Friday, 22 November 2024, 06:31

gaulislam edisi 525/tahun ke-11 (24 Safar 1439 H/ 13 November 2017)

 

Sedih, pake banget. Tapi, mau gimana lagi. Semua itu pilihan. Namun tetap ada konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta’ala kelak. Beberapa hari belakangan ini kita dihebohkan dengan kabar seorang seleb yang memutuskan melepas kerudung trendinya. Eh, kok kerudung? Bukannya itu jilbab? Hehehe… kids zaman now or parent jaman kiwari sudah salah kaprah dalam istilah. Jilbab berbeda–pake banget, dengan kerudung. Jilbab itu pakaian semacam gamis yang tebal-lebar-panjang hingga menutupi mata kaki. Kalo kerudung ya penutup kepala, tapi bukan sekadar menutupi rambut di kepala, lho, tapi wajib hingga menjuntai menutupi bagian punggung dan dada sampai perut. Dalam bahasa Arab disebut khimar.

Lho, kok malah membahas pengertian perbedaan jlbab dan kerudung? Bukankah yang jadi persoalan adalah seleb yang melepas hijabnya? Nah, ini lagi, hijab. Padahal, istilah hijab itu lebih luas lagi. Artinya penghalang. Istilah yang bisa digunakan untuk banyak keperluan. Misalnya, kalo anak laki dan perempuan yang udah pada baligh dalam satu tempat pengajian, itu harus dipisah dengan adanya hijab, misalnya pake kain atau pembatas dari triplek. Ulama juga ada yang menyebutkan bahwa umat Islam saat ini terhijab dengan agamanya sendiri. Artinya, banyak umat Islam terhalang (karena kebodohannya) dari ajaran Islam. Jadi, kebodohan itu menjadi hijab bagi kaum muslimin dari mengetahui ajaran agamanya.

Sobat gaulislam, selain dua pengertian hijab itu, ada juga konsekuensi ketika berhijab. Misalnya, ketika mengenakan hijab berarti kelakuan alias perbuatannya juga wajib disingkirkan dari semua hal yang mengotori atau menodai arti hijab itu sendiri. Mengenakan hijab berarti melakukan kebaikan dan tidak mencampurnya dengan keburukan. Hijabnya akan menghalangi dia dari perbuatan maksiat. It sebabnya, selama masih melakukan keburukan dan maksiat, meskipun mengenakan hijab, berarti belum sempurna berhijab. Gitu!

Wuih, banyak banget aturan ginian. Pantes aja banyak orang yang mau dan sedang berhijrah pada gugur di tengah jalan!

Hei, bukan begitu maksudnya. Justru mereka yang hijrah itu seharusnya dibimbing, dibantu, diarahkan untuk menghindari lingkungan yang bakal menggoda mereka untuk balik ke habitat asalnya. Bukan sekadar disanjung-puji tanpa diarahkan tauhidnya, tanpa disadarkan perhatiannya kepada syariat, tanpa diajak belajar untuk menjadi muslim yang kaafah. Sebaliknya, yang berhijrah juga kudu meniatkan diri untuk sadar total, bukan kadarkum alias kadang sadar kadang kumat. Kedua belah pihak harus serius dalam berhijrah (baik membimbing maupun menjalani hijrah). Mereka yang berhijrah memang kudu disambut dan didukung. Lalu diarahkan. Ya, kita yang udah tahu duluan wajib memberikan bimbingan dan arahan. Jangan membiarkan mereka berada dalam wilayah yang rawan membuat mereka balik lagi jadi jahiliyah.

Begitu pula dari sisi yang hijrah, niat untuk hijrah harus kuat. Bukan sekadar tren atau perasaan semata. Sebab, semua akan dimintai pertanggunganjawab masing-masing. Harus kuat niatnya dan upayanya. Jangan manja, misalnya orang lain diminta memaklumi apa yang kita lakukan walau itu salah dengan alasan masih proses hijrah. Nggak begitu juga kelesss.. Harus siap dan rela meninggalkan lingkungan yang sebelumnya telah berhasil membuat dirinya jatuh ke dalam keburukan. Jangan ambil jalan tengah. Hijrah jalan, tapi lingkungan sebelumnya nggak mau ditinggal. Ini rawan. Iya dong. Bahaya! Beneran. Gimana mau siap kalo kita sendiri nggak berusaha menyiapkan diri untuk serius berhijrah.

