Monday, 25 November 2024, 07:33

gaulislam edisi 306/tahun ke-6 (26 Syawal 1434 H/ 2 September 2013)
Beberapa pekan ke belakang mencuat kasus ‘persete-ruan’ Ustadz Solmed (begitu masyarakat dan media meng-gelarinya), dengan panitia sebuah acara di Hongkong yang hendak mengundangnya berceramah di sana. Saya nggak perlu menjelaskan dengan detil karena saya menduga kamu juga tahu soal ini ya. Jadi ini sebagai cantolan dalam artikel gaulislam edisi 306 ini.

Hmm… dulu di tahun 2002 (11 tahun yang lalu berarti ya? Kamu yang sekarang kelas 1 SMP kayaknya masih bayi waktu itu hehehe….), saya dan seorang teman pernah membuat buku yang judulnya “Jangan Jadi Seleb”. Well, itu isinya memang menyoroti dunia seleb dalam format, eh, dalam dunia entertainment alias dunia hiburan. Walaupun, secara bahasa, yakni menurut kamus, kata “selebriti” artinya orang yang terkenal atau masyhur. Dalam KBBI (Kamus Besa Bahasa Indonesia memang ada penekanan, yakni tentang artis). Tetapi dalam kamus bahasa Inggris, semisal kalo kita mau coba bersusah payah nyari, bisa ketemu juga tuh pengertian dari istilah seleb, sobat. Menu-rut Webster’s Revised Unabridged Dictionary (1913), seleb atau dalam bahasa negaranya Wayne Rooney ditulis celebrity, adalah keadaan atau kondisi yang menjadikan-nya ternama, populer (fame), masyhur or ngetop (renown). Atau bisa juga berarti orang yang mendapatkan penghargaan or bintang jasa.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, menurut istilah dari WordNet, selebriti or celebrity berarti orang yang dikenal secara luas oleh orang lain (a widely known person), orang beken (famous person), juga bisa berarti keadaan atau kualitas yang membuatnya dihormati, dihargai, dan disambut dengan gembira.

Oya, ada lagi nih definisi dari istilah seleb. Menurut situs dictionary.com, celebrity bisa berarti pahlawan (hero), seorang bintang (luminary), nama, orang terkemuka (notable), tokoh (personage). Menurut kamus ini, biasanya ini dinisbahkan (disandarkan) untuk menggambarkan orang yang dikenal luas. Misalnya, di bidang sosial, pahlawan dalam iptek, bintang film/teater (theatrical luminary), nama besar dalam dunia olahraga (a big name in sports), orang yang terkenal di dunia panggung (konser), bahkan bisa ditujukan untuk orang yang kesohor di bidang filsafat.

Sekadar tambahan, istilah celebrity muncul pertama kali, dan dimasukkan sebagai entry dalam kosakata orang Inggris pada abad ke 14 M, predikatnya sebagai kata benda (lihat yourdictionary.com).

Nah, kalo membaca penjelasan dari berbagai kamus tersebut, kayaknya cocok deh istilah seleb dengan faktanya sekarang ini. Intinya, bahwa selebriti atau cukup kita sebut seleb, adalah “jabatan” untuk orang-orang yang ngetop, beken, kesohor. Pokoknya, segala hal yang berhubungan dengan popularitas. Jadi sebetulnya, ilmuwan yang ngetop or masyhur bisa juga disebut seleb. Dokter, insiyur, or siapa saja yang dikenal luas karena keahliannya, bisa disebut dan digolongkan kepada seleb.

Jadi sebetulnya, definisi tentang seleb ini amat luas kalo kita konsisten dengan definisi yang diberikan oleh penyusun kamus. Boleh jadi malah bisa menyangkut lintas batas profesi. Apapun profesinya, asalkan doi emang ngetop bin tenar di bidangnya, maka ia secara penger-tian menurut kamus sudah bisa disebut sebagai kalangan seleb. Begitu, Bro en Sis.

