santai saja, bangun supaya anak ini juga aman,” kata Dian, dikutip Kompas TV, Senin (2/12/2024).
KPAI tidak menggali cerita MAS mengenai pemicu atau motif aksinya. Saat berbicara dengan MAS, KPAI menghindari pertanyaan terkait kasus untuk menjaga kondisinya.
“Kami hanya bertanya hal-hal sederhana, seperti kesukaan dia, sudah makan atau belum,” tambah Dian.
Apa sebab jadi brutal?
Psikolog klinis Liza Marielly Djaprie memberikan analisis mendalam terkait kasus ini. Menurutnya, tindakan sekejam itu membutuhkan energi besar dan tidak mungkin terjadi tanpa faktor pemicu yang kuat.
“Tidak ada orang tiba-tiba melakukan tindakan kekerasan. Biasanya ada penumpukan trauma atau frustrasi yang tidak pernah keluar. Ibarat balon yang terus diisi udara, sampai pada titik itu meledak,” jelas Liza.
Liza juga menyoroti kemungkinan adanya gangguan psikologis atau psikiatri yang perlu ditelusuri.
“Apakah ada gangguan psikiatri, halusinasi, atau kondisi psikologis tertentu yang mengakibatkan daya analisa tidak berjalan?” ujarnya. (kompas.com, 2/12/2024).
Sobat gaulislam, kalo hidup itu sinetron, kasus ini kayak episode spesial yang bikin semua orang diem sambil mikir, “Kok bisa gitu, ya?” Dari analisis Mbak Liza, kita dikasih gambaran kalau aksi kejam ini bukan sekadar tindakan spontan, tapi hasil dari “balon emosi” yang udah lama kepenuhan sampai akhirnya BOOM. Serem banget, ya, gimana kalo masalah yang nggak kelihatan ini dibiarkan tanpa ventilasi—efeknya bisa kayak ledakan gunung berapi yang nggak bisa diprediksi.
Masalah psikologis yang disorot juga jadi reminder kalo nggak semua luka itu kelihatan. Kadang, ada orang yang kelihatannya biasa aja di luar, tapi di dalam kepalanya kayak ada konser heavy metal tiap hari. Kita nggak tahu apa yang udah dilalui MAS—apakah trauma di rumah, tekanan dari lingkungan, atau mungkin masalah internal yang butuh diagnosa lebih dalam. Tapi satu hal yang pasti: ini bukan soal mencari kambing hitam, tapi soal memahami akar masalahnya.
Di sisi lain, MAS yang nangis-nangis nyesel itu bikin hati campur aduk. Di satu sisi, ada rasa iba karena dia jelas sadar banget sama apa yang dia lakukan. Tapi di sisi lain, ini juga pelajaran besar tentang gimana pentingnya komunikasi dan perhatian sebelum semuanya terlambat. Kadang, cuma perlu satu orang aja buat bilang, “Eh, lo baik-baik aja, nggak?” buat ngehindarin bencana yang lebih besar.
Semoga proses penyidikan ini bukan cuma fokus cari siapa salah, tapi juga ngebuka tabir tentang pentingnya kesehatan mental di keluarga. Ini wake-up call buat kita semua, bahwa konflik dalam rumah tangga tuh nggak bisa dianggap remeh. Bahkan omongan kecil yang dianggap bercanda bisa aja jadi duri yang numpuk lama-lama.
Dan buat yang mengikuti kasus ini, yuk, coba jadi “ventilasi” buat orang-orang di sekitar kita. Kadang, dengerin aja udah cukup buat meringanin beban orang lain. Jangan sampai kita sibuk ngejaga power bank, tapi lupa ngecek “baterai mental” orang-orang terdekat.
Psikolog klinis A. Kasandra Putranto meminta pihak kepolisian yang menangani kasus itu memeriksa kebenaran pernyataan pelaku yang mengaku mendengar bisikan yang mengganggu.
