gaulislam edisi 408/tahun ke-8 (2 Dzulqa’dah 1436 H/ 17 Agustus 2015)
Sobat gaulislam, sudah bisa ditebak bahwa judul ini terkait usia kemerdekaan negeri ini dari penjajahan militer negara asing. Dari tahun 1945 sampai saat ini 2015 kan 70 tahun waktunya. Nah, kenapa judulnya 70 tahun tanpa perubahan? Waduh, parah nih yang nulis. Bikin makar dan melecehkan perjuangan yang selama ini dilakukan. Eit, tunggu dulu Bro en Sis. Jangan keburu nuduh yang bisa jadi benar, eh, maksudnya jangan asal nuduh kalo belum tahu apa yang akan ditulis isinya. So, baca aja dulu sampai kelar baru kamu simpulkan. Gimana? Setuju kan?
Ok. Kita mulai ya. Kalo ngomongin soal perubahan memang biasanya paling seneng, kecuali kalo perubahannya ke hal yang negatif. Misalnya aja kamu kan senang kalo tadinya malas shalat, lalu setelah ada kesadaran kamu jadi rajin shalat. Ini perubahan yang positif. Kalo sebaliknya? Ya, masa’ sih kamu yang tadinya rajin shalat malah jadi malas shalat disebut positif, iya nggak?
Perubahan itu sebenarnya diperlukan kalo urusannya kebaikan. Tapi percuma berubah kalo yang terjadi adalah keburukan. Semoga kamu paham ya. Nah, lalu bagaimana dengan judul gaulislam edisi 408 ini, kok tanpa perubahan? Berarti stagnan alias terhenti alias nggak ngapa-ngapain alias gitu-gitu aja (wasyah, nih aliasnya banyak banget!)
Benarkah sudah merdeka?
Medeka dong, buktinya Belanda dan Jepang nggak menjajah kita secara militer. Inggris dan Portugis juga sudah tertinggal jauh di belakang masa lalu sejarah bangsa ini. Nggak ada kekuatan militer asing menekan bangsa ini. Indonesia sudah merdeka. Kata sebagian orang. Tetapi ada banyak juga lho yang mempertanyakan, benarkah sudah merdeka? Kok bisa ya?
Bisa aja. Kamu kudu selidiki dulu pernyataan itu dan renungkan, lalu bertanya juga pada diri sendiri dan melihat buktinya. Baru deh nanti kamu nyadar. Nah, sekarang gimana kalo kamu di sekolah tapi nggak aman? Merdeka nggak? Misalnya kamu setiap hari digebukin sama kakak kelas, belum lagi yang sering minta duit dengan paksa. Kemerdekaan kamu masih terampas. Kondisi kayak gini pastinya menyebalkan.
Namun, jika kondisi ‘preman’ sekolah udah di-delete tapi kok tetap menyebabkan kamu nggak merdeka juga itu pasti ada masalah lain. Contohnya apa? Misalnya nih, di sekolah ada aturan bagi siswi muslimah dilarang pake kerudung, apalagi jilbabnya. Jelas, berarti belum merdeka. Aktivitas rohis dicurigai dan diwaspadai, dianggap bagian dari sarang teroris. Waduh, apa kondisi ini menyenangkan? Jelas belum merdeka dalam hal mengekspresikan keyakinan kamu. Betul?
Sobat gaulislam, kalo bicara dalam spektrum yang lebih luas (cieee bahasanya sok ilmiah, hehehe). Eh, kamu emang nggak ngerti istilah spektrum? Pernah belajar fisika? Ya, menurut kamus, spektrum itu rentetan warna kontinu yg diperoleh apabila cahaya diuraikan ke dalam komponennya. Waduh, kamu nggak inget juga? Hehehe.. emang sih kalo belajar fisika, rata-rata di antara kita tuh materi memantul sempurna alias nggak ada yang nyangkut di otak. Menyedihkan.
Namun, menurut tesaurus, spektrum itu bagian dari kiasan dengan pengertian: cakupan, jangkauan, lingkup atau skala. Nah, kalo ada kata-kata “dalam spektrum yang lebih luas”, itu artinya dalam cakupan atau jangkauan yang lebih luas. Ngerti ya? Ok. Ini sekadar tambahan wawasan istilah aja ya. Itu semua gaulislam lakukan biar kamu ngeh juga (tentu bagi kamu yang sebelumnya nggak ngeh). Sip deh!
