Monday, 25 November 2024, 02:36

logo-gi-8.jpggaulislam edisi 001/ tahun I (29 Oktober 2007)

Hilang sudah kesan islami sepanjang hari. Lenyap sudah suasana “kota santri” dadakan. Kesan islami sepanjang hari selama Ramadhan akhirnya harus hilang sesaat setelah Lebaran. Suasana “kota santri” pun yang sering kita pertunjukkan di saat Ramadhan, kini kembali ke selera asal setelah Idul Fitri. Lenyap sudah suasana tersebut dan berganti suasana kehidupan bebas tanpa batas seperti sediakala (adegan: merenung, geleng-geleng kepala dan menunjukkan sikap prihatin, terus berdesis: hmm…)

Sobat muda muslim, waktu Ramadhan lalu, banyak di antara kita yang megenakan busana muslim/muslimah. Kita yang tergolong orang biasa dan mereka yang masuk kalangan seleb, semuanya punya pikiran dan perasaan: harus tampil islami. Meski hanya ditonjolkan lewat busana namun justru itulah cara termudah untuk ‘mengelabui’ orang. Percaya atau nggak masih bisa diperdebatkan. Tapi yang jelas, aksi tampil beda saat Ramadhan bagi yang sebelumnya memang rada-rada “okem”, ya memang mencurigakan. Apalagi jika kemudian setelah Ramadahan berlalu kembali “okem”. Tul nggak sih?

Okelah, soal niat dan motivasi cuma pelakunya yang tahu dan tentu Allah Swt. Tapi yang pasti perubahan “dadakan” di bulan Ramadhan itu bisa berdampak positif dan negatif sekaligus. Positifnya jelas. Tampilnya sebagian dari kita mengenakan busana muslim/muslimah dan maraknya syiar Islam di bulan suci yang lalu memberi kesan bahwa kita sadar betul dengan apa yang harus kita lakukan, yakni menghormati bulan Ramadhan sekaligus nunjukkin bahwa diri kita serius menghargainya dengan cara menjaga imej diri dan menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Apalagi jika kemudian hijrah total dari kegelapan menuju cahaya Islam meski Ramadhan telah berlalu. Bukti riilnya ditunjukkan dengan tetap berbusana menutup aurat sesuai tuntunan syariat, juga perilaku yang ber-akhlaqul karimah selepas Ramadhan. Hmm.. semoga ya.

Namun, selain berbuah sisi positif, ternyata juga dalam “perubahan dadakan” itu memunculkan sisi negatif. Apalagi jika kemudian setelah Ramadhan berlalu, kita balik lagi ke selera asal. Jadinya, kesan bahwa kita itu memanfaatkan situasi jadi kentara banget. Yup, memanfaatkan momen Ramadhan hanya untuk kepentingan sesaat. Motivasinya lebih karena ingin dianggap baik di hadapan manusia: berbusana yang sopan, bertutur kata yang baik, berperilaku yang sesuai ajaran Islam, bahkan para musisi juga rame-rame bikin album religi di bulan suci. But, selepas Lebaran hilang semua itu. Nggak ada bekasnya sama sekali. So, jangan salahkan orang lain yang risih dengan perilaku “bunglon” seperti ini, karena agama kayaknya dianggap sebagai komoditas untuk menjaga atau memoles citra diri. Duile… teganya… teganya… teganya…

Busana sebagai alat komunikasi

Dulu, tahun 1891, seorang antropolog Jerman bernama Eugene Dubois melakukan perjalanan menelusuri jejak manusia purba di kawasan Jawa. Di buku sejarah ditulis kalo doi menemukan fosil manusia purba yang kemudian dinamai dengan Pithecanthropus Erectus or “erect-ape man” alias manusia kera yang berjalan tegak. Nah, tentu aja digambarkan tanpa busana. Karena jaman tersebut belum ada pakaian. Pada masa tersebut, busana belum menjadi alat komunikasi. Karena apa yang mau dikomunikasikan dan kepada siapa pesan itu ditujukan, iya nggak sih? Kalo pun ada pesan yang ingin disampaikan, tapi bukan dalam bentuk busana.

Nah, waktu terus berjalan dan perkembangan manusia purba juga terus mengarah menuju kemajuan. Misalnya dalam berbusana. Bahkan ada film kartun yang dikemas dengan lucu yang menceritakan kehidupan “modern stone age”. Yup, film televisi yang diudarakan di Amrik antara tahun 1960-1966 besutan William Hanna dan Joseph Barbera itu diberi judul The Flintstones. Kamu pasti udah pada hapal kan dengan tokoh-tokohnya? Ada Fred, Wilma, dan tetangga mereka Barney Rubble.

