Sunday, 24 November 2024, 14:23

gaulislam edisi 506/tahun ke-10 (9 Syawwal 1438 H/ 3 Juli 2017)

 

Lagi rame nih, video yang konon kabarnya jadi jawara di Police Movie Festival IV 2017, judulnya: “Kau Adalah Aku yang Lain”. Film pendek ini menuai kontroversi tersebab isinya yang memuat pesan permusuhan kepada kaum muslimin. Ada fitnah yang sengaja dihunjamkan dalam isi film yang konon dibuat seorang Ahoker dan diproduseri oleh oknum pejabat polri. Kok bisa? Ya, bisa aja. Buktinya ya film ini.

Belum reda kontroversi (tepatnya hujatan) terhadap film ini, lalu muncul kasus penusukan dua anggota Brimob sesaat setelah shalat Isya di masjid seberang Mabes Polri Jakarta (Jumat, 30/6/2017). Pelakunya, menurut berita ikut shalat di barisan ketiga. Usai shalat menusukkan pisau sangkur kepada korban. Tak diketahui motifnya (walau di berita disebut pelaku meneriakkan thagut dan takbir), karena pelaku langsung ditembak mati, bukan ditembak betis atau pahanya untuk melumpuhkannya karena cuma bawa pisau sangkur. Pelaku mati, ya nggak bisa dikorek informasinya. Iyalah, gimana mau tanya-tanya ke mayat?

Sobat gaulislam, memang sulit dibuktikan kalo itu ‘rekayasa’ polisi. Tetapi polanya (sebagaimana kasus terorisme selama ini) mengarah ke sana. Kok bisa? Hehehe.. kalo kamu ngikutin pembahasaan pro-kontra seputar terorisme (termasuk di buletin kesayangan kamu ini), insya Allah akan menemukan mata rantai jejak terorisme yang udah bukan lagi sebagai tindakan kriminal, tetapi sudah menjadi komoditas politik atau sebenarnya terorisme adalah proyek politis demi raih kepentingan tertentu.

 

Umat Islam sebagai tertuduh

Tahukah kamu, bahwa kejadian penusukan anggota Brimob di masjid bakda shalat Isya itu akan berdampak kembali menyusahkan umat Islam? Saya sih udah menduga, bahwa akan dihubungkan dengan kelompok terorisme dan itu lebih spasifik mengarah kepada kaum muslimin. Selain itu  polanya sama, yakni setiap kali ada isu tertentu yang sedang panas, maka akan ada isu terorisme untuk ‘mendinginkannya’ atau mengalihkannya. Harapannya sih begitu kayaknya. Tapi apa daya, suasana malah tambah panas dan institusi polri banyak dibuli netizen. Waduh!

Sebagai remaja muslim, kamu perlu peka dan peduli terhadap masalah-masalah umat. Khususnya hal-hal yang terkait dengan pihak-pihak yang memusuhi dan menyusahkan kaum muslimin. Ini persoalan serius lho. Butuh perhatian berlebih untuk membahasnya.

Nyadar nggak sih, kita sedang berhadapan dengan teroris aneh. Pihak kepolisian, bahkan negara, mengarahkan telunjuk menuding kelompok Islam sebagai pelaku terorisme. Berharap masyarakat percaya dan sama-sama menilai buruk. Dampaknya, sudah jelas akan menyusahkan umat Islam secara umum. Meski begitu, ini memang teroris yang aneh. Saat Ahok menista agama, teroris nggak muncul, nggak ngelakuin aksi teror. Saat ulama dikrimininalisasi, nggak muncul juga (mungkin asyik ngadem). Pada aksi 411 dan 212 yang konon kabarnya bikin ketar-ketir polri dan aparat lainnya, nggak ada tuh aksi kekerasan. Padahal jumlah massa jutaan. Heran kan? Kalo memang yang melakukan umat Islam, kemungkinannya besar di aksi-aksi besar untuk melakukan teorisme. Faktanya nggak terjadi.

