Thursday, 21 November 2024, 21:45

gaulislam edisi 564/tahun ke-11 (2 Dzulhijjah 1439 H/ 13 Agustus 2018)

 

Memang kabangetan kalo ada pihak yang mencurigai orang-orang yang berdakwah. Maraknya aktivis rohis di sekolah kan seharusnya bikin bangga, jangan malah ikutan b4p3r (pelat nomor mana nih?) kayak orang yang ahli maksiat. Orang yang doyan maksiat sering baper kalo ada yang mengajak kepada kebaikan. Sebabnya, ibarat lagi enak-enaknya ngumbar hawa nafsu, tiba-tiba disuruh meredamnya.

Ada yang tahu lagunya Wali yang berujudul “Bocah Ngapa Yak”? Ada lirik kayak gini nih: Disuruh tobat galakan situ/ Diajak bener marahan situ/ Hari gini kok masih gitu/ Ayo hijrah jangan pake nunggu.

Dipikir-pikir ada benernya juga lho. Kita bisa jadi memang pernah mendapati kondisi demikian. Ngajak temen agar berhenti pacaran, eh teman kita itu malah nyolot. Ngajak teman jauhi maen gim online, malah kita yang dikata-katain nggak bener. Ngajak teman ikut ke pengajian, eh teman kita malah bilang, “mau direkrut jadi teroris, ya?” Hadeuuh… situ sehat? Kok pikirannya negatif mulu, sih?

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Jangan sakit hati kalo dicurigai macam-macam. Justru ini bagian dari ujian, cobaan, dan fitnah dalam dakwah. Kalem aja. Sudah sunatullah, gitu lho. Kadang memang ngiri. Kok yang berjenggot dan aktif di masjid dicurigai dan seperti harus diwaspadai. But, mereka yang berpikiran liberal lalu menghina ulama dan aktivis rohis malah disanjung puja sebagai generasi milenial berpikiran kritis. Nggak berani untuk sekadar mencurigainya, apalagi mencegahnya. Ini umumnya, lho.

Terus, kepada mereka yang pacaran en gaul bebas dengan lawan jenis banyak masyarakat yang menutup mata, nggak mau protes atau, sekadar menegur bahwa aktivitas tersebut mendekati zina dan tentunya dosa. Pun kepada mereka yang ketika keluar rumah tidak berbusana sesuai syariat–anak laki yang koloran doang dan yang puteri malah pakai bikini—umumnya masyarakat cuek bebek aja. Nggak mau tahu en tentunya nggak menaruh curiga sedikit pun.

 

Pandangan yang tertukar

Waduh, dunia ternyata udah kebalik neh! Mereka yang menyeru kebaikan dianggap membahayakan dan sebaliknya yang menyeru kemungkaran malah dipertahankan. Benar-benar tragedi. Kalo pun ada yang berani protes, eh langsung masyarakat sekitar rame-rame mencapnya sebagai perusak tatanan yang ada. Menyedihkan banget.

Ya, gitu deh. Kadang masyarakat memang kejam. Meski tidak memiliki aturan secara tertulis, tapi tajamnya kecaman bisa berdampak buruk. Remaja militan, dalam kondisi masyarakat yang seperti sekarang ini, seperti sebuah kanker ganas yang harus segera disingkirkan.

Sebuah pengalaman pernah saya alami. Waktu itu pernah ikut membina teman-teman remaja dalam mengelola organisasi remaja masjid. Saat organisasi itu tumbuh dan semarak dengan berbagai kegiatan; seminar, pengajian, baca al-Quran dan lainnya, tapi anehnya banyak tanggapan miring yang dialamatkan kepada teman-teman remaja masjid. Padahal, sejak maraknya masjid oleh berbagai kegiatan keislaman, banyak remaja berkumpul di masjid. Masjid menjadi lebih berarti. Hanya saja, gara-gara bentuk kegiatan dan pemahaman yang sedikit berbeda dengan yang dipahami selama ini, khususnya oleh pihak DKM, teman-teman remaja langsung dicurigai.

Sama persis dengan kondisi beberapa waktu lalu, mungkin imbasnya masih terasa sampe sekarang. Apa tuh? Ya, ada yang ngomporin dengan ngomong ngasal kalo rohis itu sarang teroris. Waduh!

Ini memang aneh, padahal jika ‘perbedaan’ yang menjadi masalah, kan bisa ditempuh dengan jalur dialog. Tul nggak? Nah, yang terjadi justru sebaliknya. Main berangus aja. Secara sepihak lagi. Waduh. Alasannya, aktivitas itu katanya menganggu ketentraman warga. Glodaks! (Backsound: warga yang mana neh?)

Apa nggak salah? Justru banyak juga warga masyarakat yang seneng dengan maraknya kegiatan tersebut, lho. Pertanyaannya, apakah karena sedikit perbedaan lalu mengambil jalur keras; diancam dan diberangus? Mbok ya kalo berbeda, misalnya, kan bisa ditegur, bisa diajak dialog. Ya, teman remaja diminta aja untuk menjelaskan tentang pendapatnya itu. Insya Allah bisa dicari titik temu. Sayang, ‘penyakit’ status quo seringkali mengalahkan akal sehat. Akibatnya, bukan saja tamat riwayat organisasi remaja itu,  tapi sekaligus memadamkan semangat dan kreativitas remaja masjidnya. Kasihan.

