Sunday, 24 November 2024, 11:57

gaulislam edisi 429/tahun ke-9 (1 Rabiul Akhir 1437 H/ 11 Januari 2016)

 

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Alhamdulillah masih bisa ketemuan ya di edisi yang ke-429. Semoga kamu tetap isiqomah bersama Islam ya. Harus. Kalo kamu simak edisi kemarin, itu merupakan sindiran yang semoga bisa membuat kamu tergerak untuk muhasabah diri. Mengevaluasi apakah selama ini sudah menjadi muslim yang benar dan baik, atau malah sebaliknya. Nah, edisi ini sedikit ada kaitannya juga, Bro en Sis. Apa itu? Nasihat. Lho, kok cuma nasihat? Lha, terus maunya apa? Hehehe.. iya. Cermin itu sebenarnya refleksi alias pantulan dari obyek yang berada di depannya. Cermin sih ‘jujur’ lho. Kalo obyek di depannya ganteng, ya yang ditampilkan juga ganteng. Pernah bercermin kan? Tahu cermin? Yup, cermin itu kaca bening yang di bagian salah satu mukanya dicat dengan air raksa sehingga dapat memperlihatkan bayangan benda yang berada di depannya. Emang pernah kejadian begitu kamu bercermin, terus cermin menampilkan bukan wajah kamu, bukan penampilan kamu? Itu hil yang mustahal! (eh, jadi kayak Asmuni-nya Srimulat)

Iya. Maksudnya cermin itu menampilkan apa adanya. Kalo kita buruk rupa ya begitulah yang ditampilkan cermin. Kalo kita ganteng dan cantik, itu pula yang dihadirkan cermin. Intinya sesuai dengan kenyataanlah. Itu sebabnya, kalo kamu yang salah, ya jangan serta merta menyalahkan orang lain atas kesalahan yang kamu buat. Mencari kambing hitam atas kegagalan yang kamu alami, bukanlah sikap seorang yang bertanggung jawab. Jangan sampe deh, kamu yang malas, tetrapi malah orang lain yang ngajakin kamu malas yang kamu tuduh sebagai biang keladi kemalasan kamu. Memang, teman yang ngajakin malas itu salah. Tetapi kamu yang ikut-ikutan malas juga salah. Lebih salah lagi kalo kamu merasa berhak untuk salah karena ada teman yang ngajakin kamu untuk berbuat salah. Bisa juga kamu menyalahkan keadaan. Menuduh bahwa keadaanlah yang menyebabkan kamu berbuat salah. Hmm.. apa nggak malu punya sikap seperti itu? Ngaca, Bro en Sis! (sori agak sadis dikit nih!)

 

Nggak berlapang dada

Sobat gaulislam, ungkapan buruk muka cermin dibanting ini cocok untuk menggambarkan orang yang nggak biasa berlapang dada. Kalo emang salah, harusnya akui kesalahan. Sportif gitu lho. Kalo emang gagal, akui kegagalan. Jangan malah ngamuk-ngamuk untuk menuding orang lain sebagai biang kegagalan kita. Padahal, kitanya aja yang emang lemah dan nggak mampu.

Sikap lapang dada ini harus dipupuk sejak anak-anak. Kejujuran dan mau mengakui keunggulan orang lain harus dibiasakan sejak usia dini. Atau, kalo pun sekarang kita udah pada gede, maka mulailah belajar untuk lapang dada. Belum telat kok. Sebab, daripada capek-capek menyalahkan orang lain, kan mendingan mengevaluasi kemampuan diri sendiri. Simpel. Mudah pula. Betul?

Saya pernah tuh dimarahin waktu kerja di sebuah perusahaan supplier bahan kimia dan peralatan untuk laboratorium di Jakarta, ketika saya sekadar menasihati atasan saya untuk tidak melakukan aktivitas suap. Karena memang dalam Islam nggak boleh. Eh, bukannya kemudian diskusi untuk mencari titik temu atau paling nggak menanyakan lebih lanjut, dia malah bilang, “Saya tuh empat tahun nyantri di … (sensor: pokoknya pesantren terkenal di negeri ini). Tapi nggak fanatik kayak kamu”.

Dia bilang begitu mungkin karena melihat saya yang lulusan sekolah kejuruan. Bukan pesantren. Padahal, kalo mau berlapang dada, kan bisa nanya baik-baik, “Memangnya kamu tahu dari mana? Bagaimana penjelasannya?”. Kan bisa diskusi tuh. Jangan langsung bilang begitu sampe kudu banding-bandingin lamanya nyantri segala. Sebab, sangat percuma juga nyantri empat tahun atau mungkin lebih kalo di pesantren kerjanya cuma tidur melulu. Atau kalo pun belajar, tapi nggak serius. Setiap ikutan kajian cuma masuk telinga kanan, keluar lagi telinga kiri. Sehingga materi pelajaran tuh dibiarkan memantul sempurna alias nggak ada yang masuk. Gimana mo pinter?