Di film itu, ‘manusia purba’ udah ‘dipakaikan’ busana. Busananya tentu bukan seperti jaman kita sekarang. Tapi busana yang dicocokkan dengan jaman batu tersebut. Meski itu sebagai hiburan yang kocak banget, tapi penataan setting cerita itu cukup detil, khususnya dalam busana. Busana yang ditampilkan di film kartun (dan juga di film layar lebar garapan Steven Spielberg tahun 1994) ingin mengkomunikasikan kepada penonton bahwa itulah busana di “modern stone age”.

Sobat, pakaian memang bukan sekadar alat untuk menutup bagian tubuh tertentu yang harus dilindungi dari sengatan sinar matahari, dinginnya musim salju, dan menghindari goresan pada kulit akibat gesekan dengan benda lain, tapi juga sebagai alat komunikasi.

Ketika pakaian digunakan untuk mengkomunikasikan status sosial, maka ada pakaian kerajaan, ada pakaian yang khusus dikenakan para bangsawan, juga pakaian kaum proletar bin rakyak jelata. Di Eropa, kalo kamu baca buku-buku sejarah atau nonton film-film macam The Man in the Iron Mask yang dibintangi Leonardo Di Caprio atau dalam serial film Robin Hood, kita bisa bedain status sosial antara kaum proletar dengan kaum bangsawan adalah dari busana yang dikenakannnya.

Busana juga kemudian berperan dalam membedakan profesi seseorang. Misalnya nih, kalo ada orang yang berpakaian jas putih, apalagi dilengkapi stetoskop, berdasarkan kesepakatan selama ini orang tersebut ‘dicap’ berprofesi sebagai dokter.

Terus, pakaian juga bisa nunjukkin pesan untuk mengkomunikasi identitas. Misalnya pakaian untuk cowok dan cewek juga beda. Pakaian dari komunitas atau etnis tertentu juga pasti punya ciri khas. Bahkan pakaian berupa simbol-simbol keagamaan pun yang dikenakan oleh pemakainya adalah untuk mengkomunikasikan identitas mereka.

Nah, kaitannya dengan busana yang sopan dan rapi yang dikenakan banyak orang saat Ramadhan, tentunya mereka punya tujuan untuk mengkomunikasikan pesan kepada khalayak–tanpa harus ngomong dan menuliskan dengan huruf gede-gede di spanduk–bahwa “ini lho saya!”, “Seperti inilah kepribadian saya!”. Jadi, busana memang sebagai alat komunikasi, gitu lho.

Jangan (mudah) tertipu

Sobat muda muslim, dunia ini boleh dibilang kayak panggung sandiwara. Semua orang ingin memerankan apa yang disukainya dan tampak menarik di hadapan orang lain. Menarik di sini bisa sisi positif, bisa juga negatif. Sebab, kita harus ngakuin juga dong kalo ada orang yang tertarik dan sangat berminat di dunia kejahatan, maka ia akan ‘memerankan’ apa pun yang identik dengan ikon kejahatan. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang tertarik di dunia kebaikan, maka ia akan memerankan apa pun yang identik dengan ikon kebaikan, sesuai dengan kesepakatan umum manusia maupun agama. Itu sebabnya barangkali orang ingin tampil bukan sekadar apa adanya, tapi harus ada apa-apanya agar bisa dilihat orang lain dan membuat orang lain tertarik dengan apa yang kita perankan.

Maka, kalo kita menganggap bahwa bertutur kata santun, berpakaian sopan dan menjadi ikon kebaikan dalam pandangan masyarakat dan agama, maka kita akan melakukan semua hal itu. Harapannya, tentu agar orang lain menganggap dan menilai bahwa diri kita seperti yang ditampilkannya kepada khalayak ramai tersebut.

Nah, ini pula yang menjadi kajian sosiolog kelahiran Manville, Kanada, bernama Erving Goffman. Kajiannya yang terkenal adalah tentang Self (Self Presentation). Bukunya yang sangat terkenal dan melambungkan namanya ditulis pada tahun 1956 dan tahun 1959 berjudul The Presentation of Self in Everyday Life. Menurut Goffman, interaksi (di antara manusia) dalam hidup ini dapat dibandingkan dengan drama. Ia menilai bahwa manusia itu suka berpura-pura dan munafik, atau setidak-tidaknya ia bertindak untuk mendukung kesan kewenangan serta gengsinya bila ia sedang menampilkan perannya yang sah (misalnya sebagai dokter). Bahkan jika seseorang memang dokter yang berwenang pada aspek penampilannya yang ekspresif, dan bukan semata-mata aspek fungsionalnya. (Ensiklopedi Psikologi, hlm. 132)

Sobat, kalo pernyataan Erving Goffman ini kita simak dengan seksama maka kita bisa terapkan tuh untuk mengamati, mengkritisi dan menilai prilaku kita dan semua manusia yang bisa kita jumpai dalam kehidupan ini. Misalnya dalam kasus “berubahnya” penampilan kita pada momen-momen tertentu karena ingin memberikan kesan kepada orang lain bahwa “inilah kita” yang diinginkan oleh orang lain dengan standar norma masyarakat dan norma agama. Meskipun hakikatnya apa yang kita tampilkan ke hadapan semua orang sebenarnya bukan jatidiri kita. Halah, nipu dong?

