Friday, 22 November 2024, 01:26

Punya anak kandung memang selalu jadi dambaan setiap keluarga. Apalagi yang baru merit. Biar ketahuan hasilnya. Hehehe…tapi nggak bagi seorang teman kuliah penulis yang udah mo merit dalam waktu dekat. Doi justru agak paranoid untuk punya anak kelak. Apa pasal? Doi bilang, takut kalo entar anaknya nggak bisa sekolah. Kok? Iya, lantaran biaya pendidikan kian hari kian melangit. Daripada nggak bisa penuhi hak pendidikan anaknya, kan dosa, mendingan punya anak entar aja kalo rumah tangganya udah mapan. Nggak sekalian aja daripada nggak punya keturunan, jadi mendingan nggak usah merit. Huehehe…

Sobat, rasa khawatir yang dirasain temen penulis di atas, juga hadir di hati mayoritas orangtua di negeri ini. Bagi orangtua yang masih bisa berpikir jernih demi memenuhi hak pendidikan anaknya, insya Allah cara halal masih mereka utamakan. Tapi nggak sedikit orangtua yang depresi juga dengan permasalahan pendidikan anaknya. Hingga mereka kudu berbuat kriminal dengan mencuri, mengutil, mencopet, atau perilaku harian Gerombolan Si Berat lainnya demi membiayai sekolah anaknya. Malah ada yang sampe ‘mengajak’ anak-anaknya mengakhiri hidup lebih cepat, seperti yang pernah terjadi di Malang. Naudzubillah!

Ongkos pendidikan formal di negeri ini nggak murah. Untuk setiap jenjang pendidikan, kita kudu merogoh kocek dalem banget. Mulai dari TK, SD, SMP, SMA, apalagi pendidikan tinggi. Sementara lebih dari setengah penduduk di negeri ‘kucing garong’ ini hidup di bawah garis kemiskinan. Walhasil, seorang penulis dari Yogyakarta, Eko Prasetyo, coba tuangkan keprihatinannya dalam sebuah buku dengan judul “Orang miskin dilarang sekolah”. Nah lho!

Kenapa biaya pendidikan mahal?
Tingginya ongkos pendidikan bisa disebabkan dua faktor. Pertama, faktor internal terkait dengan kebijakan masing-masing sekolah untuk menaikkan biaya pendidikan setiap tahunnya. Dulu, masuk sekolah negeri jadi dambaan lantaran lebih murah biayanya dibanding swasta yang kudu menghidupi keberlangsungan pendidikannya tanpa subsidi pemerintah. Kini, udah nggak ada bedanya euy. Sekolah negeri atawa sekolah swasta, sama mahalnya.

Kita juga bisa memaklumi kenapa tiap sekolah menaikkan ‘harga jual’-nya. Mereka mesti menjaga kualitas pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana memadai dan  staf pengajar yang handal. Sementara sumber pendanaan, yang keliatan cuma dari siswa atau investor. Kalo udah gini, ujungnya bakal lari ke komersialisasi pendidikan. Akibatnya, fungsi sekolah pun bergeser. Tadinya sebagai tempat pendidikan yang non profit oriented, menjadi layaknya tukang dagang yang menawarkan produk pendidikan. Kalo setuju dengan harga masuknya, silahkan daftar. Kalo nggak, silahkan cari sekolah lain. Kejem amat ya?

So, nggak heran, jika tiap sekolah berlomba-lomba berpromosi dengan menonjolkan keunggulan fasilitas yang disediakan bagi siswanya. Dengan harapan bisa menggaet calon pelajar meski biaya pendidikan di tempatnya lumayan tinggi. Kalo udah begini, ortu kita yang setengah hidup mempertahankan stabilitas ekonomi keluarga jadi tambah pusing. Kudu milih antara melanjutkan pendidikan anaknya atau menyelamatkan kondisi keuangan keluarga yang tarikan napasnya udah senen-kemis.