Ketika kita memilih hijrah kepada kebaikan Islam, maka totalitas kita membenci jalan keburukan yang dulu menjauhkan kita dari Islam. Seorang selebriti wanita yang memutuskan mengenakan busana muslimah, maka semestinya juga total meninggalkan dunia entertainment. Jika tidak, misalnya memilih jalan tengah dengan tetap mengenakan busana muslimah (yang modelnya mengikuti tren, bukan tuntunan syariat) dan masih ngendon di dunia hiburan, itulah awal bencananya. Setan selalu hadir untuk menggoda manusia kembali maksiat, sehingga banyak yang berguguran di jalan hijrah. Tidak sampai ke jalan kebaikan yang dituju, tapi di tengah jalan balik lagi ke habitat awal keburukannya. Waspadalah! Naudzubillah min dzalik.

 

Hijrah bukan sekadar status

Sobat gaulislam, netizen dibuat heboh ketika seorang selebriti memutuskan melepas kerudungnya. Begitu pun ketika seorang selebriti yang kembali joget setelah lama meninggalkan dunia itu, netizen sontak gaduh. Pro dan kontra pun dengan cepat menyebar memenuhi ruang jagat maya media sosial. Komentar pedas dihunjamkan. Ada juga komentar yang agak bijak, tak sedikit juga nyinyir. Hadeuh… berita buruk kayak gini memang cepat nyebar. Saya sendiri mencoba membahas dari sisi lain. Lebih ke akar masalah. Tidak sepenuhnya menyalahkan pihak yang pro maupun kontra, atau juga kepada selebriti yang bersangkutan. Ini tentang apa yang kita semua ada dalam sistem kehidupan sekularistik saat ini. Tentang banyak di antara kita yang masih percaya (pake banget banget) dengan sebuah bungkus alias casing. Ini tentang kita semua yang hanya memuja-muji tapi tidak memberi bimbingan dan arahan. Ini tentang kita yang hanya bisa mengkritik tanpa solusi. Ini tentang di antara kita yang belum total berhijrah dan meninggalkan keburukan. Ini juga tentang hijrah yang sayangnya masih sebatas status saja dengan tujuan semu duniawi. Bukan tentang keyakinan yang harus diperjuangkan dan membutuhkan pengorbanan.

Padahal, sebelum memutuskan berhijrah, niat itu paling penting. Beneran. Ini ada haditsnya, Bro en Sis. Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR Bukhari dan Muslim)

Nah, itu sebabnya niat memang menjadi kunci penentu perbuatan kita dan konsekuensinya. Niatnya keliru, keliru juga akhirnya. Niatnya benar, benar juga akhirnya. So, pastikan segala sesuatu yang hendak dijalani wajib diniatkan sesuai dengan tuntunan Islam.

Maka, hijrah memang bukan sekadar tren, ikut-ikutan, dan berharap sesuatu dari pujian manusia atau hal duniawi lainnya. Nggak banget. Hijrah niatnya karena Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Nggak boleh dikotori dengan niat lainnya yang sifatnya semu dan sekadar pemuas syahwat dunia. Kalo terlintas dalam pikiran dan perasaan, segera istighfar dan memohon kepada Allah Ta’ala agar dimudahkan menjalani proses hijrah kepada kebaikan yang diajarkan Islam.

 

Mengapa berguguran?

