gaulislam edisi 896/tahun ke-18 (21 Jumadil Akhir 1446 H/ 23 Desember 2024)
Pernah nggak sih kalian nemu video random di internet yang bikin otak langsung mikir, “Hah, serius nih?” Nah, baru-baru ini ada potongan video dua orang ngobrol santai. Satunya cewek, satunya cowok. Awalnya biasa aja, sampai si cewek—yang nggak pake kerudung—ngomong soal pengalamannya hafal al-Quran waktu kecil. Bukannya bikin kagum, dia malah kedengeran kayak ngeremehin.
Si cewek cerita kalau dia udah hafal al-Quran dari kecil (nggak nyebutin berapa juz yang dia hafal), tapi dia juga nanya, “Ngapain sih harus hafal al-Quran?” Waduh, ini nih yang bikin orang-orang mulai ngelirik layar HP mereka sambil mikir, “Hah?!” Lebih parahnya lagi, dia bilang hadis-hadis soal keistimewaan hafal al-Quran itu banyak yang palsu. Klaim dia, lho ya. Entah bener, entah cuma hasil Google jam 2 pagi (eh, apa hubungannya?)
Terus, gimana dong kok bisa sampai punya pandangan kayak gitu? Ya, cuma dia yang tahu. Tapi coba deh kita mikir bareng. Kalau bener dia udah hafal al-Quran dari kecil, bukankah itu anugerah banget? Kayak dapet superpower dari Allah Ta’ala, lho! Harusnya sih bersyukur.
Kalau dipikir-pikir, punya kemampuan hafal al-Quran dari kecil itu harusnya bersyukur banget, lho. Kayak dapet bonus berlimpah dalam hidup. Orang lain harus ngafal pelan-pelan, berkeringat sambil baca ulang, eh dia udah jago dari bocah. Itu privilege yang nggak semua orang dapet. Sebab, ada orang yang udah tua pun masih ngulang-ngulang hafalan karena susah masuk ke otak. Dan ini anak kecil, udah hafal duluan. Kalau itu beneran terjadi, berarti Allah lagi ngasih “hadiah spesial.” Tapi kalau hadiahnya nggak dipake dengan baik atau malah diremehin, itu sama aja kayak dapet kado mahal tapi nggak dibuka. Sayang banget, kan?
Kenapa harus bersyukur? Karena nggak semua orang punya kesempatan kayak gitu. Coba lihat deh orang-orang di sekitar kita. Ada yang mau belajar ngaji aja baru mulai di umur 30-an. Ada yang rela bayar mahal buat les tajwid, cuma biar baca al-Quran-nya lancar. Ada juga yang hafalan satu ayat aja harus berkali-kali ngulang sambil tutup telinga biar nggak ke-distract sama suara motor lewat atau berisiknya anak-anak main lato-lato (eh, emang masih ada yang mainin?). Kalau kita punya sesuatu yang istimewa sejak kecil, ya syukurilah. Itu kayak Allah Ta’ala ‘berbisik’, “Ini jalan buat kamu dekat sama Aku.” Masa iya, mau disia-siain?
Bersyukur juga bikin hati lebih ringan. Beneran. Ya, daripada sibuk nyari-nyari kesalahan, mending fokus ke manfaatnya. Hafalan al-Quran itu nggak cuma buat dunia, tapi buat akhirat juga. Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bacalah al-Quran karena pada hari kiamat, ia akan datang sebagai syafaat untuk para pembacanya.” (HR Muslim, no. 804)
Kembali ke pertanyaan: mengapa orang tersebut yang mengaku hafal al-Quran tapi malah bicara seperti meremehkan dan mengolok-olok mereka yang hafal atau ingin hafal al-Quran, apalagi dia sendiri kalo bener mengaku muslimah, kenapa nggak pake busana muslimah? Alasan pastinya dia sendiri yang tahu.
Tapi ya siapa tahu, setelah dewasa, hidup dia berubah. Bisa jadi lingkungannya, temen-temennya, atau apa yang dia baca dan tonton setiap hari memengaruhi cara pandangnya.