Kedua, faktor eksternal yang menopang mahalnya biaya pendidikan adalah kebijakan pemerintah yang berpengaruh besar pada keberlangsungan nasib pendidikan formal di masing-masing sekolah. Semenjak pemerintah mencabut subsidi pendidikan, sekolah negeri khususnya tingkat menengah, pontang-panting nyari dana untuk ‘mempertahankan hidup’.

Kondisi ini diperparah dengan perubahan status perguruan tinggi menjadi PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) yang diperkuat dengan RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan). Agar negara bisa lebih lepas tangan untuk ngurusin pendidikan rakyatnya. Semuanya diserahkan pada rakyat dan pihak swasta. Akibatnya, perguruan tinggi pun kudu ikut-ikutan banting tulang nyari sumber pendanaan biar nggak gulung tikar. Nah, cara paling mudah, ya dengan menaikkan biaya pendidikan. Halah!

Sobat, kita pasti nggak akan mencak-mencak soal biaya pendidikan yang kian melangit ini kalo aja negara komitmen dengan perannya sebagai pengayom rakyat. Seperti tercantum dalam UUD’45 pasal 31 tentang hak pendidikan rakyat. Ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Dan ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Sayangnya, pemerintah suka pura-pura lupa kalo diingetin aturan di atas. Bukan lupa sih tepatnya, tapi melupakan. Iya tuh, lupa aja nggak baik, apalagi melupakan. Inilah ruginya diatur sistem Kapitalisme! Catet tuh!

Diskriminasi di alam Kapitalisme
Fenomena “orang miskin dilarang sekolah” hanya sebagian kecil saja bentuk diskriminasi yang terjadi di alam kapitalisme. Walau teorinya bilang kapitalisme ngasih kesempatan dan hak yang sama pada setiap anggota masyarakat, tapi kenyataan menunjukkan sebaliknya. Terutama dalam hal pelayanan publik, orang miskin nggak hanya dilarang sekolah, tapi juga dilarang sakit, lapar, atau malah dilarang hidup. Walah!

Ya, inilah yang terjadi ketika pemilik modal (kapitalis) alias yang punya duit banyak bisa bebas beli apa aja (termasuk pulau, hutan, sungai, minyak bumi, sekolah, rumah sakit, atau sumber sembako) dan menguasinya secara pribadi. Kemudian menjualnya kepada masyarakat yang membutuhkan dengan harga tinggi demi meraup keuntungan berlipat. Dasar mata duitan!

Di dunia pendidikan, kabanyakan hanya para orang kaya yang dengan mudah masuk sekolah unggulan dengan kualitas pendidikan maksimal, yakni sarana yang lengkap mulai dari komputer berikut fasilitas internet, perpustakaan, laboratorium, hingga ruangan kelas yang full AC. Sementara orang miskin, jangankan sekolah, bermimpi biar nggak buta huruf aja mesti mengorbankan jeritan pilu cacing-cacing yang menghuni perut keroncongannya. Kacian banget cih!

Akibatnya, saat ini terdapat sedikitnya 283.990 anak dari 21,7 juta anak di Indonesia yang mengalami buta aksara. Selain itu, data yang diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Tahun 2002 juga menunjukkan angka putus sekolah tingkat SD sebesar 1,46 persen, tingkat SLTP/MTs 2,27 persen serta tingkat SLTA yang mencapai 2,48 persen.

Data yang masih dianggap mutakhir tersebut juga menyebutkan presentasi tidak terjangkaunya anak-anak usia SD hingga SLTA ke dalam jenjang pendidikannya masing-masing. Sedikitnya 5,50 persen anak usia 7-12 tahun tidak mendapat layanan pendidikan SD/MI, 44,30 persen anak usia 13-15 tahun tak mendapat pendidikan SLTP/MTs, 67,68 persen anak usia 16-18 tahun tak memperoleh pendidikan SLTA serta 72,65 persen anak usia 0-6 tahun tidak mengalami pendidikan usia dini. (www.indonesia.go.id, 07/08/06).