Hmm.. bisa jadi. Maka Erving Goffman pun pernah tertarik pada penggunaan status simbol yang penuh “tipu daya”. Ia berdalih bahwa: “simbol lebih cocok dengan persyaratan komunikasi daripada hak dan kewajibannya yang diartikan oleh simbol itu.” Tuh benar banget kan, bahwa sebenarnya kita menampilkan diri di hadapan orang lain lebih karena ingin mengkomunikasikan bahwa diri kita begini dan begitu melalui simbol yang kita kenakan. Bukan asli diri kita.

Eiit.. jangan cemberut dulu. Kalo kamu nggak merasa niatannya tampil beda bukan karena ingin “memanfaatkan” simbol untuk menipu orang lain tentang kesan mereka terhadap diri kita ngapain musti ragu tampil beda. Iya nggak sih? Apalagi tampil beda kita punya standar, yakni Islam.

Sobat, setelah kamu tahu soal ini, maka jangan lagi mudah tertipu dengan penampilan luar dari orang lain ya. Sebab, penampilan seringkali berbeda (meski tidak selalu) dengan aslinya. Percayalah.

Kepribadian Islam

Boyz and galz, nggak seru tentunya kalo kita nggak nengok cara Islam ngatur umatnya. Benar. Islam emang punya konsep tentang kepribadian manusia. Menurut Muhammad Muhammad Ismail dalam kitab al-Fikru al-Islamiy, dalam pandangan Islam, akidah Islamlah yang akan membentuk akliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap) seorang muslim. Artinya, jika akidah islamnya kokoh, pastinya akan mampu membentuk akliyah dan nafsiyah yang oke juga. Kalo pun ada seorang muslim yang akliyah dan nafsiyahnya kedodoran, atau seenggaknya berkualitas rendah, maka bisa dinilai bahwa itu berbanding lurus dengan kualitas or level akidah islamnya.

So, jangan terlalu kaget kalo ada seorang muslim yang udah punya nama islami, sering mengenakan simbol-simbol Islam untuk ditampilkan kepada orang-orang di sekitarnya, tapi ternyata masih gemar melakukan perbuatan yang dilarang ajaran Islam. Ini terjadi karena kurangnya pemahaman doi terhadap ajaran Islam. Tentu, sikapnya tersebut belum bisa dikatakan bahwa dirinya memiliki kepribadian yang islami. Sebab, Islam nggak menjadikan “penampilan” sebagai standar utama kepribadian seseorang, tapi ukuran kepribadian dalam Islam adalah apakah ia berpikir islami atau berperasaan islami. Itu aja.

Oya, meski demikian, bukan berarti penampilan yang mencirikan jatidiri Islam dari seorang muslim nggak diperhatikan sama Islam, lho. Ada bagian di mana Islam ngasih konsekuensi, euy. Contohnya, kalo kita udah ngaku muslim, maka harus dong pikiran kita tuh Islam dan perasaan kita juga Islam. Terus dalam pengamalannya juga harus islami. Misalnya, mengenakan busana menutup aurat ketika keluar rumah sesuai dengan ketentuan yang diajarkan dalam Islam.

Singkat kata nih. Nggak nyambung banget kalo kita sebagai muslim hanya mengambil Islam sekadar simbol-simbolnya aja, sementara yang pokok seperti pikiran dan perasaan kita dibiarkan dijajah ide sekularisme, demokrasi, sosialisme, dan isme-isme lain di luar Islam.

Jadi, nggak perlulah menipu diri sendiri dan juga orang lain dengan menampilkan kesan dari simbol yang kita kenakan untuk mengkomunikasikan bahwa diri kita begini dan begitu sesuai standar kebaikan manusia, padahal sejatinya kita tidaklah seperti gambaran yang kita buat. So, jangan jadi bunglon deh. Ingat, mungkin kita bisa menipu sebagian besar manusia, tapi tidak semua manusia bisa tertipu, apalagi menipu Allah Swt. Lagian, semua perbuatan kita akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. kelak. Waspadalah!

Firman Allah Swt.:

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS al-Israa’ [17]: 36)

Yuk, biar nggak jadi bunglon, kita kaji Islam dengan benar dan baik. Jadikan Islam sebagai akidah dan syariat. Amalkan dalam kehidupan sehari-hari sembari terus mengkampanyekan dalam dakwah kita tentang wajibnya menjadikan Islam sebagai the way of life bagi kita dan seluruh kaum muslimin. Biar mantatap, gitu lho![solihin: sholihin@gmx.net]

3 thoughts on “Jangan Jadi Bunglon

  1. sekarang masalahnya gimana ngerubah pendapat remaja masa kini yg udah akrab ama paham sekuler…. yg jd anak rohis di sma n smk pada kelimpungan neh.. gencar bgt serangan orang2 kayak gtu

Comments are closed.