Sunday, 24 November 2024, 12:29

Diskursus publik mengenai pemulihan ekonomi Indonesia detik-detik terakhir ini menunjukkan fenomena menarik. Betapa tidak, di satu sisi mulai ada penolakan penguasa terhadap IMF yang sekitar tiga tahun belakangan memback-up pemerintah Indonesia dalam upaya recovery ekonomi nasional yang ambruk sejak krisis moneter 1997. Namun di sisi lain, ada pihak yang berusaha terus mempertahankan hubungan RI dengan IMF dengan alasan adanya kesulitan yang akan dihadapi Indonesia bila “bercerai” dengan IMF.

Penolakan itu antara lain nampak dari langkah Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo yang berupaya melepaskan diri dari ketergantungan terhadap IMF dan berencana mencari pinjaman dengan mekanisme G to G (langsung antar pemerintah), tidak melalui IMF. Juga dari sikap “mbalelo” Menko Perekonomian Rizal Ramli dalam menyikapi surat teguran IMF dan Bank Dunia tertanggal 29 September 2000 yang mendesak pemerintah Indonesia meninjau kembali kesepakatan penyelesaian utang Grup Texmaco (Surya, 9 Oktober, 2000). Menurut Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier, langkah Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo tersebut perlu didukung. ”Saya percaya langkah Prijadi akan mendapat dukungan bukan saja dari partai politik dan DPR, tetapi juga dari seluruh rakyat Indonesia,” tandasnya. Fuad Bawazier menilai, Dana Moneter Internasional (IMF) telah gagal mengeluarkan Indonesia dari krisis. Karena itu sebaiknya lembaga donor itu berbesar jiwa untuk mundur teratur. ”Selama tiga tahun dengan IMF, kenyataannya tidak membuahkan hasil. Malah tambah berantakan,” kata Fuad di Jakarta, Jumat (6/10/00). Selama ini, sambungnya, justru utang bertambah banyak hingga merugikan rakyat kita (Kompas, 7 Oktober 2000).

Kegagalan IMF mengeluarkan Indonesia dari krisis seperti disinyalir Fuad Bawazier itu memang bukan isapan jempol. Selama berhubungan dengan IMF tiga tahun belakangan ini, perekonomian Indonesia makin jeblok dan hancur-hancuran. Bantuan IMF tidak meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia, tapi malah menganjlokkannya Menurut Laporan World Economic Forum, daya saing Indonesia tahun 2000 ini jatuh lagi dan menduduki posisi yang sangat payah, yakni ranking ke-44 dari 55 negara. Pada tahun 1997 tatkala krisis moneter mulai bergejolak, posisi Indonesia masih “lumayan”, rangking ke-15. Pada tahun 1998 –setelah mendapat bantuan IMF—posisi Indonesia malah merosot menjadi rangking ke-31, dan tahun 1999 anjlok lagi posisi ke-37. Akhirnya, di tahun 2000 ini, ranking Indonesia kembali terperosok ke posisi ke-44  (Republika, 19 September 2000 )

Selain itu, dalam kurun tiga tahun di bawah “asuhan” IMF dan Bank Dunia, hutang Indonesia juga semakin menggunung dan pajak pun semakin menggila dan mencekik rakyat jelata. Untuk RAPBN tahun 2000 ini, pemerintahan Gus Dur harus membayar beban bunga saja sebesar Rp. 58,9 trilyun ( US$ 8,4 miliar dolar dengan asumsi kurs US$ 1 dolar = Rp 7000). Artinya bunga yang harus dibayarkan kepada pihak penghutang hampir dua kali lipat dari  jumlah pinjaman/utang itu sendiri, yaitu sebesar US$ 4,73 miliar dolar sesuai keputusan Sidang ke-9 Consultative Group on Indonesia (CGI) yang berlangsung 1-2 Pebruari 2000 lalu. Dengan pinjaman baru ini, akumulasi utang luar negeri Indonesia hampir mencapai US$ 150 miliar dolar, yang jika beban itu dibagi kepada masing-masing penduduk Indonesia, maka setiap kepala –termasuk bayi yang baru lahir– akan menanggung utang luar negeri sebesar US$ 750 dolar ( Rp. 5.250.000, bila kurs 1 dolar = Rp 7000,-), suatu jumlah yang jauh lebih tinggi dibanding pendapatan perkapita penduduk (GNP) Indonesia dalam setahun. Pajak yang dipungut pun akan semakin menjerat leher rakyat. Buktinya adalah sedemikian besarnya pos penerimaan dari pajak yang dalam RAPBN tahun 2000, nilainya mencapai Rp 97,78 trilyun (US$ 13,9 miliar dolar) dari keseluruhan nilai penerimaan RAPBN sebesar Rp 137,69 trilyun (US$ 19,67 miliar dolar). Jadi, lebih dari 70 % penerimaan anggaran belanja negara diperoleh dari pajak. Dan obyek pajak siapa lagi kalau bukan rakyat !

Namun meskipun kegagalan IMF dan malapetaka yang ditimbulkannya sudah semakin menyengsarakan rakyat, ternyata masih ada pihak yang enggan berpisah dengan IMF. Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Anwar Nasution sulit bagi Pemerintah Indonesia keluar dari Dana Moneter Internasional (IMF). Karena kalau pun mencari sumber-sumber dana pada lembaga keuangan Internasional lain, IMF harus tetap menjadi acuan. ”Bisa saja kita ciao (pisah) dengan IMF. Tapi konsekuensinya kita bisa makan batu seperti kata Bung Karno,”   kata  Anwar usai sholat Jumat (6/10/00) di Kantor BI Jakarta (Republika, 8 Oktober 2000).

