Menjelang perayaan kemerdekaan negeri ini, semua warga dibikin sibuk. Ada yang nyiapin pohon pinang. Jelas bukan untuk dipinang, tapi untuk lomba panjat pinang. Selain lomba paling favorit dan jadi trademark perayaan kemerdekaan ini, masih banyak lomba lain yang tujuannya emang untuk menghibur; seperti lomba balap karung, lomba makan kerupuk, lomba masukin belut ke botol dengan cara buntutnya duluan, ada juga lomba ngambil uang logam yang ditempelkan di jeruk Bali yang telah dilumuri oli dengan cara digigit—dengan gigi tentu, dan beragam lomba yang sifatnya menghibur lainnya. Di acara itu, yang jadi peserta maupun penonton sama-sama merasa terhibur. Mereka bersorak, teriak, dan tentu saja melupakan beban hidup yang akhir-akhir ini terasa begitu menghimpit, bahkan mencekik. Meriah, sudah pasti, karena memang tujuannya juga untuk suka-suka di ajang “independence day� ini.
Maka, nggak heran kalo sejak awal bulan Agustus sebagian lomba sudah digelar; terutama cabang olahraga. Ujungnya, acara ini bakalan ditutup dengan hiburan panggung gembira yang menampilkan artis-artis dadakan di RW setempat. Ya, pokoknya memberikan rasa senang buat warga di bulan “keramat� bagi bangsa ini. Alasannya, daripada warga manyun melulu menghitung hari dan mimpi, lebih baik kan diberikan kebahagiaan meski cuma sebulan ini. Kira-kira begitulah argumentasi pejabat setempat.
Ngomong-ngomong soal kemerdekaan, kita kudu ingat bagaimana perjuangan para pendahulu kita. Utamanya yang berjuang untuk melepaskan negeri ini dari cengkeraman penjajahan negara-negara seperti Inggris, Portugis, Belanda, en Jepang. Bagaimana mereka mengorbankan darah dan air matanya untuk sebuah kemerdekaan. Rela meregang nyawa demi kehormatan dan harga diri. Soalnya bapak-bapak kita dulu tahu, kalo dijajah itu nggak enak. Nggak bisa bebas, nggak bisa berbuat sesuka kita. Hidup kita terus dikendalikan para penjajah. Wajar kalo berontak juga kan? Seperti kata pepatah; semut juga kalo diinjek mati, eh, melawan. Semua peristiwa itu terekam dalam buku sejarah, meski acapkali penulisan sejarah juga suka ditunggangi oleh pihak tertentu untuk menyimpangkan dari kenyataan yang sebenarnya.
Kita bisa tahu (kalo buka sejarah tentunya), bagaimana semangat perjuangan pahlawan-pahlawan kita yang gagah berani. Malah, sebagian besar dari para pahlawan negeri ini adalah kaum muslimin. Sebab, mereka tahu bahwa para penjajah itu datang ke negeri ini adalah dengan tujuan—salah satunya—untuk menyebarkan agama mereka. Perlu diketahui, bahwa Barat pada umumnya dalam menjajah punya misi 3G; mencari harta kekayaan (gold), kemenangan (glory), dan menyebarkan agama (gospel), plus tentunya dengan mengobarkan Perang Salib. Wah, benar-benar kudu dilawan.
Pergolakan melawan penjajah ini muncul di berbagai wilayah dan berlangsung amat lama. Di Maluku saja, Perang Salib sudah dikobarkan oleh Portugis saat mendarat pertama kali di Maluku pada tahun 1512. Padahal saat itu, rakyat Maluku udah banyak yang memeluk Islam. Maka perang pun tak terhindarkan. Belum lagi perlawanan pahlawan Islam seperti Tjut Nyak Dien di Aceh, kemudian Sisingamangaraja XII di Tapanuli, Pattimura di Ambon, Imam Bonjol di Padang, Pangeran Diponegoro di Jateng, dan masih banyak yang lainnya yang menganggap bahwa para penjajah tak lebih dari bajingan tengik yang bakal menguras harta kekayaan negeri ini dan menyebarkan agama mereka. Untuk menghadapi mereka hanya ada satu kata; Jihad!
