Friday, 22 November 2024, 12:33

gaulislam edisi 350/tahun ke-7 (9 Ramadhan 1435 H/ 7 Juli 2014)
 

Hayo, siapa di antara kamu yang kepengen jadi orang ngetop bin tenar? Rasa-rasanya sih semua orang punya keinginan untuk dikenal oleh orang lain. Kalo di kampung saja sudah dikenal, ingin juga dikenal di kampung orang lain. Ini memang sifat dasar manusia secara umum. Why? Karena manusia oleh Allah Ta’ala dibekali naluri mempertahankan diri. Lho apa hubungannya? Ada. Hubungannya ada. Naluri mempertahankan diri perwujudan alias penampakannya bisa melalui ingin dihargai, tak ingin sekadar dianggap bilangan tetapi juga ingin diperhitungkan, reaktif jika ada yang menyerang (baik secara fisik maupun perasaan), ingin memiliki pengaruh dan kekuasaan di tengah-tengah manusia lainnya. Itu semua ada contoh dari penampakan alias perwujudan dari naluri mempertahankan diri. Maka, tak heran kalo ada orang yang naluri mempertahankan dirinya itu ingin dipenuhinya. Namun yang terkategori nggak wajar adalah cara memenuhinya yang berlebihan sehingga menghalalkan segala cara. Ini yang perlu diredam.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Tanggal 9 Juli 2014 adalah hari dimana negeri ini memilih pemimpinnya. Sudah berbulan lamanya, bahkan berbilang tahun persiapan untuk memuluskan rencana pasangan capres/cawapres agar bisa menang di arena pemilu tersebut. Tentu saja, adu kekuatan pengaruh sudah sering ditampilkan. Tim sukses masing-masing capres/cawapres sudah putar otak nyari cara gimana jagoannya bisa populer di mata masyarakat. Utak-atik survei—yang kadang diproduksi sendiri—sudah biasa dilakukan demi memberikan pengaruh dan opini kepada masyarakat tentang siapa di antara kedua pasangan capres/cawapres yang mudah dikenal di masyarakat. Tujuannya tentu saja mendulang suara pemilih. Makin banyak suara yang masuk, makin lempang jalan jagoannya menduduki singgasana kekuasaan. Lagi-lagi, popularitas menjadi sarana untuk meraih kekuasaan dan ujungnya memang memenuhi naluri mempertahankan diri.

Oya, kamu juga sudah mafhum kalo di Piala Dunia 2014 ini tim-tim unggulan dan favorit juara sudah bisa dipastikan berputar pada empat negara: Jerman, Brasil, Belanda, dan Argentina. Why? Karena sejauh ini keempat timnas negara tersebut sudah berada di semifinal. Tangga populartis keempat negara di ajang piala dunia pun sudah hampir berada di puncak. Siapa coba yang tak kenal deretan nama-nama pemain top dunia dari keempat negara itu yang biasa malang-melintang di liga-liga Eropa. Kamu kenal Lionel Messi, Robin van Persie, Neymar, dan Mesut Ozil? Keempat pemain top dunia dari keempat negara itu adalah para punggawa klub-klub elit Eropa. Popularitas? Tentu saja sudah mereka dapatkan. Tinggal berebut tangga popularitas sebagai juara dunia tahun ini di turnamen empat tahunan yang digelar FIFA tersebut.

Bagaimana dengan para selebritis dunia hiburan yang selalu wara-wiri di layar kaca milik kita? Popularitas sudah mereka dapatkan. Untuk mendapatkannya tak jarang dengan susah payah. Lihat saja di bulan Ramadhan ini, mereka tak surut dan justru makin moncer aja dikontrak berbagai stasiun televisi. Ada beberapa seleb bahkan mampu nongol sehari di tiga stasiun televisi sekaligus untuk membawakan acara yang menjadi jobnya. Untuk semua itu, tentu saja ada yang ingin diraihnya lebih dari sekadar ketenaran alias popularitas, tetapi juga harta kekayaan dan mungkin juga kekuasaan. Popularitas boleh jadi kunci pertama untuk bisa menaiki anak tangga berikutnya hingga ke puncak keinginan yang hendak diraih.