Pelajaran apa yang bisa kita tarik dari adanya sikap yang tarik-ulur yang kontradiktif terhadap IMF akhir-akhir ini, yakni sikap Menkeu Prijadi yang mau bercerai dari IMF dan sikap Deputi Gubernur BI Anwar Nasution yang ogah-ogahan berpisah dengan IMF ? Jika ditelaah dengan seksama, sikap Menkeu Prijadi itu sebenarnya adalah sikap munafik!  Karena meskipun seakan-akan menantang IMF, toh pemerintah jauh-jauh hari sudah merencanakan untuk tetap mengemis utang. Pada pertengahan bulan Oktober 2000 ini, akan segera dilaksanakan Sidang  CGI (Consultative Group on Indonesia) di Tokyo yang diharapkan akan memberikan dana bantuan sebesar US$ 4,8 miliar dolar yang direncanakan untuk membantu RAPBN 2001 (Surya, 9 Oktober 2000). Yang dimaui Menkeu Prijadi sesungguhnya adalah membangkitkan sentimen semu nasionalisme rakyat Indonesia, lantaran akhir-akhir ini Indonesia mendapat ancaman embargo dan penghentian bantuan dari negara-negara Barat (khusunya Amerika Serikat dan Inggris), terutama setelah meledaknya peristiwa Atambua. Langkah Prijadi mirip dengan langkah munafik yang pernah dilakukan Suharto bulan Pebruari 1992, tatkala dia dengan sok pahlawan tampil di televisi dan menolak semuan bantuan Belanda lantaran kelancangan Jan Pronk –ketua IGGI sekaligus Menteri Kerjasama Pembangunan Internasional Belanda saat itu— yang mengajukan usul agar dana bantuan internasional kepada Indonesia dikaitkan dengan syarat penghentian semua pelanggaran HAM yang terjadi. Tapi ironisnya, kendatipun IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia) kemudian dibubarkan, tapi toh Indonesia tetap rajin berhutang, karena telah muncul konsorsium baru yang meski namanya berbeda, isinya sama saja, yaitu CGI (Roem Topatimasang, Hutang Itu Hutang, hal.7). Adapun sikap Anwar Nasution, adalah sikap pengecut yang tidak pantas dimiliki oleh seorang publik figur macam dia yang katanya mempunyai kredibilitas dan kualitas moral yang tinggi. Seharusnya dia bersikap berani dan sekaligus mendorong rakyat Indonesia untuk siap berkorban dan menderita demi meraih kemuliaan dan harga diri. Rakyat Indonesia patut malu dan harus mau belajar dari rakyat Korea Selatan yang berani menderita untuk memulihkan ekonomi mereka (meskipun mereka tetap berhutang kepada IMF). Ketika krisis mulai meruyak di negeri ginseng itu, rakyat spontan menyambut seruan pemerintahnya untuk berhemat. Mereka hanya membeli barang konsumsi buatan dalam negeri, melakukan tindakan konkret untuk menahan laju kemerosotan nilai tukar Won, membatasi secara ketat semua belanja barang konsumsi di luar negeri dengan disiplin tinggi,  dan para diplomat dan kaum profesionalnya di luar negeri sukarela dibayar dengan mata uang Won (berarti rela menerima gaji lebih rendah) (Roem Topatimasang, op.cit., hal.13-14).

Sikap mendua terhadap IMF yang didemonstrasikan oleh Menkeu Prijadi dan Deputi Gubernur BI Anwar Nasution itu sebenarnya menunjukkan kebingungan dan keraguan birokrat Indonesia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya. Semua itu sebenarnya wajar, karena penguasa Indonesia selama ini memang tidak punya pedoman dan sikap hidup yang jelas, yang dapat dijadikan pegangan bagi mereka dan rakyat mereka dalam menjalani kehidupan. Mereka selama ini hanya puas mengekor dan tunduk kepada negara-negara Barat yang kafir dengan ideologi kapitalismenya, padahal sudah terbukti nyata negara-negara Barat tidak memberikan apa-apa kepada kita selain kesengsaraan, penderitaan, kerusakan, dan kenestapaan. Benarlah Rasulullah SAW yang sebenarnya telah mengingatkan kita semua akan bahaya mengekor kaum kafir seperti itu :

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan (hidup) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Dan kalaupun mereka memasuki lubang biawak (membawa kerusakan) niscaya kalian akan tetap mengikuti mereka” Para shahabat bertanya,”Apakah mereka itu orang Yahudi dan Nashrani ?” –dalam riwayat lain ‘Apakah mereka itu orang Romawi dan Persia?’– Nabi menjawab,”Siapa lagi (kalau bukan mereka) ?” (HSR. Bukhari dan Muslim)

Politik Bantuan Luar Negeri
Bantuan luar negeri  adalah salah satu teknik negara-negara Barat untuk melangsungkan imperialisme (penjajahan) kepada negara-negara jajahannya (Abdurrahman Al Maliki, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 7). Sedang imperialisme itu sendiri, sesungguhnya merupakan metode tetap yang khas dari negara-negara Barat untuk menyebarluaskan ideologi kapitalisme yang mereka anut. Menurut Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani (1973) dalam Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir hal. 13, imperialisme (al isti’mar) adalah pemaksaan dominasi (fardhu saytharah) di bidang politik, ekonomi, militer, dan budaya kepada negara-negara yang didominasi, untuk kemudian dieksploitasi (istighlal). Ringkasnya, imperialisme senantiasa menunjukkan 2 (dua) ciri tetap, pertama, adanya pemaksaan dominasi (fardhu saytharah), dan kedua, adanya eksploitasi (istighlal).

