gaulislam edisi 454/tahun ke-9 (29 Ramadhan 1437 H/ 4 Juli 2016)
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Alhamdulillah, edisi 454 ini yang terbit pada 4 Juli 2016, bertepatan dengan tanggal 29 Ramadhan 1437 H. Artinya, ya Ramadhan sudah akan meninggalkan kita semua dalam sehari atau dua hari ini. Bisa jadi ini hari terakhir Ramadhan kalo umur bulannya 29 hari. Kalo digenapkan karena tak terlihat hilal, besok hari terakhir Ramadhan. Siap atau nggak siap, Ramadhan akan pergi, berlalu dan belum tentu kita akan mendapatinya di tahun depan tersebab kita sudah tak di dunia lagi. Jangan sampe Ramadhan berlalu, tapi taqwa kita tak jua bertambah. Rugi banget tuh! Sebab, udah ada semacam janji dan ditagih tuh: Ramadhan berlalu, buktikan taqwamu!
Nah, ngomongin soal Ramadhan dan juga taqwa, ini sudah berbusa-busa disampaikan para penceramah selama bulan Ramadhan. Sebab dalam ayat tersebut memang shaum Ramadhan ini ketika dilaksanakan (seharusnya) berbuah taqwa. Itu shaum yang benar. Taqwa tumbuh dengan benar dan baik (silakan cek ya di surah al-Baqarah ayat 183). Udah nemu? Oke, silakan baca dan hayati ya. Sip!
Oya, sebenarnya apa sih definisi alias pengertian dari taqwa itu? Ah, masa’ sih kamu nggak tahu sama sekali? Beneran! Eh, serius nih? Oke. Kalo gitu saya jelasin aja ya. Kalo gampangnya sih: melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi semua larangan yang Allah Ta’ala tetapkan. Namun kalo pengen lebih lengkap, bisa menyimak pendapat Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, “Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba hanyalah mampu melalui tahapan-tahapan perjalanan menuju (ridha) Allah dengan hati dan keinginannya yang kuat, bukan (cuma sekadar) dengan (perbuatan) anggota badannya. Dan taqwa yang hakiki adalah taqwa (dalam) hati dan bukan taqwa (pada) anggota badan (saja).”
Allah Ta’ala berfirman, “Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar (perintah dan larangan) Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan (dalam) hati.” (QS al-Hajj [22]: 32)
Bisa dipahami kok. Sebab, kalo cuma ngomong doang tapi nggak ada bukti konkritnya, ya abal-abal itu mah. Misalnya bikin pernyataan, “aku tahu kalo shalat lima waktu itu wajib”. Tetapi faktanya dia nggak ngerjakan shalat. Nah, itu berarti belum bertaqwa. Sebab, belum menggerakkan hatinya untuk kemudian mendorong badannya dalam melaksanakan shalat lima waktu yang memang wajib itu.
Keteguhan hati itu penting. Ketaqwaan yang bagus itu sebenarnya muncul dari kokohnya akidah islamiyah atau keimanan berlandaskan Islam. Sebab, tanpa akidah atau keimanan yang kuat akan sulit melahirkan sikap taqwa. Harus ada pondasi yang kuat untuk melaksanakan ketaqwaan. Oya, sebenarnya taqwa itu akan memunculkan sikap lain, yakni taat kepada Allah Ta’ala, tawakal hanya kepada Allah Ta’ala, mahabbah alias cinta kepada Allah dan ridho dengan keputusan atau ketetapan dari Allah Ta’ala. Itu sebabnya, seseorang yang bertaqwa itu akan nampak pada ketaatan kepada Allah, tawakal kepada Allah, cinta dan ridho karena Allah Ta’ala. Nggak akan mungkin ada seorang muslim yang dikatakan bertaqwa tapi nggak cinta kepada Allah Ta’ala. Meski dia amal shalihnya banyak, tapi kalo nggak cinta kepada Allah, untuk apa amal shalih tersebut? Belum pula dikatakan bertaqwa meski cinta kepada Allah tapi nggak ridho dengan ketetapan atau takdir Allah Ta’ala. Belum nyambung tuh. Buktinya, banyak lho remaja yang putus asa dalam hidupnya. Mengutuki kegagalan hidup. Nggak rela menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Padahal mah, sabar aja ya. Toh, semua itu kehendak Allah Ta’ala. Jika sudah berusaha semaksimal kita bisa dan memang caranya sesuai tuntunan Islam, ya sudah tawakal saja kepada Allah Ta’ala. Perkara hasilnya, kita serahkan kepada Allah dengan tetap berharap mendapat yang terbaik. Kalo pun kemudian tak sesuai harapan, ya sabar saja. Betul nggak sih?