Teroris aneh itu muncul ketika Ahok divonis dipenjara (9/5/2017). Inget kan kasus ledakan di dekat halte daerah Kampung Melayu (24/5/2017)? Ada juga penangkapan terduga teroris di Bima, NTB (19/6/2017). Berikutnya pada dinihari 1 Syawal 1438 H (25/6/2017) dua pelaku terorisme menyerang ke Mapolda Sumatera Utara. Satu tewas dan satu ditangkap. Sebelumnya di bulan Maret lalu Densus 88 (konon kabarnya) baku tembak dengan 4 teroris di Cilegon. Intinya sih, pola selama ini adalah setiap ada kasus penting yang mengarah pada kinerja pemerintah yang buruk, ada muncul (atau dimunculkan?) kasus terorisme. Janggal banget kan? Bukan nuduh, lho. Sekali lagi, sulit dibuktikan kalo itu rekayasa, tapi ya polanya mengarah ke sana.

 

Sebenarnya ada teroris nggak sih?

Sobat gaulislam, kalo ditanya seperti ini, jawabnya ya ada saja. Buktinya ada yang melakukan teror. Tapi perlu jeli dan hati-hati sih menilainya. Supaya bisa membedakan antara yang beneran teror atau teror yang direkayasa. Waduh, bikin puyeng deh!

Jadi begini, setidaknya kita batasi dua hal aja ya: teror beneran dan teror rekayasa. Kalo teror beneran bisa tejadi karena ada niat pelakunya. Niatnya bisa karena balas dendam atau sengaja neror karena prinsip yang diyakininya. Prinsip tersebut bisa juga karena motif agama (tapi salah). Maksudnya? Iya, karena ada juga pengamat terorisme yang meyakini bahwa pelaku itu bisa saja memang muslim tapi memiliki pemahaman bahwa penguasa saat ini sebagai thagut. Widih, apa pula itu? Iya. Secara sederhana maksudnya musuh yang wajib dimusnahkan. Ngeri!

Baik, berarti memang ada pelaku teror dari kalangan kaum muslimin? Ada. Tetapi tidak banyak. Buktinya (kalo benar menurut klaim polisi) pelakunya nggak jauh dari kelompok yang selama ini dicap sebagai teroris. Dulu sih Jamaah Islamiyah dan al-Qaida, kini ISIS. Termasuk pelaku penusukan terhadap anggota Brimob Jumat lalu polisi menelusuri dari KTP pelaku (bukannya menghilangkan jejak, teroris aneh ini malah meniggalkan jejak). Beritanya bahwa di rumah pelaku ada bendera ISIS dan sejenisnya. Selalu itu-itu saja. Walau hanya kita dapatkan keterangan tersebut dari polisi, tapi ya sudahlah mungkin memang begitu adanya.

Kedua asumsi bahwa terorisme selama ini adalah rekayasa. Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Tapi anggap saja iya. Maka, logikanya mulai dari setiap ada kasus tertentu yang bikin panas karena menyita perhatian publik dan mengarah kepada kinerja pemerintah, di situlah muncul penangkapanlah, ledakanlah, atau sejenisnya yang kemudian dibuat narasi yang berhubungan dengan terorisme dan mengarah kepada umat Islam. Pusing pala babeh!

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Kalo dibilang rekayasa kayaknya nggak semua orang setuju. Memang sulit dibuktikan, kecuali yang membuat rekayasa ngaku atau memang ada bukti kuat ke arah sana. Walau sulit, masih bisa ditelusuri. Nah, yang jadi pertanyaan sekarang: mengapa perlu rekayasa segala sih? Bukankah itu merepotkan banyak pihak? Menghabiskan energi mulai dari merancang sampai konsekuensi dampaknya. Hmm… tapi bisa jadi memang ada yang doyan model ginian, yang penting dapat fulus atau kedudukan tertentu alias jabatan. Gitu ya? Sangat mungkin!

 

Mengapa terorisme tetap ada?

Oke deh, untuk menjawab pertanyaan di subjudul ini, setidaknya ada beberapa poin yang bisa dijadikan argumen (walau ini sifatnya asumsi). Namun, bukan sembarang asumsi, lho. Ini berdasarkan pengamatan dan data-data yang menuntun ke arah tersebut. Apa saja tuh?