Btw, ini relate banget sama kehidupan kita. Misal, dulu pas kecil mungkin kita rajin ikut ngaji atau ikut lomba azan, terus semua orang kagum. Tapi makin gede, makin sibuk nge-scroll TikTok, nonton berbagai tayangan video yang isinya menjauhkan dia dari Islam, atau nongkrong sampe lupa gimana rasanya dulu pas jadi “anak soleh” versi orang tua. Lingkungan itu emang powerful banget. Apa yang kita serap sehari-hari—baik itu dari temen, media sosial, atau konten YouTube—bisa nge-shape cara kita mikir.
Selamat bersama al-Quran
Sobat gaulislam, saya ingin menjelaskan sedikit dari hadits yang udah disebutin tadi, ya. Jadi, berdasarkan literatur yang pernah saya baca, dalam hadits tadi mengandung beberapa faidah. Pertama, shahibul Quran. Pernah denger istilah shahibul Quran? Kedengerannya kayak gelar keren, ya? Tapi ternyata maknanya lebih dari sekadar keren. Shahibul Quran itu istilah buat mereka yang nggak cuma hafal al-Quran atau rajin baca, tapi juga benar-benar menghidupi isi dan ajarannya. Ibaratnya, bukan sekadar “teman baca” tapi “sahabat sejati” al-Quran—yang nggak cuma ditemenin, tapi juga ngikutin petunjuknya.
Kata para ulama, shahibul Quran adalah mereka yang rajin baca, terus juga konsisten mengamalkan hukum-hukum dan pesan-pesan al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Nggak cuma baca doang, terus selesai. Misalnya, kalau al-Quran ngajarin tentang jujur, ya dia mestinya jujur. Kalau ada ayat tentang sabar, dia berusaha sabar (meski lagi kena macet pas buru-buru ke kampus).
Kedua, menurut keterangan dari Nuzhah al-Muttaqin (hlm. 394), syafii’an adalah memberi syafaat dengan memintakan ampun pada shahibul Quran. Shahibul Quran adalah yang membaca dan mengamalkan hukum serta petunjuk dalam al-Quran. Artinya, kalau kita jadi orang yang rajin baca dan mengamalkan al-Quran, kita bakal dapet syafaat. Apa itu syafaat? Ibaratnya (kalo boleh diibaratkan), al-Quran bakal jadi ‘pengacara’ kita di akhirat nanti. Jadi pembela kita di depan Allah Ta’ala. Gimana, nggak pengen?
Ketiga, hadits tersebut mendorong kita untuk membaca al-Quran dan memperbanyak membacanya. Jangan sampai lalai membaca al-Quran karena tersibukkan dengan yang lainnya. Makanya, hadis ini sebenarnya motivasi besar banget buat kita. Kalau hidup kita udah sibuk banget sama sekolah, kerjaan, atau nge-scroll media sosial, jangan lupa sisihkan waktu buat baca al-Quran. Kalau perlu, buat target harian. Nggak usah muluk-muluk, satu halaman sehari aja udah bagus. Karena, semakin sering kita baca, semakin akrab kita sama al-Quran.
Keempat, Allah Ta’ala memberikan syafaat lewat al-Quran pada shahibul Quran. Shahibul Quran adalah yang membaca al-Quran dan mengamalkannya. Jadi, yang penting nih, jangan cuma baca doang. Amalin juga. Baca al-Quran itu kayak kita lagi nyari peta. Nggak ada gunanya baca peta kalau nggak diikutin. Kalau al-Quran bilang “jalan lurus” ya jangan malah belok kiri ke jalan tikungan dosa. Kalau dibilang “bersyukur”, ya jangan malah ngeluh terus.