 

Seleb, di mata masyarakat

Sobat gaulislam, lain di kamus, lain pula di mata masyarakat. Istilah selebriti di masyarakat lekat dengan para pesohor di dunia hiburan. Well, meski dalam kamus istilah seleb itu identik dengan mereka yang terkenal di segala bidang. Artinya, siapapun dan apapun pekerjaannya, asal doi kesohor bin tenar, maka berhak mendapatkan cap sebagai kaum seleb. Tapi anehnya, di masyarakat kita udah kadung menempelkan label seleb untuk para aktor, aktris, musisi, bintang olahraga dan sejenis-nya. Diakui apa nggak, yang pasti cap itu udah ‘turun-menurun’ akrab di lidah masyarakat pada umumnya. Bahkan cenderung mengarah bahwa yang namanya seleb selalu berhubungan dengan mereka yang jadi artis film or sinetron, dan mereka yang ngetop di dunia olahraga. Untuk para ilmuwan, dalam pandangan masyarakat tidak disebut sebagai kaum seleb. Kalo pun maksain nyebut, kayaknya ganjil banget deh. Soalnya emang belum dengar istilah seleb untuk para dosen, dokter, atau ilmuwan lainnya. Eh, kalo pun sekarang muncul istilah “Ustadz Seleb” tetapi sepertinya bukan karena kepopulerannya sebagai ustadz (penceramah), tetapi masyarakat mengidentikkannya dengan gaya hidup artis.

Jadi boleh dibilang arti dari istilah seleb makin sempit, yakni cuma boleh dan berhak disandang oleh mereka yang ngendon di dunia akting, olahraga, dan olah vokal.

Sobat muda muslim, terlepas dari siapa yang berhak masuk kategori, jadi kita sepakati aja dengan memberi batas istilah tersebut dengan mengikuti pemahaman masyarakat pada umumnya tentang seleb, yakni para artis. Baik selebriti film, sinetron, model, or di kancah dunia olahraga. Sebab, memang itulah yang berkembang saat ini. Setiap diajukan perta-nyaan, “siapa sih seleb?” dengan reflek masya-rakat langsung menunjuk kaum artis. Nah, lho!

 

Siapa yang berhak disebut ustadz?

Sobat gaulislam, kalo secara bahasa sih, ustadz (ustaz) itu artinya guru. Lalu apa artinya kiyai, ulama, mufti, penceramah dan sejenisnya? Menurut Ustadz Ahmad Sarwat, Lc, di situs eramuslim.com (13 Desember 2006), dengan jelas membeberkan perbedaan antara ulama, kiyai, ustadz, dan penceramah. Saya kutip kesimpulannya dengan beberapa ‘modifikasi’ dari saya sebagai berikut:

Istilah ulama. Yup, pengertian ulama dalam istilah fiqih memang sangat spesifik, sehingga penggunaannya tidak boleh pada sembarang orang. Semua syaratnya jelas dan spesifik serta disetujui oleh umat Islam. Paling tidak, dia menguasai ilmu-ilmu tertentu, seperti ilmu al-Quran, ilmu hadits, ilmu ifiqih, ushul fiqih,qawaid fiqhiyah serta menguasai dalil-dalil hukum baik dari Quran dan sunnah. Juga mengerti masalah dalil nasikh mansukh, dalil ‘amm dan khash, dalil mujmal dan mubayyan dan lainnya.

Bro en Sis, kunci dari semua itu adalah penguasaan yang cukup tentang bahasa Arab dan ilmu-ilmunya. Seperti masalah nahwu, sharf, balaghah, bayan dan lainnya. Ditambah dengan satu lagi yaitu ilmu mantiq atau ilmu logika ilmiyah yang juga sangat penting.

Hal lain yang juga tidak boleh dilupakan adalah pengetahuan dan wawasan dalam masalah syariah, misalnya mengetahui fiqih-fiqih yang sudah berkembang dalam berbagai mazhab yang ada.

