Friday, 22 November 2024, 00:44

Jumlahnya emang nggak banyak. Tapi kalo udah nongol di jalanan, setiap mata terpancing untuk melirik gaya rambutnya yang Mohawk ala suku Indian dengan warna-warna terang dan mencolok. Belum lagi atribut rantai yang tergantung di saku celana, sepatu boot Dr. Marteen, kaos hitam, jaket kulit penuh badge atau peniti, serta ‘spikes’ (gelang berbahan kulit dan besi seperti paku yang terdapat di sekelilingnya) yang menghiasi pergelangan tangannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari busana mereka. Begitu juga dengan celana jeans super ketat hingga mata kaki yang dipadukan dengan baju lusuh, makin menguatkan kesan anti kemapanan dan antisosial pada mereka. Masyarakat mengenal mereka sebagai anak punk.

Sayangnya, pandangan negatif masih menyertai setiap kehadiran anak punk. Kalo ibu saya ditanya komentar tentang dandanan anak punk, jawabnya “idih.. nggak ada pantes-pantesnya”. Tanpa bermaksud menyudutkan, tampilan anak-anak punk yang cenderung ‘menyeramkan’ seringkali dikaitkan dengan perilaku anarkis, brutal, vandal, bikin onar, dan semau gue. Padahal boleh jadi, itu cuma perilaku segelintir remaja yang berpenampilan nge-punk. Daripada berprasangka, mending kita coba kenal kaum punk lebih dekat. Sehingga penilaian dan sikap kita lebih objektif. Otreh?

Sekedar  musik dan Tam-‘Punk’?
Hadirnya generasi punk nggak bisa dilepaskan dari hingar-bingar dunia musik. Konon kisah lahirnya kaum punk pun diawali dari musik. Pada 1971, Lester Bangs, wartawan majalah semi-underground Amerika, Creem, menggunakan istilah punk untuk mendeskripsikan sebuah aliran musik rock yang semrawut, asal bunyi, namun bersemangat tinggi.

Musisi punk tidak memainkan nada-nada rock teknik tinggi atau lagu cinta yang menyayat hati. Sebaliknya, lagu-lagu punk lebih mirip teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia, menceritakan rasa frustrasi, kemarahan, dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat, termasuk kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang didominasi oleh musisi rock mapan, seperti The Beatles, Rolling Stone, dan Elvis Presley. Akibatnya punk dicap sebagai musik rock n’ roll aliran kiri, sehingga sering tidak mendapat kesempatan untuk tampil di acara televisi, apalagi rekaman. Boro-boro!

Tak hanya dalam lirik lagu, teriakan kekecewaan kaum punk juga ditunjukkan dalam berbusana. Seperti dituturkan Putu Aliki, designer asal Bali, “Sudah nggak zamannya lagi, kalo remaja -cewek atau cowok- tidak diberi kebebasan dalam memilih alternatif-alternatif berbusana yang ada di hadapannya sekarang ini. ‘Kalau memang sreg dan PeDe, kenapa tidak boleh memakai sesuatu yang aneh’. Misal, memakai paku-paku, gelang baja, peniti yang penuh menghias lengan baju, rok pendek, transparan, atau seksi bagi cewek, atau baju dan celana ketat bagi cowok. Biasanya kan selama ini, kalau ada yang berani berpakaian begitu sudah dicap yang nggak-nggak oleh orang lain. Nah itulah yang ingin didobrak.”(Bali Post, 18/05/03)

Tapi menurut Awal Fahma, redaktur F-Magazine Bogor yang kena todong STUDIA: “Kalo menurut gue anak punk Bogor itu mayoritas cuma sekedar style aja, kalo ditanya makna punk yang sesungguhnya belum tentu pada ngerti…buat mereka punk itu cuma dandanan, attitude sama musik keras. Sekarang punk udah keilangan identitasnya … ini gara gara para prudusen ngeliat style punk bisa dijual mulai dari gaya rambut sampai pakaian ….”.

Punk adalah idealisme
Dalam “Philosophy of Punk”, Craig O’Hara (1999) menyebut tiga definisi punk. Pertama, punk sebagai tren remaja dalam fashion dan musik. Kedua, punk sebagai keberanian memberontak dan melakukan perubahan. Terakhir, punk sebagai bentuk perlawanan yang “hebat” karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas, dan kebudayaan sendiri. Definisi pertama adalah definisi yang paling umum digambarkan oleh media. Tapi justru yang paling tidak akurat karena cuma menggambarkan kesannya saja.

