Monday, 25 November 2024, 09:23

gaulislam edisi 403/tahun ke-8 (26 Ramadhan 1436 H/ 13 Juli 2015)

 

Wah, nggak terasa ya, saat buletin kesayangan kamu ini terbit, udah di tanggal 26 Ramadhan 1436 H (bertepatan dengan tanggal 13 Juli 2015). Itu artinya, 3 hari lagi kita shaum (itu pun kalo lebarannya nggak diundur, hehehe…). Nah, biasanya di negeri kita kalo menjelang lebaran (Idul Fithri) banyak kesibukan yang terjadi. Apa sajakah itu? Mudik dan belanja. Lho, yang itikaf nggak diitung? Oh, iya, Diitung juga (meski kayaknya kalah jumlah deh dengan yang mudik dan belanja). Apalagi ada mal yang bikin program midnight sale menjelang lebaran ini, lengkap dengan diskon yang menggiurkan (bagi yang maniak diskon).

Sobat gaulislam, lalu bagaimana hubungannya dengan akhirat? Kalo mudik dan lebaran kan nyambung ya? Ini juga tetap sambung menyambung menjadi satu, kok. Ya, tetep ada hubungannya, Bro en Sis. Apa? Ya, jangan cuma mudik ke kampung halaman doang di dunia ini yang dipikirkan, tetapi juga kudu nyiapin untuk mudik ke kampung akhirat. Tuh, karena kita berasal dari surga, ya akan kembali ke surga (harusnya). Ke kampung akhirat kita. Betul?

Jika kamu yang hendak mudik sibuknya bukan main ketika menyiapkannya, sudah tentu untuk mudik ke kampung akhirat perhatian kamu harus lebih baik lagi. Sebab kalo udah nyampe di surga nggak bakalan balik lagi ke dunia. Kalo mudik ke kampung halaman di dunia, bakalan ada agenda balik lagi ke kota, tempat tinggal kamu dan keluarga selama ini. Jadi, ada perbedaan antara mudik ke kampung halaman dengan ‘mudik’ ke kampung akhirat. Catet!

 

Tradisi mudik

Sobat gaulislam, seperti yang kita saksikan di televisi, menjelang lebaran ini, tema utamanya adalah mudik dan kemacetan di jalan raya. Itu terjadi setiap tahun lho. Saking seringnya, para mudik seperti menikmati macet dan berburu tiket angkutan. Enjoy aja. Meski ada aja yang merasa risih. Tetapi, dengan niat ingin pulang kampung dan bertemu keluarga, rasa lelah dianggap sebagai bagian dari sebuah pengorbanan.

Oya, sebenarnya apa sih motif atau alasan banyak orang mudik ke kampung halamannya selain memanfaatkan momen liburan lebaran? Untuk silaturahmi. Ya, ini alasan yang paling sering digunakan. Bagus sih. Meski untuk silaturahmi dengan keluarga di kampung halaman tak mesti harus nunggu lebaran. Bisa kapan saja tak terikat waktu. Namun, tak salah juga bila memang waktu yang bisa digunakan hanya ketika memanfaatkan momen lebaran.

Namun, ada juga yang perlu diperhatikan lho dari niat mudik yang awalnya silaturahmi, kadang di tengah jalan bisa berubah niat. Misalnya, ada rasa ingin pamer kesuksesan hidup di kota. Kalo ini yang terjadi, segera sadar diri. Jangan sampai niat baik silaturahmi dinodai dengan niat lain yang bukan mengharap ridho Allah Ta’ala.

 

Mudik ke kampung akhirat

Agar bisa pulang kampung, banyak orang perantauan akan berusaha semaksimal mungkin menyiapkan bekal. Beragam oleh-oleh yang bisa dibawa serta dalam mudik, akan diangkut dengan antusias. Untuk apa? Demi memuaskan orang rumah yang akan kedatangan si pemudik dan oleh-olehnya.

Lalu, bagaimana dengan mudik ke kampung akhirat? Bekal apa yang harus dibawa? Tentu saja amal shalih. Amal shalih yang kita miliki yang akan menyelematkan kita di yaumil hisab (hari penghitungan). Hidup di dunia ini sementara dan sangat singkat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkannya seperti orang yang berteduh di bawah pohon untuk beristirahat sejenak dalam perjalanan jauhnya. Beliau bersabda (yang artinya): “Tiadalah berarti bagiku dunia ini, di dunia ini aku bagaikan orang yang berkendaraan dan mampir bernaung di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkan pohon tersebut” (HR at-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud)

Jika untuk mudik ke kampung halamannya saja orang rela membekali dirinya sedemikian rupa, mengapa untuk pulang ke kampung akhirat jarang yang mau peduli dengan bekalnya? Padahal, akhirat itu ‘kampung halaman’ kita setelah kehidupan dunia ini. Kita akan kekal di sana. Semoga amal shalih kita yang akan menyelamatkan kita hinga akhirnya kita bisa menikmati surga-Nya. Insya Allah.

Luqmanul Hakim pernah pada suatu saat memberikan wejangan kepada anaknya tentang perumpamaan dunia ini, ia berkata pada anaknya: “Wahai anakku! Ketahuilah bahwa sesungguhnya dunia ini merupakan lautan yang dalam dan luas, maka hendaklah engkau isi perahumu dengan ketakwaan kepada Allah Ta’ala dan di dalamnya diisi dengan keimanan kepada Allah Ta’ala, sedangkan layarnya diisi dengan tawakkal kepada Allah Ta’ala. Mudah-mudahan kamu selamat, namun saya tidak melihat kamu selamat.”