Suatu ketika saya pernah menghadiri acara seminar di Jakarta. Waktu itu pembicaranya emang orang-orang terkenal. Nggak enak deh kalo disebutin namanya. Ketika salah seorang di antara mereka memberikan penjelasan tentang argumennya, pembicara kedua dengan sinis menyindir pernyataan pembicara pertama (nyindirnya pribadi lagi), dengan mengatakan, “Apakah Anda tahu silsilah hadis itu? Siapa perawinya?” Dia berani mengatakan begitu kebetulan alumni sebuah pesantren terkenal juga di negeri ini. Sementara yang disindir, adalah mantan selebritis yang baru bertobat dan insyaf mau mendalami Islam. Jadi, alih-alih didukung malah diserang (mungkin karena ia merasa tersaingi atau sok tahu?). Kacau banget kan?

Sobat gaulislam, sikap lapang dada untuk menerima masukan itu sebenarnya nggak susah. Kalo memang kita mau terus merenung tentang kondisi kita. Kita ini kan manusia. Punya kelemahan dan keterbatasan. Itu sebabnya, membutuhkan dukungan yang lain. Dan, yang biasanya lebih mudah menilai kita ya orang lain. Ibarat cermin, kita itu akan dilihat oleh orang lain. Kan belum ada ceritanya kita bisa ngelihat wajah kita sendiri kalo nggak pake cermin atau benda sejenisnya yang bisa memantulkan gambaran diri kita. Iya kan?

Cermin memantulkan wajah asli kita. Begitu pun orang-orang di sekitar kita yang akan memberikan masukan kepada kita. Kalo kita salah, di antara mereka ada yang ngasih tahu kita. Jangan merasa menang sendiri. Coba deh, misalnya kita udah makan es cendol. Terus, lupa membersihkan mulut, kumis dan jenggot. Ketika ada orang yang bilang, “Mas, tuh ada cendol yang nyangkut di jenggot!”. Nah, karena kita nggak bawa cermin, orang lain yang lihat itulah yang mengingatkan karena tahu wajah kita dan tahu penampilan diri kita. Maka, dengan lapang dada kita ngucapin terima kasih. Betul? Kalo kita malah marah? Nggak tahu diri namanya.

Sama halnya ketika kita berbuat maksiat, kemudian ada orang lain yang mengingatkan kita. Sikap yang bagus tentunya kita berterima kasih karena ada orang yang mau mengingatkan kita. Sikap yang sama sekali nggak elok dan mungkin bisa dibilang bodoh adalah malah balik menyerang. “Kamu tahu apa sih tentang agama? Jangan khotbah di depan saya!” atau kata-kata sinis lainya, “Ah, kamu kan nggak tahu apa-apa dibanding kami yang merasakan. Nggak usah nasihatin kami. Percuma!” Wah, itu namanya nggak lapang dada. Tapi melakukan argumentum ad hominem. Iya kan? Nggak baik sobat.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Seorang teman pernah cerita. Ini kejadian nyata. Ceritanya begini, sebuah perusahaan media Islam mengangkat seorang distributor untuk membantu mengelola distribusi medianya di sebuah kota. Tapi ternyata sang distributor itu malah melakukan kesalahan dengan ‘menilap’ uang setoran. Entah, mungkin kepepet atau merasa bisa bayar suatu saat nanti dia nekat melakukannya. Parahnya, apa yang dilakukannya itu nggak diberitahukan kepada perusahaan. Mungkin malu. Tapi karena keterusan nggak disetor-setor sementara mungkin kebutuhan hidup mendesaknya untuk melakukan itu, maka uang setoran yang seharusnya disetor ke perusahaan media Islam tersebut malah keenakan dipake terus, akhirnya numpuk jadi utang yang nggak bisa dibayarnya.

Nah, ketika dilakukan audit oleh perusahaan, ketahuan deh kalo dia emang jelas-jelas memakai uang tersebut. Karena masalahnya dianggap sudah serius dan membahayakan masa depan perusahaan, akhirnya dipecat. Tapi, yang bersangkutan malah bilang, “Kerja dengan pengemban dakwah kok kayak kerja dengan orang lain aja” (sensor: dia kabarnya nyebut nama etnis tertentu). Dengan bilang begini, sebenarnya ia udah melakukan argumentum ad hominem. Payah banget kan? Udah jelas-jelas dia salah, masih sempet-sempetnya menyalahkan perusahaan. Bener-bener nggak tahu malu dan nggak tahu diri. Bilang maaf kek, seperti, “Afwan, saya memang waktu itu lagi kepepet. Jadi saya pakai uang setoran ini nggak bilang dulu. Jika memang itu keputusan final dari perusahaan dengan memberhentikan saya, saya bersedia menerimanya dan siap memgembalikan uang yang saya pake.” Tuh, enak kan kalo mau jujur dan berani bertanggung jawab? Nggak ribet. Tapi, kayaknya jaman sekarang sangat jarang yang bisa begitu deh. Iya nggak sih?