Imperialisme mempunyai berbagai macam bentuk yang senantiasa disesuaikan dengan perkembangan konstelasi politik internasional dan opini umum dunia. Pada era puncak imperialisme militer pada abad XIX dan paruh pertama abad XX, cara yang lebih banyak dipakai adalah pendudukan militer secara langsung kepada negara-negara jajahannya. Perancis misalnya menduduki dan menjajah Aljazair (1830), Tunisia (1881), Maroko (1912), dan Syam (1920). Sementara Inggris menjajah India (1857), Mesir (1882), Irak (1914), dan Palestina (1918). Namun demikian, pada abad XIX negara-negara penjajah sebenarnya sudah mulai memanfaatkan bantuan luar negeri sebagai langkah awal untuk menancapkan taring penjajahan di banyak negara. Bahkan boleh dikatakan, penjajahan militer hampir tak dapat dipisahkan dengan bantuan luar negeri sebagai titik awal pendudukan militer. Inggris tak akan pernah menjajah Mesir kecuali melalui jalan hutang, Perancis tidak akan pernah menduduki Tunisia melainkan melalui jalan hutang, dan negara-negara Barat tak akan dapat meluaskan cengkeramannya di Daulah Utsmaniyah pada masa-masa terakhirnya kecuali melalui  jalan hutang. (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal. 200, Bab Akhthar Al Qurudh Al Ajnabiyah).

Sebelum Perang Dunia I, cara yang ditempuh negara-negara Barat adalah memberikan bantuan (hutang), kemudian melakukan intervensi melalui hutang itu untuk menancapkan pengaruh dan kebijakannya di negeri-negeri yang diberi bantuan. Di Mesir, bantuan-bantuan yang diterima oleh pemerintah antara tahun 1864 hingga 1875 telah mencapai sekitar 95 juta poundsterling. Kemudian pada tahun 1875 datanglah satu komisi penyelidik untuk memeriksa kondisi perekonomian Mesir dan mengusulkan dibentuknya sebuah dewan pengawas untuk memperbaiki keadaan perekonomiannya. Penguasa Mesir saat itu, Khadawi, tunduk kepada usulan ini dan setelah itu bantuan hutang tidak diberikan kecuali atas persetujuan dewan pengawas tersebut. Pada tahun 1886 Khadawi membentuk lembaga Dana Hutang (Shunduq Ad Dayn) guna menerima dana-dana hutang yang dikhususkan untuk mengelola proyek-proyek lokal. Dengan demikian, ada anasir pemerintahan asing di dalam tubuh pemerintahan Mesir. Pada tahun 1886 itu juga, Khadawi membentuk lembaga bernama Sistem Pengawasan Bilateral (Nizham Ar Raqabah Ats Tsuna`iyah) yang antara lain tugasnya adalah melakukan kontrol atas kondisi keuangan Mesir. Yang melakukan tugas ini adalah dua orang pengawas, yaitu satu orang Inggris untuk mengontrol segala pendapatan negara, dan satu orang Perancis yang mengontrol segala pembelanjaan negara. Lembaga pengontrol ini kemudian berkembang dan berubah menjadi Dewan Menteri yang di antara anggotanya adalah dua orang menteri berkebangsaan Eropa; satu orang berkebangsaan Inggris yang memegang jabatan menteri dalam Kementerian Keuangan, satu orang lagi berkebangsaan Perancis menjabat sebagai menteri dalam Kementerian Urusan Pekerjaan Rakyat. Demikianlah akhirnya Inggris berhasil menjajah Mesir melalui jalan hutang (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal. 201).

Sementara itu di Tunisia, penguasanya saat itu, Bey, telah meminta hutang ke negara-negara Eropa. Tidak sampai 7  tahun, hutang Tunisia jumlahnya telah mencapai 150 juta Frank, sehingga kemudian negara-negara Eropa menjadikan hutang itu sebagai justifikasi untuk melakukan intervensi dalam urusan dalam negeri Tunisia. Perancis lalu mengusulkan agar dibentuk suatu dewan keuangan yang kemudian ini disetujui oleh Inggris dan Italia. Pada tahun 1870, Bey mengeluarkan keputusan untuk membentuk dewan tersebut yang meskipun diketuai oleh seorang berkebangsaan Tunisia, namun anggota-anggotanya adalah orang-orang Perancis, Inggris, dan Italia. Dewan keuangan ini bertugas mendata hutang, menetapkan suku bunga, dan mengelola proyek-proyek yang mendapat bantuan dananya dari hutang. Dengan jalan inilah, akhirnya Perancis berhasil menjajah Tunisia. Dan boleh dikatakan, cara seperti ini merupakan langkah umum yang ditempuh oleh negara-negara Barat saat itu (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal. 201).

Namun penjajahan yang mengandalkan pasukan bersenjata dan kekuatan militer ini mulai goyah pada pertengahan abad XX, tepatnya menjelang berakhirnya Perang Dunia II. Ini terutama terjadi berkat opini dunia yang sangat gencar dilancarkan Uni Soviet untuk menentang kolonialisme Barat di berbagai belahan dunia (Dawam Raharjo, Kapitalisme Dulu dan Sekarang, hal. vii). Serangan Uni Soviet ini telah melemahkan posisi kolonialisme yang ada saat itu. Ketika Sekutu berhasil meraih kemenangan pada Perang Dunia II, Uni Soviet telah menetapkan program untuk melanjutkan serangannya terhadap penjajahan kapitalisme dan sekaligus mendorong bangsa-bangsa terjajah untuk mengobarkan revolusi guna merebut kemerdekaan. Maka dari, Amerika Serikat (AS) kemudian menyadari bahwa tak ada jalan lagi untuk melestarikan imperialisme kecuali  dengan mengubah caranya dan bahwa tak ada cara lain untuk merebut negara-negara terjajah dari negara penjajah lain kecuali dengan cara baru, yaitu memerdekakan negara-negara jajahan lalu menjeratnya dengan macam-macam bantuan dan hutang.