Pertama, penanganan terorisme yang salah, atau minimal tidak bijak. Apa tuh? Begini, anggap saja teroris itu ada dan berkeliaran. Namun, penanganan yang buruk dari aparat kepolisian justru akan kian menumbuhkan sel-sel teroris baru. Motifnya bisa balas dendam. Sebentar, memangnya selama ini polisi buruk dalam penanganan terorisme? Betul. Setidaknya yang terlihat jelas adalah menembak mati pelaku teroris tanpa proses hukum di pengadilan. Buktinya, selama ini begitu. Jadi lingkaran kekerasan tak terselesaikan.

Kedua, pihak tertentu sengaja memelihara teroris untuk kepentingan tertentu, dengan cara memanfaatkan kelompok seperti itu. Bisa melakukan kesepakatan dengan kelompok tersebut, bisa juga kelompok tersebut diprovokasi sesuai prinsip mereka. Tanpa sadar mereka lakukan itu. Ngeri!

Ketiga, ada pihak di luar kedua kelompok tersebut yang ikut memancing (keuntungan) di air keruh untuk stigmatisasi terhadap Islam. Pihak ini bisa saja orang lain, bayaran, konsultan, dan punya SDM terlatih. Mempelajari pola terorisme, kemudian menerapkannya. Model begini bisa terkategori konspirasi. Bikin aksi teror, kemudian cuci tangan dan menuduhkan pelakunya dari Islam. Bisa saja mereka membayar media bahkan aparat keamanan. Ini mungkin lho, walau sulit dibuktikan. Sederhananya gini sebagai analogi, kalo kita lihat ada dua kelompok gang yang berseteru dan tetap menginginkan terus berantem, kita bisa saja melakukan aksi fitnah agar kedua kelompok tersebut ribut mulu. Sangat bisa. Demikian juga dengan terorisme asumsi ketiga ini.

Keempat, polisi yang kehabisan nafas dan strategi karena teroris makin kuat. Jika ini masalahnya, dan sepertinya ada upaya sebagai alasan ke arah sana untuk mengegolkan RUU Antiteorisme di tingkat legislatif. Hanya saja, alasan ini masih kurang masuk akal. Sebab, aksi-aksi teroris selama ini tidak selalu di tempat yang bisa membunuh secara massal. Tapi sekadar ‘letupan’ kecil dan yang disasar kebanyakan polisi. Hmm.. bingung banget ngutak-ngatik kasus kayak gini.

 

Teroris yang lain

Sobat gaulislam, kembali ke judul buletin kesayangan kamu di edisi ke-506 ini, “Kau Adalah Teroris yang Lain”. Yes, siapa sih yang dituju? Sederhana. Teroris yang selalu menuduh sekelompok umat Islam sebagai teroris. Kalo ada istilah maling teriak maling, maka boleh jadi teroris teriak teroris. Kok bisa?

Salah satu buktinya film pendek “Kau Adalah Aku yang Lain” yang isinya sangat meneror umat Islam. Film tersebut menyakiti dan menebar fitnah bagi umat Islam. Ini juga termasuk teror walau secara pemikiran. Belum lagi kasus-kasus terorisme yang selama ini ada, selalu yang terdampak adalah umat Islam. Padahal, kasus teror serupa tapi pelakunya bukan muslim, nggak masuk kategori terorisme. Tuh, di Papua ada OPM (Organisasi Papua Merdeka), beberapa waktu lalu ada kelompok yang koar-koar ketika Ahok divonis bersalah karena menista agama Islam dan masuk bui, mereka akan memisahkan diri dari Indonesia. Gerakan Minahasa Merdeka menganggap bahwa dipenjaranya Ahok bagian dari intoleransi ormas Islam. Tapi meski sudah terbuka begitu, nggak pernah disebut teroris. Jelas ada di pihak mana aparat berwenang dalam bersikap. Capek deh!

Baiklah, daripada pusing tujuh keliling lapangan sepakbola standar internasional, kita bisa menjelaskan bahwa Islam tak mengajarkan kekerasan model begitu. Maka, umat Islam yang benar pemahamannya nggak mungkin melakukan aksi teror. Catet itu! [O. Solihin | Twitter @osolihin]