gaulislam edisi 478/tahun ke-10 (19 Rabiul Awwal 1438 H/ 19 Desember 2016)
Ya, biarkanlah. Memang begitu adanya. Membiarkan artinya tidak ikut melibatkan diri ke dalam pusaran. Terkait dengan toleransi dalam menjalankan keyakinan agama, ya biarkan saja. Jangan ada saling memaksakan dan coba-coba melibatkan diri di dalamnya. Nggak ada urusan, gitu lho. Seharusnya memang begitu. Tapi pada prakteknya sering terjadi pelanggaran. Silakan lihat sendiri deh. Buktinya apa? Tuh, saudara-saudara kita yang seakidah tapi dipaksa harus mengenakan simbol-simbol Natal seperti topi Santa di tempatnya bekerja. Ini kan pemaksaan. Namun bersyukur di beberapa daerah ada kaum muslimin yang peduli dengan tindakan langsung menjelaskan bahwa pemaksaan tersebut sebagai bentuk pelanggaran. Tetapi bagaimana dengan daerah lain? Semoga juga mulai banyak yang sadar ya. Insya Allah.
Sobat gaulislam, setiap kali menjelang akhir tahun aroma toleransi sering digembar-gemborkan. Tetapi salah tempat dan salah sasaran. Mereka menyangka (atau pura-pura bloon?) bahwa toleransi itu ikut serta dalam kegiatan mereka. Mendukung dan melibatkan diri. Padahal, itu salah besar. Toleransi itu ya membiarkan. Nggak ikut gabung. Memaklumi saja bahwa itu realitasnya. Bukan mengakui, lho. Ingat. Beda banget antara memaklumi dengan mengakui. Kalo mengakui malah jadi nyerempet melanggar toleransi. Ya iyalah, gimana bisa mengakui atau harus mengakui, karena keyakinan kita berbeda ya mana mungkin membenarkan. Cukup tahu aja. Atau dalam bahasa lain, memaklumi saja bahwa itu ada. Selesai.
Beda agama, sudah jelas beda semua
Ini sudah jelas banget Bro en Sis. Bagi kita yang muslim, surah al-Kaafiruun sudah sangat jelas mengatur soal ini. Sederhana banget. Intinya, masing-masing aja. Kita yang muslim nggak boleh memaksa yang nonmuslim untuk melakukan ibadah yang biasa kita lakukan. Mereka yang nonmuslim juga dilarang memaksa yang muslim untuk mengikuti ritual keagamaan mereka. Clear, kan? Iya. Seharusnya. Tetapi sering ada yang memaksakan kehendak mereka dengan dalih toleransi, dengan alasan bisnis, dan alasan lain yang asal-asalan. Lebih parah lagi, ada aja yang ngakunya muslim tapi punya pikiran yang liberal malah membela orang kafir dan melawan yang muslim. Idih, jadi kayak (atau memang udah) munafik? Bahaya banget!
Sobat gaulislam, beda agama atau beda keyakinan itu sudah pasti ke sononya beda semua. Sebabnya apa? Akidah itu menentukan, lho. Jika salah di awal, maka salah semua berikutnya. Itu sudah pasti. Nah, urusan akidah ini ibarat “putih-hitam”. Nggak boleh ada warna abu-abu yang dipilih. Memang saklek. Kalo nggak putih, pasti hitam. Kalo nggak benar, pasti salah. Harus begitu. Toh, di akhirat juga cuma dua pilihan: surga atau neraka. Betul? So, artinya kita sejak lama seharusnya sudah terbiasa dengan pilihan dan tentu saja siap dengan konsekuensinya. Kalo udah yakin memilih Islam, ya pegang erat dan jangan coba-coba dilepaskan. Jika ada orang lain yang sudah memilih kekafiran, mereka juga sudah tahu konsekuensinya. Di akhirat akan ditempatkan di neraka. Itu pilihan mereka. Walau kita masih bisa mengajak mereka kepada kebenaran Islam dan ketika mereka sudah bersama Islam, mereka wajib ninggalin keyakinan terdahulu. Tuh, gimana kita nggak baik, ngajak orang untuk masuk surga. Betul?
Hehehe.. tetapi jangan salah, lho. Kita juga diuji dengan godaan dari mereka agar kita bisa masuk agama mereka. Nah, lho. Iya. Buktinya, banyak juga tuh yang murtad. Imannya jelas lemah. Tergiur harta atau sejenisnya atau rayuan maut tapi beracun. Akhirnya ada sukarela lepasin keyakinan Islam dan memilih dekapan kekufuran. Naudzubillahi min dzalik.
Jadi, intiya nih. Kudu waspada. Sudahlah, keyakinan kita sebagai muslim wajib berpihak kepada Islam. Dibilang fanatik, nggak apa-apa. Sebab, harus menjadi militan sebagai muslim dalam mencintai, memperjuangkan, dan membela Islam. Betul itu. Kalo ada tetangga atau teman yang nonmuslim, biarkan saja. Biarkan mereka menjalankan keyakinannya. Jangan kita ganggu dan tentu saja mereka juga kalo mau aman, jangan ganggu keyakinan kita dengan alasan apapun. Jalan masing-masing aja, lah. Saling membiarkan aja. Itu baru namanya menoleransi alias membiarkan satu sama lain. Tidak saling melibatkan diri dan tidak pula saling memaksakan kehendak. Selesai. Urusan di akhirat, itu sesuai konsekuensi pilihan hidup saat ini.