Pada awalnya, imperialisme gaya baru AS ini tidak banyak diketahui orang banyak, karena diberi kedok dengan “revolusi kemerdekaan” dari penjajahan dan “bantuan” untuk membangun ekonomi negara yang baru merdeka. Semula cara baru ini hanya diketahui oleh para pengamat politik internasional. Namun pada pertengahan dasawarsa 60-an, orang-orang sudah mulai menyadari hal ini terutama setelah mereka mengamati upaya kemerdekaan negara-negara Afrika dan  peristiwa Kongo. Akhirnya menjadi jelaslah bagaimana cara baru yang dijalankan AS untuk mengembangkan imperialisme, yaitu mengubah imperialisme yang semula berupa pemaksaan dominasi melalui pasukan perang dan kekuatan militer terhadap bangsa-bangsa lemah untuk kemudian dieksploitasi, menjadi pemaksaan dominasi dengan cara baru : (1) pemberian kemerdekaan –secara formalitas— kepada negara terjajah, dan (2) memaksakan dominasi atas negara itu melalui berbagai hutang dan bantuan. (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal. 7-8).

Menjadi gamblanglah bagi setiap orang bahwa ide pemberian kemerdekaan kepada berbagai bangsa dan pemberian hutang kepada mereka, tidak lain adalah cara baru untuk melangsungkan imperialisme. Semua orang akhirnya tahu bahwa AS selalu memantau negara-negara jajahan Inggris, Perancis, Belgia, Belanda, dan Portugal di berbagai belahan dunia, kemudian merebut negara-negara jajahan mereka itu dengan jalan memberikan kemerdekaan dan kemudian mengikatnya dengan memberi bantuan dan hutang. Peristiwa Kongo dan Angola, serta upaya PBB menentang penjajahan Inggris di Afrika (seperti  Rhodesia), juga pembebasan Irian Barat yang kemudian digabungkan dengan Indonesia, merupakan bukti-bukti yang amat jelas adanya langkah politik AS menjalankan cara baru imperialismenya, yaitu memberi kemerdekaan dan bantuan.

Yang perlu juga diingat, sebuah negara merdeka yang akan mengambil hutang dari AS, tentunya harus mempunyai alasan atau justifikasi yang kuat di hadapan rakyatnya. Karena itulah, AS merekayasa opini umum mengenai “rencana pembangunan” atau “upaya menumbuhkan ekonomi” di negeri-negeri yang sebelumnya merupakan negara jajahan atau berada di bawah pengaruh negara-negara Barat. Pembentukan opini ini bertujuan agar penduduk negeri-negeri itu terdorong untuk menyusun rencana pembangunan atau rencana pembangunan ekonomi, yang untuk implementasinya tentu membutuhkan biaya besar yang tak lain harus diambil dari hutang-hutang luar negeri, terurama dari AS. Melalui hutang inilah, akhirnya negara-negara Barat –terutama AS—dapat memaksakan dominasinya atas berbagai bangsa untuk kemudian dieksploitasi guna kepentingan negara-negara imperialisme yang kafir itu. Inilah teknik penjajahan baru yang memang dirancang untuk menggantikan penjajahan gaya lama berupa pemaksaan dominasi melalui  pasukan perang dan kekuatan militer (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal.8)  

Inilah hakikat politik bantuan luar negeri negara-negara Barat, khususnya AS, kepada berbagai negara dan bangsa di dunia. Bantuan luar negeri adalah sarana negara-negara Barat –khususnya AS— untuk menguasai negeri-negeri dan mencengkeramkan pengaruhnya di negeri-negeri itu. Dengan kata lain, bantuan luar negeri itu sebenarnya bukanlah bantuan, melainkan suatu senjata politik (as silah as siyasi) yang ada di tangan negara pemberi hutang untuk memaksakan politik dan falsafah hidupnya (kapitalisme) kepada negeri yang mengambil hutang. Pernyataan John F. Kennedy pada tahun 1962 kiranya membuktikan semua itu. Dia menyatakan, “Bantuan luar negeri merupakan suatu metode yang dengan itu Amerika Serikat mempertahankan kedudukannya yang berpengaruh dan memiliki pengawasan di seluruh dunia, serta menopang cukup banyak negara yang jika tidak dibantu sudah pasti akan runtuh, atau beralih ke dalam blok Komunis.” (Magdoff, The Age of Imperialism, hal.117, dalam Dawam Raharjo, Kapitalisme Dulu dan Sekarang, hal. 120).

Maka dari itu, tak heran bila bantuan luar negeri dalam berbagai bentuknya –bantuan ekonomi, militer, pangan, pinjaman, hibah, dan lain-lain— akan selalu menampakan dua ciri utama penjajahan, yaitu pertama, adanya pemaksaan dominasi (fardhu saytharah), dan kedua, adanya eksploitasi (istighlal).

