Friday, 22 November 2024, 05:01

gaulislam edisi 430/tahun ke-9 (8 Rabiul Akhir 1437 H/ 18 Januari 2016)

 

Bisa jadi seseorang itu menjadi sombong karena merasa dirinya mempunyai banyak kelebihan dan menganggap orang lain mempunyai banyak kekurangan. Umumnya sih begitu. Iya kan? Kamu bisa lihat sendiri deh teman yang suka petantang petenteng karena memiliki sesuatu yang bisa diandalkan. Ini biasanya bisa dilihat pada orang yang baru bisa dan adabnya nggak bagus. Klop. Kalo punya adab yang baik, akhlak yang baik, dan keimanan yang bagus, nggak bakalan tuh jadi sombong kalo punya ilmu atau keahlian yang lebih dari teman yang lain. Beneran!

Sobat gaulislam, orang yang sombong itu bisa dilihat dari indikasinya yang umumnya menolak kebenaran dan meremehkan manusia lainnya. Wah, ati-ati deh tuh, kalo sampe menolak kebenaran dan merendahkan manusia, bisa-bisa terancam tak masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar ‘dzarah’ (partikel atom) dari kesombongan.” Maka seseorang bertanya, “Sesungguhnya ada kalanya seseorang itu senang berpakaian baik (bagus) dan sandalnya yang bagus.” Nabi bersabda, “Sesunggunya Allah itu Maha Indah, Dia menyukai keindahan, adapun kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan menghina manusia.” (HR Muslim dari Abdullah bin Mas’ud ra.)

Nah, misalnya di sekolahmu ada teman kamu yang berbuat maksiat tapi nggak mau terima kalo diingetin. Malah sewot sama kamu yang ngingetin. Itu sombong lho namanya. Padahal nih, tujuan kita ngingetin dia tuh baik. Misalnya aja kita negur teman yang pacarannya hot banget (kalo pun pacarannya nggak hot, tetap aja yang namanya pacaran tuh dilarang dalam Islam), supaya menghentikan kebiasaan jeleknya itu. Eh, dia malah bilang, “Apa pedulimu? Urus aja diri sendiri. Jangan cerewet berdalil segala di depan gue. Terserah elo. Mo bilang apa pun, gue nggak peduli.”

Halah, dinasihatin kok malah sewot. Ditegur malah ngebul ubun-ubunnya saking marahnya dia. Padahal, kita nasihatin, ngingetin, atau negur itu adalah tanda sayang. Tanda cinta dan peduli kita kepadanya. Tapi, teryata air susu dibalas air tuba. Mungkin bagi mereka yang udah ngerasa benar sendiri (atau hawa nafsunya jadi panglima?), sikap cuek alias nggak peduli ini dianggap jadi pilihannya dan senjata untuk menangkis orang lain yang rewel ikut campur urusan ‘dalam negerinya’. Ah, kayaknya doi belum bisa bedain mana sikap teman yang sok ikut campur dengan sikap teman yang emang mau nolongin dia. Kayaknya perlu belajar lagi deh tuh orang. Bukan maksud saya sombong or congkak nih, tapi kenyataan bahwa kalo orang nggak mau belajar ya kayak gitu. Wawasannya sempit dan nggak mau dengerin pendapat orang lain. Tul nggak sih?

 

Perlu tahu bahaya sombong

Ibnu Harist al-Hafi mendefinisikan kesombongan dan ujub dengan ungkapan “Jika engkau merasa amalmu banyak sedang amal orang selainmu sedikit”. Wah, meski kita berusaha sekuat tenaga untuk ngumpulin pahala, tapi bukan berarti harus memandang amal orang lain rendah ketimbang amal kita. Itu bisa jatuh ke dalam bentuk sikap sombong.