Sikap diskriminatif di alam kapitalisme juga telah memaksa setiap orang untuk menyetujui prinsip hidup “uang adalah segalanya”. Sehingga, orang berlomba-lomba meraup materi sebanyak mungkin meski kudu menghalalkan segala cara. Ini yang bisa memicu konflik dan membidani lahirnya masalah sosial. Kriminalitas, bandar narkoba, prostitusi, atau kerusuhan hanya sebagian kecil saja produk sampingan akibat diterapkannya kapitalisme oleh negara selain pengangguran atau anak putus sekolah. Kalo kondisi ini yang tengah mengepung kita sekarang, masa’ sih kita tetep betah? Ora sudi kita mah!

Yup, kondisi ini harus segera diakhiri. Cukup sekali saja kita merasa dikadalin ama Kapitalisme. Nggak mau ditipu lagi.

Ini juga urusan kita, Bro…
Sobat, adanya pilih kasih dalam pendidikan kian mensukseskan proses pembodohan massal di tengah kita. Serem ya kedengerannya. Tapi emang ini yang sedang terjadi. Persis kayak jaman penjajahan. Dulu, rakyat jelata banyak yang buta huruf lantaran dilarang sekolah oleh pemerintah penjajah. Hanya golongan ningrat dan keluarga penjajah aja yang bisa mengenyam pendidikan formal. Kondisi ini yang mendorong RA Kartini untuk memperjuangkan kesamaan hak dalam berpendidikan bagi rakyat pribumi.

Bedanya, saat ini tembok pembatas hak pendidikan bukan diciptakan oleh penjajah Barat, melainkan secara tidak langsung oleh kebijakan pendidikan pemerintah sendiri. Ironis emang. Di satu sisi, pemerintah mewajibkan rakyatnya untuk sekolah, tapi di sisi lain justru pemerintah sendiri yang menghalangi rakyat untuk menunaikan kewajibannya. sungguh terlalu! (gayanya Samin di sinetron Entong)

Kalo udah terjadi pembodohan massal dari sekarang, bisa kita bayangin deh gimana nasib negeri ini pada 5 sampai 10 tahun ke depan. Iih… syerem. Kita bakal kekurangan orang-orang yang berpendidikan. Orang-orang yang layak menjadi tumpuan harapan perbaikan kondisi di negeri kita. Orang-orang yang menyadarkan rakyat dari penipuan di balik liberalisasi pendidikan. Dan orang-orang yang bersama rakyat bergerak untuk mengingatkan pemerintah dari penjajahan terselubung di balik pinjaman dan hutang luar negeri. Kalo orang-orang berpendidikan kayak gini kian hari kian langka, alamat penjajahan di negeri kita juga bakal awet. Berabe tuh!

Nah sobat, meski untuk urusan pendidikan, kebanyakan kita masih disubsidi ortu bukan berarti kita cuek bebek dengan kondisi itu. Tetep, biaya pendidikan yang kian mahal kudu jadi urusan kita. Lantaran akibatnya juga bakal kita rasain. Allah swt berfirman: “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaanNya.” (QS al-Anfâl [8]: 25)

Ali bin Abi Thalib meriwayatkan dari Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat ini dengan, ‘Allah menyuruh kaum Mukminin agar jangan membiarkan orang mungkar di tengah-tengah mereka, maka nanti azab akan meliputi mereka.’ Penafsiran ini ditegaskan oleh Rasul dalam sabdanya, “Sesungguhnya manusia, bila melihat kemungkaran sedangkan tidak berupaya mencegahnya, maka tunggulah  saatnya Allah akan menurunkan azabnya secara menyeluruh.” (HR Abu Dawud)

Kini, yang bisa kita lakukan adalah seoptimal mungkin menjadi orang-orang berpendidikan seperti harapan umat. Bukan malah asyik kelayapan nggak karuan saat jam pelajaran cuma lantaran diajak teman dan takut dianggap nggak toleran. Kita yang akan menyadarkan umat, mengingatkan pemerintah, dan berjuang untuk mengembalikan negara pada perannya sebagai pengayom rakyat. Bukan malah menjadi pengayom penjajah yang menguras sumber daya alam kita dan memeras keringat dan tenaga kita untuk kepentingan mereka. Saatnya bangkit dengan Islam yang diterapkan sebagai ideologi negara. Yuk! [hafidz: hafidz341@telkom.net]