Kelima, di dalam hadits dimutlakkan perintah membaca al-Quran. Kapan waktu terbaik buat baca al-Quran? Kapan aja! Kamu boleh baca al-Quran di mana dan kapan saja, kecuali dalam dua situasi: Pertama, saat buang hajat. Ya iyalah, ini jelas. Masa’ baca al-Quran di toilet? Kan nggak sopan banget. Nggak ada adabnya. Kedua, saat berhubungan intim suami-istri (tapi ya tentu baca doa, ada doanya). Oke, ini juga nggak perlu dijelasin panjang lebar. Fokusnya beda, dong.
Selain dua momen itu, nggak ada alasan buat nggak baca al-Quran. Lagi di kereta? Baca. Lagi nunggu temen yang telat setengah jam? Baca. Bahkan sebelum tidur, baca al-Quran itu bisa bikin hati lebih tenang.
Jadi faidah dari hadits tadi, yakni jadilah shahibul Quran. Teman sejati yang nggak cuma baca, tapi juga hidup dengan pesan-pesan al-Quran. Karena di dunia, al-Quran bakal jadi panduan. Di akhirat, dia bakal jadi pembela. Win-win banget, kan? Pastinya!
Jangan sombong dan meremehkan
Sobat gaulislam, dari kasus ini, yang udah diceritakan di awal tulisan, kesan cewek yang merasa nggak penting banget menjadi penghafal al-Quran, itu dia sedang meremehkan. Tambah sombong ketika berpendapat bahwa hadits-hadits tentang keistimewaan para penghafal al-Quran adalah hadits-hadis palsu. Padahal, Imam Nawawi rahimahullah dalam Kitab Riyadhus Shalihin mencantumkan hadits shahih tentang derajat seorang mukmin di surga tergantung hafalannya terhadap al-Quran.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dikatakan kepada ahli al-Quran, ‘Bacalah, naiklah, dan tartilkanlah (membaca dengan perlahan) sebagaimana engkau menartilkannya di dunia, karena kedudukanmu ada pada akhir ayat yang engkau baca.” (HR Abu Daud no. 1464 dan Tirmidzi no. 2914). Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 2240 mengatakan bahwa hadits ini sahih.
Sedikit penjelasan dari hadits tersebut menurut para ulama adalah keistimewaan para penghafal al-Quran di surga. Ini semacam “tiket VIP” ke surga yang nggak dijual di mana-mana, tapi semua orang bisa dapet kalau mau usaha. Tiket itu adalah al-Quran! Dan ini nggak cuma tentang hafal ayat-ayatnya, tapi juga tentang bagaimana kita “bersahabat” dengan al-Quran.
Udah dijelasin tentang shahibul Quran sebelumnya. Intinya, shahibul Quran itu bukan cuma mereka yang bawa al-Quran di tas atau dipegang-pegang mulu, ya. Shahibul Quran itu mereka yang nggak cuma baca, tapi juga menjaga, mengamalkan, bahkan memperhatikan adab terhadap al-Quran. Ibaratnya, al-Quran bukan cuma jadi “buku bacaan” tapi jadi panduan hidup.
Terus, apa sih wartaqi dalam hadits itu? Nah, ini nih yang bikin hati langsung glek. Wartaqi itu artinya “naiklah!” Jadi, nanti di surga, derajat kita bakal naik sesuai dengan jumlah ayat al-Quran yang kita hafal. Makin banyak hafalan kita, makin tinggi posisi kita di surga. Jadi, kalau mau semacam “penthouse surga” (bahkan lebih bagus lagi dari yang ada di dunia dan bayangan kita), yuk mulai tambahin hafalan dari sekarang. Kita sama-sama berupaya dan saling mendoakan, ya. Maklum, gangguannya banyak banget.
