Monday, 25 November 2024, 12:55

Alhamdulillah, sebentar lagi Ramadhan 1428 H datang menjelang hanya dalam hitungan hari (paling nggak kalo edisi cetak buletin ini terbit serentak setiap senin, maka edisi ini terbit pada tanggal 10 September 2007 dan itu artinya 2 atau 3 hari lagi tanggal 1 Ramadhan 1428 H). Kita udah siapin segala keperluan untuk ibadah full selama sebulan. Karena pada Ramadhan ini, Allah Swt. sedang TP alias Tebar Pahala bagi kaum muslimin yang melaksanakan ibadah shaum dan amalan lainnya. Semoga Allah Swt. memudahkan kita untuk melaksanakan ibadah Ramadhan ini dengan benar dan baik sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dalam ajaran Islam.

Sobat, sudah menjadi rahasia umum kalo tiap awal dan akhir Ramadhan ini selalu membuat kita berbeda dalam memulainya. Ada yang lebih dulu sehari, dengan alasan sudah terlihat hilal, tapi ada juga yang tetap konsisten rukyatul kalender alias melihat kalender hijriah hasil hisab, dan yang pasti di negeri ini nggak pernah beda ama kalender meskipun ada tim rukyat yang dibentuk dan ditunjuk.

Nah, STUDIA pada edisi ini akan bahas setidaknya tiga hal: Pertama, tentang rukyat dan rukyat global. Kedua, tentang hisab. Ketiga, tentang wajibnya serentak dalam memulai dan mengakhiri Ramadhan. Kita batasi dengan tiga poin ini. Supaya nggak panjang dan ngelebar kemana-mana. Maklum, panjang kalo dikalikan lebar kan hasilnya jadi luas. Betul nggak?

Melihat hilal
Apa sih hilal itu? Yang dimaksud dengan hilal adalah bulan sabit pertama yang tampak setelah bulan baru (ijtima’). Tampaknya di ufuk sebelah barat menjelang maghrib.

Ijtima’ adalah “bertemunya” (conjunction) bulan dan matahari pada bujur ekliptik yang sama.  Bila lintangnya juga sama terjadilah gerhana matahari.  Para astronom kini sanggup memprediksi ijtima’ ribuan tahun ke depan dengan kesalahan kurang dari semenit.  Ijtima’ terjadi serentak, dan cuma sekali setiap bulan.  Kecuali saat gerhana, peristiwa ijtima tidak bisa dilihat karena matahari di belakang bulan sangat menyilaukan.

Setelah ijtima’, bulan yang makin tinggi lambat laun akan menyentuh horizon bagi tempat di muka bumi yang sedang mengalami matahari terbenam. Bila bulan ini tepat di horizon, dikatakan irtifa’-nya nol dan sejak itu dia “wujud” (wujud ul hilal).  Makin lama irtifa’ ini makin besar.  Dalam 24 jam (sehari) dia akan naik sekitar 12 derajat. Para astronom berdasarkan pengamatan puluhan tahun mendapatkan bahwa hilal baru akan teramati ketika irtifa minimal 5 derajat. (Dr. Ing. Fahmi Amhar, pada makalah, Teknologi Pemburu Hilal)

Melihat hilal, atau dalam bahasa Arab disebut rukyatul hilal, adalah sebuah metode untuk menentukan awal atau akhir dari umur bulan. Karena dalam kalender Islam itu jumlah harinya nggak tetap, yakni kalo nggak 29 ya 30 hari dalam setiap bulannya. Khusus untuk bulan Sya’ban dan Ramadhan, Rasulullah saw. memberikan perhatian lebih dalam mengamati hilal ini.

Dari Aisyah ra., ia berkata: “Adalah Rasulullah saw. sangat mencermati keadaan hilal pada bulan Sya’ban, melebihi perhatian beliau akan bulan selain Sya’ban. Beliau pun melakukan puasa Ramadhan karena terlihatnya hilal. Maka apabila hilal terhalang awan, beliau menghitung 30 hari, kemudian beliau berpuasa” (HR Ahmad, Abu Dawud, Daruquthni).

Dalam hadis lain Rasulullah saw. menyampaikan, “”Berpuasalah kalian karena melihat bulan sabit, dan berhari rayalah kalian ketika melihat bulan sabit. Maka, jika mendung menghalangi penglihatan kalian dari melihat bulan sabit, sempurnakanlah 30 hari bulan Sya’ban” (HR Bukhari dan Muslim)
Ini menjadi dalil bahwa metode penentuan bulan baru dalam Islam dilakukan dengan rukyatul hilal alias melihat hilal.

