Friday, 22 November 2024, 09:38

gaulislam edisi 337/tahun ke-7 (7 Jumadil Akhir 1435 H/ 7 April 2014)

 

Wah, gaulislam bahas soal politik? Untuk remaja? Widiw, bakalan bikin panas nih, apalagi menjelang Pemilu 9 April 2014 ini. Ah, kamu jangan mendramatisir sobat. Nggak usah lebay gitu lho. Pembahasan ini jangan dibuat lebay, biasa aja lagi. Kamu juga jangan merasa bahwa masalah politik adalah masalah yang berat dan bikin mumet sampe kepala pusing tujuh keliling lapangan sepakbola standar internasional. Sebab, ini seharusnya sudah menjadi masalah sehari-hari, Bro en Sis. Sama sekali bukan masalah luar biasa hanya gara-gara dibahas untuk remaja. Politik itu asik, sobat gaulislam!

Saya pernah bikin buku dengan judulnya “Politik Itu Nggak Kejam”, tetapi ketika ditawarkan ke penerbit dan pihak penerbit tertarik untuk menerbitkannya ternyata diganti jadi lebih soft alias halus, yakni “Muda Luar Biasa” dengan tagline: melek dunia, paham agama. Saya tak mempermasalahkan diganti judulnya karena isinya tak ikut digerus. Walhasil itu buku judulnya dan covernya memang menarik, tetapi isinya jauh lebih menarik dari sekadar tampilan cover dan judulnya. Oppss.. nyombong banget ya? Hehehe… nggak. Sekadar sedikit percaya diri. Ehm…

Lha, lalu apa hubungannya dengan pembahasan di buletin gaulislam edisin 337 yang terbit 7 April 2014 ini? Ada, Bro en Sis. Ada. Hubungannya adalah, sama-sama membahas tentang politik dan seluk beluknya serta bertaburan fakta di dalamnya. Namun, di buletin ini kita akan bahas secara singkat aja karena keterbatasan jumlah halaman. Meski demikian, in sya Allah tetap menarik kok. Suer!

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Ngomongin soal politik sudah biasa alias wajar-wajar saja. Apalagi saat ini menjelang pemilu, partai dan para caleg justru ngajak anak kecil dan remaja turut serta dalam kampanye mereka. Itu secara tidak langsung melibatkan mereka dalam proses politik yang dipahami dan dipraktekkan di negeri ini. Apakah itu pelanggaran? Kalo menurut undang-undang terkait di negeri ini hal itu sebagai salah satu bentuk pelanggaran. Tetapi aturan itu nggak pernah ditaati karena para pelaku umumnya beralasan sebagai penggalangan dukungan.

Nah, apakah para remaja atau anak-anak yang ikutan kampanye pemilu itu dikatakan udah terlibat aktivitas politik? Mungkin saja iya, mungkin juga tidak. Tetapi yang pasti, mereka bisa jalan-jalan gratis, joget bersama artis dangdut di panggung hiburan yang udah disediain, udah gitu dikasih uang plus kaos partai atau dapat jatah makan siang dari para caleg agar mereka bersedia jadi penggembira dengan tujuan akhir memilih partai dan calegnya. Maklumlah, sangat boleh jadi itu massa bayaran, kok. Bukan nuduh, tetapi itu kemungkinan besar. Liat aja fakta di sekeliling kita.

 

Politik “wani piro”

Demokrasi, sebagai sebuah sistem kehidupan, mempunyai mekanisme tersendiri dalam praktek pengaturan tata negara, termasuk siapa yang ingin berkuasa di negara yang menerapkan demokrasi. Salah satu yang mudah dipahami oleh masyarakat awam adalah pemilu. Pemilu adalah sarana untuk mengumpulkan suara dari rakyat yang diartikan sebagai dukungan terhadap calon pemimpin atau partai yang akan berkuasa. Partai yang memiliki suara terbanyak berhak untuk berkuasa. Caleg yang mengoleksi suara terbanyak, bakalan melenggang mulus jadi anggota legislatif semua tingkatan sesuai dengan pencalonannya (dari tingkat kota/kabupaten, provinsi hingga nasional).

