Thursday, 21 November 2024, 23:53

Rindu Ramadhan meski kita masih ada di tengah-tengahnya. Merindu Ramadhan meski kita belum meninggalkan bulan mulia ini dan harus menunggu sebelas bulan ke depan. Ya, Ramadhan memang pantas untuk dirindu karena berjuta hikmah terkandung di dalamnya.

Ramadhan, suatu momen penempaan diri untuk menjadi manusia yang lebih baik. Bulan puasa untuk menahan diri dari semua hawa nafsu yang seringkali dominan pada diri kita. Bukan sekadar hawa nafsu untuk makan, minum dan syahwat yang harus ditahan, tapi nafsu-nafsu lain yang negatif dan nggak sesuai syariat juga harus dikontrol. Sehingga, selepas bulan Ramadhan, ajang latihan ini bisa langsung dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Manusia akan mencapai derajat muttaqin (orang-orang yang bertakwa). Insya Allah.

Namun, kenapa eh kenapa ya, selepas bulan Ramadhan, lepas pula seluruh kontrol hawa nafsu tadi? Seakan-akan Idul Fitri yang menjadi penanda usainya Ramadhan, menjadi penanda kebebasan hawa nafsu. Bukannya (mengharap) bebas dari api neraka, tapi malah semangat kebebasan untuk melakukan maksiat seperti bulan-bulan sebelumnya. Duhhh….

Lalu, apa dong efek puasa kalau ternyata maksiat masih merajalela di bulan-bulan selepas Ramadhan? Terus, kenapa pula bisa terjadi kondisi demikian? Fenomena masyarakat jadi suka buah ‘tomat’ alias Ramadhan tobat, selepasnya jadi kumat kembali. Naudzhubillah. Yuk, kita telusuri ‘what dan why’ ini semua terjadi.

“What” yang terjadi di bulan Ramadhan?
Ramadhan adalah ajang penempaan dan kontrol diri dari segala hawa nafsu manusia, itu idealnya. Faktanya ternyata Ramadhan adalah ajang TP alias Tebar Pesona selebritis untuk menjadi sedikit lebih alim dan taat. Yang termasuk golongan selebritis ini bukan sekedar artis loh, tapi bisa juga para pejabat dan politikus yang aji mumpung dengan datangnya Ramadhan. Kok bisa?

Para artis, kita semua pasti paham banget kalo mereka sangat gembira dengan datangnya Ramadhan. Mau tobat dan insaf? Please deh, mereka malah kebanjiran job karena semua saluran TV siaran 24 jam nonstop untuk menemani pemirsa buka puasa dan sahur. Alih-alih semakin alim dan taat syariat, para selebritis dari kalangan artis ini dengan PD-nya bilang kalo mereka ‘dengan terpaksa’ membatalkan puasa bila memang dibutuhkan oleh tuntutan skenario.

Itu dari segi artisnya. Dari segi isi tayangan Ramadhan yang marak di TV, sangat jauh panggang dari api. Jauh banget dari mengajak permirsa untuk semakin bertakwa. Yang ada malah tayangan-tayangan nggak bermutu semacam Tassahur (Pentas Saat Sahur) yang berisi konser lenggok-lenggok umbar aurat. Belum lagi kuis yang ada juga sangat nggak mendidik. Bukannya memberi pertanyaan yang ada kaitannya dengan wawasan keislaman, tapi malah judul lagu-lagu dan nama artis yang jadi bahan kuis. Jadilah pemirsa makin hapal nama artis-artis dan lagu-lagunya daripada ayat-ayat al-Quran dan maknanya.

Itu dari selebritis kalangan artis. Sekarang coba kita tengok dari selebritis kalangan politisi. Tiba-tiba saja banyak di antara mereka yang mengadakan buka puasa bareng dengan kaum dhuafa. Bagus sih, tapi akan sangat jauh lebih bagus bila hak-hak kaum dhuafa ini juga diberikan bukan hanya berupa ajakan buka puasa bersama. Beri dong hak mereka berupa penyediaan lahan pekerjaan yang layak, jangan cuma memanjakan perusahaan-perusahaan asing seperti Exxon dan Freeport untuk mengeruk sumberdaya alam negeri ini. Beri juga mereka hak pendidikan dan kesehatan gratis. Itu hak masyarakat yang seharusnya diberikan bukan hanya di bulan Ramadhan berupa takjil gratis.