Jadi, hadis ini sebenarnya motivasi besar buat kita semua. Karena apa? Kedudukan kita di surga tergantung sama usaha kita di dunia. Nggak ada yang namanya duduk manis terus tiba-tiba dapet surga level atas. Semua butuh kerja keras. Dan salah satu cara paling keren adalah dengan tilawah (baca) al-Quran, menghafalnya, dan mentadaburi isinya, serta tentu saja kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Oya, mungkin ada yang tanya: apa sih manfaatnya membaca al-Quran? Pertama, ketenangan di dunia. Lagi stres sama tugas sekolah, kerjaan, atau drama kehidupan? Coba deh ambil wudhu, buka al-Quran, dan baca beberapa ayat. Rasanya kayak hati dikasih “refresh button”. Kedua, kelezatan di akhirat. Iya, baca al-Quran itu kayak investasi jangka panjang. Di dunia dapet ketenangan, di akhirat dapet surga. Udah untung banget, kan? Untung banyak malah.
Oya, yang paling penting, jangan cuma fokus pada hafalan doang. Karena inti dari jadi shahibul Quran itu bukan sekadar hafal, tapi juga ngelakuin apa yang al-Quran ajarin. Kalau al-Quran ‘bilang’ “berbuat baik ke orang tua”, ya lakuin. Kalau bilang “jangan bohong”, ya jujur. Jangan sampai hafalan udah 30 juz, tapi tingkah masih kayak nggak kenal al-Quran. Malu!
So, yuk kita jadikan al-Quran sebagai teman terbaik kita. Mulai dari baca, hafal, tadabur, sampai praktekin isinya. Karena surga itu nggak cuma soal masuk, tapi soal dapet tempat terbaik. Dan al-Quran adalah peta menuju ke sana.
Jadi, dari satu hadits ini aja udah menjadi bukti bahwa ada keistimewaan untuk para penghafal al-Quran tentang kedudukannya di surga nanti. Tapi, syarat dan ketentuan berlaku, ya. Udah dijelasin panjang lebar. Silakan baca ulang.
Jadi, kembali ke laptop, eh, ke cewek yang dalam video mempertanyakan tentang apa istimewanya penghafal al-Quran, kasih tahu deh bahwa itu udah dijelasin dalam hadits, salah satunya yang tadi kita bahas. So, jangan sombong dan meremehkan, ya. Apalagi ditambah dengan sifat hasad. Oya, sombong dan hasad biasanya ini berbarengan sih datangnya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Kesombongan dan hasad (iri) keduanya merupakan penyakit yang membinasakan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan. Dan keduanya juga merupakan dosa terbesar, yang dengannya Allah pertama kali didurhakai, karena sesungguhnya Iblis berlaku sombong dan hasad kepada Nabi Adam ‘alaihissalam.” (dalam Jami’ ar-Rasail, jilid 1, hlm. 233)
Akhirul keyboard wal kalam, kalau kita punya kelebihan, apapun itu, bersyukurlah. Karena setiap kelebihan itu punya manfaat, asal kita mau ngelihatnya dari sisi yang positif. Kalau masih susah bersyukur, coba inget-inget lagi deh: ada banyak orang yang mungkin pengen banget ada di posisi kita, tapi nggak pernah dapet kesempatan yang sama. Jadi, jangan sampai anugerah itu malah jadi beban. Ubah jadi motivasi untuk terus maju dan lebih dekat sama Allah.
Selain itu, penting banget buat ngejaga diri dari pengaruh negatif. Kalau lingkungan mulai bikin kita lupa bersyukur atau mempertanyakan hal-hal yang udah jelas manfaatnya, itu saatnya kita ngaca. Kayak, “Eh, aku masih on track nggak nih?” Dan kalau lagi down, ingat aja: hafalan al-Quran, atau kebaikan apapun yang kita punya, itu bukan buat pamer ke orang lain, tapi investasi buat diri sendiri. Tabungan pahala.
Jadi, berkawan dengan al-Quran bikin selamat. Besyukurlah bila sudah terbiasa membaca al-Quran, apalagi sampe bisa menghafalnya, dan lebih keren lagi dengan mengamalkannya. Itu sebabnya, jaga pergaulan agar tetap berada dalam kebaikan bersama Islam. Dekat dengan al-Quran, taat kepada Allah Ta’ala. Yuk bisa, yuk! [O. Solihin | IG @osolihin]