Friday, 22 November 2024, 01:46

gaulislam edisi 636/tahun ke-13 (4 Jumadil Awwal 1441 H/ 30 Desember 2019)

Hei, kamu! Iya, kamu yang lagi main Mobile Legend ampe jarimu keriting! Sudah rank berapa yang kamu dapat di permainan melalaikan itu?

“Idih, siapa yang main Mobile Legend? Kita mah main HI3 alias Honkai Impact 3” Hadeuuh, ya sama aja sungai, eh, kali. Main game juga ceritanya itu teh.

“Emang nggak boleh main game?” Hmm.. ini ngejawabnya kudu jelas nih. Kalo dijawab boleh, nanti jadi bablas dengan alasan memanfaatkan kebolehan. Kalo dilarang, nanti malah jadi alesan nyuri-nyuri kesempatan untuk maen.

Bro en Sis, pembaca setia gaulislam. Buletin ini pernah beberapa kali bahas soal game. Silakan dicek aja arsipnya, ya. Tapi intinya sih, maen game itu ada batasan dan aturannya. Nggak sembarangan. Hati-hati lho, jangan sampe bablas lupa makan, lupa sekolah, lupa belajar, lupa waktu, lupa sholat, dan bahkan lupa ingatan.

Hati-hati soal waktu

Nah, yang perlu dipikirkan lagi adalah soal WAKTU. Tuh, ditulis pake huruf kapital semua, biar disebut sedang berteriak. Nggak apa-apa deh, kadang orang yang lagi lupa diri dan lupa waktu, kudu diteriakkin biar nggak bolot binti budek.

Beneran. Apa nggak mikir rugi waktu ya? Coba deh kamu pikirin. Sehari, bagi yang kecanduan maen game, bisa jadi minimal banget 10 jam. Catet ya, 10 jam. Itu minimal. Kalo istiqomah, eh, konsisten setiap hari 10 jam, waktu yang dipake buat maen game dalam sebulan berapa jam? Ya, betul. 300 jam!

Sekarang bandingkan jika 10 jam itu kamu bagi 2 deh: 5 jam istirahat dan nyantai atau baca buku, 5 jam lagi baca al-Quran. Mestinya kamu bisa menilai mana yang untung dan mana yang rugi. Betul apa bener?

Cuma masalahnya, kalo udah lupa diri, apalagi tak tahu diri, segalanya jadi tampak indah aja meski kerugian jelas di depan mata. Duh, gawat ini mah.

Coba mikir yuk. Biasanya yang ‘khusyu’ maen game adalah mereka yang punya banyak waktu luang. Kalo waktunya sempit sih, kayaknya boro-boro maen game deh, menyelesaikan tugas or kerjaan aja nggak abis-abis. Kudu pinter bagi-bagi waktu. Jadi, kamu yang doyan maen game udah bisa dipastikan memang terpedaya dengan banyaknya waktu kosong alias waktu luang. Beneran.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita bahwa waktu luang merupakan salah satu di antara dua kenikmatan yang telah diberikan Allah Ta’ala kepada manusia. Tetapi sangat disayangkan, banyak di antara manusia yang melupakan hal ini dan terlena dengannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Ada dua kenikmatan yang banyak dilupakan oleh manusia, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (Muttafaqun ‘alaih)

Di website rumaysho.com menukil beberapa pendapat ulama. Di antaranya adalah Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari membawakan perkataan Ibnu Baththol. Beliau mengatakan, “Makna hadits ini adalah bahwa seseorang tidaklah dikatakan memiliki waktu luang hingga badannya juga sehat. Barangsiapa yang mendapatkan seperti ini, maka bersemangatlah agar tidak tertipu dengan lalai dari bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan oleh-Nya. Di antara bentuk syukur adalah melakukan ketaatan dan menjauhi larangan. Barangsiapa yang luput dari syukur semacam ini, dialah yang tertipu.”