Perang terus berlangsung sampai menjelang tahun 1945. Perlawanan? bersenjata dan perjuangan lewat jalur politik dilakukan demi sebuah kemerdekaan yang telah didambakan berabad-abad lamanya. Akhirnya, negeri ini memang merdeka dan diakui oleh PBB. Meski kemudian pada hakikatnya sekarang kita malah terjebak dalam sebuah “penjajahan� baru. Ibaratnya keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya; sama-sama bahaya. Sebab, dengan “merdeka� dan berdiri di atas dasar nasionalisme merupakan bencana baru, dan tentu itu adalah jenis penjajahan baru. Sebab, nasionalisme adalah paham rusak. Catet ya!
Tapi terlepas dari itu, tenaga, air mata, darah, doa, dan juga nyawa para pejuang kemerdekaan negeri ini telah menjadi saksi bisu perjalanan negeri ini. Insya Allah mereka ikhlas berjuang untuk melawan dan memusnahkan kekufuran dari negeri ini.
Emang kalo ngomong-ngomong soal kemerdekaan, kayaknya kita suka lupa dengan pesan dan semangat para pejuang negeri ini. Alih-alih meneladani semangatnya, ternyata kita malah terjebak dalam aktivitas yang sangat jauh dari nilai perjuangan mereka. Perhatiin deh dalam berbagai lomba dari perayaan kemerdekaan. Coba bayangin aja, dulu para pahlawan kita mati-matian bertempur melawan “nenek moyangnya� Patrick Kluivert (Wong Londo). Sekarang dengan dalih meniru dan meneladani semangat mereka, kita adakan juga lomba balap karung. Tulalit kan? Pesan dari lomba panjat pinang mungkin ingin memberikan gambaran bahwa dulu para pejuang susah payah untuk mendapatkan kemerdekaan, jadi diperlukan upaya kerjasama yang kuat. Meski ya, tetep aja nggak nyambung.
Tragisnya lagi, kita jadi nggak nyadar dengan kondisi kita saat ini. Kalo begitu, perayaan kemerdekaan nggak ada bedanya dengan acara “buang sial�, ngabisin uang, hura-hura, suka-suka, dan melupakan masalah kita yang sebenarnya kudu dibereskan. Akhirnya, wajar kan kalo kita kemudian bertanya, apakah ini yang dinamakan dengan kemerdekaan? Apakah ini hasil yang telah dicapai dari bangsa yang katanya sudah merdeka? Sebagai remaja muslim, kita kudu banget mikirin soal beginian. Sebab remaja bukan hanya identik dengan kebebasan, dan doyan menggunakan falsafah “mengampuni diri sendiri� dalam berbuat.
Hakikat kemerdekaan
Merdeka, artinya nggak dijajah. Itu pasti kamu tahu. Yap, merdeka artinya kita nggak dikendalikan pihak lain. Kita bisa bebas melakukan apa saja yang kita suka selama itu memang sesuai dengan prinsip hidup kita. Orang lain nggak boleh ada yang mendikte kita, apalagi mencampuri urusan “dalam negeri� kita. Itu namanya merdeka.
Lawan dari merdeka adalah terjajah. Nah, terjajah artinya hak-hak kita dibatasi, keinginan kita juga dikebiri, kita nggak bisa bebas ngapa-ngapain. Praktis hidup kita bergantung kepada “tuan� kita. Edy Tansil, gembong kasus Golden Key di tahun 1994 yang menghebohkan itu hingga kini jadi buronan. Kita udah nggak tahu dimana dia sekarang; matikah, masih hidupkah? Kita nggak tahu. Kenapa Edy Tansil kabur dari penjara Cipinang? Sebab beliau kagak sudi hidup di balik jeruji besi. Meski konon kabarnya dapat perlakuan istimewa. Tapi tetep aja namanya juga di penjara bukan seperti di rumah. Emang enak? Tommy Soeharto juga kabur duluan sebelum sempat masuk penjara. Sebab ia tahu, yang namanya penjara adalah “rumah� paling mengerikan sedunia.