 

Kekayaan dan kekuasaan

Sobat gaulislam, jika ada tetanggamu yang ngetop sebagai pemain bola sewaan dalam turnamen antar kampung, pastinya bakalan dibayar lebih. Saya dulu punya kenalan di kampung yang ahli menggocek si kulit bundar. Meski sekadar pemain kampung, tetapi popularitasnya sanggup menjebol dinding batas desa lain dan mereka kepincut untuk menggunakan jasanya. Tentu saja dibayar. Kamu bisa bayangkan gimana kalo orang yang tenar itu sekaliber Lionel Messi yang merantau dari Argentina ke Spanyol dengan berlabuh di klub Barcelona. Bayaran Messi di Barcelona per pekan minimal 4 miliar rupiah. Fantastis! (itu duit semua lho, bukan daun!)

Kalo kamu sedikit berpikir, kenapa sih Prabowo-Hatta rela bertarung dengan Jokowi-JK untuk mendapatkan kursi empuk RI-1? Rasa-rasanya, semua orang tahu bahwa kekuasaan itu memang menyenangkan. Nah, untuk mendapatkannya, tentu anak tangga pertama yang harus dipijak adalah popularitas. Siapa yang mendulang suara terbanyak, dialah jawaranya. Kalo udah jadi jawara dan kekuasaan sudah dalam genggaman, rasa-rasanya semua orang paham bahwa kekayaan dan pengaruh tak sulit untuk bisa juga diraih. Maka, yang udah-udah nih, jadi penguasa itu gampang buat nyari duit dan jadi corong kepentingan mereka yang menyokongnya selama kampanye. Begitulah.

Para selebritis dunia hiburan juga sama saja. Seorang kenalan yang bekerja di sebuah stasiun televisi pernah bercerita pada suatu hari saat makan siang bersama. Dia mengatakan, bahwa ada seorang seleb top negeri ini yang sehari pendapatannya tak kurang dari Rp 300 juta. Itu dia dapatkan dari manggung—setidaknya di 3 stasiun televisi dalam sehari. Capek? Sudah pasti. Tetapi dia mendapatkan upah besar dari keringat yang diteteskannya. Tak semua seleb bisa seperti dia, salah satunya karena faktor popularitas.

Bagaimana dengan para penceramah top negeri ini yang konon bayarannya per jam dalam berceramah bisa tembus di angka Rp 17 juta atau bahkan lebih? Kini ceramah memang sudah menjadi bagian dari bisnis dan hiburan jika kita hubungkan dengan ketenaran dari si penceramah tersebut yang ‘dibesarkan’ oleh media massa bernama televisi. Hal ini diperparah dengan pola pikir masyarakat kita yang juga masih menjadikan popularitas sebagai sesuatu yang dibangga-banggakan. Para pengurus masjid sering merasa bangga jika bisa menghadirkan penceramah top yang sering tampil di televisi. Ada kepuasan meski harus membayar mahal untuk semua itu, asalkan acara yang digelar dihadiri penceramah top. Sebegitu parahkah cara pandang masyarakat kita?

Contoh-contoh di atas, kian mengukuhkan bahwa tangga popularitas bisa menjadi sarana mendulang kekayaan dan juga kekuasaan. Tergantung apa yang selama ini ingin dikejarnya.

 

Popularitas dan keikhlasan

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Jika popularitas menjadi anak tangga pertama yang dipijak demi meraih kekayaan dan kekuasaan, rasa-rasanya memang identik dengan ketidak-ikhlasan dalam berbuat. Ada pamrih yang hendak diraih. Maka, dalam Islam sudah sejak di awal sebelum berbuat, yakni niat, harus diluruskan. Jika niatnya keliru, maka perbuatan yang dilakukan juga bisa dipastikan keliru. Minimal tujuannya jadi melenceng. Bukan untuk meraih ridho Allah Ta’ala, tetapi untuk meraih ridho manusia (mungkin termasuk ridho rhoma, hehehehe…).

Di website rumaysho.com, saya menemukan sebuah pemaparan yang menarik tentang pendapat para ulama seputar ketenaran dan keikhlasan. Syaikh al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Wahai hamba Allah, sembunyikanlah selalu kedudukan muliamu. Jagalah selalu lisanmu. Minta ampunlah terhadap dosa-dosamu, juga dosa yang diperbuat kaum mukminin dan mukminat sebagaimana yang diperintahkan padamu.”