Menimpakan kesalahan kepada orang lain atas kegagalan kita emang sikap yang jelek banget. Anehnya, kebanyakan kita ternyata lebih memilih untuk melakukan argumentum ad hominem tadi. Menuding orang lain dan menyalahkannya atas ketidakmampuan kita. Itu sih bisa dikatakan buruk muka cermin dibanting. Nggak benar dan emang nggak baik.

Ada sedikit nasihat nih. Kita diperintahkan beramal secara kontinu alias berkesinambungan atau rutin walau perlahan-lahan. Inilah yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Hanzhalah, di mana Hanzhalah salah seorang sahabat yang menjadi juru tulis Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beramal yang berkesinambungan walau sedikit ini adalah amalan yang paling disukai Allah Ta’ala. Kisah Hanzhalah berikut mengajarkan pada kita untuk rajin-rajin muhasabah atau introspeksi diri.

Dari Hanzholah al-Usayyidiy -beliau adalah di antara juru tulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-, ia berkata, “Abu Bakr pernah menemuiku, lalu ia berkata padaku, “Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?” Aku menjawab, “Hanzhalah kini telah jadi munafik.” Abu Bakr berkata, “Subhanallah, apa yang engkau katakan?” Aku menjawab, “Kami jika berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami teringat neraka dan surga sampai-sampai kami seperti melihatnya di hadapan kami. Namun ketika kami keluar dari majelis Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami bergaul dengan istri dan anak-anak kami, sibuk dengan berbagai urusan, kami pun jadi banyak lupa.” Abu Bakr pun menjawab, “Kami pun begitu.”

Kemudian Hanzhalah dan Abu Bakr pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau berkata, “Wahai Rasulullah, jika kami berada di sisimu, kami akan selalu teringat pada neraka dan surga sampai-sampai seolah-olah surga dan neraka itu benar-benar nyata di depan kami. Namun jika kami meninggalkan majelismu, maka kami tersibukkan dengan istri, anak dan pekerjaan kami, sehingga kami pun banyak lupa.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya kalian mau berkesinambungan dalam beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada di sisiku dan kalian terus mengingat-ingatnya, maka niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidurmu dan di jalan. Namun Hanzhalah, lakukanlah sesaat demi sesaat.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali. (HR Muslim no. 2750)

Tuh, yang terpenting adalah beramal shalih terus. Perbaiki diri, selalu berbenah agar lebih baik di setiap hari yang kita lalui. Bila ada kegagalan, jangan salahkan orang lain. Salahkan pertama kali diri kita sendiri. Lalu, berusaha untuk memperbaiki dan bangkit kembali. Siap ya? Harus! [O. Solihin | Twitter @osolihin]

1 thought on “Buruk Muka Cermin Dibanting

  1. Seorang teman pernah cerita. Ini kejadian nyata. Ceritanya begini, sebuah perusahaan media Islam mengangkat seorang distributor untuk membantu mengelola distribusi medianya di sebuah kota. Tapi ternyata sang distributor itu malah melakukan kesalahan dengan ‘menilap’ uang setoran. Entah, mungkin kepepet atau merasa bisa bayar suatu saat nanti dia nekat melakukannya. Parahnya, apa yang dilakukannya itu nggak diberitahukan kepada perusahaan. Mungkin malu. Tapi karena keterusan nggak disetor-setor sementara mungkin kebutuhan hidup mendesaknya untuk melakukan itu, maka uang setoran yang seharusnya disetor ke perusahaan media Islam tersebut malah keenakan dipake terus, akhirnya numpuk jadi utang yang nggak bisa dibayarnya.

    Nah, ketika dilakukan audit oleh perusahaan, ketahuan deh kalo dia emang jelas-jelas memakai uang tersebut. Karena masalahnya dianggap sudah serius dan membahayakan masa depan perusahaan, akhirnya dipecat. Tapi, yang bersangkutan malah bilang, “Kerja dengan pengemban dakwah kok kayak kerja dengan orang lain aja” (sensor: dia kabarnya nyebut nama etnis tertentu). Dengan bilang begini, sebenarnya ia udah melakukan argumentum ad hominem. Payah banget kan? Udah jelas-jelas dia salah, masih sempet-sempetnya menyalahkan perusahaan. Bener-bener nggak tahu malu dan nggak tahu diri. Bilang maaf kek, seperti, “Afwan, saya memang waktu itu lagi kepepet. Jadi saya pakai uang setoran ini nggak bilang dulu. Jika memang itu keputusan final dari perusahaan dengan memberhentikan saya, saya bersedia menerimanya dan siap memgembalikan uang yang saya pake.” Tuh, enak kan kalo mau jujur dan berani bertanggung jawab? Nggak ribet. Tapi, kayaknya jaman sekarang sangat jarang yang bisa begitu deh. Iya nggak sih?

    >>> mungkin karena naluri mempertahankan eksistensinya kuat dia malu, dan ini contoh kefakiran membawa kepada kekufuran.

Comments are closed.