Lebih jauh tentang taqwa
Taqwa berasal dari kata Waqa, Yaqi, Wiqayatan, yang berarti perlindungan. Taqwa berarti melindungi diri dari segala kejahatan dan kemaksiatan. Pengertian taqwa di antaranya adalah “Imtitsalu awamirillah wa ijtinabu nawakhihi” atau melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Sobat gaulislam, ada pejelasan tentang taqwa yang lumayan bagus. Saya kutipkan dari muslim.or.id ya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Taqwa itu (terletak) di sini”, dan beliau menunjuk ke dada (hati) beliau tiga kali (lihat HR Muslim, no 2564)
Imam an-Nawawi ketika menjelaskan makna hadits di atas, beliau berkata, “Artinya: Sesungguhnya amalan perbuatan yang tampak (pada anggota badan) tidaklah (mesti) menunjukkan adanya taqwa (yang hakiki pada diri seseorang). Akan tetapi, taqwa (yang sebenarnya) terwujud pada apa yang terdapat dalam hati (manusia), berupa pengagungan, ketakutan dan (selalu) merasakan pengawasan Allah Ta’ala.” (Kitab Syarh Shahih Muslim, 16/121)
Makna taqwa yang hakiki di atas sangatlah jelas, karena amal perbuatan yang tampak pada anggota badan manusia tidak mesti ditujukan untuk mencari ridha Allah Ta’ala semata. Lihatlah misalnya orang-orang munafik di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menampakkan Islam secara lahir, dengan tujuan untuk melindungi diri mereka dari kaum muslimin, padahal dalam hati mereka tersimpan kekafiran dan kebencian yang besar terhadap agama Islam. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah membalas tipu daya mereka, dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas-malasan, mereka bermaksud riya’/pamer (dengan shalat) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali.” (QS an-Nisaa’ [4]: 142)
Demikianlah keadaan manusia dalam mengamalkan agama Islam secara lahir, tidak semua bertujuan untuk mencari ridha-Nya. Bahkan di antara mereka ada yang mengamalkan Islam hanya ketika dirasakan ada manfaat pribadi bagi dirinya, dan ketika dirasakan tidak ada manfaatnya maka dia langsung berpaling dari agama Islam.
Mereka inilah yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala,“Dan di antara manusia ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi (untuk memuaskan kepentingan pribadi), jika mendapatkan kebaikan (untuk dirinya), dia akan senang, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana/hilangnya nikmat, berbaliklah ia ke belakang (berpaling dari agama). Rugilah dia di dunia dan akhirat, yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS al-Hajj [22]: 11)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, dia masuk ke dalam agama Islam pada tepinya (tidak sepenuhnya), kalau dia mendapatkan apa yang diinginkannya maka dia akan bertahan, tapi kalau tidak didapatkannya maka dia akan berpaling. (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/281)
Sobat gaulislam, itu sebabnya nih, kalo kita bertaqwa itu nggak cukup cuma ditunjukkan secara lahir saja, tetapi juga dalam hati kita. Kalo nggak sinkron antara tampilan lahir dengan yang ada di hati, itu namanya pura-pura. Bisa pula artinya palsu belaka. Sayang banget kan? Shalat aja kudu merasa maksain diri agar bisa dilihat orang lain. Namun di hatinya dia menolak dengan sadar kalo shalat itu nggak ada gunanya. Waduh, bisa jadi munafik itu mah. Gawat!