“Mencermati kasus anak 14 tahun sebagai tersangka pelaku pembunuhan ayah dan nenek serta melukai ibunya, beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan, antara lain pengakuan bahwa tersangka mendengar bisikan-bisikan yang mengganggu saat sulit tidur, perlu didalami lebih lanjut,” kata Kasandra, Senin, 2 Desember 2024.
Lulusan Universitas Indonesia itu menyatakan penyelidikan tersebut perlu melibatkan psikolog forensik untuk mengetahui apakah keterangan anak itu layak dipercaya dan diterima sebagai kemungkinan adanya gangguan mental atau psikosis, termasuk rangkaian pelaku yang mengawali kejadian dan setelah kejadian, seperti tidak bisa tidur, mengambil senjata tajam yang digunakan untuk melukai dan menghilangkan nyawa korban, berapa tusukan yang dilakukan, kapan dan di mana tepatnya perbuatan dilakukan, sampai tindakan membuang pisau, meninggalkan tempat kejadian perkara, yang akan menjelaskan perbuatan pidananya. (tempo.co, 2/12/2024)
Wah, kalo kasus ini diibaratkan drama, kayak gabungan antara thriller psikologis sama pelajaran tentang pentingnya empati. Dari yang disampaikan Mbak Kasandra, keliatan banget kalau ini bukan kasus kriminal biasa. Bisikan yang didengar MAS pas susah tidur itu bikin merinding. Kalau emang bener ada gangguan psikotik, kasus ini jadi lebih rumit dari sekadar hitam putih hukum. Ini udah masuk ranah kesehatan mental yang sering banget dipandang sebelah mata.
Penting juga nih, soal “lingkungan yang nggak stabil”. Kadang, kita lupa kalau keluarga itu bukan sekadar tempat tinggal, tapi lingkungan pertama yang ngebentuk pola pikir dan emosi seseorang. Kalau rumah nggak jadi tempat yang nyaman, gimana anak bisa tumbuh sehat secara mental? Ditambah lagi, pola asuh dan tekanan sosial juga bisa jadi bom waktu kalau nggak disadari.
Tekanan keluarga?
Sobat gaulislam, kasus ini tuh kayak plot twist drama remaja yang ngaduk-ngaduk perasaan, yakni dari “anak berprestasi” jadi pelaku tragedi yang bikin satu komplek gempar. Fakta bahwa MAS ini anak pintar, bahkan udah SMA kelas 1 di umur 14 tahun, bikin semuanya makin tragis. Kayak, serius nih? Anak yang biasa dapat juara tiba-tiba bikin keputusan segelap itu?
Kalo bener tekanan belajar jadi salah satu penyebabnya, ini sih wake-up call buat kita semua. Kadang kita terlalu fokus sama hasil di rapor, tapi lupa ngecek rapor kesehatan mental anak. Nilai boleh drop, tapi kalo mental anak sampai “meledak”, itu jelas lebih bahaya. Apalagi, pintar itu nggak berarti kebal stres. Bahkan anak berprestasi pun butuh ruang untuk ngeluh, nangis, atau sekadar istirahat tanpa merasa dikejar-kejar ekspektasi.
Soal nilai yang katanya belakangan ini turun, itu juga jadi kode keras. Prestasi akademik yang tiba-tiba anjlok sering banget jadi sinyal kalo ada masalah lain di balik layar. Tapi sering kali kita malah nge-zoom in ke nilai, lupa nge-zoom out buat lihat keseluruhan hidup anak itu.
Intinya, kasus ini ngajarin kita kalau “anak pintar” juga manusia biasa. Dia bisa capek, bisa tertekan, dan punya batasan. Sebagai keluarga, teman, atau masyarakat, kita harus lebih peka, lebih banyak mendengar daripada sekadar nuntut. Karena kalo nggak, tragedi kayak ini bisa aja terjadi lagi. Dan itu bukan sekadar cerita di berita, tapi cerita pahit buat semua.