Sobat gaulislam. Proses seperti ini justru rawan money politic alias politik uang, perbuatan yang sebenarnya dicela dalam demokrasi itu sendiri karena dianggap curang. Tetapi, sepertinya semua partai dan caleg tak menggubris larangan tersebut, malah berlomba mencari siapa saja yang mau memilih diri atau partainya meskipun harus merogoh kocek dalam-dalam. Akibatnya, masyarakat yang jadi sasaran empuk partai dan para caleg pun tak sedikit yang berulah dan melakukan tawar-menawar dukungan dengan barter fulus. Jadi deh, slogannya: wani piro?

Politik dalam demokrasi memang diciptakan seperti itu. Sistemnya yang memang membuat para politisi jadi edan kelakuannya. Nggak usah jauh-jauh mencari contoh kasusnya. Kamu bisa nengok kanan-kiri di daerahmu karena udah banyak fakta yang bisa dijadikan sebagai contoh. Untuk jadi caleg di tingkat kota atau kabupaten saja, konon kabarnya kudu nyediain dana minimal Rp 100 juta (kalo level nasional, yakni DPR RI ya bisa jadi lebih dari Rp 1 miliar). Itu belum termasuk biaya kampanye lho. Bisa jadi itu adalah setorannya ke partai yang dia ikuti. Jangan salah lho, daftar urutan caleg di sebuah partai untuk daerah pemilihan itu dijual kok. Kalo ada yang mendapat nomor urut 1 untuk daerah pemilihan tertentu di partai tertentu, pastinya dia udah bayar lebih ke partai tersebut. Maklumlah, kayak tukang dagang, kalo permintaan lagi tinggi terhadap suatu barang, sementara barang itu terbatas jumlahnya pasti bakalan dinaikkan harganya. Siapa yang bisa beli ya mereka yang punya uang lebih. Itu sudah aturan mainnya.

Nah, prinsip tukang dagang di atas bisa juga berlaku untuk para caleg. Maka, pantas saja banyak caleg di pemilu sebelumnya jadi pasien rumah sakit jiwa gara-gara tak tahan menderita akibat kegagalan dalam pemilihan caleg padahal sudah habis-habisan dalam tenaga, pikiran dan dana. Sebaliknya, bagi yang berhasil ternyata juga ikutan gila dalam bentuk lain: gila kekuasaan dan memanfaatkannya untuk mengembalikan modal yang udah dia semai. Nggak heran kalo kasus korupsi jadi kian merajalela di tingkat pejabat negara karena mereka berprinsip kembali modal, dan bila perlu meraih untung. Waduh!

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Kalo melihat fenomena seperti ini, apa yang ada di pikiran kamu? Bisa saja politik itu menjadi begitu kotor, jorok, jahat dan kejam. Kalo ukurannya dalam demokrasi, saya setuju. Tetapi jika diukur dengan standar Islam, akan lain ceritanya. Why? Simak subjudul di bawah ini sebagai jawabannya.

 

Politik dan Islam

Sebelum kamu ‘terjun’ ke dunia politik, harus tahu dulu apa itu politik. Itu sebabnya, di sinilah perlunya pendidikan. Pendidikan adalah segalanya. Orang bisa pinter, bisa ngerti dan bisa membuat segalanya lebih bermakna adalah karena pendidikan. Setiap pendidikan insya Allah akan mengantarkan kepada pencerahan berpikir. Kamu nggak bakalan kuper, o’on, dan juga nggak bakalan ditipu orang, atau malah diperalat oleh pihak yang nggak bertanggung jawab. Kamu bisa hebat dan canggih, tentu lewat pendidikan yang canggih pula, kalo pendidikannya aja menggunakan sistem yang nggak jelas, maka jangan harap kamu menjadi pinter dan cerdas.

Lalu apa arti politik dalam pandangan Islam? Dalam kitab Mafahim Siyasiyah dijelaskan bahwa politik adalah ri’ayatusy syu’unil ummah, alias pengaturan urusan umat. Adapaun pengaturan urusan umat tidak melulu urusan pemerintahan seperti sangkaan banyak orang, melainkan termasuk di dalamnya aspek ekonomi (iqtishadi), pidana (uqubat), sosial (ijtima’i), pendidikan (tarbiyah) dan lain-lain.