Abu Ayub as-Sikhtiyani mengatakan, “Seorang hamba sama sekali tidaklah jujur jika keinginannya hanya ingin mencari ketenaran.”

Cobalah kita merenung dengan dua pesan ini. Ketenaran seringkali membuat kita menjadi sombong dan riya’. Waduh, kalo sampe kita sengaja nyari ketenaran diri, bisa dianggap sebagai orang yang nggak jujur.

Ibnul Mubarok mengatakan bahwa Sufyan ats-Tsauri pernah menulis surat padanya, “Hati-hatilah dengan ketenaran. Imam Ahmad mengatakan, “Beruntung sekali orang yang Allah buat ia tidak tenar.” Beliau juga pernah mengatakan, “Aku lebih senang jika aku berada pada tempat yang tidak ada siapa-siapa.”

Tuh, para ulama sekaliber Ibnul Mubarok, Sufyan ats-Tsauri dan Imam Ahmad saja nggak mau tenar. Walau pada faktanya umatlah yang membuatnya dikenal luas karena keilmuan mereka.

Syaikh al-Fudhail bin ‘Iyadh kembali mengatakan, “Rahimahullahu ‘abdan akhmala dzikrohu (Moga-moga Allah merahmati seorang hamba yang tidak ingin dirinya dikenal/tenar)”

Basyr bin al-Harits al-Hafiy mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang ingin tenar kecuali berangsur-angsur agamanya pun akan hilang. Silakan jika ketenaran yang dicari. Orang yang ingin mencari ketenaran sungguh ia kurang bertakwa pada Allah.” Suatu saat juga Basyr mengatakan, “Orang yang tidak mendapatkan kelezatan di akhirat adalah orang yang ingin tenar.”

Ibrahim bin Adham mengatakan, “Tidaklah bertakwa pada Allah orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang.”

Sobat gaulislam, rasa-rasanya pendapat para ulama ini sudah cukup memberikan tamparan buat kita semua yang suka kepengen popularitas bagi diri kita. Apalagi setelah populer bin tenar, kita berharap kekayaan dan kekuasaan juga dalam genggaman. Ini lebih bahaya lagi, Bro en Sis!

Cobalah lihat bagaimana ulama salaf dahulu tidak ingin dirinya tenar. Imam al-Hasan al-Bashri pernah menceritakan mengenai Ibnul Mubarok. Suatu saat Ibnul Mubarok pernah datang ke tempat sumber air dimana orang-orang banyak yang menggunakannya untuk minum. Tatkala itu orang-orang pun tidak ada yang mengenal siapa Ibnul Mubarok. Orang-orang pun akhirnya saling berdesakan dengan beliau dan saling mendorong untuk mendapatkan air tersebut. Tatkala selesai dari mendapatkan minuman, Ibnul Mubarok pun mengatakan pada al-Hasan al-Bashri, “Kehidupan memang seperti ini. Inilah yang terjadi jika kita tidak terkenal dan tidak dihormati.” Lihatlah Ibnul Mubarok lebih senang kondisinya tidak tenar dan tidak menganggapnya masalah. Bagaimana dengan pejabat negeri ini yang konon kabarnya senang blusukan sambil berharap tertangkap kamera wartawan. Hadeeeuhh!

Oke deh sobat. Buletin gaulislam edisi 350 di Senin tanggal 7 Juli 2014 ini sengaja menurunkan tulisan ringan, namun berharap bisa berbobot secara isi. Semoga meski sekilas menjelaskan hubungan popularitas, kekayaan dan kekuasaan yang teryata mencederai keikhlasan kita, namun bisa memberikan tambahan wawasan bahwa kita haruslah tetap menggapai ridho Allah Ta’ala dalam setiap amal yang kita kerjakan. Ketenaran, kekayaan, dan kekuasaan hanyalah efek samping saja dari keikhlasan yang kita kerjakan dalam setiap amal shalih kita.

Eh, itu jika ngomongin soal amal shalih lho. Lha, gimana kalo yang dikerjakan adalah amal salah (misalnya ngejar popularitas demi kekayaan dengan kerja gila-gilaan sampe buka aurat dan menghinakan harga diri macam seleb-seleb jaman sekarang)? Aduh, itu sih rugi bingit. Jangan sampe deh kamu begitu rupa. [solihin | Twitter @osolihin]