Ibnul Jauzi dalam kitab yang sama mengatakan, “Terkadang manusia berada dalam kondisi sehat, namun dia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dalam aktivitas dunia. Dan terkadang pula seseorang memiliki waktu luang, namun dia dalam keadaan sakit. Apabila tergabung kedua nikmat ini, maka akan datang rasa malas untuk melakukan ketaatan. Itulah manusia yang telah tertipu (terperdaya).”

Nah, dengan demikian, kalo kamu bisa main game–bahkan nyempetin banget untuk maen game, berarti bukan saja karena ada waktu luang, tetapi juga cara berpikirmu yang lebih mementingkan hawa nafsu. Karuan aja salah, Bro en Sis. Nggak bisa dibenarkan.

 Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah dalam Al-Fawaid berkata, “Menyia-nyiakan waktu itu lebih parah dari kematian. Karena menyia-nyiakan waktu memutuskanmu dari (mengingat) Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”

Jadi, jangan sampe deh kita menyia-nyiakan waktu yang kita miliki, apalagi sekadar untuk maen game. Bengong aja nggak boleh, apalagi sampe main gaple. Tidur mulu juga sayang banget waktunya, apalagi hobi begadang nggak jelas juntrungannya ngobrol ngalor ngidul di pos ronda. Yuk, muhasabah diri. Tiap hari waktu berubah. Nggak banget kalo sampe rugi, apalagi celaka.

Rugi banyak

Mereka yang rugi itu adalah yang hari ini sama dengan hari kemarin. Amal shalihnya sama. Ibadahnya sama. Tetap dikatakan rugi. Bagaimana yang celaka? Lebih buruk tentunya: hari ini lebih buruk dari hari kemarin. So, waspadalah!

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al ‘Ashr [103]: 1-3)

Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata, “Seandainya Allah menjadikan surat ini sebagai hujjah pada hamba-Nya, maka itu sudah mencukupi mereka.” Sebagaimana hal ini dinukil oleh Syaikh Muhammad at-Tamimi dalam Kitab Tsalatsatul Ushul. (rumaysho.com)

Nah, sekarang kira-kira menurutmu kalo maen game ada manfaatnya nggak? Mungkin ada aja sih yang komen: “Berisik amat. Ya udah sih, suka-suka gue, ada manfaat atau nggak yang penting gue hepi”

Hmm… emang bisa kayak gitu alesannya? Itu sih lebih tepat disebut ngikutin hawa nafsu, Bro en Sis. Beneran.

Padahal nih, ada hadits yang menjelaskan bahwa tanda kebaikan Islam seseorang itu adalah meninggalkan hal yang sia-sia, alias nggak ada manfaatnya! Oya, ini ukuranya dalam sudut pandang agama, ya. Bukan duniawi.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR Tirmidzi, no. 2317; Ibnu Majah, no. 3976)

Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanya bagaikan hari. Tatkala satu hari hilang, akan hilang pula sebagian darimu.” (Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi)

Ja’far bin Sulaiman berkata bahwa dia mendengar Robi’ah menasehati Sufyan ats-Tsauri, “Sesungguhnya engkau bagaikan hari yang dapat dihitung. Jika satu hari berlalu, maka sebagian darimu juga akan pergi. Bahkan hampir-hampir sebagian harimu berlalu, namun engkau merasa seluruh yang ada padamu ikut pergi. Oleh karena itu, beramallah.” (Shifatush Shofwah, 1/405, asy-Syamilah)

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Waktu manusia adalah umurnya yang sebenarnya. Waktu tersebut adalah waktu yang dimanfaatkan untuk mendapatkan kehidupan yang abadi dan penuh kenikmatan dan terbebas dari kesempitan dan adzab yang pedih. Ketahuilah bahwa berlalunya waktu lebih cepat dari berjalannya awan (mendung). Barangsiapa yang waktunya hanya untuk ketaatan dan beribadah pada Allah, maka itulah waktu dan umurnya yang sebenarnya. Selain itu tidak dinilai sebagai kehidupannya, namun hanya teranggap seperti kehidupan binatang ternak.”

