Friday, 22 November 2024, 08:08

gaulislam edisi 425/tahun ke-9 (2 Rabiul Awwal 1437 H/ 14 Desember 2015)

 

Ini judulnya bener nggak ya? Lho, kok nggak yakin? Hehehe… kamu ngerti nggak dengan judulnya? Kalo ngerti, syukurlah. Kalo belum ngerti, musibah. Waduh, kudu belajar lagi istilah-istilah dalam bahasa Indonesia. Baik, sebelum lanjut ke pembahasan utama, mari kita bicara pilihan kata pada judul. Toleransi, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) artinya sifat atau sikap toleran. Lalu apa arti toleran? Masih menurut KBBI, yakni artinya bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Bagaimana dengan salah kaprah? Lagi-lagi rujukan KBBI, yakni kesalahan yang umum sekali sehingga orang tidak merasakan sebagai kesalahan.

Jadi, bagaimana dengan maksud judul gaulislam edisi 425 ini? Maksudnya, toleransi yang sudah dianggap benar walaupun salah. Masih nggak ngerti? Waduh. Gini deh, atau judulnya seharusnya gini kali ya: Salah Kaprah Seputar Toleransi. Widiiw, serius amir! Udah, kita sepakati aja dengan judul yang udah ditulis sebelumnya ya. Maksud menulis tema ini adalah kita akan mengkritisi pendapat yang menyebutkan bahwa toleransi itu ikut menyetujui apa yang dilakukan orang lain dan terlibat di dalamnya. Lebih jelas lagi, toleransi dalam hal akidah yang saat ini banyak dipermasalahkan karena yang terjadi bukan toleransi, tapi mencampur-adukkan keyakinan. Kayak gimana? Kamu baca aja sampai tuntas. Ok?

Jangan mau dibodohi

Jadi orang bodoh itu menderita, Bro en Sis. Nggak ngerti apa-apa. Lebih parah lagi kalo sampe dibodohi. Maksudnya dibikin bodoh atau minimal sedang ditipu (nggak nyambung ya?). Oya, kalo istilah dibodohi emang nggak ada di KBBI, tetapi ini udah keumuman di masyarakat alias sudah lumrah. Oya, kira-kira istilah “dibodohi” yang tepat apa ya? Hmm.. coba mulai dari istilah dimaklumi, diintimidasi, dikelabui, diketahui. Bisa dipahami nggak? Nah, sepertinya yang cocok dari dibodohi adalah dibuat bodoh. Sementara setuju aja ya. Daripada muter-muter melulu udah hampir satu paragraf nih. Hahaha…

Sobat gaulislam, kalo kita diberikan informasi yang salah melalui media massa atau pendapat orang tertentu, maka besar kemungkinan kita akan menangkap pesan, mencerna atau mengolahnya, dan kemudian mengeluarkannya juga bisa salah. Beneran lho. Contohnya nih, misalnya kamu diajarin kalo nyebrang jalan di tempat yang rame nggak perlu melalui JPO (jembatan penyeberangan orang), tapi lewat ‘darat’ gitu aja. Akhirnya, jadi kebiasaan karena terus diulang. Ini info yang salah dari input-nya, maka output-nya juga bisa salah. Kecuali, ada proses penyadaran dan evaluasi. Kemungkinan bisa berubah.

Nah, ngomongin soal toleransi yang di bulan Desember ini selalu salah kaprah, kita juga jadinya bodoh, karena dibodohi melalui praktek langsung yang dilakukan pihak tertentu, maupun opini melalui media massa. Kok bisa? Silakan tengok di swalayan menjelang Natal, karyawan dan karyawatinya ‘dipaksa’ pake kupluk Santa. Tahu kan? Iya, yang itu. Kamu tahu tuh! Memangnya itu nggak boleh? Lha, kamu selama ini ke mana aja? Belajar akidahnya belum selesai kali ya? Atau sering bolos, jadi nggak ngeh? *nuduh-nuduh nih!

Ya, mengenakan kupluk Santa bagi karyawan atau karyawati muslim di tempatnya bekerja (biasanya di swalayan atau minimarket) bukanlah bentuk toleransi. Tetapi itu malah merupakan bentuk mencampurkan antar keyakinan. Nggak boleh. Justru kalo sesuai dengan arti toleransi, ya membiarkan saja atau tidak mengganggu keyakinan agama masing-masing. Tidak memaksa yang muslim kudu pake kupluk Santa. Itu artinya, kalo kemudian karyawan dan karyawati yang muslim di toko tersebut dipaksa mengenakan kupluk Santa, ya namanya ngajak berantem. Sebab, sudah masuk ke ranah akidah. Bahwa yang muslim dipaksa mengenakan atribut Natal, yang sebenarnya nggak boleh dikenakan karena sudah urusan akidah. Ini jelas pemaksaan. Nggak bisa dibiarkan.