Pemaksaan dominasi nampak sangat jelas dalam bermacam persyaratan (conditionalities) pemberian hutang, yang sebenarnya lebih patut disebut sebagai “mengintimidasi dan mencampuri urusan dalam negeri”. Para pemberi pinjaman, apakah itu lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, atau bank-bank komersial swasta, hanya akan memberikan pinjaman jika negara yang akan diberi pinjaman memang bersedia melaksanakann apa yang mereka sebut sebagai “penyesuaian struktural” (structural adjustment) yang, pada dasarnya, adalah “menyesuaikan kebijakan perekonomian negara yang bersangkutan agar lebih berorientasi dan terintegrasi ke dalam sistem pasar dunia.” Artinya, menyesuaikan diri dengan kehendak sistem pasar dunia yang dominan : sistem perdagangan bebas kapitalis seperti yang berlaku di negara-negara industri maju di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Jepang. Itu berarti bahwa negara-negara yang ingin mendapatkan pinjaman dari IMF/Bank Dunia harus melakukan sejumlah “langkah penyesuaian” di dalam negeri mereka, antara lain : devaluasi mata uang, deregulasi sistem perbankan, privatisasi, liberalisasi pasar, peningkatan ekspor, pengurangan konsumsi dalam negeri, pengurangan subsidi sektor publik, pemotongan belanja pemerintah untuk sektor-sektor pelayanan sosial, dan sebagainya dan seterusnya.      

Dominasi ekonomi ini seringkali ditambah lagi dengan dominasi dan tekanan politik dari negara-negara pemberi hutang. Insiden Atambua yang menewaskan tiga orang pekerja UNHCR dijadikan alasan AS untuk melancarkan embargo dan menyetop bantuan ekonomi, jika Indonesia tidak mampu menyelesaikan kasus itu dengan membubarkan dan mengadili milisi-milisi bersenjata di Timtim. Dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu lalu, Menteri Pertahanan AS, William Cohen (Yahudi), menyatakan,”Kegagalan mereka menjalankan semua komitmen itu pasti akan memperburuk hubungan Indonesia dengan komunitas internasional. Lebih jauh, hal itu juga akan membahayakan kelangsungan semua bantuan ekonomi kepada Indonesia.” (Al Wa’ie, No. 02 Th. I, edisi 1-31 Oktober 2000, hal. 4).

Selain menimbulkan pemaksaan dominasi, hutang juga menjadi sarana eksploitasi bagi negara-negara pemberi hutang untuk memperkaya diri sendiri. Bantuan luar negeri sebenarnya hanya untuk menguntungkan negara-negara kreditor. Negara-negara yang mendapat bantuan tidak mendapatkan apa-apa selain ketergantungan kepada negara-negara penjajah yang semakin menjerat dari hari ke hari.

Keuntungan hasil eksploitasi melalui hutang itu memang cukup nyata. Bantuan luar negeri telah membentuk  suatu sistem yang luar biasa untuk mengalirkan nilai keuntungan yang diukur melalui pendapatan dan investasi-investasi luar negeri.  Misalnya, dari tahun 1970 hingga 1976, negara-negara industri Barat telah mengadakan investasi di luar negeri bernilai US$ 67 miliar dolar, yang US$ 27 miliar dolar di antaranya datang dari Amerika Serikat. Bersamaan dengan itu, negara-negara penjajah itu menerima pendapatan sebesar US$ 99 miliar dolar dari investasi-investasi itu (yang US$ 42 miliar dolar di antaranya digunakan kembali di luar AS, dan yang US$ 57 miliar dolar kembali ke AS). Ini menunjukkan suatu kelebihan bersih sebesar US$ 32 miliar untuk negara-negara industri itu dan suatu hasil bersih sebesar US$ 30 miliar untuk neraca luar negeri AS. (Angka-angka dari Survey of Curent Business, dalam Serge Latouche, Critique de l’imperialisme, hal. 209).

Selain itu, seluruh kredit dan pinjaman itu sendiri –yang diberikan kepada negara-negara berkembang– akan mengalir lagi ke negara-negara pemberi utang dalam bentuk kewajiban utang (pelunasan dan bunganya) dalam jumlah yang lebih besar. Setiap satu dolar yang dikeluarkan negara donor untuk dunia ketiga akan kembali lagi kepada mereka dalam jumlah yang berlipat. Pada tahun 1983, misalnya, uang yang mengalir dari negara-negara berkembang ke bank-bank swasta di negara-negara industri jumlahnya US$ 21 miliar dolar lebih banyak daripada kredit yang mereka berikan ke negara-negara berkembang. Pada tahun 1984, uang yang mengalir ke negara-negara berkembang, baik dalam bentuk pinjaman maupun kredit, jumlahnya mencapai US$ 85 miliar dolar. Pada saat yang sama, uang yang mengalir balik ke negara-negara industri dalam bentuk pelunasan (cicilan hutang) dan bunga adalah sebesar US$ 92 miliar, atau sekitar 108 % dari uang yang sebelumnya mereka hutangkan. (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga : Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang, hal. 92-93).

Dari uraian ini, nampak jelas bantuan luar negeri –sebagai bentuk imperialisme baru—selain disertai syarat-syarat yang menunjukkan dominasi pihak pemberi hutang, juga memang lebih banyak mengabdi untuk kepentingan negara-negara kreditor itu sendiri, bukan untuk kepentingan negara-negara penerima hutang. Demikianlah kenyataannya, karena perilaku negara-negara penjajah yang kapitalis memang tak dapat dipisahkan dari persepsi ideologi kapitalisme anutan mereka, yang selalu mementingkan kepentingan diri sendiri dalam setiap aktivitas hidupnya. Mereka tak akan peduli, walaupun bantuan luar negeri yang mereka berikan akhirnya menimbulkan kemiskinan, kerusakan lingkungan, pengangguran, gejolak sosial, dan kerugian lainnya di pihak penerima bantuan. Yang penting diri sendiri untung. Itulah prinsip mengutamakan kepentingan sendiri (self interest) gaya kapitalisme yang sejak dulu sudah dicanangkan oleh Adam Smith (1723-1790), Bapak Kapitalisme. Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) berkata :