Ya, maksudnya kalo kita ngomongin soal kemerdekaan yang masih belum sepenuhnya ini diperluas cakupannya, bukan cuma contoh kemerdekaan kamu yang terampas di sekolah dalam kondisi yang udah disebutkan tadi, maka akan kita dapati bahwa negeri ini pun belum merdeka sepenuhnya. Why? Ya, kamu kudu ngeh juga deh kalo kemarin waktu reshuffle kabinet alias melakukan perubahan atau penyusunan ulang kabinet, Pak Jokowi bilangnya ke pers saat penggantian beberapa menteri adalah salah satunya memperhatikan atau mempertimbangkan masukan dari negara lain. Dengan kata lain, menteri-menteri baru itu juga ada ‘saham pendapat’ dari pihak asing. Tentu aja, ada maksudnya. Nggak cuma ngasih masukan. Lha, ini artinya kan masih tergantung juga dengan keinginan negara lain. Harusnya banyak yang nyadar kalo negeri ini, untuk kondisi ini saja masih ditekan negara lain. Apa itu sudah bisa dikatakan merdeka?
Belum lagi kalo ngomongin fakta bahwa sumber daya alam negeri kita ini masih belum dikelola dengan benar dan baik, malah ada banyak yang diserahkan pengelolaannya kepada pihak asing. Banyak kan perusahaan-perusahaan asing yang berkeliaran nyari duit di negeri ini? Silakan hitung sendiri. Kalo pun ada program kompensasi berupa kucuran dana untuk sosial dan pendidikan dari perusahan-perusahan asing tersebut, itu jauh lebih kecil dibanding keuntungan yang mereka dapat dari hasil mengeruk kekayaan negeri ini. Nah, sekarang kita renungkan dengan benar baik, kalo seandainya dikelola sendiri kan pasti manfaatnya lebih banyak. Buat siapa? Untuk seluruh rakyat negeri ini. Tapi nyatanya? Nggak begitu kan? Mikir! (*gaya Cak Lontong)
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Obrolan bernada celotehan saya dengan beberapa kawan adalah soal mobil nasional negeri kita. Kok, kita sepertinya nggak ada rencana yang jelas terkait produk buatan dalam negeri berupa kendaraan ya? Kalah sama Jepang, Korea, India dan negara lainnya yang bisnis kendaraan roda dua dan roda lebih dari dua mereka lancar jaya di negeri ini. Sepeda motor saya produk Jepang. Angkot juga merek mobilnya dari Jepang. Lha, yang buatan Indonesia sendiri nggak ada? Memang susah ya bikin motor atau mobil sendiri?
Seharusnya nggak jadi ribet karena di negeri kita sudah ada sekolah atau kampus yang memproduksi para ahli di bidang otomotif. Lalu kenapa tak bisa juga membuat kendaraan produk sendiri? Jawabannya: politik dan ekonomi. Maksudnya? Iya, kalo negeri ini bisa memproduksi motor atau mobil sendiri kan artinya mengancam bisnis negara lain di sektor yang sama. Jepang bisa meradang, Korea bisa kelabakan, Amerika bisa merana, Jerman bisa nggak aman. Bisnis kendaraan negara-negara tersebut kan sudah mengakar jauh sejak negeri ini mulai merdeka. Maka, negara-negara tersebut yang punya kepentingan dengan bisnis mereka akan menekan secara politik kepada pemerintah negeri kita agar tak memproduksi kendaraan sendiri. Jika demikian, sebenarnya kita sudah merdeka atau belum? Ya, kamu silakan jawab aja sendiri kalo ukurannya politik dan ekonomi.