Mencari solusi
Islam itu solusi atas semua problem hidup, serius! Tapi ya, syarat dan ketentuan berlaku. Islam bukan cuma tentang casing atau tampilan luar. Shalat rajin, baju gamis syar’i, atau ikut kajian tiap minggu itu bagus banget, tapi kalau pikiran masih sibuk ngejar dunia, gimana dong? Misal nih, masih ngukur sukses dari nilai rapor atau piala lomba, tapi nggak siap nerima kegagalan. Ini kan namanya “islami di luar, stres di dalam”.
Kita ngomongin kasus remaja ini, ya. Katanya, keluarga dia islami banget. Sampai ada tetangganya heran, “Kok anak yang agamanya kuat malah stres?” Tapi, tunggu dulu. Definisi “kuat agamanya” itu apa, sih? Cuma karena bajunya syar’i, rajin pengajian, atau sering ke masjid? Kalau cuma itu ukurannya, ya belum tentu. Kita nggak tahu apa yang terjadi di balik pintu rumah mereka. Mungkin tekanan hidupnya gede, mungkin komunikasi keluarganya kurang sehat, atau mungkin ekspektasinya ketinggian.
Bayangin kayak main bola. Anak ini dipaksa menang terus, nggak boleh kalah. Kalau kalah? Habis sudah—dapat ceramah, dimarahi, bahkan mungkin dianggap gagal. Aduh, mana ada hidup yang mulus kayak jalan tol? Semua orang butuh proses dan belajar dari kesalahan. Kalau hidup cuma soal menang atau kalah, kapan kita nikmatin permainannya?
Islam tuh ngajarin keseimbangan. Target boleh, malah dianjurkan, tapi prosesnya harus benar dan manusiawi. Kalau anak gagal, bukan langsung dihakimi, tapi dimotivasi. Ajak ngobrol, “Kenapa kok kamu susah fokus? Gimana kalau kita cari solusinya bareng-bareng?” Beneran harus diajak ngobrol dan ada empatinya. Why? Karena sering banget anak butuh teman diskusi, bukan sekadar nerima perintah untuk ngejar target, dan itu masih ditambah ancaman: jangan sampe gagal. Hadeuuh!
Oya, ini penting banget. Ortu juga perlu introspeksi. Kadang, yang bikin anak stres bukan anaknya sendiri, tapi ambisi ortunya yang terlalu gede. Semua pengen sempurna, pengen anaknya jadi yang terbaik. Padahal anak itu manusia, bukan robot. Kalau energi mentalnya udah habis, ya bisa “crash”.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak orang yang mencelakakan anaknya—belahan hatinya—di dunia dan di akhirat karena tidak memberi perhatian dan tidak memberikan pendidikan adab kepada mereka. Orang tua justru membantu si anak menuruti semua keinginan syahwatnya. Ia menyangka bahwa dengan berbuat demikian berarti dia telah memuliakan si anak, padahal sejatinya dia telah menghinakannya. Bahkan, dia beranggapan, ia telah memberikan kasih sayang kepada anak dengan berbuat demikian. Akhirnya, ia pun tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan anaknya. Si anak justru membuat orang tua terluput mendapat bagiannya di dunia dan di akhirat. Apabila engkau meneliti kerusakan yang terjadi pada anak, akan engkau dapati bahwa keumumannya bersumber dari orang tua.” (dalam Tuhfatul Maudud, hlm. 351)
Jadi sobat gaulislam, yuk pahami Islam lebih dalam, jangan cuma di permukaan. Kalau kita beneran hidup sesuai nilai-nilai Islam, harusnya nggak ada tuh yang namanya bikin anak stres gara-gara ekspektasi berlebihan. Islam ngajarin kasih sayang, perhatian, dan saling membantu. Mari kita mulai dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan. Karena jadi islami bukan cuma soal look, tapi juga soal feel dan act.
Sampe sini dulu, ya. Sebab, fakta yang sedang kita bahas juga masih berlanjut. Belum final. Belum tahu motif dan penyebab pelaku melakukan kekejaman seperti itu kepada keluarganya sendiri. Saya menulis berdasarkan berita yang beredar di media massa sampai tulisan ini dibuat. Semoga apa yang dibahas di edisi kali ini, ada manfaatnya. [O. Solihin | IG @osolihin]