Rukyat global
Rukyat global maksudnya adalah satu pengamatan berlaku untuk seluruh dunia. Sehingga serentak memulai dan mengakhiri Ramadhan. Itu maksudnya. Hal ini tentu berdasarkan dalil juga dong.

Ketiga imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad sepakat bahwa penentuan awal-akhir Ramadhan harus dengan rukyat global, tanpa lagi mempertimbangan mathla’ (jarak wilayah) untuk daerah tertentu. Misalnya pengikut Imam Syafi’i menentukan radius 120 km. Maka, antara Jakarta dengan Bandung saja bisa berbeda memulai Ramadhan jika mengikut pendapat ini. Kalo mengadopsi rukyat global, berarti seluruh dunia seharusnya bisa serentak memulai awal dan akhir Ramadhan ini. Iya kan?

Maka, menurut Imam asy-Syaukani, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan (rukyatul hilal), maka rukyat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Jilid III, hlm. 125)

Hisab adalah…
Hisab itu artinya menghitung. Sebelum dijelasin lebih jauh, kamu kayaknya perlu mengenal terlebih dahulu bahwa ukuran waktu dalam penanggalan Islam (kalender hijriah) itu didasarkan pada peredaran bulan murni. Jadi hitungannya berdasarkan umur bulan. Bukan matahari. Berbeda dengan kalender Masehi yang penanggalannya didasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari. Jelas beda banget.

Melalui hisab inilah penangalan kalender hijriah disusun dan tanggalnya kadang ditemukan di beberapa kalender untuk ‘mendampingi’ kalender masehi yang udah diterapkan secara internasional. Misalnya, tanggal 13 September 2007 di kalender kita saat ini, itu sama dengan 1 Ramadhan 1428 H. Itu berdasarkan perhitungan ahli hisab. Jangankan setahun ke depan, seratus tahun ke depan pun dengan metode hisab bisa ditentukan kapan satu Ramadhan diawali dan diakhiri. Memudahkan memang. Apalagi setelah berkembang teknologi di bidang astronomi yang dilengkapi peralatan canggih bisa menentukan kapan gerhana matahari, kapan gerhana bulan, dan tentunya kapan memulai ibadah-ibadah sampai ribuan tahun ke depan (sebelum kiamat tentunya) dengan tingkat akurasi tinggi, kalo pun meleset tak lebih dari 1 menit. Wuih!

Pertanyaannya, apakah hisab itu diperbolehkan? Para fuqaha berbeda pendapat dalam masalah ini. Dahulu para imam madzhab tidak membolehkan penggunaan hisab, sebab hisab tidak memberikan hasil perhitungan yang meyakinkan bahkan tidak menghasilkan perhitungan yang rajih. Sebabnya apa? Karena saat itu ilmu hisab belum berkembang dengan bantuan teknologi seperti sekarang.

Dalam kitab Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi, jilid VII hlm. 192 dan dalam kitab Fathul Bari Bisyarhi Shahih Al Bukhari karya Ibnu Hajar Al Asqalani, jilid V hlm. 126-127 terdapat hadits Nabi saw.: Kami adalah umat yang ummi. Kami tidak dapat menulis atau menghitung. Satu bulan ada begini, begini, begini (seraya menyodorkan kesepuluh jari tangan tiga kali, dengan menekuk jari jempol pada sodoran ketiga) dan satu bulan adalah begini, begini, begini (dengan membuka semua jari pada ketiga sodoran). (Lafazh hadits menurut Imam Muslim)

Imam Hajar kemudian memberi komentar (syarah) hadits ini sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan hisab dalam hadits ini adalah hisabun nujum (perhitungan ilmu falak) dan peredarannya. Orang-orang dahulu belum mengetahui ilmu itu, kecuali sedikit dan pengetahuannya pun amat sederhana. Dikaitkan dengan puasa dan (perkara) lainnya dengan rukyat adalah untuk menghilangkan kesukaran dari mereka dalam menggunakan hisab peredaran bulan.”