Dunia ini penuh pesona, kadang kita lupa akan pulang ke kampung akhirat. Jika iman sudah lepas, ketakwaan pun akan memudar, perlahan tapi pasti akhirnya kita menikmati dunia sebagaimana orang yang lupa akan kematian. Sepuasnya, semaunya, sakarepe dhewek. Akhirat malah dilupakan. Bekal untuk kesana pun sudah tidak dipedulikan lagi. Dunia memang bisa menipu.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS al-Hadiid [57]: 20)

Baiklah, ini sekadar catatan ringan saja untuk mengisi buletin gaulislam edisi ke-403 ini. Jika mau ditulis lebih banyak, pastinya akan bisa berpanjang lebar. Sebagai salah satu bukti, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bisa menulis tentang negeri akhirat, khususnya tentang surga saja, begitu tebal dalam bukunya “Hadil Arwaah Ila Biladir Afrah” yang diterjemahkan dalam versi bahasa Indonesia dengan judul: “Tamasya ke Surga”. Silakan dicari bukunya ya. Kalo saya alhamdulillah sudah punya dan sudah baca. Hehehe…

Oya, ada baiknya kita merenungkan pesan Lukmanul Hakim kepada anaknya tentang kehidupan dunia dan akhirat: “Wahai anakku!, juallah kehidupan duniamu demi kehidupan akhiratmu, niscaya kamu akan mendapatkan kedua-duanya. Dan jangan sekali-kali kamu jual kehidupan akhiratmu demi kehidupan duniamu, sebab hal itu akan membuatmu kehilangan kedua-duanya”

 

Setiap habis Ramadhan

Sobat gaulislam, saya jadi inget syair lagu lawas yang pernah dinyanyikan Bimbo, Setiap Habis Ramadhan. Syairnya begitu syarat makna dan mendalam. Beberapa bait bunyi­nya begini: Setiap habis rama­dhan/ hamba rindu lagi ramadhan/ Saat-saat padat beribadah/ tak terhingga nilai mahalnya/ setiap habis ramadhan/ hamba cemas kalau tak sampai/ umur hamba di tahun depan/ berilah hamba kesempatan….

Nggak terasa bulan Ramadhan udah berada di akhir perjalanannya. Padahal, kayaknya baru kemarin kita bergembira dengan datangnya Ramadhan. Padahal, rasanya baru kemarin kita mengawali indahnya sahur dan buka pertama dalam puasa kita. Padahal, rasanya baru kemarin pula kita sama-sama ikutan tarawih pertama berjamaah di masjid. Begitulah. Waktu memang berjalan tanpa kom­promi. Meninggalkan kita. Nggak peduli kita lagi ngapain. Mau yang sedang memanfaatkan­nya atau malah yang getol membuang percuma kesempatan. Semua ditinggalin tanpa ampun.

Kita pantas merenung. Di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan ini, waktu yang tersisa buat kita, apa yang akan kita lakukan? Menghitung hari seperti kemarin dengan tanpa ada aktivitas amal sholeh? Atau sekadar mengisinya dengan hal-hal yang amat jauh dari nilai-nilai Islam? Rasanya, kita semua udah pada tahu, apa yang harus kita lakukan. Tapi celakanya, kita juga seringkali lalai dengan apa yang seharusnya kita lakukan. Hati-hati yo…

Kita tahu bahwa puasa adalah wajib. Kita yakin (meski dengan keyakinan seadanya), bah­wa kalo nggak puasa kita akan berdosa. Namun, ternyata dalam prakteknya ada saja yang error. Selalu saja ada sebagian besar dari kita, yang ternyata masih melalaikan puasanya. Siang hari masih bebas makan dan minum. Emang sih, yang barangkali masih punya ‘setitik’ rasa malu tapi besar hawa nafsunya, ia akan makan dan minum di warung-warung yang tertutup kain. Kalo yang bebal mah, alias muke tebel, cuek aja ‘cacapluk’ di siang hari secara terang-terangan juga. Aduh, ini kok kayaknya nggak takut dosa gitu lho. Ckckck…

Sobat gaulislam, bagi kita-kita yang mengawali dan mengisi Ramadhan ini dengan harapan ridho Allah, tentunya ingin selalu mendapat kesempatan emas dalam beribadah kepada Allah. Apalagi di bulan Ramadhan, di mana banyak kaum muslimin berlomba mengum­pulkan pahala untuk meraih derajat takwa. Mumpung masih tiga hari lagi. Yuk, makin getol ibadah. Ibarat pelari yang udah dekat ke garis finish, biasanya mempercepat larinya agar jadi juara ketika menyentuh garis finish pertama kali. Begitu pula kalo kini menjelang akhir Ramadhan. Seharusnya ibadah kita kian kenceng. Jangan malah semangat berburu barang belanjaan atau bersibuk-ria mudik tanpa niat untuk silaturahmi.

Udah saatnya, justru karena masih muda, kamu semangat beribadah untuk mengumpulkan bekal berupa amal shalih yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil hisab kelak. Yuk berbenah diri.

Oya, boleh aja kamu belanja kebutuhan lebaran, tapi jangan berlebihan. Boleh aja kamu nyiapin untuk mudik dengan niat silaturahmi, tapi perhatikan juga persiapan untuk mudik ke kampung akhirat kita. Ok?

Sip! Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya dan seluruh kru gaulislam mengucapkan, taqobbalallahu minna wa minkum”. Semoga Allah menerima amalan kita dan amalan kalian. Selamat Hari Raya Idul Fithri 1436 H. Semoga menjadi momen untuk perubahan menuju kebaikan. Semangat! [O. Solihin | Twitter @osolihin]