Saturday, 23 November 2024, 16:50

gaulislam edisi 471/tahun ke-10 (30 Muharram 1438 H/ 31 Oktober 2016)

 

Judulnya membingungkan kalo dibaca sekilas. Sebab, ada info kalo gelaran Halloween itu ya di akhir Oktober alias tanggal 31 Oktober. Jadi, malah ingat, kan? Iya, hari ini. Hehe.. tadinya mungkin lupa. Gara-gara ada tulisan ini kembali ingat. Apa benar seperti itu? Bisa iya bisa tidak. Tergantung memaknainya. Kata Ebiet G Ade, “apakah ada bedanya ketika kita bertemu dengan saat kita berpisah? Sama-sama nikmat” Hehe.. ini yang nulis udah keluar konteks deh. Ah, nggak juga. Ini sekadar sudut pandang. Lho, kok jadi bahas hal nggak penting kayak gini? Ih, ini penting,tahu!

Oke lah, lalu bagaimana menghubungkan judul tulisan ini dengan hal tadi? Nggak ada. Hah? Tahu gitu nggak usah dibahas deh. Sabar. Tenang. Ini akan nyambung kok. Maksudnya gini. Gara-gara kamu baca tulisan ini, maka kamu yang mungkin udah melupakan perayaan Halloween jadi inget lagi. Bisa juga tetap nggak mau inget lagi karena sudah tahu. Atau malah tetap nggak mau tahu meski belum pernah tahu karena yang diketahuinya bahwa itu nggak ada manfaatnya. Nah, gitu maksudnya. Penjelasannya ribet amat ya? Emang, gitu? Nggak juga kok. Enjoy, Bro en Sis!

Sobat gaulislam, kayaknya banyak di antara kamu udah pada tahu tentang perayaan Halloween yang tiap tahun digelar. Nggak lagi sekadar ritual, tetapi udah jadi lahan bisnis yang menggiurkan. Silakan kamu eksplor deh biar mantap, banyak referensi seputar sejarah Halloween. Kamu baca sampe puas. Namun yang perlu dipertegas dan diperjelas dari semua cerita seputar Halloween itu, baik yang dikarang atau juga fakta, kesemuanya bukan berasal dari Islam. Simbol dan nama-nama terkait perayaan Halloween sama sekali nggak ada hubungannya dengan khazanah Islam. Sebaliknya, berbagai versi seputar Halloween identik dengan kebudayaan jahiliyah di masa lalu, maupun jahiliyah modern. Nah, catet deh!

 

Jangan ikut-ikutan

Sedih banget sebenarnya ketika ada saudara kita yang muslim malah ikut-ikutan merayakan tradisi jahiliyah ini. Foto bareng atau foto selfie dengan kostum Halloween. Apa motifnya? Sekadar iseng? Ikut tren? Hanya maen-maen? Agar nggak disebit kudet? Ah, itu bahaya semua. Sebab, setiap muslim sewajibnya tahu dan paham mana yang salah dan mana yang benar. Mana yang haram mana pula yang wajib. Ngeh juga soal mana yang buruk dan mana yang baik. Begitupun mestinya tahu apa saja yang termasuk perbuatan tercela dan mana saja yang termasuk perbuatan terpuji. Semua itu harus diketahui dengan benar dan baik. Supaya apa? Supaya kami bisa bedain mana semut dan mana gajah. Eh, supaya jelas perbedaan antara yang haq dengan yang bathil.

Tahun 2002 saya pernah menerbitkan buku pertama berjudul “Jangan Jadi Bebek”. Di buku itu saya menulis cukup banyak perilaku dan gaya hidup remaja muslim yang seringnya hanya ngikutin tren tanpa tahu apakah tren yang diikutinya membawa manfaat atau justru mafsadat. Nggak dipikir panjang lagi apakah tren gaya hidup yang diamalkannya itu boleh atau terlarang dalam pandangan Islam. Mereka hanya ikut-ikutan tanpa tahu ilmunya. Maka, melalui buku tersebut saya ingin berpesan agar remaja muslim (atau siapapun) jangan seperti bebek (baca: membebek) yang sekadar ikut-ikutan tanpa tahu ilmunya.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS al-Israa’ [17]: 36)