Semua itu merupakan syarat mutlak bagi seorang ulama, agar mampu mengistimbath hukum dari al-Quran dan as-Sunnah. Namun dengan definisi ini, rasa-rasanya wajar kalo hanya sedikit orang yang bisa mencapai level ini. Berat juga ya Bro en Sis. Berarti kita nggak boleh sembarangan juga ngasih sebutan ini kalo kualitas ilmunya nggak setara yang disebutin di atas. Bisa berabe dah urusannya.

Bagaimana dengan istilah kiyai? Lain halnya dengan sebutan kiyai, yang bukan istilah baku dari agama Islam. Panggilan kiyai bersifat sangat lokal, mungkin hanya di pulau Jawa bahkan hanya Jawa Tengah dan Timur saja. Di Jawa Barat orang menggunakan istilah Ajengan.

Biasanya istilah kiyai juga disematkan kepada orang yang dituakan, bukan hanya dalam masalah agama, tetapi juga dalam masalah lainnya. Bahkan benda-benda tua peninggalan sejarah pun sering disebut dengan panggilan kiyai.

Melihat realita ini, sepertinya panggilan kiayi memang tidak selalu mencerminkan tokoh agama, apalagi ulama.

Sedangkan panggilan ustadz, biasanya disematkan kepada orang yang mengajar agama. Artinya secara bebas adalah guru agama, pada semua levelnya. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa bahkan kakek dan nenek. Namun hal itu lebih berlaku buat kita di Indonesia ini saja.

Istilah ini konon walau ada dalam bahasa Arab, namun bukan asli dari bahasa Arab. Di negeri Arab sendiri, istilah ustadz punya kedudukan sangat tinggi. Hanya para doktor (S-3) yang sudah mencapai gelar profesor saja yang berhak diberi gelar al-Ustadz. Kira-kira artinya memang profesor di bidang ilmu agama. Jadi istilah ustadz ini lebih merupakan istilah yang digunakan di dunia kampus di beberapa negeri Arab, ketimbang sekedar guru agama biasa. Nah, catet tuh Bro en Sis.

Berikutnya adalah penceramah. Menurut Ustadz Ahmad Sarwat, mungkin lebih tepat untuk disebut dengan profesinya, yaitu pence-ramah. Karena kerjanya memang berceramah ke sana ke mari. Sedangkan untuk disebut sebagai ulama atau ustadz, kalau kita mengacu kepada penggunaan istilah yang baku dan formal, rasanya memang kurang tepat.

Ketika berceramah, memang boleh siapa saja dan juga bisa bicara apa saja. Dari masalah-masalah yang perlu sampai yang tidak perlu. Dengan merujuk langsung kepada literatur hingga yang hanya ngelantur–yang penting memenuhi selera penonton. Biasanya ceramah mereka selain lucu, juga komunikatif serta seringkali mengangkat masalah yang aktual. Sehingga yang mendengarkannya betah duduk berjam-jam. Itu sisi positifnya.

Positif yang lainnya penceramah model begini adalah mampu merekrut massa yang lumayan banyak. Mungkin karena juga dibantu dengan media yang mengorbitkannya.

Bro en Sis rahimakumullah, ‘penggila’ gaulislam, namun lepas dari keutamaan dan kelamahannya, para penceramah ini sudah punya banyak jasa buat umat Islam di negeri ini. Banyak orang yang tadinya kurang memahami agama, kemudian menjadi lebih memahami. Mereka yang tadinya kurang suka dengan Islam, berubah jadi lebih suka. Semua itu tentu saja tidak bisa kita nafikan, sekecil apa pun peran mereka.

Oke deh, dari penjelasan ini semoga kamu bisa paham ya dengan beberapa pengetahuan seputar ini yang udah dijelaskan. Lalu bagaimana dengan “Ustadz Seleb”? Yup, semoga tidak ada lagi penceramah yang gaya hidupnya seperti selebriti dunia hiburan. Selain doyan masang tarif (yang mahal, pula) setiap kali berceramah, juga sering pamer harta dan gaya hidup mirip artis. Aduh, nggak asik banget dah! [solihin | Twitter @osolihin]