Menurut Indie, kru MQ-FM Solo, “Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang keresahan untuk menemukan solusi “menghancurkan tiran”. Lalu keresahan itu mereka wujudkan dengan pemberontakan dengan berbagai wujudnya baik lewat jalur musik, propaganda, bikin produk sendiri, dll. Pokoknya anti segala sesuatu yang bersifat status quo. Karena menurut mereka, yang namanya status quo itu bikin beku. At least, mereka nggak terbawa mainstream. Mampu menciptakan arus sendiri.,” tuturnya Indie penuh semangat ngejelasin ke STUDIA.

Di setiap tempat, sepak terjang kaum punk mampu menjelma menjadi sebuah gaya hidup yang konsisten melawan pemaksaan ide maupun budaya oleh para kapitalis maupun negara. Yup, mereka nggak setuju banget ama yang namanya otoritas. Sehingga mereka hidup berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri. CD dan kaset tidak lagi menjadi satu-satunya barang dagangan. Mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan tato. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan harga yang amat terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro adalah implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi’s, Adidas, Nike, Calvin Klein, dan barang bermerek luar negeri lainnya.

Dalam skala negara, punk mengusung ide anarkisme. Eit, jangan salah tafsir ya. Menurut para pencetusnya, yaitu William Godwin, Pierre-Joseph Proudhon, dan Mikhail A Bakunin, anarkisme adalah sebuah ideologi yang menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara. Di sini anarkisme menghendaki tatanan sosial yang tidak seorangpun bisa menindas atau mengekspolitasi orang lain; sebuah tatanan agar setiap orang mempunyai kesempatan yang setara untuk mencapai perkembangan material dan moralnya secara maksimal. Sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan negara.

Nampaknya, idealisme kaum punk dalam konteks negara kudu siap ngadepin kenyataan sosial. Seperti yang pernah dikatakan Lenin, anarkisme adalah paham yang naif milik para pemimpi dan orang-orang putus asa. Mereka menyadari ideologi ini sulit dikembangkan karena masyarakat masih membutuhkan negara untuk mengatur mereka. Benar, tentunya negara yang menerapkan Islam sebagai ideologi di bawah naungan Khilafah Islamiyah.

Semua ada batasnya, Bro!
Ngomongin tentang kebebasan, emang indah. Apalagi kalo bisa bebas ngapain aja, nggak ada yang larang atau maksain aturan yang mesti dipatuhi. Sayangnya, kebebasan model gini cuma ada di negeri khayalan. Ya, sengotot apapun kita menuntut kebebasan, pada akhirnya kita bakal ngebentur kenyataan kalo semua ada batasnya.

Misal, kita emang bisa bebas makan setiap menu favorit, sanggup begadang semalaman, atau kuat nenggak berliter-liter aneka cairan penghilang dahaga. Tapi kenyataannya, perut dan mata kita ada batasnya dan perlu istirahat. Kalo diporsir, perut kita bisa mules, beser, dan mata berkunang-kunang. Tubuh kita yang menentukan kapan saatnya lapar, haus, ngantuk, atau buang hajat, bukan kita. Ini contoh kecil, Bro!

Begitu juga dalam hidup. Kita boleh acungi jempol buat temen-temen yang nyadar dan pengen merdeka dari para idola yang mengendalikan perilaku kita, para kapitalis yang membobol kocek kita, atau kebijakan negara yang bikin sengsara. Seperti idealisme temen-temen punk. Tapi kalo merdeka dari aturan agama terutama Islam, eit… entar dulu.

Kita memang punya pilihan untuk nggak shalat, ogah nahan lapar-haus puasa Ramadhan, cuek bebek dengan dakwah, berlomba-lomba mengumbar aurat, atau menjadi pemuja hawa nafsu. Tapi itu bukan pilihan yang baik mengingat hidup kita juga ada batasnya. Kesempatan kita untuk bertobat juga ada batasnya. Percaya atau nggak, akan ada kehidupan lain di akhirat setelah kita meninggal dunia. Tempat kita mempertanggung-jawabkan setiap perbuatan kita selama di dunia. Ini berlaku untuk semua: muslim or non muslim. Tentu, termasuk di antara yang beriman dan kafir itu ada yang memilih punker, maupun non-punker sebagai gaya hidupnya.

Sebagai seorang muslim, ketaatan terhadap aturan hidup Islam bukan rantai besi yang menggembok hidup kita, tapi justru yang membebaskan kita dari perbudakan hawa nafsu dan materi. Ketaatan ini yang akan menyelamatkan kita dunia-akhirat. Dan sewajarnya ketaatan ini juga yang membatasi kebebasan kita dalam berbuat atau berpendapat. Nggak asal dandan atau nggak asal berjuang.