“Bukanlah dari kemurahan hati tukang daging, tukang bir, atau tukang roti, kita mengharapkan mendapat makanan; melainkan dari penghargaan mereka atas kepentingan diri mereka masing-masing. Kita camkan dalam diri kita, bahwa bukanlah dari rasa kemanusiaan, melainkan dari rasa cinta terhadap diri sendiri; dan tak akan kita berbicara kepada mereka mengenai kebutuhan-kebutuhan kita bersama, melainkan atas dasar laba yang bisa mereka raih.” (Adam Smith, The Wealth of Nations, vol.II (London : J.M. Dent and Sons Ltd, 1960), hal. vii, dalam Bonnie Setiawan, Peralihan ke Kapitalisme di Dunia Ketiga, hal. 20)
 
Bahaya Bantuan Luar Negeri
Bantuan luar negeri untuk membiayai pembangunan adalah jalan paling berbahaya bagi seluruh negeri di dunia. Umat manusia akan terus mengalami penderitaan selama mereka mengambil bantuan luar negeri, karena bantuan ini hakikatnya adalah penjajahan atas mereka.

Sesungguhnya setiap orang yang melihat dan memperhatikan fakta utang luar negeri, terdapat 5 (lima) bahaya besar yang jelas-jelas tampak di depan mata (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal. 200-207, Bab Akhthar Al Qurudh Al Ajnabiyah) :

Pertama, Utang yang diberikan negara-negara kapitalis kepada negeri-negeri miskin –termasuk Indonesia– pada hakikatnya adalah salah satu cara yang ditempuh untuk menjajah secara ekonomi negara-negara yang menerima utang tersebut. Dengan kata lain, negara penerima utang akan dijadikan “sapi perahan” belaka, yang diambil dan disedot segala harta dan kekayaan oleh negara-negara pemberi hutang. Hal ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan di Indonesia, bahwa jumlah pembayaran kembali cicilan dan bunga hutang-hutangnya telah menyedot hampir separoh dari belanja negara. Biro Pusat Statistik mencatat angka 48 % belanja pemerintahan tahun anggaran 1992 ditujukan untuk membayar kembali cicilan dan bunga hutang luar negeri. Padahal pada tahun 1974 hanya tercatat angka 4%, alias kenaikan hampir tujuh kali lipat selama hampir 20 tahun. Sementara itu Bank Dunia mencatat akumulasi jumlah pembayaran kembali (cicilan dan bunga) hutang luar negeri Indonesia tahun 1985-89 adalah sebesar US$ 37,03 miliar dolar. Jumlah ini adalah rata-rata 9,3 % dari total GNP atau 36,4 % dari nilai ekspor. Rasio antara kewajiban cicilan plus bunga dengan penghasilan negara dari ekspor (sebagai sumber utama pembayaran hutang) inilah yang disebut dengan DSR (Debt Service Ratio), yakni tolok ukur utama untuk menilai apakah suatu negara penghutang dianggap mampu membayar hutang-hutangnya. Menurut Bank Dunia, angkanya tak boleh lebih dari 30 %. Data terakhir dari ADB, DSR Indonesia tahun 1998 mencapai 36,0 %. Angka yang gawat. Bahkan tahun 2000 diprediksi tetap sama gawatnya : 34 %. Bahkan menurut ECONIT, tahun 2000 diprediksi DSR Indonesia sebenarnya 52 %. Gawat darurat ! Dengan kata lain, lebih dari separuh penghasilan kita habis lagi, hanya untuk membayar hutang luar negeri. Inilah suatu bentuk eksploitasi negara-negara imperialis atas Indonesia (Roem Topatimasang, Hutang Itu Hutang, hal. 9)   

Kedua, sebelum hutang diberikan, negara-negara donor harus mengetahui kapasitas dan kapabilitas sebuah negara yang berutang dengan cara mengirimkan pakar-pakar ekonominya untuk memata-matai rahasia kekuatan/kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan konsultan teknis atau konsultan ekonomi. Saat ini di Indonesia, sejumlah pakar dan tim pengawas dari IMF telah ditempatkan pada hampir semua lembaga pemerintah yang terkait dengan isi perjanjian  Letter of Intent (LoI) (Roem Topatimasang, Hutang Itu Hutang, hal. 9). Ini jelas berbahaya, karena berarti rahasia kekuatan dan kelemahan ekonomi Indonesia akan menjadi terkuak dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan berbagai persyaratan (conditionalities) pemberian pinjaman yang sangat mencekik leher rakyat melarat –seperti pemotongan subsidi bahan pangan, pupuk, dan BBM– yang akhirnya hanya menguntungkan pihak negara-negara donor sementara Indonesia hanya dapat gigit jari saja menelan kepahitan ekonomi.   