Sobat gaulislam, selain pemaksaan mengenakan atribut Natal berupa kupluk Santa, ada juga yang menganggap bahwa mengucapkan selamat natal adalah bagian dari toleransi. Hadeeeuuh… ini juga pembodohan dan kamu jangan mau dibodohi. Ini termasuk toleransi yang salah kaprah.

Ini ada sebuah cerita berupa perumpamaan yang menarik. Sudah tersebar luas di berbagai grup diskusi media sosial. Mau tahu ceritanya? Ini dialog seorang muslim dengan orang kristen (yang diwakili dengan nama David).

Muslim: “Bagaimana natalmu?”

David: “Baik, kau tidak mengucapkan selamat natal padaku?”

Muslim: “Tidak. Agama kami menghargai toleransi antar agama, termasuk agamamu. Tapi urusan ini, agama saya melarangnya.”

David: “Tapi kenapa? Bukankah hanya sekadar kata-kata? Teman-teman muslimku yang lain mengucapkannya padaku.”

Muslim: “Mungkin mereka belum mengetahuinya, David. Bisakah kau mengucapkan dua kalimat Syahadat?”

David: “Oh tidak, saya tidak bisa mengucapkannya. Itu akan mengganggu kepercayaan saya.”

Muslim: “Kenapa? Bukankah hanya kata-kata? Ayo, ucapkanlah!”

David: “Sekarang, saya mengerti…”

Inilah yang menyebabkan Buya Hamka memilih meninggalkan jabatan dunia sebagai Ketua MUI ketika didesak pemerintah untuk mengucapkan “Selamat Natal” yang meskipun anggapan hanya berupa kata-kata keakraban/toleransi namun di sisi Allah Ta’ala nilainya justru menunjukkan kerendahan akidah seorang hamba yang tidak paham atau tidak mau mengerti akan konsep ilmu agama yang di sisi lain paham akan ilmu-ilmu umum yang sifatnya tiada kekal, tak berimbas akan keselamatan akhiratnya yang abadi.

Sobat gaulislam, catat ya. Ini penting. Jangan mau dibodohi lagi dengan slogan toleransi tetapi salah. Akibat kesalahan terus berulang, jadinya dianggap lumrah, jadi salah kaprah. Bahaya banget tuh!

Bagiku agamaku, bagimu agamamu

Andai saja semua agama itu sama, maka tak ada yang namanya perbedaan. Andai saja semua agama itu benar, tak perlu ada yang ngotot ingin benar sendiri. Andai saja semua agama itu menyembah Tuhan yang sama, nggak perlu ada pertumpahan darah atas nama agama. Andai saja semua agama itu menuju ke jalan yang sama, tak perlu ada kitab suci yang berbeda. Tapi fakta dan sejatinya memang berbeda kok. Justru pertanyaan saya: kenapa harus dipaksakan untuk disamakan?

Sayangnya, sekarang banyak upaya-upaya yang menjurus ke arah sana dengan alasan perdamaian dunia. Karena menurut para penggagasnya, seluruh agama akarnya satu, yakni dari sang pencipta, sehingga mereka berdalil: “Kenapa harus berbeda? Berbeda itu bikin konflik dan itu sangat berbahaya!”

Tapi yang jelas, kalo kita mau berpikir lebih dalam lagi (gali sumur kali!), kita justru akan menemukan bahwa masing-masing agama memang beda. Beda banget. Bahkan bukan hanya beda, tapi juga bertentangan, dan bahkan saling menentang satu sama lain.

Itu sebabnya, tentu nggak bisa mendefinisikan atau membuat pernyataan yang cuma berdasarkan logika dan hawa nafsu kita. Tapi kebenaran adalah muncul dari yang membuat kebenaran itu sendiri, yakni pencipta kita, Allah Ta’ala. Karena kalo kebenaran diserahkan kepada masing-masing manusia, maka yang muncul bukan kebenaran, tapi pembenaran. Udah gitu miskin makna dan kaya dengan salah persepsi.