Jadilah manusia paling cerdas
Sobat, sebebas-bebasnya kita, pastinya nggak bisa nentuin kapan jadwal malaikat Ijrail ‘ngecengin’ kita. Meski kita tinggal di bunker bawah tanah dengan ketebalan dinding beton satu meter atau dikawal bodyguard from Bojong, eh, Beijing sekaliber Jet Lee, nggak akan bisa menghalangi ajal yang menjemput kita. Pertanyaannya, siapkah kita mati besok?

Bagi sebagian orang, pertanyaan ini lebih sulit dijawab dibanding soal ujian atau saat sidang skripsi yang tanpa persiapan. Nggak bisa jawab soal ujian atau saat sidang, paling nggak lulus, down sebentar, terus ngulang di kesempatan berikutnya. Tapi nggak bisa jawab soal kesiapan mati esok pagi, menunjukkan ketakutan kita meninggalkan kehidupan dunia ini. Persis konsep eskapisme yang berkembang di masyarakat Barat. Mereka berusaha lari dari kenyataan hidup (tentang kematian yang pasti) dengan menenggelamkan diri dalam gaya hidup hedonis. Bagaimana dengan kita?

Sebagai seorang muslim, ngomongin soal kematian berarti menyadarkan kita akan kehidupan dunia yang hanya sementara dan bisa melalaikan kalo kita teledor. Allah Swt. berfirman:

????????? ???????? ?????????? ?????????? ?????? ????????
Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan” (QS al-Hadîd [57]: 20)

Biar kita nggak terjebak dalam permainan dunia, apalagi sampai jadi penganut eskapisme, jadilah manusia cerdas seperti kata Rasulullah saw. Ibnu Umar meriwayatkan: “Kami bersepuluh datang kepada Nabi saw, ketika seorang Anshar berdiri dan bertanya: ‘Wahai Nabi Allah, siapakah manusia yang paling cerdas dan paling mulia?’ Maka Rasulullah menjawab: ‘Mereka yang paling banyak mengingat mati dan paling banyak mempersiapkan kematian. Merekalah orang yang paling cerdas. Mereka akan pergi dengan mendapatkan kehormatan dunia dan kemuliaan akhirat.” (HR Ibnu Majah)

Oke, daripada ikut-ikutan tren tapi merusak masa depan kita di akhirat, pasti lebih untung menabung amal baik dalam menyelamatkan diri dan manusia lainnya dengan  ngaji dan dakwah. Mumpung masih di bulan penuh rahmat dan ampunan, bulan penuh bonus pahala berlimpah, mari kita sama-sama penuhi keseharian kita dengan ibadah sunnah (selain yang wajib), tilawah al-Quran, aktif di forum pengajian, serta membasahli lisan kita dengan aktivitas dakwah amar makruh nahi munkar. Ini baru anak ‘punk’-ajian (baca: pengajian) yang cerdas dan beramal shaleh. Yuk! [hafidz: hafidz341@gmail.com]

6 thoughts on “Nasihat untuk “Punkers”

  1. pertama kali masuk ke gaul islam mata saya langsung tertuju sama kata punkers. tadi pagi waktu lagi mandi, saya berpikir seandainya di makassar ada ajang mgumpulin anak2 punk, trus pematerinya dari orang2 punk yg dah insap. duhhhh kapan ya???

  2. P-U-N-K-E-R-S….itulah obsesiku saat ini yg tertunda. aq ingin menjadi punkers idealizt yg tidak hanya dilihat dari dandanannya tapi juga dari pola pikirnya and satu lagi yang ingin aq rubah adalah menjadi punkers yang berwawasan dan berpendidikan.

  3. boleh boleh aja agama di gabungkan dengan musik mungkin akan jadi lebih indah… tapi disini kami punya cara cara tersendii untuk berjuang.
    anda dengan agama anda, kami dengan cara kami. semua amal ibadah dan takdir sudah ada yang mengaturNYA. nabi MUHAMAD saja sanggup mengangkat pedang untuk melawan penindasan… kenapa kami tidak

  4. Punkers tu bukan hanya mencirikan dari Fashion aja. Punkers tu pemberontak yang bertanggung jawab, memiliki idealisme yang tinggi.
    Bukan sekedar Mabok, Narkoba dan sebagai’a. Mereka yang berbuat seperti itu tidak mengetahui arti sesungguhnya. Hanya korban Media TV atau semacamnya saja. Tidak semua Punkers memiliki agama, tapi mereka mengerti apa yang benar dan yang salah, Dan apa yang harus dilakukan oleh seorang Punkers Sejati.

    Cheer’s n Beer’s

Comments are closed.