Kamu tahu Alcatraz? Yang pernah nonton film The Rocks–yang dibintangi Sean Connery dan Nicolas Cage–paling nggak bakal tahu kondisi penjara itu. Wah, itu penjara federal AS paling angker sedunia. Bener. Yang dikirim ke sana biasanya napi kelas berat. Di antara daftar penjahat top yang pernah menghuni hotel prodeo Alcatraz adalah Al `Scarface` Capone, George `Machine Gun` Kelly, Robert `Birdman of Alcatraz` Stroud, Alivin `Creepy` Karpis, Floyd Hamilton, dan Arthur `Doc` Barker. Yang tinggal di sini pasti nggak betah dan ingin kabur. Jangankan yang katanya angker, yang “mewahâ€? aja bikin nggak betah. Penjara memang mengerikan. Itu sebabnya semua orang nggak mau tinggal di sana. Nah, bagi orang seperti itu, kemerdekaan adalah barang langka dan mahal harganya.
Jadi, kembali ke persoalan semula. Merdeka adalah terbebasnya kita? dari segala penghambaan kepada hawa nafsu dan aturan orang lain, seraya kita mengikatkan dan menundukkan diri kita sepenuhnya kepada Allah Swt. Sebab, itulah sebaik-baik penghambaan kita. Kalo sekarang kita masih terjajah oleh hawa nafsu, masih dikendalikan dan didikte oleh orang lain, maka kita jelas masih terjajah alias belum merdeka. Padahal dalam shalat, kita udah berikrar kepada Allah, bahwa kita akan menyerahkan segalanya kepada Allah Swt. Firman-Nya:
?¥???†?‘?? ?µ???„???§?????? ?ˆ???†???³???ƒ???? ?ˆ???…????’?????§???? ?ˆ???…???…???§?????? ?„???„?‘???‡?? ?±???¨?‘?? ?§?„?’?¹???§?„???…?????†??
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,â€? (QS al-An’?¢m [6]: 162)
Inilah hakikat kemerdekaan. Kalo kita bicara soal masyarakat, berarti masyarakat yang merdeka adalah masyarakat yang berhasil melepaskan diri dari cengkeraman aturan masyarakat lain, begitu pula dengan negara. Negara yang merdeka adalah negara yang mandiri, dan tidak dikendalikan oleh aturan negara lain. Kalo sekarang? Kita masih terjajah, kawan. So, masyarakat kita masih belum bisa melepaskan ikatan yang dijeratkan ideologi kapitalisme. Tragisnya lagi, kita malah menjadi pejuang pesan-pesan ideologi kufur ini. Sebut saja, masyarakat kita masih doyan bergaya hidup permisive alias bebas nilai. Makna kebahagiaannya adalah banyaknya materi yang berhasil dikoleksi, bukan lagi ridho Allah. Itu sebabnya, kemudian masyarakat kita dituntut untuk melakukan hal yang haram sekalipun untuk meraih kebahagiaan materi. Bila perlu nyari harta dengan cara gila-gilaan. Masyarakat kita pun malah fasih melafalkan dan melaksanakan ide demokrasi ketimbang Islam. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita masih menjadi bagian dari masyarakat Barat. Itu artinya belum merdeka, sobat.