Sobat gaulislam, ngomongin soal agama kata sebagian kalangan dianggap sensitif. Saking sensanifnya, eh, sensitifnya maka kita nggak boleh ngomongin agama secara vulgar di tempat umum. Misalnya, kamu nanya sama teman kamu di sekolah dalam forum umum: “Agama kamu apa?” Wuih, kayaknya kita dianggap arogan atau sok, atau dicap sebagai orang yang melontarkan pertanyaaan dengan nada sentimen atau tendensius serta SARA dan macam-macam pikiran lainnya.

Kenapa? Karena kita terbiasa menabukan hal tersebut. Dianggap bahwa agama adalah urusan masing-masing individu. Nggak boleh ada individu lain yang mempertanyakan dan mempersoalkan status agama seseorang. Alasannya, kita diminta menjunjung kebersamaan. Jadi jangan heran pula kalo kemudian muncul istilah toleransi, anak bangsa, dialog lintas agama dan iman, dan lain sejenisnya untuk mengkampanyekan tentang pentingnya persamaan. Padahal jelas sangat berbeda jauh. Wong dasarnya juga beda kok. Jadi apa yang mau disamakan? Betul ndak? Semoga kamu bisa memahaminya.

Oya, karena saat ini banyak kaum kaum muslimin yang mulai kendor ikatannya dengan ajaran Islam, ada pula yang bahkan sudah melawan setiap ajaran yang ada dalam Islam, juga banyak yang berupaya menyamakan Islam dengan agama yang lain, maka saya merasa perlu untuk menjelaskan (semoga saja mencerahkan), tentang masalah ini. Saya ingin menegaskan bahwa Islam emang beda dengan agama yang lain. Jadi, nggak bisa pula keyakinan kita digeser-geser dan dipindah-pindah ke tempat lain (digeser-geser? Emangnya pot bunga?)

Islam, satu-satunya agama yang benar

Sobat gaulislam, kalo kamu berani mengatakan seperti pada subjudul ini, syukur deh. Kenapa? Karena masih punya harga diri dan sekaligus percaya diri. Harga diri itu mahal, jarang ada yang rela kalo harga dirinya diinjak-injak (kecuali yang nekat dan gelap mata dengan menjual dirinya sendiri dalam kenistaan). Kebanyakan orang kalo bicara harga diri semangat dan antusias. Harga diri harus dipelihara karena urusan hidup dan mati.

Percaya diri berarti kita percaya dengan apa yang kita perbuat. Orang yang berani melakukan suatu perbuatan dan kegiatan, sudah pasti bertanggung jawab. Itu sebabnya, dengan memiliki rasa percaya diri bisa dipastikan orang tersebut udah punya alasan dan tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya.

So, Islam memang beda. Beda banget dengan agama lain. Nggak bisa disamakan. Nggak bisa disatukan. Karena ibarat air dengan minyak, maka Islam nggak bisa dicampur dengan ajaran agama lain. Akan saling menolak dalam hal prinsip. Akan saling bertentangan dalam masalah akidah. Tidak ada kompromi dalam urusan syariat antara Islam dan agama lain.

Sekarang coba kita bandingkan mulai dari yang sangat prinsip: yang disembah. Kita, kaum muslimin, cuma menyembah Allah Ta’ala. bukan yang lain. Sementara agama lain, Nasrani misalnya, mereka punya konsep trinitas. Ajaran lain juga sama, menyekutukan Allah. Jelas beda kan? Firman Allah Ta’ala: “Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.” (QS al-An’aam [6]: 1)

Allah Ta’ala juga berfirman yang menegaskan bahwa hanya Islam yang benar, yakni dengan tidak menerima agama selain Islam. Bahkan rugi banget orang yang mencari agama selain Islam, Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali ‘Imran [3]: 85)

Dalam pernyataan lebih jelas dan tegas, Allah Ta’ala menyebutkan (yang artinya): “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS al-Maaidah [5]: 72)

Nah, kalo dari akarnya aja udah beda, maka batang, ranting, daun, bunga dan buahnya jelas berbeda dong. Tul nggak? Lagian kita belum pernah tuh denger ada pohon mangga berbuah durian (mungkin Om Broery aja yang pernah mendendangkan lagu yang ada liriknya “buah semangka berdaun sirih”!)

Maka sangat wajar dan adil jika Allah Ta’ala aja mengajarkan bahwa keyakinan kita berbeda dengan keyakinan agama lain. Itu sebabnya, jangan bingung pula kalo syariatnya juga beda. Maka, apa hak kita menyatakan bahwa semua agama sama? Sehingga kita merasa kudu terlibat dan melibatkan diri dalam ibadah agama mereka. Bahkan hal itu dianggap wajar. Waduh, hati-hati!