Penyebabnya, karena mencampakkan Islam
70 tahun itu bukan waktu yang sedikit. Malah bisa jadi para pejuang negeri ini sudah nggak ada lagi. Kalo di tahun 1945 itu ada pejuang yang berumur 10 tahun ketika melawan penjajah, maka kalo masih hidup, usianya sekarang sudah 80 tahun. Kalo mereka masih ada, tentunya bakalan merasakan sakit yang kedua karena menyaksikan generasi setelahnya dalam mengisi kemerdekaan justru nggak menghargai kemerdekaan itu sendiri. Bukan hanya ketika merayakan kemerdekaan dengan lomba-lomba konyol yang sekadar hiburan belaka penuh kesia-siaan, tetapi lebih parah adalah menyerahkan aset atau kekayaan alam negeri ini kepada pihak asing sebagai jaminan politis para pemimpin agar bisa tetap bisa memimpin negeri ini. Sunguh pertukaran yang tak sebanding.
Intinya, secara idpoleksosbudhankam alias ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan kita masih belum bisa mandiri. Masih diatur oleh negara lain alias masih terjajah. Bahkan sebetulnya penjajah itu mewariskan aturan hukum atau ideologi mereka sebagai bentuk penjajahan juga. Kok bisa? Ya, kamu lihat saja, negeri kita nggak ada bedanya kok dengan Belanda dan Jepang serta kiblat lainnya yang jadi rujukan, yakni Amerika. Kalo di Belanda dan Amerika ada paham liberal, di negeri kita banyak penganutnya (sekaligus pelakunya). Nggak ada beda kan? Padahal, mayoritas penduduk negeri ini muslim. Kok mau-maunya menyerahkan masa depan kehidupan dunia dan akhirat kepada ideologi selain Islam? Dan, itu sudah berlangsung lama. Benar-benar 70 tahun yang melelahkan dan tanpa perubahan pula ke arah kebaikan.
Jangan lagi ada yang ngeles untuk nggak nerima ideologi Islam diterapkan sebagai ideologi negara dengan alasan di negeri ini kan bukan cuma kaum muslimin, tapi ada yang beragama lain. Memilukan sekali kalo ada seorang muslim berpandangan seperti itu. Apakah dia nggak baca sejarah? Islam, ketika digdaya dan menjadi kekuatan yang meruntuhkan Persia dan Romawi di masa itu, adalah negara dengan Islam sebagai ideologinnya. Warga negaranya pun bukan cuma kaum muslimin. Tetapi ada pemeluk agama lain. Tetapi mereka mendapat jaminan keamanan sebagai warga negara. Jadi nggak usah mangajari Islam dengan toleransi karena Islam sudah lebih dulu mencontohkannya langsung.
Sobat gaulislam, kerusakan negeri kita di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya (termasuk hukum dan keamanan), tak lepas dari akibat diterapkannya ideologi kapitalisme dengan instrumen politiknya bernama demokrasi. Jadi, selama negeri kita masih menerapkan ideologi selain Islam, maka sampai lebih dari tujuh turunan pun tak akan pernah berubah menjadi baik. Selain itu, ideologi Islam bukan hanya untuk kemaslahatan di dunia saja, tetapi yang terpenting adalah di akhirat. Berbeda dengan ideologi selain Islam yang cuma mementingkan urusan duniawi, itupun diraih dengan menghalalkan segala cara. Bahaya!
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?” (QS al-A’raaf [7]: 96-98)
Silakan kamu renungkan sendiri. Banyak nggak kaum muslimin di negeri ini? Banyak. Berapa banyak yang imannya kuat dan takwanya kuat? Bisa dibilang sedikit. Harta kekayaan negeri kita melimpah, tetapi nggak bisa dinikmati rakyatnya sendiri secara menyeluruh. Itu kerugian kita akibat tak mau beriman dan bertakwa dengan sebenar-benarnya kepada Allah Ta’ala.
Gimana, mau terus tak ada perubahan selama hidup kita atau kita mau berubah menjadi lebih baik bersama Islam? Kemerdekaan sejati adalah bebasnya diri kita dari penghambaan kepada selain Allah menjadi menghambakan diri hanya kepada Allah Ta’ala. Artinya, kita kaum muslimin, seharusnya hanya menjadikan Islam sebagai ideologi dan pedoman hidup kita jika benar-benar beriman dan bertakwa kepada Allah Ta’ala. So, campakkan ideologi selain Islam dari kehidupan kita. Itu pun jika kita mau berubah dari kondisi terpuruk selama ini menjadi negara yang bangkit dengan kemerdekaan sejati bersama Islam. [O. Solihin | Twitter @osolihin]