Negara? Ih, sama aja tuh. Bayangin aja, kita masih menjadi negeri yang lemah dengan mengharap bantuan dari lembaga internasional macam IMF. Kita masih percaya dan patuh pada Amrik. Kita masih mempercayakan sistem hukum kita kepada ideologi kapitalisme. Itu artinya, kita masih dijajah, kawan. Wah? Ya, penjajahan gaya baru. Secara fisik memang nggak terlihat serdadu musuh berseliweran di negeri ini, tapi secara hukum, ekonomi, sosial, dan politik, kita benar-benar dikendalikan negara lain; AS dan Eropa. Berarti kita belum merdeka. Kalo gitu? “Mati!�
Ironisnya lagi, bila kemudian kita ternyata malah mewarnai hidup kita dengan gaya hidup mereka. Ih, makin kacau aja ya? Kehidupan kita benar-benar disetir dan dipoles dengan kehidupan dari Barat. Akhir bulan Juli lalu, puluhan ribu anak muda Medan disihir grup rock Megadeth. Seminggu kemudian giliran anak Bandung disengat “kalajengking� pimpinan Klaus Meine. Mereka teriak, histeris, dan nggak sedikit yang “beringas� dalam alunan musik cadas. Saat itu, lupa semua deh beban hidup, termasuk lupa diri kalo sedang dijajah. Itu satu contoh. Lainnya? Aduh, banyak banget. Kalo disebutin satu persatu bakal ngabisin jatah halaman di buletin mungil ini. Secara global, remaja kita memang terjajah gaya hidup Barat dan AS. Suer, meski mereka bilang bahwa mereka merdeka, namun hakikatnya mereka terjajah. Terjajah dengan gaya hidup Barat. Benar apa yang ditulis oleh sosiolog muslim terkenal, Ibnu Khaldun, bahwa “Yang kalah cenderung mengekor kepada yang menang dari segi pakaian, kendaraan, bentuk senjata yang dipakai, malah meniru dalam setiap cara hidup mereka, termasuk dalam masalah ini adalah mengikuti adat istiadat mereka, bidang seni; seperti seni lukis dan seni pahat (patung berhala), baik di dinding-dinding, pabrik-pabrik atau di rumah-rumah.�
Lalu bagaimana kita sekarang?
Putus hubungan dengan penjajah!
Langkah bijak tentu. Sebab, kalo kita mau mandiri, maka kita kudu melepaskan segala ikatan yang dibuat oleh pihak lain. Lucunya sekarang, ikatan itu tidak saja sengaja diciptakan oleh penjajah, tapi adakalanya oleh kita sendiri. Itu bisa terjadi, saat kita merasa bahwa kita tidak terjajah. Buktinya, kita nggak sadar kalo menjadi corong penyebaran paham mereka. Karuan aja ini berbahaya banget. Maka, langkah awal kita kudu sadar dulu bahwa kita dijajah. Setelah itu baru memutuskan hubungan dengan penjajah.
Caranya? Nah, Karena model penjajahan sekarang beda dengan dulu, maka kita kudu berani melepaskan segala ikatan dengan paham ideologi kapitalisme atau sosialisme-komunisme dan segala paham asing yang bertentangan dengan Islam. Baru kemudian kita mengikatkan sepenuhnya kepada Islam. Sebab, mengikatkan diri kepada Islam adalah bentuk ketundukan dan kepasrahan yang benar.
Maka sungguh heran bin aneh apabila ada remaja yang nggak paham tentang arti merdeka. Sungguh kasihan bila masih ada remaja yang nggak ngeh kalo dirinya sedang dijajah Westlife, Scorpions, Dawson’s Creek, atau dijajah oleh Giani Versace, Giorgio Armani, dan Lanvin dalam hal busana.
Juga sungguh aneh bila ada remaja yang bermandikan peluh dalam mengikuti berbagai lomba pada perayaan kemerdekaan, sementara ia sendiri nggak ngeh bahwa hakikatnya sedang dijajah. Aduh, kasihan sekali ya?
Wujud putus hubungan dengan penjajah juga adalah kita menolak dengan tegas setiap ide atawa paham yang bertentangan dengan Islam. Pakaian kita kudu sesuai dengan ajaran Islam, makanan dan minuman kita juga sesuai dengan aturan Islam. Pokoke, sistim kehidupan kita wajib Islam. Itu baru disebut merdeka.
(Buletin Studia – Edisi 063/Tahun 2)