Sama seperti remaja yang ingin tampil eksis dari sudut pandang orang lain. Mereka hanya berusaha memuaskan dirinya dari penilaian orang lain terhadapnya walau untuk menebusnya dia harus mengeluarkan duit yang nggak sedikit dan pengorbanan lainnya. Itu kan nggak akan ada habisnya. Maka, ada meme yang nyindirnya cukup jleb: “Lebih baik menggunakan dompet seharga satu dolar dan memiliki uang 99 dolar di dalamnya dari pada sebaliknya” juga “Kita membeli barang yang tidak bisa kita beli untuk membuat kagum orang yang tidak kita suka”. Waduh!
Dalam kitab Minhajul Abidin, Imam al-Ghazali membagi definisi taqwa menjadi tiga: Pertama, taqwa yang berarti takut. Kedua, taqwa bermakna taat, sesuai dengan firman Allah “Ittaqullah Haqqa tuqaatih”, Ibnu Abbas menafsirkannya dengan “athiullaaha haqqa thaa’atih”. Ketiga, taqwa yang berarti tanziihul qulub ‘anidz dzunuub (membersihkan hati dari segala dosa).
Dalam suatu riwayat yang shahih disebutkan bahwa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu bertanya kepada sahabat Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu tentang taqwa. Ubay balik bertanya, “Bukankah Anda pernah melewati jalan yang penuh duri?”
“Ya”, jawab Umar
“Apa yang Anda lakukan saat itu?”
“Saya bersiap-siap dan berjalan dengan hati-hati.”
“Itulah taqwa.” kata Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu.
Berpijak dari jawaban Ubay atas pertanyaan Umar, Sayyid Quthub berkata dalam tafsir azh-Zhilal, “Itulah taqwa, kepekaan batin, kelembutan perasaan, rasa takut terus menerus selalu waspada dan hati-hati jangan sampai kena duri jalanan. Jalan kehidupan yang selalu ditaburi duri-duri godaan dan syahwat, kerakusan dan angan-angan, kekhawatiran dan keraguan, harapan semu atas segala sesuatu yang tidak bisa diharapkan. Ketakutan palsu dari sesuatu yang tidak pantas untuk ditakuti, dan masih banyak duri-duri yang lainnya.”
Dr Abdullah Nashih Ulwan menyatakan dalam buku Ruhaniyatud Daiyah, “Taqwa lahir sebagai konsekuensi logis dari keimanan yang kokoh, keimanan yang selalu dipupuk dengan muraqabatullah, merasa takut dengan azab Allah serta berharap atas limpahan karunia dan maghfirah-Nya.”
Sayyid Quthub juga berkata “Inilah bekal dan persiapan perjalanan. Bekal ketaqwaan yang selalu menggugah hati dan membuatnya selalu terjaga, waspada, hati-hati serta selalu dalam konsentrasi penuh. Bekal cahaya yang menerangi liku-liku perjalanan sepanjang mata memandang. Orang yang bertqwa tidak akan tertipu oleh bayangan semu yang menghalangi pandangannya yang jelas dan benar. Itulah bekal penghapus segala kesalahan, bekal yang menjanjikan kedamaian dan ketenteraman, bekal yang membawa harapan atas karunia Allah; di saat bekal-bekal lain sudah sirna dan semua amal tak lagi berguna.” (dikutip dari islamiyyah.mywibes.com)
So, mereka yang bertaqwa akan menunjukkannya dalam pikiran dan perasaan, juga perilaku. Pikiran dan perasaan yang hanya berharap ridho Allah dan melakukan sesuai aturan Allah karena cinta dan ridho kepada-Nya. Siap ya membuktikan dan menunjukkan ketaqwaanmu setelah Ramadhan berlalu? [O. Solihin | Twitter @osolihin]