Friday, 22 November 2024, 03:46

gaulislam edisi 592/tahun ke-12 (20 Jumadil Akhir 1440 H/ 25 Februari 2019)

Sobat gaulislam, mohon maaf edisi pekan ini agak telat diupload. Bukan lupa, tetapi belum menyempatkan diri. Nah, edisi kali ini masih tentang cinta. Namun, ini jauh lebih penting dan menarik, insya Allah. Mengapa lebih penting dan menarik? Sebab, kita akan membahas bagaimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam dalam mencintai keluarganya, mencintai para sahabatnya, dan bahkan mencintai kaum muslimin (baik di masa beliau masih hidup), termasuk generasi setelahnya terus hingga generasi kita saat ini.

Pengalaman saya mengunjungi beberapa tempat bersejarah di Madinah dan Makkah belum lama ini kian menguatkan keyakinan saya bahwa Islam disebarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat beliau bukan saja dengan mengorbankan waktu dan tenaga, tetapi juga harta dan nyawa. Luar biasa. Itu semua sebagai bukti bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam adalah orang yang paling hebat kecintaannya sepanjang sejarah peradaban manusia.

Saya sudah menyiapkan jauh-jauh hari untuk rangkaian perjalanan ke Madinah dan Makkah. Tulisan ini, sebetulnya sudah dirancang sebelum berangkat. Judul sudah dibuat, outline dalam bayangan sudah tergambar. Namun, sengaja belum ditulis isinya karena saya ingin mendapatkan informasi tambahan terkait kecintaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam kepada keluarganya, para sahabatnya, dan juga umatnya. Alhamdulillah, saya berhasil mendapat gambaran setelah mengunjungi kedua tempat tersebut dalam rangkaian perjalanan umroh.

Mencintai keluarga

Ketika kami dalam satu rombongan umroh berkunjung ke Arafah, tempat wukuf untuk kaum muslimin ketika ibadah haji, tour leader kami menunjukkan Masjid Namirah. Tempatnya tak jauh dari Arafah. Dulunya, di tempat itu adalah sebuah wadi. Begini sejarahnya (yang saya kutip dari beberapa sumber dengan melakukan modifikasi). Saat perjalanan menuju Arafah, Rasulullah berhenti di Wadi Uranah dan mendirikan tenda berwarna merah. Rasulullah sempat beristirahat di tenda merahnya hingga waktu Dhuhur tiba. Sejarah mencatat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah melakukan shalat jamak takdim serta qasar shalat Dhuhur dan Ashar di tempat itu.

Itu sebabnya, kaum muslimin yang melakukan wukuf di Arafah masih melakukan qasar dan jamak seperti yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam di masa lalu. Saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam juga menyampaikan khutbah perpisahan (wada) pada 10 hijriah. Wadi tempat Rasulullah menyampaikan khutbah wada kini menjadi salah satu tempat bersejarah di Arafah.

Wadi tempat mendirikan tenda tersebut disulap menjadi Masjid Namirah. Penamaan Masjid Namirah merujuk pada suatu desa di luar wilayah Arafah pada masa Rasulullah. Masjid ini juga dikenal dengan beberapa nama lain, Masjid Uranah dan Masjid Arafah.

Seperti dikutip dari Alriyadh, Petugas Museum Universitas Ummul Qura, Doktor Fawaz Dahas menjelaskan, masjid yang berkapasitas empat ratus ribu jemaah ini pertama kali dibangun pada masa khilafah Abbasiyah. Pada masa berikutnya, masjid ini mengalami renovasi pada masa kehilafahan Turki Utsmani.

Nah, yang menarik, tour leader kami menjelaskan tentang kesannya terhadap khutbah Nabi dalam haji wada tersebut, yakni pesan Nabi untuk mencintai keluarga. Ya, beberapa saya masih ingat pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dalam haji wada (haji perpisahan tersebut). Khusus tentang keluarga adalah sebagai berikut:

“Wahai manusia, sebagaimana kamu mempunyai hak atas istrimu, mereka juga mempunyai hak atasmu. Sekiranya mereka menyempurnakan hak mereka atasmu, maka mereka juga mempunyai hak atas nafkahmu secara lahir maupun batin.”

“Layanilah mereka dengan baik dan berlaku lemah lembut terhadap mereka, karena sesungguhnya mereka adalah teman dan sahabatmu yang setia, serta halal hubungan suami-istri atas kalian. Dan kamu berhak melarang mereka memasukkan orang yang tidak kamu sukai ke dalam rumahmu.”

Nah, para calon suami dan calon istri, perlu juga mengingat pesan ini agar ketika sudah jadi suami atau istri kian mantap. Siap, ya!

Mencintai para sahabatnya

Sobat gaulislam, saat di Madinah, saya dan rombongan jamaah umroh mengunjungi satu tempat yang tak asing bagi kita ketika belajar Sirah Nabawiyah. Ya, yakni sebuah lembah di bawah Gunung Uhud. Saat ini sudah ada masjid, pasar, dan dibuatkan komplek permakaman para syuhada Perang Uhud. Jujur saya nangis ketika tour leader kami mengucapkan salam dan berdoa di tempat tersebut. Terbayang dahsyatnya peperangan waktu itu walau masih dalam gambaran (sebagaimana dijelaskan dalam Sirah Nabawiyah) dan beberapa gambaran yang mungkin menjadi pelengkap, yakni dalam beberapa tayangan film seputar itu seperti film Arrisalah atau Omar.

Kami menaiki bukit Ruman (Rumat) yang kini sudah tak tinggi lagi. Dulunya, adalah tempat para pemanah yang berjumlah 50 orang untuk mengawasi ancaman dari Quraisy di bukit sebelahnya jika mereka hendak melawan kaum muslimin yang berada di lembah.  