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Kasus selebriti yang baru-baru ini melepas busana muslimahnya bukanlah hal baru. Sebelumnya sudah banyak. Hidayah memang sepenuhnya dari Allah Ta’ala. Dialah yang berkehendak atas segala sesuatu, termasuk memberi hidayah kepada hamba-hamba-Nya. Tugas kita hanya menunjukkan jalan menuju hidayah kepada seseorang, bukan memberi hidayah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS al-Qashshash [28]: 56)

Nah, mengapa bisa mudah kembali kepada keburukan yang telah dijalaninya di masa lalu? Ini bukan hanya selebriti lho, orang-orang biasa juga banyak. Hanya saja, namanya juga selebriti, orang terkenal, maka apa pun yang dilakukannya pasti jadi sorotan dan jadi bahan berita. Kalo orang biasa kan, hebohnya cuma di lingkungan kecil mereka saja. Nggak bakal dibahas di infotainment atau disebar akun gosip di media sosial. Jadi, apa penyebab banyak orang berguguran di jalan hijrah ini?

Faktor pertama, belum mantap niatnya. Ini sudah disinggung sedikit di subjudul sebelumnya. Ya, niat memang menjadi ukuran seseorang memutuskan apa yang akan dilakukannya. Salah niat, salah juga memutuskan. Harus ikhlas karena Allah Ta’ala. Menurut Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Segala sesuatu yang tidak didasari ikhlas karena Allah, pasti tidak bermanfaat dan tidak akan kekal.”

Faktor kedua, belum ajeg pemahaman tentang penciptaan manusia. Untuk apa sih kita hidup di dunia ini? Padahal, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS adz-Dzaariyaat [51]: 56)

Allah tidak menciptakan kita sia-sia, pasti ada suatu perintah dan larangan yang mesti kita jalankan dan mesti kita jauhi. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS al-Mu’minun [23]: 115)

Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan, “Apakah kalian diciptakan tanpa ada maksud dan hikmah, tidak untuk beribadah kepada Allah, dan juga tanpa ada balasan dari-Nya?” (dalam Madarij as-Salikin, 1: 98)

Jadi beribadah kepada Allah adalah tujuan diciptakannya jin, manusia dan seluruh makhluk. Makhluk tidak mungkin diciptakan begitu saja tanpa diperintah dan tanpa dilarang. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS al-Qiyaamah [75]: 36)

Faktor ketiga, taubatnya belum optimal. Sehingga hijrahnya jadi belum ideal. Harus taubat beneran. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS at-Tahrim [66]: 8)

Ibnu Katsir menerangkan mengenai taubat yang tulus sebagaimana diutarakan oleh para ulama, “Taubat yang tulus yaitu dengan menghindari dosa untuk saat ini, menyesali dosa yang telah lalu, bertekad tidak mengulangi dosa itu lagi di masa akan datang. Lalu jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ia harus menyelesaikannya atau mengembalikannya.”

Faktor keempat, lingkungan yang belum baik. Bagi para selebriti yang hendak berhijrah, atau kita-kita yang orang biasa (karena belum terkenal se-Nusantara dan se-alam dunia), lingkungan yang buruk harus dijauhi dan ditinggalkan. Ini ada hubungannya dengan faktor ketiga di atas. Beneran. Sulit banget kalo kita mau baik, tetapi kita masih betah dan ngendon di lingkungan yang nggak baik, bahkan buruk. Padahal, pada saat udah taubat dan ingin hijrah beneran, maka segala hal yang bisa menggoda agar kita kembali maksiat wajib kita hindari dan jauhi. Kalo nggak, ya setan paling pinter menggoda manusia labil. Waspada!

Yuk, kita doakan semoga siapa saja yang ingin berhijrah kepada kebaikan Islam, semoga dikuatkan dan dimudahkan menjalaninya. Bagi yang berguguruan di jalan hijrah, semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah-Nya kembali dan kita juga berusaha menyadarkan mereka. Ya, diajak dan disadarkan.Bukan di-bully atau dinyiyirin. Jika sudah berusaha menyadarkan kembali, baik langsung maupun tidak langsung seperti pada tulisan ini, semoga kita tak termasuk saudara sesama muslim yang lalai, sebab sudah berbuat semaksimal kita bisa untuk menyadarkan mereka.

Bagaimana pun pada akhirnya, semua itu pilihan. Tetapi ingat, ada konsekuensi atas apa yang kita pilih. Semoga kita memilih yang terbaik bagi kehidupan kita di dunia dan di akhirat, yakni memilih Islam sebagai pedoman hidup kita. Semangat! [O. Solihin | Twitter @osolihin]