Benar. Nggak boleh kita latah ikutan hal yang belum tentu kebenarannya, apalagi yang sudah jelas kesalahannya. Jangan diikuti. Kalo tetap diikuti? Itu namanya bunuh diri. Kok bisa? Iya. Udah jelas racun, kok malah diminum? Sudah jelas salah dan dosa, kok tetap dilakukan? Itu namanya memperburuk kondisi diri.  Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

 “Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya.” Para sahabat lantas bertanya, “Apakah yang anda maksud orang-orang Yahudi dan Nasrani, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR Bukhari)

 

Kerlap-kerlip budaya pop

Sobat gaulislam, perayaan Halloween dan semisalnya, itu bagian dari produk budaya pop dan jebakannya bagi kaum muslimin. Emang sih, tak pernah ada satu definisi yang baku mengenai budaya populer. Banyak orang memahaminya sebagai budaya yang disukai banyak orang. Ukuran popularitas dalam hal ini bersifat kualitatif dan serba relatif. Bisa juga diartikan sebagai apa yang tidak masuk dalam hitungan budaya adiluhung, sehingga sifatnya pun inferior. Ada pula yang mengaitkannya dengan budaya massa yang komersial dan membodohi orang banyak (meski banyak penelitian membuktikan bahwa fungsi pembodohan itu belum tentu berhasil, karena masyarakat bisa saja tidak selalu bisa dibodohi—contohnya mungkin kita-kita, duile pede banget!). Sebagian lagi bilang, budaya populer mencaplok mimpi-mimpi kita, mengemasnya, dan menjualnya kembali pada kita. Sehingga, budaya populer berkaitan erat dengan kapitalisme (keuntungan, the capital accumulation), mengandalkan perilaku konsumeristis, created needs, agresif, seks untuk mengikat konsumen, quasi pornografitik. (Camelllie Paglia dalam Sex, Art, and American Culture, 1992)

Namun demikian, kalo melihat gejalanya yang terjadi dalam kehidupan kita saat ini, rasa-rasanya nggak salah-salah amat kalo budya pop itu bisa diartikan sebagai instant culture. Jadi intinya budaya pop adalah budaya yang ringan, menyenangkan, trendi, dan cepat berganti. Nah, biasanya teman remaja paling doyan kalo udah njiplak gaya hidup hasil imbas budaya pop. Pokoke, cepet banget nyetelnya euy! Itu sebabnya, saya jadi kepikiran terus sama kamu-kamu. Khawatir kalo kamu terjerumus main ikut-ikutan aja tanpa memandang halal dan haram dalam berbuat. Begitu…

Kritikus Lorraine Gam­man dan Marga­ret Marshment (pe­nyunting buku The Female Ga­ze: Women as Viewers of Popu­lar Culture, 1998), berse­pakat bah­wa bu­daya popu­ler adalah sebuah medan pergu­latan ketika me­ngemukakan bah­wa tidaklah cu­kup bagi kita untuk semata-mata menilai bu­daya populer se­bagai alat kapi­talisme dan pat­riarki yang menciptakan kesadaran palsu di kalangan banyak orang. Bagi mereka, budaya populer juga tempat dipertarungkannya makna dan digugat­nya ideologi dominan. Walah, moga kamu nggak error untuk memahami maksud kritikus ini. Hahaha…

Menurut R. Valentina, Direktur Institut Perempuan Bandung (dalam tulisannya di pikiran-rakyat.com), dalam pertarungan tersebut, siapa saja bisa terlibat di dalamnya. Di situ pula ideologi dominan bisa digugat, kalau kita sadar dan mau. Namun sayangnya, kita sering merasa kalah bahkan tak mau bertarung. Kita lebih suka tak tahu apa-apa, pura-pura tak tahu, atau bahkan ikut terbawa arus. Budaya populer memang bergerak begitu cepat, sangat cepatnya, sampai-sampai tanpa sadar kita diminta dengan ikhlas (baca:dipaksa) tunduk dengan logic of capital, logika proses produksi di mana hal-hal yang dangkal dan cepat ditangkap yang cepat laku (hubungannya dengan masyarakat modern sering dijuluki dengan instant culture, dunia yang berlari, Anthony Giddens menyebutnya sebagai dunia yang sedang berlari dan semua yang selalu berlari satu track lebih tinggi ini memang tidak memiliki kesempatan untuk renungan-renungan yang mendalam). Yang penting dalam dunia ini adalah menjual dan membeli.

