Sunday, 24 November 2024, 09:11

gaulislam edisi 451/tahun ke-9 (8 Ramadhan 1437 H/ 13 Juni 2016)
 

Banyak orang yang kini mulai aneh-aneh mikirnya. LGBT kudu dihargai (pelaku LGBT minta ditolerir sama yang normal) dengan alasan HAM. Guru yang menghukum anak didiknya supaya disiplin malah diadukan ke polisi dan akhirnya nginep beberapa hari di sel tahanan polisi. Kalo zaman kami sih, ketika ngadu ke ortu gara-gara dimarahi guru atau dihukum sama guru, malah dapat hukuman tambahan dari orang tua.

Oya, dulu ketika saya sekolah, berkembang juga tuh semacam dalih (walau mereka ada yang bilang logika) bahwa kita nggak boleh memaksa para cewek muslimah untuk berjilbab. Intinya sih, dengan kata lain, kalo disesuaikan dengan zaman sekarang, hormatilah mereka yang nggak pake jilbab. Itu sebabnya, dulu ada juga pernyataan, “yang penting jilbabin dulu hatinya, sebelum berjilbab”. Ini dalih para cewek yang ogah berbusana muslimah. Alasannya, percuma berbusana muslimah kalo sering ghibah dan berperilaku buruk lainnya. Hmm.. sekilas sih, kalo nggak pake ilmu, kelihatannya bener. Padahal, itu salah.

Nah, tak terkecuali di bulan Ramadhan sekarang, nih. Biasanya yang kita gembar-gemborkan adalah, “Hormatilah orang yang berpuasa.” Tapi sekarang mulai kebalik: “hormatilah orang yang tak berpuasa”. Mereka yang mengeluarkan pendapat ini berbusa-busa mengeluarkan seabrek logika (katanya). Ketika ada razia oleh satpol PP terhadap pemilik warung makan yang buka di siang hari, ada saja komentar di dunia maya yang malah membela pemilik warung. Kan, aneh. Memang, mungkin saja cara razia atau penertibannya nggak baik, tetapi intinya kan sebetulnya ingin menjaga suasana Ramadhan agar terasa selayaknya bulan Ramadhan, yang di siang hari warung makan nggak buka dan nggak melayani pembeli.

Sobat gaulislam, ngomong-ngomong soal buka warung makan di siang hari yang kini jadi kontroversi, kita coba cermati ya. Kalo di siang hari di bulan Ramadhan ada warung makan buka, kira-kira buat siapa ya ditujukan jualannya? Kalo di terminal atau stasiun, mungkin kita berpikir, “oh, buat yang sedang dalam perjalanan jauh, atau buat ibu-ibu dan anak remaja cewek yang sedang haidh”. Tetapi, apa alasan ini bisa diterima begitu saja? Bisa jadi masih pro-kontra, juga tuh. Why?

Ya, sebab bisa saja mereka yang bepergian tahu diri juga. Misalnya, bawa bekal dari rumah. Makannya pas di kendaraan aja. Diberikan juga pengarahan kepada para penjual makanan, bukanya menjelang maghrib (tapi nggak nerima pembeli yang makan di tempat sebelum buka shaum) sampai menjelang sahur saja. Sambil ditekankan bahwa Allah Ta’ala yang mengatur rezeki kita. Sayangnya, bukannya menghormati yang berpuasa, yang nggak puasa malah yang harus dihormati sama yang puasa. Ini namanya udah kebalik-balik cara berpikirnya.

Tanpa dikampanyekan kayak sekarang bahwa yang berpuasa harus menghormati yang tak berpuasa, yang makan di warung-warung makan saat siang hari di bulan Ramadhan juga banyak. Hanya saja masih malu-malu. Pemilik warung memasang tirai. Entah apakah dengan digunakannya tirai itu tujuannya untuk menghormati yang puasa, karena nggak enak kalo terang-terangan, atau karena pertimbangan bisnis semata. Tetapi intinya mereka malu. Kita khawatir kalo sekarang ada pihak yang mengkampanyekan supaya menghormati yang tak berpuasa, malah jadinya nanti pemilik warung makan buka seenaknya (alias terang-terangan) untuk jual makanan di siang hari bulan Ramadhan. Jadi kacau, kan?