Sebagaimana kita ketahui, dalam Perang Uhud banyak kaum muslimin syahid, ada 70 sahabat Nabi yang wafat di peperangan ini.

Oya, terkait dengan mencintai sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, kita mungkin pernah mendengar hadits ini. Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘ahnu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas seperti Gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud (infak) salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.” (HR Bukhari no. 3397 dan riwayat Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Fadhail Al Sahabat, Bab Tahrim Sabbi Ash Shahabat, no. 4610 dan 4611)

Selain itu, sifat mulia para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, termaktub dalam ayat berikut setelah Allah memuji Rasul-Nya yang mulia. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang salih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS al-Fath [48]: 29)

Mula-mula ayat ini berisi pujian Allah Ta’ala kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak disangsikan lagi adalah benar. Lalu beliau dipuji sebagai utusan Allah, di mana pujian ini mencakup semua sifat yang mulia. Kemudian setelah itu, barulah datang pujian kepada sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Itu artinya pula, kalo kita mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, maka seharusnya kita juga mencintai sahabat-sahabat beliau.

Bagaimana kita dengan sahabat kita saat ini? Tentu jika ingin meneladani cinta Nabi kepada para sahabatnya, kita bisa dengan cara menghargai teman atau sahabat kita. Saling berkasih sayang di antara sahabat kita. Ada banyak hadits terkait hal ini.

Dari an-Nu’man bin Basyir, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam” (HR Muslim no. 2586)

Dari Abu Musa, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Seorang mukmin dengan mukmin yang lain seperti sebuah bangunan yang bagian-bagiannya saling menguatkan satu dan lainnya” (HR Bukhari no. 6026 dan Muslim no. 2585)

Tuh, keren banget, kan? Artinya, kita bisa meneladani cinta nabi dalam hal persahabatan kita saat ini. Mantap, deh!

Mencintai kaum muslimin

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, saat berziarah ke Makam Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam di sekiar Masjid Nabawi, saya sangat terharu. Ribuan orang siang dan malam mengantri untuk menyampaikan salam kepada beliau. Bahkan saya sendiri dititipi salam oleh dua orang ustaz. Pertama, titipan salam dari seorang kyai pimpinan pondok pesantren tempat putri kami belajar. Kedua, titipan salam guru kami dalam belajar al-Quran dan hadits. Ketika di sana, selain saya menyampaikan salam saya sendiri, juga menyampaikan titipan salam dari kedua ustaz tersebut.

Saya membayangkan, bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam semasa hidupnya. Pasti dicintai para sahabatnya dan seluruh kaum muslimin yang ada saat itu. Sekarang pun, ketika beliau sudah tiada, miliaran kaum muslimin mencintai beliau. Baik yang datang langsung ke Makkah dan Madinah, atau yang belum pernah sama sekali ke sana sampai akhir hayatnya. Semua mencintai nabi.

Ya, Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam malah sangat mencintai kaum muslimin (bahkan yang belum hadir pada saat beliau masih hidup).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya dia pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah Anda pernah melewati (merasakan) suatu hari yang lebih berat dibandingkan hari perang Uhud?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Sungguh aku banyak merasakan gangguan (perlakuan jahat) dari kaummu. Dan gangguan paling berat yang datang dari mereka adalah ketika kejadian pada hari Al-Aqabah ketika aku menawarkan diriku kepada Ibnu ‘Abdi Yalil bin ‘Abdi Kulal namun dia tidak mau memenuhi keinginanku. Lalu aku pergi dengan wajah sedih, aku tidak sadar kecuali aku telah berada di Qarnu ats-Tsa’aalib. Aku mengangkat kepalaku ternyata aku berada di bawah awan yang menaungiku, dan ternyata di atasnya ada Jibril ‘alaihissalam, lalu dia memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah mendengar ucapan kaummu terhadapmu dan apa bantahan mereka kepadamu. Dan Dia (Allah) telah mengutus kepadamu Malaikat penjaga gunung, untuk kamu perintahkan sesuai kehendakmu terhadap mereka.” Kemudian Malaikat penjaga gunung memanggilku, lalu memberi salam kepadaku kemudian berkata, “Wahai Muhammad, apa yang kamu inginkan katakanlah. Jika kamu ingin aku akan timpakan kepada mereka dua gunung Akhsyab (niscaya akan aku lakukan).” Maka Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tidak (aku tidak ingin itu), akan tetapi aku berharap kepada Allah bahwa akan terlahir dari tulang sulbi mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR Bukhari no. 3059 dan Muslim no. 4754)

Dalam hadits lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata (yang artinya), “Thufail bin ‘Amr ad-Dausi dan para shahabatnya datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sesugguhnya suku Daus ingkar dan enggan (masuk Islam), maka doakanlah keburukan atas mereka.” Ada yang mengatakan, ”Celakahlah Daus.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa, ”Ya Allah berilah hidayah kepada suku Daus dan datangkanlah mereka (dalam keadaan Islam).” (Gambaran dari Kasih Sayang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,  karya Dr. Muhammad bin ‘Adnan as-Saman)

Oke deh, Bro en Sis. Kalo mau ditulis semuanya nggak akan cukup di buletin ini. Kamu bisa mencari referensi lain yang lebih lengkap. Saya sekadar menuliskan ulang dari sumber-sumber yang ada sesuai keperluan penulisan untuk edisi kali ini. Semoga ada manfaatnya ya. Khususnya sesuai tema ini, yakni meneladani cinta nabi. Semoga kita bisa meneladani beliau dalam mencintai keluarga, sahabat dan seluruh kaum muslimin. Insya Allah. [O. Solihin | IG @osolihin]