Ketiga, Pemberian hutang adalah sebuah proses agar negara peminjam tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang makin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu. Pada tahun 2000 ini, setelah tiga tahun dibantu IMF, jumlah orang miskin di Indonesia menjadi 50 % dari jumlah penduduk, atau sekitar 100 juta orang. Padahal sebelum krisis ekonomi (tahun 1997) jumlah kaum miskin di Indonesia hanya sekitar 14 % dari jumlah penduduk atau sekitar 22 juta jiwa. (Muhidin M. Dahlan (ed), Sosialisme Religius Suatu jalan Keempat?, hal. 41; Suara Muhammadiyah, No. 04, 16-28 Februari 2000). Jadi telah terbukti, bahwa program IMF telah sukses menambah jumlah kaum miskin dan melarat. Bagi negara-negara berkembang yang sedang dalam kesulitan seperti Indonesia karena harus tunduk dan patuh kepada IMF, IMF tampak seperti pencekik berdarah dingin, yang menghisap darah orang miskin. Program-program yang biasanya diajukan IMF di bidang politik dan ekonomi adalah : (1) Gaji (juga upah buruh) mesti dibekukan (tidak dinaikkan), atau kalau perlu kenaikannya dibatasi dengan undang-undang.  Bila ini diterapkan, sedang harga terus membubung, daya beli masyarakat akan hancur berantakan. (2) Bantuan Sosial yang dikeluarkan pemerintah harus dikurangi. Yang menderita adalah rumah sakit, sekolah, lembaga sosial, dan tunjangan sosial. (3) Subsidi bahan makanan pokok (sembako) dan BBM harus dihilangkan. Tentu saja tanpa subsidi harga pangan dan BBM akan melangit dan akan menghantam habis kaum dhuafa. (4) Merosotnya nilai mata uang akan menyebabkan ekspor besar-besaran dan menurunnya konsumsi dalam negeri. Pasar dalam negeri akan mengalami kelangkaan barang akibat ekspor berlebihan. Langkanya barang, jelas akan melambungkan harga. Yang paling menonjol adalah jenaikan harga barang-barang impor (minyak tanah, bensin, bahan pangan, dan lain-lain). (5) Liberalisasi ekonomi terhadap pihak luar negeri akan memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan multinasional untuk mengeruk keuntungan tanpa batas. Tentu saja hal ini akan dapat memancing kerusuhan sosial yang ujung-ujungnya akan membikin rakyat menderita. Apalagi dalam penerapan kebijakan pemerintah ini, tak jarang dibarengi dengan politik represif atau kekuatan militer yang kejam. (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga : Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang, hal. 99).  Selain itu, utang yang makin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu juga sangat memberatkan negara peminjam dan membuatnya semakin tergantung kepada negara-negara donor atau lembaga keuangan internasional yang meminjamkan uangnya. Menurut INFID (International NGO Forum on Development Indonesia) akumuluasi hutang luar negeri yang sudah diterima Indonesia makin menggunung dengan peningkatan cukup tajam, dari US$ 54 miliar pada 1997, menjadi US$ 142 miliar pada tahun 2000. Hal ini otomatis akan meningkatkan pula rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), dari 23 % pada 1997 menjadi 83 % pada tahun 2000. (Suara Pembaruan, 12 Oktober 2000).

Keempat, Hutang luar negeri yang diberikan pada dasarnya merupakan senjata politik (as silah as siyasi) negara-negara kapitalis kafir Barat kepada negeri-negeri muslim untuk memaksakan kebijakan politik, ekonomi, terhadap kaum muslimin. Tujuan mereka memberi hutang bukanlah untuk membantu negara lain, melainkan untuk kemaslahatan, keuntungan, dan eksistensi mereka sendiri. Mereka menjadikan negara-negara pengutang sebagai alat sekaligus ajang untuk mencapai kepentingan mereka. Dokumen-dokumen resmi AS telah mengungkapkan bahwa tujuan bantuan luar negeri AS adalah untuk mengamankan kepentingan AS itu sendiri dan mengamankan kepentingan “Dunia Bebas” (negara-negara kapitalis). Pada akhir tahun 1962 dan awal tahun 1963 di AS muncul debat publik seputar bantuan luar negeri AS bidang ekonomi dan militer. Maka kemudian Kennedy membentuk sebuah komisi beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat, yang diketuai oleh Jendral Lucas Clay, untuk mengkaji masalah ini. Pada minggu terakhir Maret 1963, komisi itu mengeluarkan dokumen hasil kajiannya. Di antara yang termaktub di sana adalah bahwa tujuan pemberian bantuan luar negeri dan standar untuk memberikan bantuan adalah “keamanan bangsa Amerika Serikat dan keamanan serta keselamatan ‘Dunia Bebas’.” Inilah standar umum untuk seluruh bantuan ekonomi ataupun militer. Jadi, tujuan pemberian bantuan luar negeri tersebut sebenarnya bukan untuk membantu negara-negara yang terbelakang, melainkan untuk menjaga keamanan Amerika dan negara-negara kapitalis lainnya, atau dengan kata lain, tujuannya adalah menjadikan negara-negara penerima bantuan tunduk di bawah dominasi AS untuk kemudian dijadikan sapi perahan AS dan alat untuk membela kepentingan AS dan negara-negara Barat lainnya. (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal. 204-205). 

Kelima, Utang luar negeri sebenarnya sangat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan (moneter) negara pengutang. Hutang ada yang berjangka panjang dan ada yang berjangka pendek. Yang berjangka pendek, berbahaya karena akan dapat memukul mata uang domestik dan akhirnya akan dapat memicu kekacauan ekonomi dan kerusuhan sosial dalam negeri. Sebab bila hutang jangka pendek ini jatuh tempo, pembayarannya tidak menggunakan mata uang domestik, melainkan terutama harus dengan dolar AS. Padahal dolar AS termasuk hard currency. Maka dari itu, negara penghutang akan tidak mampu melunasi hutangnya dengan dolar AS karena langka, ataupun kalau dipaksakan membeli dolar, maka dolar akan dibeli dengan harga yang sangat tinggi terhadap mata uang lokal, sehingga akhirnya akan membawa kemerosotan nilai mata uang lokal. Adapun hutang jangka panjang, adalah juga berbahaya karena makin lama jumlahnya semakin menggila, yang akhirnya akan dapat melemahkan anggaran belanja negara penghutang dan membuatnya tidak mampu lagi melunasi hutang-hutangnya. Pada saat inilah negara-negara kreditor akan dapat memaksakan kehendak dan kebijakannya yang sangat merugikan kepada negara penghutang. 