Menjual dan membeli? Yup, bagi mereka yang punya modal, mereka berhak menjual apa saja. Baik barang maupun jasa. Barang yang bagus atau pun jelek, pun jasa yang bermanfaat atau pun yang membawa mudharat. Dengan kekuatan modalnya para pengusaha bisa memaksakan dalam menjual produknya. Dan kita? Kita adalah pembelinya. Baik membeli dalam arti mengeluarkan harta untuk mendapatkan barang dan jasa itu. Atau pun membeli yang bermakna melakukan apa yang diinginkan sang penjual. Jika penjual menawarkan gaya hidup, maka kita serta-merta membelinya dengan melakukan apa yang diajarkannya tersebut. Tanpa lagi melihat apakah itu menguntungkan atau merugikan. Yang penting dapat label “gaul”, “keren”, dan simbol modern lainnya yang sengaja disematkan sebagai imbalan atas “pembelian” kita terhadap produk budaya mereka.

So, apakah sekarang kamu yang masih bertahan mau merayakan Halloween nggak ngeh kalo sedang dijebak dan dijerumuskan? Pikir lagi deh! Supaya apa? Supaya minimal bisa bilang “sudah lupa, tuh!” ketika ada yang ngajakin ngerayain Halloween. Lebih keren lagi, “Halloween itu budaya jahiliyah. Sesat dan menyesatkan! Tinggalkan dan jauhi!”

 

Waspadalah!

Semoga kita mulai menyadari bahwa banyak jebakan yang bisa membuat kita lengah dan kemudian terjerumus ke dalam perbuatan yang dilarang agama. Itu sebabnya, pengetahuan yang cukup banyak tentang fakta dan kemudian menyandarkannya kepada Islam dalam menilai fakta tersebut, insya Allah akan menjadi panduan yang ampuh agar kita nggak terjerumus menjadi pembebek budaya Barat. Nggak kecebur jadi pengamal budaya dari luar Islam. Karena apa? Karena kita udah punya ilmunya. Ilmu yang bisa menuntun kita untuk menentukan mana yang salah dan mana yang benar. Betul?

Itu sebabnya, dengan belajar maka kita nggak akan latah. Kita punya prinsip. Nggak bakalan coba-coba dalam hidup ini, karena udah jelas jalan hidup dan panduan hidup kita. Orang yang suka coba-coba menandakan bahwa ia tidak memiliki kejelasan arah dalam menempuh kehidupannya di dunia. Ibarat orang yang berpergian tanpa tujuan, pasti akan kebingungan di jalan. Hidup di dunia ini tak ubahnya seperti menempuh suatu perjalanan. Seseorang harus tahu perjalanan hidupnya untuk mengetahui jati dirinya, yaitu dari mana ia, untuk apa hidup di dunia, dan akan ke mana setelah mati.

Pertanyaan mendasar ini harus terjawab. Jika tidak, manusia akan senantiasa berada dalam kebimbangan dan tak dapat melangkah dengan arah yang pasti dalam mengarungi kehidupannya. Akibatnya akan menjadi orang yang latah. Kemana langkah lingkungan yang mempengaruhinya, ke situlah ia melangkah.

Sobat gaulislam, karena kewajiban seorang muslim yang sudah terbebani hukum itu adalah wajib terikat dengan aturan-aturan Islam dan menjalankannya dalam aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Itu sebabnya, keluarga sebagai pondasi utama keimanan mereka harus menciptakan suasana yang kondusif bagi perkembangan kepribadian remaja. Apalagi kalo masyarakat dan negara juga turut serta membimbing dan mengarahkan, pasti makin mantep deh!

Oya, harus dipahami pula bahwa saat ini musuh-musuh Islam yang membenci Islam dan umatnya selalu getol mencari cara untuk menjerumuskan kita ke dalam perangkap yang mereka buat. Salah satunya, yang sedang kita bahas ini. Kalo kita nggak ati-ati, maka kita pasti akan tergoda dan kemudian jadi korbannya. Bahkan seringkali dengan tanpa sadar kita membebek kepada mereka. Amit-amit deh. Intinya sih, hati-hati dengan gemerlap yang ditawarkan. Memang menyilaukan, tapi itu cuma fatamorgana. Jadi, waspadalah! Masih mau rayakan Halloween? Nggak ah! [O. Solihin | IG @osolihin]

1 thought on “Halloween? Sudah Lupa, Tuh!

Comments are closed.