Friday, 22 November 2024, 07:01

gaulislam edisi 485/tahun ke-10 (9 Jumadil Awal 1438 H/ 6 Februari 2017)

 

Sobat gaulislam, sebelum kita mulai, terlebih dahulu saya akan mengajak kamu melihat sebuah kutipan perkataan dari salah seorang calon gubernur DKI Jakarta. Berikut kutipannya:

“Kalau membangun manusia tanpa benda mati itu ibarat teori, dosen ngajar di kampus tapi nggak ada action. Kami tahu tujuan dan visi ya harus membangun fisik dan memperhatikan SDM. Saya kira calon nomor 3 ini dosen,”

Penuturan tersebut dilontarkan calon gubernur Ahok terhadap lawan tandingannya, Anis Baswedan dalam acara Debat Cagub Pilkada DKI beberapa waktu yang lalu. Perkataan Ahok ini oleh beberapa kalangan dinilai sebagai penghinaan terhadap profesi dosen. Karena pada dasarnya, Ahok hendak mengatakan bahwa profesi dosen atau guru hanyalah profesi NATO, No Action Talk Only, alias omong doang.

Kalo dikatakan penghinaan, saya setuju dengan itu. Pasalnya, selama ini ketika saya belajar ilmu dari guru manapun, pasti saya akan tergerak untuk melakukan aksi atas ilmu yang telah saya dapatkan itu. Teori-teori yang saya dapatkan di kelas, itu semua memancing saya untuk mengaplikasikannya di dunia nyata.

Misalnya saja, dulu ketika kecil, saya diajari teori tentang bagaimana melaksanakan shalat. Alhamdulillah, sekarang saya bisa shalat. Dulu saya diajari oleh guru bagaimana caranya membaca dan berhitung. Alhamdulillah sekarang ada manfaatnya, yang manfaat itu memiliki peran begitu besar dalam kehidupan saya.

Maka apalah artinya dunia ini tanpa kehadiran para guru. Dunia ini akan terasa gelap. Mirip dunianya hewan yang hanya berkutat pada makan, tidur, kawin, bertengkar. Tak ada ilmu yang menyinari peradaban umat manusia. Dan ilmu itu datang, tidak lain berkat jasa guru-guru kita. Sangat besar jasa mereka, hingga kita mengenal sebuah ungkapan populer, “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.”

Memang, ketika berada di kelas, pekerjaan guru memang bicara, menjelaskan, mencontohkan, memberikan teori-teori. Akan tetapi, teori-teori itu merupakan langkah awal bagi para murid untuk melakukan sesuatu. Tak akan pernah kamu mengenal pesawat terbang jika tak ada guru yang menjelaskan tentang teori membuat pesawat terbang. Tak akan kamu jumpai mobil dan motor, jika tak ada guru yang menjelaskan tentang teori-teori terkait mesin. Dan tak akan pernah ada banyak hal menarik dan bermanfaat lainnya di sekitar kita jika dulunya para guru ogah ngomong. Nggak mau menyebarkan ilmunya.

 

Sisi lain guru

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Memang, di dalam kehidupan real di tengah-tengah masyarakat, boleh jadi kamu menjumpai guru yang kurang baik. Misalnya, kamu mungkin mendapati seorang guru, di mana antara ucapan dan perbuatannya itu tidak sinkron. Guru itu mengajarkan pergilah ke utara, eh, dia malah lari ke selatan. Guru itu mengajarkan kencing di jamban, eh, dia sendiri malah kencing berlari. Tidak sinkron. Ada perbedaan antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan.

Ada pula para guru yang sengaja membawa murid-muridnya ke tepi jurang. Bahkan mendorong muridnya untuk jatuh ke jurang itu. mungkin kamu temui guru yang malah mengajarkan muridnya paham atau ajaran sesat. Contoh gampangnya misal, mengajarkan paham komunis, dan mendorong-dorong kamu untuk ikut juga menjadi komunis. Atau guru yang memberikan contoh kehidupan yang liberal. Misal, guru itu melakukan pacaran, melecehkan murid perempuannya, atau melakukan praktek kumpul kebo. Naudzubillah.

Boleh jadi memang ada guru yang seperti itu. Tapi itu bukanlah alasan kamu untuk ikut merendahkan profesi guru. Profesi guru tetap adalah profesi mulia. Hanya saja, akan ada saja oknum-oknum yang mengotorinya.