Lalu Ibnul Qoyyim mengatakan perkataan selanjutnya yang sangat menyentuh qolbu, “Jika waktu hanya dihabiskan untuk hal-hal yang membuat lalai, untuk sekadar menghamburkan syahwat (hawa nafsu), berangan-angan yang batil, hanya dihabiskan dengan banyak tidur dan digunakan dalam kebatilan, maka sungguh kematian lebih layak bagi dirinya.” (dalam al-Jawabul Kafi, 109)

Jangan sampe maksiat, ya!

Sobat gaulislam, rugi banget kalo sampe kamu berbuat maksiat. Beneran. Maksiat itu kan dosa. Kalo dosa mestinya adalah keburukan ya. Orang nggak suka dengan sesuatu yang buruk atau merugikannya. Tapi karena setan mengemas maksiat jadi sesuatu yang indah, maka banyak yang tertipu. Memoles yang merugikan jadi terlihat menguntungkan, akhirnya banyak manusia yang terlena.

Di website rumaysho.com diuliskan bahwa sesungguhnya, kebatilan mempunyai gambar yang sangat buruk dan ciri yang sangat menjijikkan. Karena itu, setan senantiasa bersandar pada kebatilan ini dan membungkusnya dengan tutup yang sangat indah serta memakaikan selendang menarik, menghiasi dan memperindahnya.

Hal itu diketahui dari cerita Iblis tentang dirinya sendiri, ketika ia berkata kepada Allah ta’ala, “Ya Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan jelek) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya…” (QS Al-Hijr [15] : 39)

Iblis mengawali godaannya dengan menghiasi (membuat manusia memandang baik terhadap perbuatan dosa dan maksiat). Kemudian baru menggoda dan menyesatkannya. Waspadalah!

Maksiat itu rugi, tapi anehnya masih banyak juga yang tak tahu diri. Udah tahu pacaran itu dosa dan merugikan, tetap aja dijalani. Udah jelas main judi bikin tekor—bahkan bangkrut plus dosa, tetap aja dilakukan. Kira-kira, yang salah apanya, ya?

 Hawa nafsu jelas menguasai mereka yang tak dekat dengan ajaran agama. Hanya orang yang kurang akal saja yang tetap melakukan sesuatu yang sebenarnya merugikannya.

Coba sekarang ngobrolin soal momen tahun baru. Ketimbang buang duit untuk foya-foya memanjakan syahwat, kan duitnya bisa ditabung. Daripada bakar duit nyundut kembang api or petasan, kan uangnya bisa disedekahkan. Rugi nggak sih perayaan tahun baru masehi itu?

Banyak sebenarnya yang akan bilang itu rugi, tetapi demi gengsi dan tradisi merayakan tahun baru, akhirnya mereka tetap melakukan kesia-siaan bahkan terkategori maksiat. Iya, maksiat. Merayakan tahun baru masehi kan dilarang dalam ajaran Islam. Sebab, itu bukan hari raya umat Islam. Itu hari raya kaum pagan alias penyembah berhala. Kalo muslim ngelakuin itu, ya jelas dosa, dong.

 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meniru kebiasaan orang jelek, termasuk orang kafir. Beliau bersabda, “Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (Hadis shahih riwayat Abu Daud)

Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan, “Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mihrajan (hari raya orang majusi), dan meniru kebiasaan mereka, sampai mati maka dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat.”

Yuk ah gunakan akal sehat kita. Pake buat mikir. Momen tahun baru itu biasa aja, kok. Tak perlu dirayakan. Apalagi itu kebiasaan kaum kafir. Kalo ngomongin soal waktu, tulisan ini sejak awal udah bahas. So, yang terpenting adalah bagaimana memanfaatklan waktu untuk ibadah dan mencari ilmu sambil tetap istiqomah dalam kebenaran Islam. Itu poinnya. Jangan sampe deh udah tahu rugi, tapi kita tetap tak tahu diri. Hadeeuuhh kebangetan, deh. [O. Solihin | IG @osolihin]