Berdasarkan kenyataan ini, jelas sekali bahaya-bahaya besar yang ada dibalik ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri. AS dalam hal ini, yang mengendalikan lembaga-lembaga keuangan Intemasional seperti Bank Dunia, IMF, maupun CGI, dengan mudah dapat menghancurkan perekonomian negeri-negeri miskin. Selanjutnya mereka memaksakan kepentingan politik dan ekonominya terhadap penguasa-¬penguasa yang ada di negeri-negeri tersebut. Atau bila perlu menggantikan penguasa secara paksa melalui krisis ekonomi yang mereka rancang, seperti yang terjadi dalam kasus lengsernya Soeharto sesaat setelah IMF dan Bank Dunia membangkrutkan Indonesia lewat krisis moneter dan memaksa Soeharto mundur.

Berdasarkan bahaya-bahaya yang ditimbulkannya itu, bantuan luar negeri adalah haram menurut syara’, karena :

Pertama, bantuan luar negeri menjadi sarana (wasilah) timbulnya berbagai kemudharatan, seperti terus berlangsungnya kemiskinan, bertambahnya harga-harga kebutuhan pokok dan BBM, dan sebagainya. Segala macam sarana atau perantaraan yang akan membawa kemudharatan (dharar) –padahal keberadaannya telah diharamkan– adalah haram. Kaidah syara’ menetapkan :

“Al Wasilatu ilal haram muharramah.”

“Segala perantaraan yang membawa kepada yang haram, maka ia diharamkan.” 
 
Kedua, bantuan luar negeri telah membuat negara-negara kapitalis yang kafir dapat mendominasi, mengeksploitasi, dan menguasai kaum muslimin. Ini haram dan tidak boleh terjadi. Allah SWT berfirman :

“Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mu`minin.” (QS An Nisaa` : 141)

Ketiga, bantuan luar negeri tidak dapat dilepaskan dari bunga (riba). Padahal Islam dengan tegas telah mengharamkan riba itu. Riba adalah dosa besar yang wajib dijauhi oleh kaum muslimin dengan sejauh-jauihnya. Allah SWT berfirman :

“Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…” (QS Al Baqarah : 275)

Rasulullah SAW bersabda :

“Riba itu mempunyai 73 macam dosa. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri…” (HR Ibnu Majah, hadits No.2275; dan Al Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas’ud, dengan sanad yang shahih).

“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).

Khatimah
Sudah saatnya kaum muslimin bersikap tegas dalam masalah bantuan luar negeri ini. Mereka harus menolak bantuan luar negeri, karena telah terbukti membawa bahaya dan menyengsarakan mereka. Mereka harus berusaha dan berjuang keras untuk menghentikan ketertindasan dan ketundukan yang hina di bawah dominasi dan eksploitasi negara-negara Barat yang kafir. Mereka harus sadar bahwa negara-negara Barat bukanlah sahabat apalagi penolong mereka, melainkan musuh dan penjajah yang telah menyengsarakan dan menghinakan mereka.

Kaum muslimin juga seharusnya sadar, bahwa para penguasa mereka adalah para pengkhianat yang lebih mementingkan kepentingan pihak asing daripada kepentingan rakyat dan bangsanya sendiri yang melarat dan hidup tersia-sia. Tak ada balasan yang paling pantas untuk para penguasa sekuler yang zhalim itu, selain menggulingkan mereka dari tahta kekuasaannya, serta menggantikan mereka dengan para pemimpin yang ikhlas, yang benar-benar memperhatikan kondisi rakyatnya, memperjuangkan kesejahteraan dan kemuliaan mereka, serta mengatur kehidupan rakyatnya itu dengan hukum-hukum yang diridhai Allah SWT.

Dan semua upaya ini tidak akan dapat berhasil dengan gemilang, tidak akan dapat mengantarkan umat menuju puncak keridhoan Allah SWT yang abadi, selain dengan menegakkan risalah Islam secara total dengan jalan menegakkan Khilafah Islamiyah yang bertanggung jawab menegakkan risalah Islam dan menyebarluaskan Islam ke seluruh pelosok dunia.

Semua upaya ini wajib ditempuh kaum muslimin agar Islam kembali jaya sebagai satu-satunya diin yang diridhai Allah SWT di tengah-tengah umat manusia, meskipun orang-orang kafir membencinya. Allah SWT berfirman :

“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (QS Ash Shaff : 8) [14/10/00]
 
Oleh : Muhammad Shiddiq al Jawi

3 thoughts on “Bahaya di balik Bantuan

  1. analisisnya kurang ilmiah pak.. emosional pisan, mw dipake buat rujukan makalah gak aci deh. usul: pembahasan lbh cakep, lbh analitis, lbh standar seperti tulisan2nya KAU. kebenaran kan juga harus enak didengar, biar gak salah paham. jadi lbh bs diterima dosen saya jg. hehe…
    Tapi makasih buat rujukannya, saya lgsg k sumbernya aja deh.

  2. @ muthia: dari mana Anda katakan kurang ilmiah? Dasarnya apa? Punya bukti? Kebenaran menurutku tidak selalu harus enak didengar, kadang malah menyakitkan. Jangan hanya mencari sumber untuk kemudian bisa diterima dosen 😀

Comments are closed.