Syaikh Fudhail bin Iyadh, salah satu guru Imam Syafi’i, menjelaskan bahwa iblis akan menang melawan bani Adam, hanya dengan menjadikan manusia memiliki satu dari tiga perilaku, yaitu: Pertama, ujubnya seseorang terhadap dirinya (sombong). Kedua, menganggap banyak amal yang telah dilakukannya. Ketiga, melupakan dosa-dosanya. Hmm… jadi kayaknya kita kudu ati-ati banget kalo udah merasa paling oke ketimbang yang lain. Sehingga kalo diingetin or dinasihatin kita cuek aja dan menganggap yang ngasih nasihat tuh nggak ada apa-apanya dibanding kita.

Semoga saja kita bisa ngindarin sikap sombong. Sebab, menurut seorang teman dengan setengah berpuisi nulis di sebuah grup diskusi dunia maya: “Berapa banyak lentera yang cahayanya mati tertiup angin. Berapa banyak ibadah yang pahalanya rusak oleh kesombongan. Amal soleh adalah cahaya dan cahaya itu bisa padam oleh angin ‘ujub dan kesombongan.”

Itu sebabnya, Hasan al-Basri tidak merasa yakin untuk mengatakan bahwa dirinya pasti beriman, lantaran kekhawatirannya bila Allah Ta’ala memandang amal-amal yang dia lakukan ternyata tidak sesuai dengan tuntutan keimanannya. Ia pernah ditanya, “Ya, Hasan apakah engkau seorang mukmin?”

Hasan al-Basri hanya menjawab, “Insya Allah”. Penanya terkejut dengan jawabannya.

“Kenapa engkau menjawab seperti itu?”

Imam Hasan al-Basri mengatakan, “Aku takut jika aku katakan ‘ya, aku mukmin’ tetapi Allah mengatakan ‘engkau bohong’ karena itu aku katakan insya Allah. Aku tidak merasa aman jika suatu ketika Allah mendapatiku melakukan apa yang Dia benci, lalu Dia murka kepadaku dan mengatakan ‘pergilah Aku tidak menerima amal-amalmu’”.

Ini memang sikap zuhud dari Imam Hasan al-Basri. Saking khawatirnya jatuh ke dalam ujub alias sombong, beliau sampe mengatakan demikian. Khawatir jika kemudian pernyataannya bikin bangga dengan dirinya sendiri dan merendahkan orang lain. Meski sebenarnya boleh juga bila kita dengan semangat menuliskan: “Proud to be muslim”. Tentu ini sebagai wujud rasa syukur kita sebagai muslim, dan tentunya akan berusaha untuk meningkatkan level kita menjadi seorang mukmin.

Sobat gaulislam, kalo kita udah mampu mengenal diri kita luar-dalam, kayaknya insya Allah deh kita nggak bakalan sombong dan menganggap orang lain rendah ketimbang kita. Kita juga mau menghargai orang lain yang mengingatkan kita dan menegur kita jika kita berbuat salah. Karena kita yakin dan sadar bahwa sebagai manusia kita pasti banyak sisi lemahnya. Seringnya kita lupa. Jadi, kalo ada orang yang ngingetin kan seharusnya bersyukur. Jangan malah sewot dan merasa direndahkan. Lalu dengan sombong kita bilang: “Gue nih lebih tahu daripada elo!” Waduh!

 

Manusia memang tak sempurna

Oya, manusia emang nggak ada yang sempurna. Ia bisa gagal, bisa sukses, ada yang rejekinya lancar, ada yag seret, ada yang dikaruniai wajah cantik dan ganteng, tapi tak sedikit yang biasa-biasa aja bahkan mungkin buruk rupa menurut ukuran manusia. Nggak ada yang sempurna. Itu sebabnya, yang dibutuhkan adalah sikap saling membantu, kepedulian, dan perhatian. Bukan malah sombong atau merendahkan orang lain. Nggak mau diatur atau nggak mau diingatkan.

