gaulislam edisi 302/tahun ke-6 (27 Ramadhan 1434 H/ 5 Agustus 2013)
Sobat gaulislam, tanpa terasa kita telah berada di penghujung bulan penuh berkah ini, bulan Ramadhan. Ya, tak terasa memang. Dulu, begitu menapaki hari pertama Ramadhan, mungkin sempat terbersit di benak bahwa waktu satu bulan pasti akan terasa begitu lama. Apalagi dalam kondisi lapar dan haus.
Namun kini, ketika Ramadhan telah tinggal hitungan hari (saat buletin kesayangan kamu ini terbit, sudah hari ke-27 Ramadhan, bertepatan dengan 5 Agustus 2013), waktu satu bulan ternyata tak selama yang kita bayangkan sebelumnya. Tak terasa. Tahu-tahu sudah harus berpisah dengan bulan yang penuh dengan keberkahan ini. Ternyata, sebutan waktu yang lama, satu bulan, satu tahun, hanya terasa bagaikan satu hari ketika kita telah menapaki ujungnya.
Kini Ramadhan telah bersiap meninggalkan kita semua. Bagi para pecinta Ramadhan, berpisah dengan bulan ini ibarat berpisah dengan seseorang yang begitu dicinta. Perasaan sedih dan tidak rela untuk ditinggalkan pastilah berkecamuk di dada. Bukan hanya karena perpisahan semata perasaan sedih itu datang, tapi juga karena kekhawatiran bahwa jatah umur ini tidak akan sampai ke Ramadhan berikutnya. Jika malaikat maut datang sebelum Ramadhan tahun depan, sudah dapat dipastikan bahwa Ramadhan kali ini adalah Ramadhan terakhir yang kita jumpai. Huft!
Tapi tenanglah Bro en Sis rahimakumullah, kesedihan itu akan segera mendapat penawarnya. Bagi sobat muda yang benar-benar memenuhi Ramadhan kali ini dengan perjuangan menahan hawa nafsu, melakukan sebanyak mungkin amal shalih, juga peningkatan keimanan, hampir tiba masanya bagi sobat muda untuk bersuka cita. Yup, hari berbuka (fithr) alias Idul Fithri. Oya, meluruskan pendapat yang selama ini berkembang bahwa Idul Fitri sering diidentikan dengan kembali suci. Itu salah besar Bro en Sis, karena secara bahasa penulisannya berarti berbuka, buka fitrah (suci).
Sobat muda muslim, sambutlah Idul Fitri dengan segenap suka cita. Dengan segenap rona keceriaan di wajah. Inilah hari raya bagi umat Islam sedunia. Yang itu artinya Idul Fithri juga hari raya bagi kita para remaja muslim. Ingat kawan, Hari Raya Idul Fithri tidak hanya dirayakan di tingkat negara apalagi hanya di lingkup RT/RW, tapi seluruh dunia merayakannya.
Wah, kalau sudah mendunia seperti itu, bagaimana tidak bangga coba? Bagaimana tidak seru? Maka tak ada lagi anggapan bahwa Hari Raya Idul Fithri adalah hari yang biasa-biasa saja alias tak ada beda dengan hari-hari yang lain. Tak ada lagi anggapan bahwa Idul Fithri itu lebih rendah derajatnya dari Valentine’s Day, perayaan Natal dan tahun baru, dan hari-hari tidak bermutu lainnya.
Memori Ramadhan
Sobat muda pecinta gaulislam, kamu pasti pernah mendengar penjelasan dari para dai bahwa di bulan Ramadhan, iblis dan bala tentaranya dibelenggu. Tak dibiarkan bebas ‘keluyuran’ seperti biasanya. Makhluk jahat ini pun tak akan leluasa lagi menjalankan aksinya menambah pengikut guna menemaninya ke neraka kelak.
Maka jangan heran jika Ramadhan tiba, dorongan atau energi untuk melakukan kebaikan terasa lebih besar jika dibandingkan di bulan-bulan yang lain. Semangat untuk melaksanakan ibadah juga terasa meningkat. Akibatnya, di samping shalat wajib, kita juga makin semangat mengerjakan shalat-shalat sunnah. Shalat Dhuha di pagi hari terasa ringan. Shalat-shalat malam seperti tarawih, tahajjud, dan witir juga tidak berat untuk kita kerjakan. Di bulan Ramahan biasanya kita juga lebih semangat membaca al-Quran. Jika bisanya sehari hanya satu lembar, maka di kala Ramadhan, minimalnya biasanya satu juz.
Belum lagi semangat untuk bersedekah. Umat Islam biasanya lebih ‘royal’ bersedekah ketika Ramadhan. Kotak-kotak amal di masjid pada penuh. Acara buka puasa di masjid juga biasanya semakin meriah dengan aneka makanan dan minuman yang kadang tak hanya banyak tapi juga enak-enak. Para peminta di jalan-jalan juga lebih sering tersenyum karena lembaran rupiah yang mereka terima berlipat kali jumlahnya.
Lalu muncul pertanyaan. Kalau iblis dan bala tentaranya dibelenggu, kenapa masih saja ada manusia yang gemar melakukan dosa? Masih sibuk dengan judinya, masih sayang membuang mirasnya, masih bangga dengan hubungan tanpa status dengan pacarnya, dan berbagai kata ‘masih’ lainnya. Jawabannya sih gampang saja. Lihatlah, semisal pemain bola. Mereka ahli betul mengendalikan bola. Keahlian ini tidak serta merta ada begitu saja. Ada pelatih yang mendampingi mereka meningkatkan keahliannya. Dan ketika mereka sudah ahli, ketidak hadiran pelatih sudah tidak menjadi masalah. Mereka sudah dapat bermain bola sendiri dengan kualitas mengagumkan.