“TUTUP” ditulis dengan huruf besar. “Selama bulan Ramadhan” ditulis dengan huruf kecil. Tulisan di atas sangat banyak dijumpai di lokalisasi pelacuran terbesar se-Asia Tenggara di daerah Surabaya. Duh…betapa inginnya satu hari nanti kita bisa membaca tulisan ini menjadi “TUTUP, SELAMANYA”.

Ternyata, para pejabat terhormat itu mempunyai kekuatan juga untuk menutup lokalisasi pelacuran. Jadi, bukannya tidak bisa tempat-tempat semacam itu ditutup selamanya kan? Yang tidak ada cuma satu, KEMAUAN. Nah, di momen Ramadhan ini seharusnya kemauan itu harus mulai ditumbuhkan. Agar nggak sia-sia kita berpuasa selama satu bulan ini. Seperti yang dinyatakan oleh Rasul tercinta bahwa betapa banyak di antara kita yang puasanya tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Naudzhubillah.

“Why” ini terjadi?
Kelakuan para selebritis dari kalangan artis dan politisi, terjadi bukan tanpa sebab. Mereka hanya korban saja kok. Loh, kalo mereka korban, terus siapa dong biang keroknya?

Sekulerisme. Inilah biang kerok sebenarnya sebagai ide dasar dari kapitalisme. Sekularisme yang jelas-jelas memisahkan agama dari kehidupan merupakan akar masalah yang menyebabkan Ramadhan kehilangan makna. Artis-artis dan para pejabat menjadi saleh dadakan. Mereka jadi fasih menyebut lafadz-lafadz Islam di bulan Ramadhan. Tapi kondisi ini jadi berubah begitu Ramadhan berlalu. Maka sungguh, seandainya semua bulan adalah Ramadhan, tentu kesalehan ini akan bertahan selamanya.

Tapi apa bisa semua bulan adalah Ramadhan? Sedangkan hari saja bisa berganti malam, muda bisa berubah jadi tua, hidup ada saatnya untuk mati. Ternyata perubahan adalah sebuah keharusan dalam kehidupan. Maka bukanlah Ramadhan yang seharusnya diandaikan selamanya, tapi kesalehan sebulan itu yang seharusnya dijadikan dua belas bulan dalam setahun. Apa bisa?

Bisa banget! Kalau wajah palsu para selebritis artis dan pejabat adalah akibat sekulerisme, maka artinya harus ada wajah asli dari mereka semua. Wajah asli yang bersih tanpa noda. Wajah asli seorang hamba dari Sang Mahapencipta dan pengatur kehidupan. Wajah asli dari sosok manusia yang sadar akan kemanusiaannya.

Bila kapitalisme yang menjadikan materi sebagai berhala modern adalah ideologi penyebab ini semua, maka sudah saatnya kita bertanya: pantaskah ia dipertahankan? Atau adakah jalan keluar lainnya agar Ramadhan bukan sekadar bulan tebar pesona? Bisakah Ramadhan sungguh-sungguh memberi efek nyata bagi kehidupan?

Sekulerisme? Campakkan!
Sekulerisme yang menjadi asas bagi Kapitalisme sudah jelas kerusakannya bagi kehidupan. Paham ini meniadakan Tuhan sebagai pengatur kehidupan. Akal manusia menjadi berhala baru untuk sok jadi pembuat peraturan. Inilah yang menjadikan Ramadhan ternoda dan kehilangan makna.

Ramadhan dianggap bulan ibadah. Bulan lain selepas Ramadhan dianggap bulan bukan ibadah. Maka itu artinya semua kemaksiatan jadi boleh. Perzinaan dilindungi undang-undang. Minuman keras mempunyai izin usaha. Korupsi dianggap salah prosedur. Repot memang bila Islam hanya dijadikan stempel di KTP saja. Namun pemikiran dan prilaku sangat jauh dari aturan syariat Islam.

Tak heran bila Ramadhan dari tahun ke tahun tidak membuat bangsa ini dan orang-orangnya berubah jadi baik. Yang ada hanya kemunduran dan keterpurukan yang semakin menjadi-jadi. Karena sungguh, Islam adalah ad-diin alias the way of life (baca: ideologi). Bila Islam hanya diambil separuh-separuh, bukannya bermanfaat tapi malah seringkali jadi kambing hitam atas semua masalah. Padahal sudah nyata terbukti, Islam akan memberi rahmat bagi semua bila ia diambil total tanpa pilih-pilih hukum. Ingat, 14 abad lamanya Khilafah Islam tegak dan berjaya ketika syariat diterapkan.