Nah, ketika kita diberitahu oleh orang lain bahwa kita telah salah, seharusnya kita segera mengintrospeksi diri. Dan kita nggak perlu takut dengan mengakui kesalahan, karena kesalahan bisa dilakukan siapa saja. Nggak kenal usia dan nggak tergantung kedudukan seseorang. Anak TK sampe presiden aja bisa salah kok. Jadi, nggak perlu nepsong dan nggak mau nerima kesalahan ketika diingatkan oleh orang lain.

Sebab nih, kesalahan memungkinkan kita melihat kemajuan yang telah kita raih. Coba deh, jika kita merekam kesalahan pada saat pertama kali kita belajar silat, rekamlah latihan kita selama tiga bulan. Kita akan melihat perubahan yang signifikan menuju ke arah yang lebih baik.

Sobat gaulislam, kesalahan juga akan membuat kita belajar dari orang lain. Mengakui kesalahan yang udah jelas alias terang benderang adalah bagian dari sikap lapang dada dan sekaligus menekankan bahwa sebagai manusia kita memang nggak sempurna. Butuh bimbingan dan arahan dari orang lain. Nggak boleh banget ngerasa sombong gara-gara kita udah punya banyak jam terbang dalam keahlian yang dimiliki atau punya catatan rekor kerja yang bagus. Karena ada saatnya kita bisa mengalami kegagalan dan bahkan kesalahan dalam berbuat. Kegagalan dan kesalahan itu universal alias bisa dilakukan siapa aja.

Suatu hari Lukman al-Hakim menasihati anaknya: “Janganlah engkau palingkan wajahmu dari manusia dan jangan menjauhkan diri dari mereka. Janganlah engkau memandang manusia dengan remeh dan hina. Janganlah engkau bergaul dengan orang-orang yang hasad, dengki, dan sombong. Hiduplah engkau bersama manusia dan untuk manusia. Dengarlah dengan teliti jika manusia berbicara dan bergaul denganmu. Tunjukkanlah kepada mereka wajah manis, riang, dan gembira. Senantiasa kamu melemparkan senyum kepada mereka. Jika engkau selalu bersama mereka, mereka akan mencintaimu. Senyum selalu, dan berlemah-lembutlah kepada mereka. Jika engkau merendahkan hati terhadap mereka, mereka akan memuliakan kamu. Ketahuilah wahai anakku, bahwa orang sombong itu tak ubahnya seperti seorang yang berdiri di puncak bukit. Apabila dia melihat ke bawah, semua manusia kelihatan kecil, sedangkan dia sendiri nampak kecil di mata semua manusia lainnya.” (Dr. Fathullah al-Hafnawi, Mutiara Nasihat Lukman al-Hakim, hlm. 84-85)

So, menyombongkan diri itu banyak mudharat alias kerusakan buat pelakunya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain dari pada Allah.” (QS an-Nisaa’ [4]: 173)

Nah, sikap or sifat takabur bin sombong ini bisa ngerusak kekhilasan kita lho. Bisa jadi, suatu saat kamu dinasihatin sama temen kamu yang ilmunya di bawah kamu. Tapi karena kamu merasa gengsi kamu jadi menyombongkan diri. Ah, jadi nggak ikhlas deh. Padahal, salah satu ciri ikhlas adalah kita rela diberi nasihat oleh siapa pun selama nasihatnya benar dan apa yang kita lakukan memang salah. Kalo dinasihatin aja nggak mau padahal nasihat teman kita itu benar, berarti udah ada tuh benih-benih nggak ikhlas dalam diri kita. Amalan kita jadi sia-sia karena digerus sifat takabur bin sombong. Rugi banget deh. Iya kan?

So, mulai sekarang perbaiki sikap. Kalo ada benih kesombongan mulai tumbuh di hati, segera istighfar, mohon ampun kepada Allah Ta’ala, lalu berbuat baik semaksimal kita bisa. Bertemanlah dengan orang yang rendah hati. [O. Solihin | Twitter @osolihin]