Begitu pula dengan orang-orang yang dipenuhi dengan kata ‘masih’ di atas. Mereka sudah begitu terlatih. Terlatih apa? Terlatih melakukan dosa. Sehingga meskipun iblis ‘si pelatih dosa’ pergi untuk sementara waktu, mereka masih mau melakukan dosa yang dilatihkan iblis dengan senang hati. Jadilah perilaku mereka benar-benar tak ada beda, antara sebelum atau setelah memasuki bulan Ramadhan.
Tantangan setelah Ramadhan
Nah, buat sobat muda yang selama sebulan ini sudah sukses menempa dan memperbaiki diri, ada tantangan baru nih buat kalian. Wah, tantangan apaan tuh? Kalian tahu kan bahwa iblis dan bala tentaranya dibelenggu hanya pada bulan Ramadhan. Itu artinya, setelah Ramadhan nanti, ‘si pelatih dosa’ ini akan keluyuran lagi. Akan gencar lagi menebarkan bisikan-bisikan berbahayanya.
Nah, mampu tidak sobat muda menghadapi kembalinya si iblis? Mampu tidak kalian tetap mempertahankan semangat beribadah yang tiba-tiba menurun drastis? Shalat Dhuha jadi malas, shalat malam jadi ketiduran melulu, baca al-Quran lima ayat saja sudah ngantuk, serta sedekah jadi ogah. Mampu tidak menghadapi semua itu?
Itu sebabnya, ada sesuatu yang juga ingin saya sampaikan, sobat. Saya ingin menyampaikan bahwasanya remaja muslim itu ibarat seorang petarung. Lihatlah seorang petarung. Ia kuat, cepat, dan terlatih merespon sekecil apa pun tindakan musuh. Nah, lalu siapa musuh seorang remaja muslim? Musuh sejati dari seorang muslim adalah iblis dan bala tentaranya. Dan seorang petarung sejati pantang membuat musuhnya tertawa lebar penuh kemenangan.
Remaja muslim sejati pantang membiarkan iblis tertawa dengan keberhasilan mereka merayumu kembali melakukan perbuatan-perbuatan dosa. Seorang muslim sejati, apa pun yang dilakukan iblis, pantang baginya hanya semangat membaca al-Quran di bulan Ramadhan saja. Pantang baginya menjadi dermawan hanya di bulan Ramadhan. Seorang muslim sejati juga pantang semangat menjalankan ibadah-ibadah sunnah hanya di bulan Ramadhan.
Maka sebagai remaja muslim sejati, tunjukkanlah bahwa sobat muda kebal atas berbagai manuver yang dilakukan iblis dan bala tentaranya. Apa pun yang iblis dan bala tentaranya lakukan dan bisikkan, tetaplah menjadi petarung sejati bagi makhluk-makhluk terkutuk ini. Tetaplah menjadi petarung sejati hingga berjumpa kembali dengan Ramadhan. Atau jika seandainya takdir berkata lain, tetaplah menjadi petarung sejati meskipun ajal datang mendahului Ramadhan tahun depan. Setidaknya, mati terhormat di jalan Allah itu sangat sangat jauh lebih baik daripada mati di tengah gelimang dosa.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, lebaran identik dengan liburan. Dan liburan di saat lebaran identik dengan mudik. Mudik, atau kembali ke udik adalah kegiatan pulang kampung guna berkumpul dengan keluarga di hari raya.
Ini sungguh tradisi yang bagus. Mengingat dengan pulang ke kampung halaman, kita akan bertemu dengan sanak keluarga yang mungkin sudah tidak lama berjumpa. Sebab, biasanya momen lebaran inilah yang sampai saat ini begitu mudah menyatukan keluarga yang terserak selama ini. Di dalamnya ada aktivitas silaturrahim dan saling maaf memaafkan. Ini tentu sejalan dengan perintah Allah swt untuk senantiasa menjaga hubungan silaturrahim. Allah swt berfirman, yang artinya:“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS an-Nisa [4]: 1)
Maka pergunakan momen mudik lebaran sebaik-baiknya untuk mengunjungi sebanyak-banyaknya keluarga dan handai taulan. Namun, perlu diperhatikan bahwasanya perintah Allah yang tercakup dalam ayat di atas tidak hanya berlaku di saat lebaran semata. Memelihara hubungan silaturrahim bisa dilakukan kapan saja, tak harus menunggu lebaran. Hari raya hanyalah momen yang tepat (setidaknya untuk ukuran tradisi di Indonesia) untuk berkumpul dan saling maaf memaafkan.
Meskipun lebaran identik dengan mudik dan baju baru, namun sobat muda tak boleh lengah nih. Ibadah dan amal shalih tetaplah prioritas. Lihatlah masjid-masjid. Semakin mendekati hari H lebaran, barisan jamaah shalat semakin maju ke depan. Semakin sedikit orang yang shalat di masjid. Semakin sedikit pula aktivitas ibadah dan amal shaleh. Semangat ibadah dan amal shaleh tergantikan dengan uforia menyambut lebaran. Sungguh mengecewakan.
Tak lupa, di penghujung tulisan ini saya pribadi beserta segenap keluarga besar Buletin gaulislam mengucapkan, “Selamat Hari Raya Idul Fithri 1434 H, mohon maaf atas segala salah. Semoga Allah menerima shaum kita dan amal shalih lainnya di bulan Ramadhan”. Oya, kita mungkin saja bersedih karena sebentar lagi Ramadhan meninggalkan kita. Namun, sebenarnya akan lebih bersedih lagi ketika kita tak juga berubah menjadi baik setelah Ramadhan berlalu. So, jadilah orang-orang yang bertakwa, Sobat! [Farid Ab | faridmedia.blogspot.com]