 

Logika dan berpikir benar

Saya mengutip dari blognya Dr Hamid Fahmy Zarkasyi (hamidfahmy.com), yang membahas tentang berpikir logis dan argumentatif. Menurut beliau, secara etymologis logika berasal dari kata logos yang mempunyai dua arti 1) pemikiran 2) kata-kata. Jadi logika adalah ilmu yang mengkaji pemikiran. Karena pemikiran selalu diekspresikan dalam kata-kata, maka logika juga berkaitan dengan “kata sebagai ekspresi dari pemikiran”. Sementara itu qiyas berarti ukuran. Jika dikaitkan dengan pemikiran maka qiyas berarti ukuran kebenaran berpikir. Namun secara definitif logika berarti “ilmu tentang hukum yang menentukan validitas berpikir”.

Dijelaskan lebih lanjut dalam blog tersebut, karena logika merupakan ilmu normatif, maka ia memiliki kaidah berpikir yang bersifat normatif, artinya logika meletakkan kaidah-kaidah atau standar bagaimana seharusnya kita berpikir. Ia tidak menjelaskan tentang bagaimana kita berpikir (karena ini menjadi topik pembahasan ilmu psikologi), tapi bagaimana seharusnya kita berpikir. Kaidah-kaidah berpikir menyerupai kaidah etika dan estetika karena semuanya bersifat normatif.

Kaidah-kaidah berpikir dalam logika dimaksudkan untuk menentukan apakah suatu pemikiran itu disebut valid atau tidak, artinya benar atau tidak menurut kaidah logika. Valid atau benar menurut kaidah logika terdapat dua makna:

Pertama, tidak kontradiktif (self-contradictory) atau bebas dari sifat kontradiktif. Ini dalam logika disebut validitas formal (formal validity). Seperti misalnya mengatakan segitiga berbentuk empat persegi panjang. Segi empat berbentuk bulat.Contoh berpikir yang kontradiktif adalah sbb:

Manusia adalah makhluk yang akan mati

Mahasiswa adalah manusia

Maka mahasiswa tidak akan mati

Argumentasi di atas salah karena kesimpulannya bertentangan (kontradiktif) dengan pernyataan (premis) sebelumnya. Seharusnya kesimpulannya maka mahasiswa akan mati.

Kedua, sesuai dengan ralitas yang sebenarnya (agree with actual reality). Ini disebut validitas material (material validity). Seperti misalnya:

Manusia adalah meja

Buku adalah manusia

Maka manusia adalah meja

Argumentasi di atas tidak kontradiktif, karena kesimpulannya merupakan hasil dari dua pernyataan (premis) sebelumnya, tapi argumen ini tidak valid. Mengapa? Karena apa yang dinyatakan dalam argumentasi tersebut tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya.

Dari kedua macam validitas di atas maka logika dibagi menjadi dua macam 1) Logika Deduktif 2) Logika Induktif. Logika Deduktif hanya melihat validitas formal suatu pemikiran atau argumentasi, maka dari itu seringkali disebut dengan Logika Formal (formal logic). Logika Induktif menekankan pada validitas material suatu pemikiran, maka dari itu disebut juga sebagai Logika Material.

Dalam logika deduktif masalah yang diangkat adalah apakah suatu pemikiran konsisten? Sedangkan dalam logika induktif pertanyaan yang dimunculkan adalah apakah suatu pemikiran itu konsisten dengan realitas yang ada? Yang pertama melihat bentuk (form) pemikirannya, sedangkan yang kedua meninjau substansi pemikirannya. Maka dari itu agar suatu argumentasi dihukumi sebagai valid maka ia harus memiliki validitas formal dan juga material, artinya tidak kontradiktif dan harus konsisten dengan realitas aktual.

Itu sebabnya, jika kita mendengar suatu pernyataan atau argumentasi, kita harus menguji argumentasi tersebut dari dua sisi, pertama apakah argumentasi itu secara logis tidak kontradiktif dan kedua apakah argumentasi itu secara substantif sesuai dengan realitas. Catet ya!