Saya kasih satu contoh logikanya seperti ini. Ada satu pohon apel. Buahnya lebat, banyak sekali. Kamu memetik satu buahnya, hendak mencicipi. Ketika dibelah, ternyata buah itu busuk, banyak ulatnya. Apakah adil jika kamu mendapati hanya satu saja buah yang busuk, tapi kamu malah mencap negatif seluruh buah yang ada di pohon itu adalah buah yang busuk semua?

Sama juga dengan profesi guru. Jika kamu mendapati satu dua guru itu jelek, busuk perangainya, belum tentu semua guru yang ada di muka bumi ini sama seperti guru itu. masih banyak guru-guru yang berkualitas baik, memberikan keteladanan seindah kemilau mutiara.

Lalu apa yang harus kamu lakukan ketika harus berurusan dengan guru yang nggak baik? Pertama, seperti yang telah saya katakan, jangan cap semua guru di muka bumi ini seperti dia. Kedua, kamu harus bisa membentengi diri. Mampu memilah, mana yang baik dan mana yang buruk. Hal yang baik, ikutilah. Sebaliknya, hal-hal yang buruk, maka tinggalkanlah.

Misalnya saja, gurumu menyuruhmu shalat lima waktu ke masjid, sedangkan dia sendiri tidak ke masjid. Maka yang perlu kamu lakukan adalah, laksanakan saja perintah baiknya, yakni shalat berjamaah ke masjid, dan jangan ikuti kebiasaan buruknya yakni shalat di rumah. Toh, yang mendapat pahala shalat ke masjid tetap kamu, kan? Pahalanya nggak akan pernah tertukar dengan gurumu.

Satu contoh lagi, misalnya gurumu nyuruh untuk tidak merokok. Marah ketika melihat murid-muridnya merokok. Tapi dia sendiri malah merokok. Yang harus kamu lakukan adalah, kamu harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Jangan karena kesal, kamu malah ikutan merokok. Ikuti saja perintahnya untuk tidak merokok. Toh tidak akan pernah ketuker, bahwa yang lebih sehat, insya Allah adalah kamu. Karena pada dasarnya, gurumu itu sedang menimbun racun yang dibawa rokok dalam tubuhnya sendiri.

 

Guru ideal

Sobat gauilslam, menjadi guru itu bisa jadi gampang. Dalam artian hanya mendapatkan panggilan guru, ustadz, kyai, dan semacamnya. Setiap orang yang memberikan pengajaran kepada kamu, meskipun hanya satu huruf, itu juga sudah bisa disebut guru olehmu.

Namun, tidak semua orang, bahkan tidak semua guru, bisa menjadi the great teacher, guru yang hebat, guru yang sebenar-benarnya guru. Yakni mereka yang nggak hanya pandai membagi ilmu, tapi juga mampu menjadikan ilmu yang telah diberikannya, mendarah-daging di setiap jiwa murid-muridnya.

Mari kita lihat kepribadian junjungan kita Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Betapa beliau tidak hanya seorang guru, tapi beliau adalah seorang the real great teacher. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya pandai mentransfer ilmu, tapi beliau juga mampu membuat ilmu itu melekat, mengakar begitu kuat di hati setiap murid-murid beliau. Maka tak heran, ajaran yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga kini masih bisa kita rasakan kesejukannya.

Ada hal-hal yang bisa dicontoh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa yang pertama, untuk menjadi seorang guru yang hebat, kita semua butuh yang namanya keteladanan. Guru yang baik, tidak akan melarang atau menyuruh muridnya terhadap sesuatu sebelum guru itu memastikan, bahwa sudah tidak ada yang salah dalam dirinya. Artinya, ketika guru memerintahkan sesuatu, guru harus menjadi yang pertama melaksanakan perintah itu. Pun ketika harus melarang sesuatu, terlebih dulu harus dipastikan, bahwa dialah yang pertama kali harus menghindari sesuatu yang dilarangnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mencontohkan seperti itu. Bahwa betapa beliau merupakan suri tauladan terbaik. Ketika beliau menyuruh berjihad, tak diragukan lagi, Rasulullah juga bersama pasukannya, ikut berjihad. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan membangun masjid, beliau tidak hanya nyuruh doang, tapi beliau juga terjun, membantu para sahabat membuat mesjid. Misalnya juga ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan membuat parit di sekitar Kota Madinah sebagai pertahanan atas serangan musuh, beliau tidak segan-segan turun, ikut mencangkul, menggali bersama para sahabat. Padahal lihatlah, beliau adalah pemimpin besar.