Ramadhan akan terlihat efeknya bila saja selepas Ramadhan, penduduk negeri ini mempunyai kesalehan yang sama dengan di bulan puasa. Tidak boleh ada lagi pembedaan antara bulan Ramadhan dengan bukan Ramadhan. Bila lokalisasi ditutup selama bulan Ramadhan, maka itu artinya ia harus ditutup juga di luar bulan Ramadhan.

Ramadhan, bulan perubahan
Harus ada yang berubah selepas Ramadhan. Harus ada efek yang membekas pertanda kita pernah berpuasa di bulan Ramadhan. Agar di saat Idul Fitri nanti, kita pantas menyandang predikat muttaqin (orang-orang yang bertakwa) dan menjadi orang yang menang.

Indahnya Ramadhan, tak akan pernah memberi efek nyata bagi kehidupan bila tak ada kemauan dari semua pihak untuk menjaga prilaku saleh di bulan lain. Saya individu ingin bertahan baik. Kamu juga sama. Tapi itu tak cukup bila masyarakat kita tidak mendukung niat baik ini. Bila pun masyarakat sudah mendukung niat baik dan menolak kemaksiatan tidak hanya di bulan Ramadhan, masih ada satu lagi pihak yang ketinggalan. Siapakah dia?

Penguasa negara beserta kewenangan yang dipunyainya. Mereka ini yang mempunyai wewenang untuk menutup atau memberi izin atas sesuatu, termasuk buka atau tutupnya tempat perzinaan terbesar di Asia Tenggara. Akan sangat timpang bila masyarakat menolak, tapi kemaksiatan itu sendiri mempunyai izin dari penguasa daerah untuk beroperasi.

Jadi tidak bisa tidak, para pejabat berwenang, masyarakat serta individu harus bergandengan tangan. Kita tidak ingin momen Ramadhan ini berlalu sia-sia. Kita tidak ingin bencana alam akan semakin sering menghampiri negeri ini karena kelalaian kita. Yuk, saatnya kita introspeksi diri di Ramadhan tahun ini.
 
Kurindu Ramadhan
Ketika hari demi hari, detik demi detik Ramadhan berjalan menuju penghujung waktu, ada getir di sana. Seperti kata Rasulullah tercinta bahwa seandainya saja manusia tahu keistimewaan bulan Ramadhan, pastilah mereka akan meminta semua bulan adalah Ramadhan. Terlebih lagi saat ini. Ketika perbedaan antara Ramadhan dengan bulan lain begitu jelas terasa, maka sunguh, ingin sekali semua bulan adalah Ramadhan.

Ketika masjid-masjid jadi semarak dengan suara tadarus al-Quran. Ketika malam-malam jadi hidup dengan makan sahur dan qiyamul lail. Ketika siangnya adalah ajang menahan diri dari segala hal yang sia-sia apalagi maksiat. Ketika tiap diri ingin meraih pahala dengan bersedekah sebanyak-banyaknya. Ketika diskotik, bar, pub, rumah mesum dan lokalisasi kompak untuk tutup (meski sementara).

Dan rindu itu akan semakin kental ketika selepas Ramadhan, kemaksiatan seakan menemukan pembenaran. Semua tempat maksiat yang selama Ramadhan tutup, kembali dibuka dan semakin ramai pengunjung. Naudzhubillah.
Maka, rindu Ramadhan itu semakin kental dan pekat. Rindu Ramadhan berarti rindu tutupnya tempat-tempat maksiat, selamanya. Bukan sementara.

Rindu Ramadhan berarti rindunya nuansa keislaman hadir di tengah-tengah kita, setiap hari. Rindu Ramadhan artinya rindu syariat Islam diterapkan, dan syariat Islam tak mungkin sempurna pelaksanaannya tanpa adanya Daulah Khilafah Islamiyah.

Semoga rasa rindu ini bukan hanya milik perorangan saja. Tapi rasa ini sudah menjadi milik semua, yaitu kaum muslimin yang rindu kejayaan Islam kembali seperti sedia kala. Dan sungguh, kurindu hadirmu Ramadhan. Bahkan di bulan-bulan selepas Ramadhan berikutnya. Selamanya. [ria: riafariana@yahoo.com]

[STUDIA Edisi 361/Tahun ke-8/1 Oktober 2007]