Oya, ngomongin soal politik, kamu juga kudu paham dengan istilah kesadaran politik menurut Islam. Remaja muslim yang sadar politik bukanlah mereka yang ikut jadi penggembira kampanye. Bukan pula remaja yang mudah diperalat oleh pihak tertentu demi meraih kepentingan yang memperalatnya. Nah, kesadaran politik menurut Islam itu syaratnya ada dua: Pertama, kesadaran tersebut harus bersifat mendunia alias global. Jadi kamu kudu ngeh juga masalah dan perkembangan saudara kita di belahan bumi lain dan harus menjadi agenda untuk dicarikan solusinya. Kedua, kesadaran politik tersebut harus memiliki sudut pandang yang khas, yakni Islam. Tentu saja karena selain Islam adalah salah.

Sobat gaulislam. Oya, supaya kamu bisa bicara dan terlibat aktif dalam politik dengan benar, ikuti tips ini. Pertama, politik harus kita pahami sebagai bagian ajaran Islam. Jadi seluruh kaum muslimin yang akil baligh wajib memahami hukum-hukum ini. Kedua, harus ditumbuhkan kesadaran politik pada diri kita. Caranya? Seperti yang udah dijelasin di awal, pokoknya harus mengembangkan wawasan dan pastikan sudut pandang penilaian terhadap peristiwa politik yang berkembang harus Islam. Supaya kita menjadi remaja kritis dan bertanggung jawab.

 

Lalu sekarang bagaimana?

Nggak usah bingung, sobat! Saat ini kondisinya memang tak ideal. Negara tidak menerapkan Islam sebagai ideologi, partai peserta pemilu juga banyak yang asasnya bukan Islam, partai yang ngaku berasas Islam juga malah jadi terbuka alias calegnya boleh dari agama selain Islam. Selain itu, partai yang ngakunya berbasis massa Islam juga malah jumlahnya lebih dari satu. Ini tentu kian membingungkan, termasuk bagi pemilih pemula seperti kamu semua. Kalo emang mau berjuang demi tegaknya Islam seharusnya partai-partai yang katanya Islam itu bergabug aja jadi satu. Sehingga kekuatannya penuh. Tetapi faktanya kan nggak. Bahkan dalam sebuah diskusi di jejaring sosial saya menemukan jawaban pesimisitis bahwa sulit jika harus bersatu. Ketahuilah, justru sulitnya disatukan itu karena tujuannya bisa jadi bukan demi Islam, tetapi demi kepentingan partai dan kelompoknya serta orang-orang yang ada di dalamnya. Wah!

Jadi bagaimana? Bagaimana apanya? Sobat, setiap perbuatan itu akan dimintai pertanggungan jawab oleh Allah Ta’ala. Kalo kamu pilih yang salah, maka akan ikut menanggung akibatnya. Kalo kamu ragu, memilih itu hak alias bukan kewajiban. Jadi kalo memilih untuk tidak memilih juga dibenarkan. Daripada udah kamu pilih ternyata partai dan calegnya berkhianat. Apa kamu nggak kecewa delapan turunan delapan tanjakan? Lagi pula, pemilu saat ini justru untuk mengokohkan demokrasi dan meminggirkan syariat Islam. Saatnya berpikir cerdas dan islami, sobat. [solihin | Twitter @osolihin]

2 thoughts on “Remaja Berpolitik? Itu Asik!

  1. Semoga bisa selalu mencerahkan juga untuk para remaja, tapi sayang di daerah saya enggak ada yang kayak gini dicetak… 🙂

    Aamiin. In sya Allah semoga menjadi inspirasi dan amal shalih. Silakan saja disebarkan link-nya untuk bisa dibaca via internet 🙂 | Oya, kalo boleh tahu Mas Nur Kholis domisili di mana? Mungkin kami bisa kirim edisi cetaknya ke sana 🙂
    Redaksi gaulislam

Comments are closed.