So, dalam penjelasan di atas ini, menggunakan metode hisab, apalagi dengan bantuan teknologi astronomi yang cukup bagus, hukumnya boleh. Silakan saja. Namun, perlu diingat bahwa hisab bukan alat utama untuk menentukan awal dan akhir dari umur bulan hijriah. Tapi tugasnya adalah untuk mendukung rukyat. Misalnya untuk menentukan kapan dimulai melihat hilal bulan baru. Ini penting agar jangan sampe baru tanggal 28 udah melihat hilal. Itu sih nggak bakalan ketemu, karena yang dilakukannya itu adalah rukyatul qomar alias melihat bulan (hehehe…). Maka, pengerjaan hisab pun, akhirnya memang harus dilakukan oleh ahli rukyat yang handal dan mumpuni di bidangnya supaya antara hisab dan rukyat itu saling mendukung, gitu lho.

Ayo, serentak puasa!
Memang nggak mudah untuk bisa menyatukan pendapat dalam kondisi kaum muslimin seperti saat ini yang terpecah lebih dari 50 negara dalam ikatan nasionalisme masing-masing. Meski secara ilmiah metode hisab sudah berkembang dengan bagus, memburu hilal pun sudah menggunakan teknologi canggih seperti melengkapi teleskop horizontal dengan kamera digital yang berresolusi geometris tinggi dan juga berresolusi spektral (radiometris) yang luas.

Sobat muda muslim, meskipun sumberdaya manusia kaum muslimin hebat, peralatan canggih, metode menghitung dengan hisab juga oke, tapi kalo nggak ada pemersatunya tetep nggak akan bisa menyatukan kaum muslimin dalam memulai ibadah Ramadhan ini. Karena masing-masing akan mengklaim bahwa metodenyalah yang terbaik. Susah kan?

Itu sebabnya, keberadaan Khilafah Islamiyah akan memberikan solusi, bukan hanya dalam masalah menentukan awal dan akhir Ramadhan, tapi seluruh problem hidup manusia di dunia ini. Khalifah, sebagai kepala negara akan mengambil keputusan untuk menentukan awal dan akhir sebuah bulan. Sebab, akan berpengaruh kepada waktu-waktu ibadah. Padahal, ibadah harus jelas waktunya. Itu sebabnya, kita nggak boleh melaksanakan shalat Idul Fitri tapi tanggal 2 Syawal. Waduh!

So, untuk menyelesaikan masalah ini Khilafah Islamiyah akan mengerahkan para astronom muslim untuk melakukan rukyat dan laporannya diberikan kepada khalifah sehingga khalifah bisa menentukan keputusan tepat untuk serentak berpuasa. Kalo sekarang? Ya, kita harus sabar sebab negara juga kayaknya susah dipercaya. Apalagi selama ini nggak pernah beda ama kalender yang udah ditulisi itu.

Tapi tentu saja kita harus berupaya mencari informasi yang benar dan akurat tentang rukyatul hilal ini dari berbagai sumber terpercaya di bidangnya. Oya, jangan lupa untuk senantiasa bergerak menyampaikan dakwah agar Khilafah Islamiyah yang menerapkan syariah Islam kembali tegak untuk kemaslahatan seluruh manusia. Bagaimana? [solihin: www.osolihin.wordpress.com]

[Buletin STUDIA Edisi 358/Tahun ke-8/10 September 2007]

3 thoughts on “Yuk, Serentak Puasa Sedunia!

  1. iya dunk, sebagai umat Islam kita harus hati-hati soal awal en akhir Ramadhan. salah dikit bisa berdosa. misalnya aja sudah jatuh 1 Ramadhan, kita belum berpuasa tanpa uzur syar’i, kan berdosa. sehari meninggalkan puasa Ramadhan gak akan bisa diganti dengan puasa seumur hidup.
    atau sudah jatuh 1 syawal, kita masih puasa, kan haram tuh puasanya.

  2. @ pengabdian seorang pendidik:

    Mbah heran sama kamu, jangan menuduh hanya HTI yang mengajak hari rasa secara… (maksudnya serentak?).. banyak yang lain juga. Nanti HTI kegeeran. Mbah dari dulu menganut rukyat global. Karena di Indonesia ini meskipun bermazhab syafii banyaknya, tapi untuk penentuan rukyat tidak menggunakan pendapat perngikut imam syafii (yang membolehkan berbeda jika jarak antar daerah itu 24 farsakh–sekitar 120 km). Heran Mbah nih…

Comments are closed.