Pandangan masyarakat seperti ini jelas merugikan perjuangan Islam. Bahkan memadamkan semangat yang mulai menyala dalam dada setiap remaja Islam. Padahal, gampang-gampang susah menumbuhkan rasa cinta kepada Islam di kalangan remaja. Eh, yang baru tumbuh malah dibabat. Apa nggak kejam tuh? Anehnya lagi, dalam waktu yang bersamaan, masyarakat seringkali menutup mata, atau tepatnya cuek dengan maraknya remaja yang gaul bebas, kejerat narkoba, bahkan yang doyan tawuran. Untuk semua itu, nggak ada kampanye yang serius dalam rangka menyadarkan mereka. Sebaliknya, ya itu tadi, dibiarkan. Pokoknya, dipandang sebelah mata deh. Ah, masa’ beraninya kepada yang benar? Kok kepada yang nakal takut? Tapi inilah faktanya, sobat. Aneh bin ajaib memang.

Pertanyaannya, kenapa masyarakat bisa seperti itu? Nah, ini yang kudu kamu tahu, sobat. Sebab, nggak mungkin dong orang ujug-ujug benci kalo nggak ada alasan yang menurut mereka ‘wajib’ dibenci. Orang yang cinta saja kudu ada alasannya, kenapa ia mencintai. Tul nggak?

 

Islamophobia

Nah, kalo ditelusuri ternyata masyarakat kita mengidap sejenis penyakit Islamophobia, alias ketakutan terhadap Islam. Ambil contoh, ada anak puteri yang ‘cuma’ pakai kerudung ke sekolah aja dicurigai. Lucunya, banyak prasangka yang nggak-nggak di kalangan guru sendiri. Dibilangin ikut aliran ini dan itu. Kalo kebetulan kegiatan remaja masjid sekolah di sekolah umum marak, mereka mulai dimata-matai. Bahkan pihak sekolah nggak segen untuk menghentikan, dengan alasan, ini bukan sekolah agama. Konon kabarnya nggak rela kalo di sekolah umum justru yang maraknya adalah kegiatan keagamaan, khususnya Islam. Walah?

Sobat gaulislam, apa nggak kesel bin gondok digituin? Padahal, nggak jarang bahwa yang kita lakuin itu adalah sebagai wujud kecintaan kita kepada Islam. Kita bangga dong bisa menjadikan Islam sebagai identitas kita. Kita ingin menyampaikan pesan bahwa kita remaja muslim. Teman kita yang remaja puteri rapi berkurudung dan berjilbab, justru karena ingin menyampaikan pesan bahwa dirinya adalah seorang muslimah yang berusaha untuk menjalankan satu kewajiban dalam ajaran agamanya.

Begitu pun remaja putera yang aktif di kegiatan remaja masjid, pakai baju koko lengkap dengan pecinya, justru secara tidak langsung ingin menyampaikan pesan, bahwa kamilah pemuda muslim. Simbol-simbol yang dikenakan dan perbuatan yang dilakukan muncul akibat panasnya semangat yang menggelora dalam dada. Mereka, setidaknya ingin menunjukkan; inilah kami, remaja muslim yang mencintai Islam sepenuh hati. Apa itu salah?

Kalo dipikir-pikir memang aneh juga. Kenapa orang musti takut dengan Islam? Kenapa orang musti gerah dengan maraknya aktivitas keislaman? Kenapa masyarakat musti curiga dengan simbol pengamalan ajaran agama (jilbab, baju koko, termasuk jenggot)? Tapi kenapa adem ayem aja melihat bapak-bapak yang maen kartu (judi) saat meronda dan peredaran miras marak di tengah lingkungannya sendiri?

Apa ada yang aneh dengan Islam? Apa ada yang salah dengan mereka yang mau mengamalkan ajaran Islam–meski cuma sebatas berkurudung dan berjilbab? Mengapa harus murka dengan maraknya aktivitas pengajian di sekolah dan di masjid? Sungguh aneh tapi nyata. Tapi inilah faktanya saat ini. Menyedihkan.

Memang sih, nggak semua masyarakat berpandangan miring terhadap remaja militan. Tapi sayangnya, jumlah pendukungnya kalah banyak ketimbang mereka yang menjadi penentangnya. Jadinya ya, opininya kalah. Kalah abis. Akibatnya, yang banyak diekspos adalah yang menentangnya. Itu sebabnya, posisi teman remaja yang bergairah dalam mengamalkan ajaran Islam ini makin terpojok. Digempur dari sana-sini, dicurigai bak gembong kejahatan.

Hmm… beginilah hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak islami. Masyarakat yang justru meyakini permisivisme (bebas nilai) sebagai jalan hidup. Masyarakat sekular bin kapitalis. Sejatinya, mereka sebetulnya nggak mau diusik dalam kebebasan gaya hidupnya oleh mereka yang ingin menyegarkan kembali pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan ini. Mereka jadi menuduh remaja militan sebagai musuh, sebelum mereka menjadi tertuduh. Walah, mau ditolong kok ogah? Itu namanya ibarat orang yang tunanetra tapi ngambek pas mau dituntun ke jalan yang benar biar nggak kejeblos selokan. Lucu dan aneh!

Firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (QS Fushshilat [41]: 30)

Oke deh, ini jaminan dari Allah Ta’ala bagi para pejuang kebenaran yang ikhlas berjuang dan mengharap cinta-Nya. Meski banyak rintangan, para pejuang tetap akan rela berkorban dan sabar menghadapi ujian, cobaan, dan fitnah dalam dakwah ini. Duh, betapa besar cintanya kepada kebenaran Islam ini. Sungguh, Allah dan Rasul-Nya sangat merindukan para pejuang Islam yang paling loyal dalam membela kebenaran ajaran-Nya ini. Semoga kita termasuk ke dalam barisan para pejuang itu. Semoga. [O. Solihin | IG @osolihin]