Cuma Islam yang benar
Kalo kamu berani mengatakan ini, syukur deh. Kenapa? Karena masih punya harga diri dan sekaligus percaya diri. Harga diri itu mahal, jarang ada yang rela kalo harga dirinya diinjak-injak (kecuali yang nekat dan gelap mata dengan menjual dirinya sendiri dalam kenistaan). Kebanyakan orang kalo bicara harga diri semangat dan antusias. Harga diri harus dipelihara karena urusan hidup dan mati.
Percaya diri berarti kita percaya dengan apa yang kita perbuat. Orang yang berani melakukan suatu perbuatan dan kegiatan, sudah pasti bertanggung jawab. Itu sebabnya, dengan memiliki rasa percaya diri bisa dipastikan orang tersebut udah punya alasan dan tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya.
Yup, Islam bukan hanya beda dengan agama lain, tetapi juga emang hanya Islam yang benar. Beda banget dengan agama lain. Nggak bisa disamakan. Nggak bisa disatukan. Karena ibarat air dengan minyak, maka Islam nggak bisa dicampur dengan ajaran agama lain. Akan saling menolak dalam hal prinsip. Akan saling bertentangan dalam masalah akidah.
Sekarang coba kita bandingkan mulai dari yang sangat prinsip: yang disembah. Kita, kaum muslimin, cuma menyembah Allah Ta’ala, bukan yang lain. Sementara agama lain, Nasrani misalnya, mereka punya konsep trinitas. Ajaran lain juga sama, menyekutukan Allah. Jelas beda kan? Firman Allah Ta’ala: Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan. (QS al-An’aam [6]: 3)
Sementara dalam ayat lain, Allah Ta’ala, pencipta kita semua menegaskan dalam firman-Nya: “Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.” (QS al-An’aam [6]: 1)
Dalam pernyataan lebih jelas dan tegas, Allah Ta’ala menyebutkan (yang artinya): “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS al-Maaidah [5]: 72)
Nah, kalo dari akarnya aja udah beda, maka batang, ranting, daun, bunga dan buahnya jelas berbeda dong. Tul nggak? Lagian kita belum pernah tuh denger ada pohon mangga berbuah durian (mungkin Om Broery aja yang pernah mendendangkan lagu yang ada liriknya “buah semangka berdaun sirih”!)
Maka sangat wajar dan adil jika Allah Ta’ala mengajarkan bahwa keyakinan kita berbeda dengan keyakinan agama lain. Itu sebabnya, jangan bingung pula kalo syariatnya juga beda. Maka, apa hak kita menyatakan bahwa semua agama sama? Sehingga kita merasa kudu terlibat dan melibatkan diri dalam ibadah agama mereka. Bahkan ada yang lebih parah dengan menyebutkan hal itu dianggap wajar.
Sobat gaulislam, bener lho, saking nggak ngertinya, ada sebagian dari kita yang latah ikutan perayaan natal bersama, misalnya. Malah dengan semangat dan gagah berani biar dianggap toleran menyambut dan menyampaikan ucapan selamat kepada mereka. Ah, itu namanya sudah salah menempatkan toleransi dong. Karena dalam urusan keimanan dan ibadah, yang disebut toleransi itu artinya membiarkan. Malah seharusnya kita kudu keukeuh memegang prinsip. Allah Ta’ala udah wanti-wanti soal ini dalam al-Quran (yang artinya): “Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS al-Kaafiruun [109]: 1-6)
Bahwa hanya Islam yang benar, iya. Bahwa Allah Ta’ala akan memenangkan Islam, iya. Tetapi pertanyaannya, siapkah kita untuk membela dan memperjuangkan Islam? Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (QS ash-Shaff [61]: 9)
Sobat gaulislam, kalo emang kita siap memenangkan Islam (dan menjaga kemenangannya), kita kudu setulus hati mencintainya. Karena cinta, adalah ketulusan. Kalo sudah sangat tulus mencintai, maka pengorbanan pun bukan sesuatu yang ditakutkan, malah dicari. Pemuda yang punya semangat seperti ini, nggak bakalan goyah menerima iming-iming ide murah dan murahan yang ditawarkan lingkungannya. Ia akan tetep berpegang teguh dengan prinsip hidupnya dan bangga menjadi seorang muslim.
Oke deh, mulai sekarang, kita benahi lagi cara pandang kita tentang iman dan Islam kita. Kita sanggup kok. Jangan sampe kita mengaku muslim, tapi sholat cuma sekali pas jadi mayat (eh, itu mah bukan sholat, tapi disholatkan!). Nah, mumpung belum disholatkan, mumpung belum pensiun dari dunia fana ini, kita kobarkan lagi semangat sebagai seorang muslim. Kita kokohkan iman kita, tingkatkan ilmu kita, dan baguskan amal kita. Kita ridho kepada Allah dan agar Allah pun ridho kepada kita.
Nah, mulai sekarang, yuk sama-sama kita kaji Islam, pahami, dan amalkan. Syukur-syukur kamu masih punya semangat untuk memperjuangkannya. Kita bisa barengan bahu-membahu dalam mensyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Biar semua kenal dan tahu. Ya, karena Islam emang beda dengan agama lain dan kita nggak usah nekat menyamakannya. Jadi, kalo mau toleransi dengan pemeluk agama lain, kita harus saling membiarkan. Jangan melibatkan diri di dalamnya. Jalan masing-masing. Oke? [O. Solihin | Twitter @osolihin]