Monday, 25 November 2024, 07:51

gaulislam edisi 323/tahun ke-7 (27 Safar 1435 H/ 30 Desember 2013)

Saat buletin kesayanganmu ini terbit, masih di tanggal 30 Desember 2013. Udah di penghujung tahun masehi. Nuansa perayaan tahun baru sudah mulai terasa. Tradisi tahunan ini selalu menjadi perhatian banyak kalangan, termasuk remaja. Sebenarnya pergantian waktu itu sudah biasa kita alami, tetapi manusia kadang suka menggunakan ukuran waktu tertentu untuk membuatnya menjadi spesial. Baik spesial harinya, maupun spesial dalam merayakannya. Momen pergantian tahun sama saja dengan momen pergantian waktu setiap hari. Adanya hari Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu (ini semua serapan dari kata bahasa Arab) adalah nama-nama hari yang selalu kita lewatkan sepanjang waktu. Jadi sebenarnya tak ada yang begitu spesial dalam urusan ini (dirayakan). Namun dalam pandangan Islam, waktu itu sangat spesial dilihat dari pemanfaatannya dan nilai ibadah. Orang yang tak pandai memanfaatkan waktu, bakalan rugi di kemudian hari karena jatah umurnya kian berkurang. Iya dong. Rugi banget jika selama hidup kita hanya diisi dengan maksiat sampai akhir hayat. Padahal, untuk bekal di akhirat kita membutuhkan amal shalih.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Tema untuk mengkritisi tahun baru seperti ini sudah berulang kali dibahas. Insya Allah para pecinta dakwah nggak bakalan bosan ngingetin manusia yang nggak bosan berbuat maksiat. Selama hayat masih dikandung badan, dakwah akan terus digelorakan. Jika bukan karena ingin menggapai ridho Allah Ta’ala untuk menyelamatkan manusia lainnya dari keburukan dan kemungkaran, untuk apa capek-capek ngingetin manusia yang lupa diri dan bangga berbuat maksiat. Jadi, jika gaulislam kini mengangkat tema ini lagi—dan saya yakin banyak kaum muslimin yang paham juga mengangkat tema sejenis akhir-akhir ini—maka itu bagian dari kepedulian dan cinta kepada kamu semua. Jangankan bagi kamu yang masih polos dan suka ikut-ikutan dalam berbuat, bagi mereka yang udah mulai suka ngaji pun kadang kepeleset juga dalam urusan ini. Itu sebabnya, tetap harus hati-hati bin waspada.

Mengapa tak boleh rayakan tahun baru?

Sebagai muslim, kita wajib menjadikan akidah dan syariat Islam sebagai ukuran dan rujukan dalam setiap pendapat dan perbuatan kita sehari-hari. Muslim yang beriman tentunya memiliki perhatian khusus terhadap Islam. Mungkin di antara kamu ada yang bilang, “Kan cuma merayakan biasa aja sama seperti acara lainnya, apanya yang salah?” Ya, alasan itu bisa dijawab begini: “Kan cuma pergantian waktu seperti pada umumnya, kenapa harus dirayakan—bahkan dengan hal-hal yang bernuansa maksiat. Jelas itu kesalahannya.”

Sobat gaulislam, perayaan tahun baru masehi bukanlah warisan ajaran Islam. Selama ini, kaum muslimin generasi terdahulu hingga sekarang yang paham tentang Islam hanya mengetahui dan meyakini bahwa hari raya dalam Islam hanya dua, yakni ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Anas bin Malik mengatakan, “Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, “Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha” (HR an-Nasa’i No. 1556)

Nah, karena perayaan tahun baru bukanlah ajaran Islam, maka kaum muslimin yang merayakannya dianggap tasyabbuh (menyerupai atau meniru-niru orang kafir) dalam budaya mereka. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan (termasuk budaya dan pendapat-pendapat mereka tentang kehidupan). Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil al-Quran, as-Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).

Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob, pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR Muslim, No. 2669)

Nah, di sisi lain, perayaan tahun baru juga bermasalah. Coba aja lihat deh, mereka yang merayakan tahun baru itu rela begadang, menyia-nyiakan waktu, dan bahkan rawan perbuatan maksiat lainnya seperti perzinaan. Orang yang merayakan tahun baru tak sekadar yang turun ke jalan lalu meniup terompet dan menyulut kembang api, tetapi ada juga yang demi merayakan tahun baru malah berzina dengan pacarnya di tempat-tempat tertentu. Seolah, tahun baru menjadi momen spesial bagi mereka. Tetapi sayangnya, yang dianggap spesial itu justru dalam berbuat maksiat.

 

Manfaatkan waktumu

Waktu memang ibarat pedang. Setiap detik ia memenggal kesempatan kita, dengan tak kenal kompromi. Kejam, kita rasa memang demikian. Tapi alangkah lebih kejamnya lagi apabila kita tidak memanfaatkannya untuk kebaikan. Itu namanya kita menzalimi diri kita sendiri. Sebab, ini persoalan bagaimana kita mengatur waktu yang terbatas yang diberikan oleh Allah Swt. Jangan sampai kita gunakan untuk hal-hal yang nggak ada manfaatnya.

Terbatas? Memang demikian faktanya, kawan. Andai saja usia kita di dunia ini 60 tahun. Maka itulah batas hidup kita di dunia ini. Ukuran panjang dan pendek, adalah hitungan logika kita, tapi tetap pada hakikatnya itu terbatas. Jadi, jangan sia-siakan waktumu.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Sebagai manusia, kita emang terbatas dan nggak sempurna. Itu sebabnya, kita jangan sampe melupakan siapa kita dan misi keberadaan kita di dunia ini. Ini wajib kita pahami betul, sobat. Kalau nggak? Wah, bisa kacau-beliau tuh. Coba aja perhatiin orang yang nggak sadar siapa dirinya dan misi adanya dia dunia ini, hidupnya suka semau gue. Seakan hidup nggak kenal waktu. Bahkan bagi orang yang kehidupannya diberikan kebahagiaan berlebih oleh Allah, suka lupa dan merasa ia akan hidup selamanya di dunia ini. Apalagi bila kita menjalaninya dengan serba mudah dan indah. Nikmat memang. Namun, sebetulnya kita sedang digiring  ke arah tipu daya yang bakal menyesatkan kita bila kita tak segera menyadarinya. Rasulullah saw bersabda: “Ada dua nikmat, dimana manusia banyak tertipu di dalamnya; kesehatan dan kesempatan.” (HR Bukhari)

Benar, bila badan kita sehat, segar, dan bugar, bawaannya seneng dan merasa bahwa kita nggak bakalan sakit. Kalo lagi sehat nih, diajak jalan kemana aja kita antusias (termasuk merayakan tahun baru). Makan apa aja kita paling duluan ngambil dan mungkin paling gembul. Waktu kita sehat, kita lupa bahwa kita juga bakal sakit. Nggak heran kalo kemudian kita melakukan apa saja sesuka kita, termasuk yang deket-deket dengan dosa. Kesehatan memang nikmat yang bisa menipu kita. Melupakan kita dari aktivitas yang seharusnya kita lakukan.

Begitu pula dengan kesempatan. Kalo lagi ada waktu luang, bawaan kita pengennya nyantai aja. Coba, kalo tiba musim liburan, serta merta kita bersorak kegirangan. Bukan karena kita bisa mengerjakan aktivitas yang nggak bisa dilakukan saat kita sekolah, tapi karena itu adalah semata-mata waktu luang. Kita menganggap bahwa itulah saatnya bersantai dan melepaskan beban penderitaan selama belajar di sekolah.

Ya, kesempatan juga bisa menipu kita. Padahal, waktu luang itu bisa kita gunakan utuk kegiatan yang bermanfaat dan berpahala. Namun nyatanya sedikit banget yang ngeh. Udah kepepet aja, baru nyesel. Ketika masih jauh dengan waktu ujian, kita nyantai banget. Eh, begitu hari “H”-nya, kita langsung kelabakan nyari bahan belajar untuk ujian. Soalnya selama itu nggak pernah nyatet pelajaran. Kalo begitu, buat sekolah ya? Dan yang pasti, banyak waktu terbuang percuma. Jadi, sayangi dirimu kawan.