 

Logika cekak

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), cekak itu artinya buah pikiran yang sudah terlambat tidak ada gunanya. Itu artinya, logika cekak itu ya, logika yang aneh dan nggak masuk akal. Kalo pun yang dibahas tentang menghormati orang yang tak berpusa, jelas ada keanehan. Sebab, secara realitas pun, seharusnya yang utama untuk dihormati adalah yang menjalankan ibadah shaum (puasa), bukan yang tidak puasa. Sehingga yang nggak berpuasa itu seharusnya tahu diri. Jika pernyataan seperti ini dibiarkan, nanti akan melebar lagi, yang shalat harus menghormati yang nggak shalat. Lha, gimana jadinya?

Persoalan ini kan bukan antara muslim dengan kafir. Tetapi yang muslim dengan yang muslim. Bahkan, dalam kondisi tertentu, yang nonmuslim harus menghormati yang muslim, contohnya ibadah puasa ini. Sebab, ini sifatnya wajib bagi muslim, dan di negeri ini jumlahnya mayoritas. Maka, sudah sepantasnya yang nonmuslim menghormati. Masalahnya nih, dalam kampanye “hormatilah orang yang nggak berpuasa”, itu kesannya kan membela mereka (muslim) yang nggak berpuasa. Sementara yang muslim dan berpuasa diminta bersabar dan harus menghormati muslim lainnya yang nggak berpuasa. Nggak kebalik nih?

Sobat gaulislam, begitu juga dengan logika cekak dari pihak yang membela perempuan yang mengenakan rok mini, “Yang salah bukan wanita yang mengenakan rok mini. Tetapi salahkanlah lelaki yang pikirannya jorok dan porno”. Ini jelas aneh cara berpikirnya. Kalo saling menyalahkan kayak gitu, nggak akan ada solusi yang benar. Untuk masalah ini, harus dirunut sebab-akibat. Bukan menyalahkan akibatnya, tanpa mempermasalahkan sebabnya. Betul nggak?

Ini cara berpikir yang tidak argumentatif. Jelas, ada kesalahan berpikir. Kalo dalam Islam, wanita yang keluar rumah nggak menutup aurat, dosa hukumnya. Laki-laki yang nggak menundukkan pandangan juga digolongkan berdosa. Kesimpulannya, berarti masing-masing harus tahu aturan mainnya. Perempuan yang mengenakan rok mini ketika keluar rumah, salah. Lelaki yang melihatnya juga salah. Jika terjadi pelecehan seksual, yang disalahkan keduanya. Bukan salah satu. Tetapi, faktor sebab menjadi yang diominan kudu disalahkan ketimbang akibat. Jadi harus diberesin dulu sebabnya. Tak ada asap kalo nggak ada api.

Menghormati yang nggak berpuasa, jelas logika cekak. Sebab, seharusnya yang nggak berpuasa menghormati yang berpuasa. Harus tahu diri. Lagian, nggak semua kaum muslimin itu kuat imannya menahan godaan dari mereka yang nggak berpuasa tapi mempertontonkan makan dan minum di ruang publik seenaknya. Gimana dengan yang imannya belum kuat, gimana dengan anak-anak yang sedang dilatih berpuasa? Bisa bahaya itu!

Kita pantas prihatin, karena sudah terlalu banyak diminta toleran. Padahal, atas sesuatu yang seharusnya tidak ditoleransi. Ketika marak kasus LGBT, kita yang normal diminta toleran alias membolehkan (minimal membiarkan) kepada pelaku LGBT yang jelas nggak normal secara fitrah manusia. Alasannya, perilaku mereka dilindungi HAM. Ketika marak warung makan buka dan jualan makanan di siang hari Ramadhan, kita yang taat melakukan ibadah shaum malah diminta toleran (bahkan disuruh menghormati) mereka (dari kalangan kaum muslimin) yang nggak shaum. Alasannya juga, bisa jadi HAM. Udah kebalik-balik tuh cara berpikirnya. Kalo gitu, berarti kalian bukan sedang berlogika, tapi bisa jadi, “lo gila” [O. Solihin | Twitter @osolihin]