Beliau memberikan keteladanan tidak dalam rangka untuk pencitraan belaka. Ketika dipuji sumringah, senang dan menepuk dada. Ketika tak ada yang memuji, jadi sedih. Dan ketika dicaci, marahnya luar biasa.

Hal lain yang dibutuhkan untuk menjadi guru yang hebat adalah, guru yang bersangkutan harus mampu mengajak semua pihak yang terlibat untuk mau bekerjasama. Pihak yang terlibat ini siapa? Mereka adalah guru itu sendiri, lembaga pendidikan, siswa/mahasiswa, orangtua dan lingkungan sekitar termasuk pemerintah.

 

Perlu kerjasama

Bayangkan kondisi seperti ini. Bagaimana bisa menghasilkan siswa atau mahasiswa yang baik jika dosen atau gurunya malas meski mahasiswanya rajin. Begitu juga sebaliknya, sulit menghasilkan siswa/mahasiswa yang bagus jika mereka malas meskipun dosen atau gurunya bagus dan rajin ngajar. Bagaimana mungkin mendapat hasil maksimal bila pemerintah tidak mendukung dengan memfasilitasi pendidikan walau siswa/mahasiswa dan guru/dosen rajin dan baik. Semua perlu kerjasama, bukan?

Nah, berat bukan menjadi seorang guru yang hebat? Di samping tadi harus ada keteladanan yang kuat, guru tersebut harus bisa mengkondisikan murid-muridnya dan juga mengajak orangtua murid, lalu menjalin kerjasama di antara ketiganya dalam lingkungan terkecil. Lebih hebat lagi jika pemerintah memudahkan pekerjaan guru dengan memberikan fasilitas pendidikan yang terbaik dan tidak membiarkan kemaksiatan merajalela di tengah masyarakat. Sebab, akan sulit menghasilkan murid yang bagus meski gurunya bagus jika tak ada peran orangtua murid yang menyesuaikan cara mendidiknya dengan yang diajarkan para guru di sekolah.

Akan sulit pula hasilkan murid terbaik bila pemerintah tak menyiapkan semua sarana dan prasarana dalam pendidikan. Termasuk memberantas pengganggu pendidikan seperti tayangan sinetron yang tak mendidik, melarang pacaran, melarang perzinaan, menghapus judi dan maksiat lainnya supaya murid tidak tergoda lakukan hal yang demikian.

Jadi sekali lagi, menjadi guru itu bukanlah pekerjaan NATO, alias No Action Talk Only. Karena kalo hanya ngomong doang, tidak harus guru, anak usia tiga tahun pun sudah bisa ngomong. Itu sebabnya, harus didukung karena guru bukanlah superman yang serba jago. Mengandalkan semuanya pada guru untuk kebaikan total, sama saja dengan membebani mereka bukan sesuai kapasitasnya.

Sobat gaulislam, sepanjang sebuah profesi itu baik dan halal, kita tidak boleh menghina atau merendahkannya. Boleh jadi, ada orang-orang yang kerjanya hanya di belakang meja. Tapi tidak lantas mereka yang kerja di balik meja itu lebih tinggi derajatnya dibanding mereka para pekerja kasar, misalnya menjadi kuli atau tukang bangunan. Karena bagaimanapun, mereka tidak akan pernah bisa bekerja di balik meja kantor jika kantornya saja belum dibangun. Membangun kantor, sama artinya dengan membangun bangunan. Membangun bangunan, itu sudah dipastikan membutuhkan kuli atau tukang bangunan. Walaupun tentu saja tukang bangunan juga tidak bisa bekerja tanpa arahan dari arsitek bangunan itu. Intinya kerjasama berbagai pihak untuk menghasilkan bangunan yang bagus dan indah.

So, memang berat menjadi guru, itu sebabnya, kalo mau guru harus siap ilmu dan mental. Selain itu, kita juga jangan membebankan semuanya kepada guru. Perlu kerjasama semua pihak: guru, murid, orangtua murid, masyarakat sekitar, dan negara. Tapi dalam sistem kehidupan yang nggak islami seperti sekarang? Wah, angkat tangan deh. Sulit bingitz. Walau, tentunya masih ada secercah harapan untuk mewujudkannya sesuai pembahasan sebelumnya, sambil berupaya mengajak semua kaum muslimin agar mau berdakwah dan berjuang demi tegaknya Islam sebagai ideologi negara, agar pendidikan bisa berjalan sebagaimana mestinya seperti di masa kejayaan Islam. [Farid Ab | Twitter @badiraf]