Bener lho, saking nggak ngertinya, ada sebagian dari kita yang latah ikutan perayaan natal bersama, misalnya. Malah dengan semangat dan gagah berani biar dianggap toleran menyambut dan menyampaikan ucapan selamat kepada mereka dan mengenakan atribut perayaan Natal macam kupluk Santa. Ah, itu namanya sudah salah menempatkan toleransi dong. Karena dalam urusan keimanan dan ibadah ini, yang disebut toleransi itu ya membiarkan atau tidak mencampur-adukkan keyakinan (akidah). Sebaliknya, kita kudu keukeuh memegang prinsip. Allah Ta’ala udah wanti-wanti soal ini dalam al-Quran (yang artinya): “Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS al-Kaafiruun [109]: 1-6)

Nah, mulai sekarang, yuk sama-sama kita kaji Islam, pahami, dan amalkan. Syukur-syukur kamu masih punya semangat untuk memperjuangkannya. Kita bisa barengan bahu-membahu dalam mensyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Biar semua kenal dan tahu. Ya, karena Islam emang beda dengan agama lain dan kita nggak usah nekat menyamakannya. Hanya Islam satu-satunya agama yang benar. Selain itu, yang namanya toleransi adalah membiarkan masing-masing berjalan sesuai keyakinannya, jangan diintervensi. Kalo masih ada pengelola toko memaksa karyawan dan karyawatinya mengenakan kupluk Santa dengan alasan bagian dari merayakan Natal, itu namanya tidak toleran. Pantau, waspadai, tindak! [O. Solihin | Twitter @osolihin]

 

1 thought on “Toleransi Salah Kaprah

  1. Assalamualaikum..saya merasa sedih terutama dengan teman saya sendiri..ia muslim..tapi dia mengelak dan slalu merasa benar..dia mengucapkan selamat natal dengan alasan islam mengajarkan toleransi dan islam agama yg tidak memusuhi dan toleran..emg kalau gw ngucapin natal w jadi kristen gitu?

    Wa alaikumsalam wr.wb, sebenernya hal ini memerlukan jawaban yang ckp panjang untuk bisa memahaminya dengan tuntas, saya sarankan untuk mencari/menggali referensi lain mengenai masalah ini, secara ringkas, toleransi dalam Islam itu “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”, bukan dengan mengikuti bahkan meramaikan hari ibadah agama lain.

    Toleransi itu pengertian dari kedua belah pihak, bukan hanya pengertian satu pihak saja, kita sebagai muslim tahu bagaimana cara agama lain melakukan perayaan, oleh karena itu kita hormati pemeluk agama lain melaksanakan apa yang mereka yakini, dan pastinya kita nggak ikut-ikutan.

    Sebaliknya agama lain diluar islam juga harus tahu tata cara dan aturan agama kita (termasuk salah satunya tdk mengucapkan selamat natal), serta menghormati pemeluk agama islam dalam melaksanakan apa yang diyakininya. Hanya dengan cara seperti itu toleransi bisa tercapai.

    Ketika kita sebagai umat islam melakukan kegiatan keagamaan kita, kita tidak maksain orang diluar islam untuk ikut, bahkan dilarang dalam Al-Quran, dan kalopun mereka yg bukan islam kemudian ada yang ikutan, apakah kemudian mereka jd otomatis jd islam? ya engga lah, masuk islam itu ada aturan dan tata caranya, demikian juga dengan masuk ke agama lainnya.

    Mengenai pertanyaan ’emang kalau gw ngucapin natal w jd kristen gitu?’ merupakan pertanyaan pengaburan, mengaburkan dari inti masalah, dan ini memang disengaja, pola/patren semacam ini sdh sering digunakan, jd engga perlu kepancing.

    Pada akhirnya semua kembali kepada masing-masing, bisa aja kemudian temen kamu itu nyari dalil-dalil maksa yang nge-bolehin, ya.. hidup itu pilihan, Faalhamaha Fujuroha wa Taqwaha “Maka Dia mengilhamkan (kepada setiap jiwa) jalan dosanya dan jalan taqwanya.” (Qs. Asy-Syams: 8), sama seperti tempat kembali kita, hanya ada 2 pilihan, kalo engga surga ya neraka, engga ada pilihan ketiga, kalo temen mu milih jalan yang Fujur, ya sudah kewajiban kita hanya mengingatkan saja dan berdoa semoga dengan usaha kita untuk mengiatkan tsb, bisa menjadi jalan kembali bagi dia.

    Semoga bermanfaat,

    Redaksi Gaulislam

Comments are closed.