Sobat gaulislam, Dr Yusuf Qardhawi dalam kitabnya, al-Waktu fii Hayaatil Muslim berwejang, bila orang melewati satu hari dalam hidupnya tanpa ada suatu hak yang ia tunaikan atau suatu fardhu yang ia lakukan, atau kemuliaan yang ia wariskan, atau pujian yang ia hasilkan, atau kebaikan yang ia tanamkan, atau ilmu yang ia dapatkan, maka sungguh-sungguh ia telah menganiaya dirinya sendiri.

Belum lagi bahaya yang bakal kita terima saat kita menyia-nyiakan waktu. Paling nggak ada tiga akibat; kekosongan akal, kekosongan hati, dan kekosongan jiwa.

Orang yang nggak merasa bahwa waktu itu begitu berharga dan bernilai, maka biasanya orang tersebut malas untuk belajar. Kalo udah malas belajar, alamat akal kita kekurangan pasokan ilmu. Ujungnya kita bisa jadi nggak mampu memfungsikan akal kita untuk mengetahui Rabb kita, untuk mengetahui siapa kita, keberadaan kita dan mau ngapain kita di dunia. Kalo begitu, kita nggak ada bedanya sama “teman-teman” di Ragunan. Ih, amit-amit ya? Jangan sampe deh. Firman Allah Swt.: “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun.” (QS al-Anfâl [8]: 22)

Begitu pentingnya akal ini, hingga Umar bin Khattab radhiallaahu ‘anhu pernah mengatakan, “Pokok dasar seseorang adalah akalnya, keluhurannya adalah agamanya, dan harga dirinya adalah akhlaknya.” Tuh, catet ya!

Ali bin Abi Thalib ra juga pernah berwasiat kepada putranya, Hasan dan Husein, sesaat sebelum meninggal dunia: “Sesung­guhnya kekayaan yang paling tinggi nilainya adalah akal pikiran. Kemelaratan yang paling parah adalah kebodohan.”

Yang kedua tentang hati. Kata Imam al-Ghazaliy, hati itu ibarat cermin. Kalo nggak pernah dibersihkan, maka akan berkarat oleh debu. Itu sebabnya, bila kita tidak memanfaatkan waktu untuk mengingat Allah, untuk hadir di majelis-majelis dzikir, hati kita akan kosong. Ujungnya, kita mudah resah, putus asa, frustrasi dan sejenisnya.

Menyia-nyiakan waktu juga bisa berakibat kosongnya jiwa kita. Sayyid Qutb memberi gambaran: “Itulah jiwa yang kosong, yang tidak pernah mengenal makna serius. Ia bersikap santai meski menghadapi bahaya yang mengintai. Ia bercanda ria di saat membutuhkan keseriusan dan senantiasa meremehkan permasalahan yang suci dan sakral. Jiwa yang kosong dari sikap yang serius dan penuh kesucian, akan meremehkan setiap persoalan yang menyelimutinya, mengalami kegersangan jiwa dan dekadensi moral.”

Tuh, buktinya sekarang. Ketika banyak orang ngasih nasihat agar jangan merayakan tahun baru, ternyata banyak juga yang tak mempedulikannya. Tak lagi dianggap sebagai bentuk peringatan, malah dilecehkan.

Kalo kamu mulai menyia-nyiakan waktumu, maka itu artinya kamu sudah mengarahkan langkah kamu ke dalam jurang kehancuran. Kosong akal, kosong hati, dan kosong jiwa. Kalo udah begitu, alamat kehidupan ini terasa garing dan nggak bermakna. Padahal, kehidupan di dunia ini cuma sesaat dan amat semu. Jadi, mulai sekarang dewasalah Bro en Sis. -Nggak usah ikut-ikutan merayakan tahun baru, nggak ada manfaatnya. Sebaliknya hal itu justru membawa mafsadat (kerusakan) bagi akidah kita, juga kepribadian kita. Hindari dan jauhi pesta jahiliyah tersebut. Ok? Sip! [solihin | Twitter @osolihin]