Friday, 22 November 2024, 03:54

By Fathan

Namaku Noni, mahasiswi di satu perguruan tinggi swasta Jakarta. Secara fisik, keluargaku dan hampir semua teman berkomentar kalau aku cantik. Itu betul. Aku memang cantik, dan itu kumanfaatkan. Dengan sebongkah kecantikan kupikat pria-pria ganteng dan kaya mana saja. Kupacu lebih cepat desir darah mereka dan kunaikkan hormon kelelakian mereka. Yang lajang dan beristri semuanya mendekat dan mendesis seperti ular di hadapanku. Mereka yang lajang penasaran dengan kecantikan dan keindahan tubuhku, mereka tergila-gila untuk memilikinya, persis seperti bocah-bocah lelaki yang merengek-rengek saat melihat mainan baru dan mereka ingin memainkannya. Yang beristri juga terpesona dan mereka ingin membandingkannya dengan istri-istri mereka yang menanti dengan setia di rumah. Tapi aku jual mahal, hanya mereka yang ganteng dan benar-benar kaya atau orang tuanya kaya, yang boleh berkencan denganku.

Dan aku hamil. Dua kali kehamilan, dua kali aborsi. Sekarang pun aku tengah hamil. Hanya kali ini aku tidak mau menggugurkannya.

“Gila kamu Non,” Tante Ve mendesis. Aku tahu, Tanteku itu pasti akan terkejut dengan semua keinginanku yang baru kuceritakan kepadanya. Tante Ve gelisah, dan kalau gelisahnya membuncah, pasti ia akan menghisap rokok putih kegemarannya. Dan itu benar, jari-jarinya yang lentik sudah menjepit sebatang rokok putih. Sesaat saja geretannya sudah menyala dan api menyulut ujung rokoknya. Dengan mata terpejam Tante Ve menghisap dalam-dalam rokok dan menghembuskan asapnya. Dia mencoba tenang, tapi nyatanya tidak bisa. Aku sendiri terdiam di sampingnya sambil tertunduk lesu.

Tidak bisa tenang dengan duduk, Tante Ve bangkit dari kursi dan mulai mondar-mandir tidak tenang. Rokoknya dimatikan di atas asbak dan menghela nafas panjang.

“Kamu benar-benar tidak mau melakukan itu Non?” pertanyaan itu kembali dilontarkan Tante-ku ini.

“Maksudku kamu sebaiknya pikirkan lagi keputusanmu itu sebelum semuanya terlambat,” dengan gugup Tante Ve mencoba menegaskan pertanyaannnya.

Aku terdiam. Aku bosan menjawab pertanyaan Tante Ve yang sejak setengah jam lalu diulang-ulangnya. Seolah-olah dia ingin merampas benakku dan mencuci otakku agar mau patuh pada keinginannnya. Tapi batinku tetap pada keputusanku, tidak akan melakukan apa yang menurut Tante Ve atau teman-temanku inginkan. Aku tidak ingin melakukan itu. Tidak akan.

?Non,” Tante Ve melunak. Tangannya meremas rambutku pelan.

“Bukan sekali ini kan kamu melakukannya?” tanyanya. Aku mengangguk.

“Sudah dua kali,” kataku dengan tatapan mata menerawang.

“Lalu kenapa kamu tidak mau melakukannya kali ini. Untuk yang terakhir kali Non, yang terakhir,” Tante Ve merengek. Ya, merengek seperti anak perempuan kehilangan bola bekel-nya saat bermain. Aku menepiskan tangannya. Ada perasaan sebal meninju kerongkonganku. Sebal terhadap sikap Tanteku ini. Beberapa tahun tinggal bersama Tanteku membuatku semakin paham karakter aslinya. Prestise dan harga diri pribadi adalah segalanya. Dulu kusangka Tante Ve mendukungku sepenuh hati untuk mengaborsi dua kehamilanku yang pertama. Kusangka dia mendukungku dengan rasa cinta dan sayangnya. Begitu pula ketika ia berbohong di depan kedua orangtuaku bahwa diriku baik-baik, kusangka karena ia ingin menyelamatkanku supaya aku tidak kehilangan kesempatan kuliah di Jakarta. Nyatanya bukan. Semua ia lakukan untuk menyelamatkan harga dirinya sendiri, bukan karena rasa kasihan kepada keponakannya.? Itu yang membuat rasa sebalku muncul dan kian hari kian menebal. Wanita itu sama sekali tidak punya rasa kasihan kepada orang lain, kecuali pada dirinya sendiri. Aku beringsut pergi meninggalkan Tante Ve yang masih kebingungan dengan harga dirinya.

 

ooOoo

 

“Kamu hamil?” Pram bertanya setengah mencibir. Aku mengangguk menantang.

“Bukan aku, kan?” senyum ejekannya muncul. Darahku mulai mendidih, bukan karena aku berhadapan dengan pria tak bertanggung jawab macam Pram. No, aku sudah puluhan kali berhadapan dengan pria macam begitu. Pram cuma satu bajingan kecil yang mendapat keberuntungan berkencan denganku. Tapi aku marah karena merasa ejekannya itu adalah kepada aku dan janinku itu. Kenapa tidak katakan juga pria yang mana, kencan yang keberapa dan kenapa belum dikuret juga.

“Aku juga nggak berharap ayah bayi itu pria macam kamu,” kataku sinis. Pram melotot. Dia tersinggung.

“Aku juga nggak pernah berharap bakal punya istri macam kamu.” Dia bangkit dan melemparkan segepok uang lima puluh ribuan ke mukaku.

“Nih, buat ongkos bersih-bersih. Jangan sampai anakmu lahir nggak tahu siapa bapaknya.”

Emosiku tak tertahan. Kutampar mukanya.

“Dengar bajingan! Aku nggak bakalan membunuh darah dagingku sendiri. Ambil dan pakai saja duitmu berkencan dengan perempuan murahan di jalanan sana,” kubanting uang itu dan aku keluar kamar dengan suara keras pintu yang terbanting.

“Dasar perek!” Pram berteriak tapi aku tak akan pernah lagi menoleh ke belakang.

Dengan bingung aku berjalan keluar dari rumah Pram. Mungkin semua laki-laki yang aku kenal memang bajingan semua. Pram yang bandar judi, Rudi yang mahasiswa, atau Pak Toto yang pengusaha tua, tidak ada yang sejati sebagai pria. Pikiran mereka hanya kencan belaka. Aku sendiri mungkin bukan perempuan baik-baik, tapi lelaki-lelaki itu jelas lebih jahat dari ular. Pak Toto yang sudah sudah beranak pinak masih saja mengejar-ngejar diriku. Kalau kusindir soal keluarganya dia hanya tertawa. “Itu untuk status,” katanya ringan. Rudi yang aktivis mahasiswa juga sama. Pernah dia marah ketika kuledek soal idealismenya, “Para pejabat brengsek itu berbuat lebih jahat dari aku. Mereka koruptor dan juga penindas rakyat, masak untuk soal kayak begini saja harus diributkan?” katanya. Jawaban mereka soal kehamilan juga sama, gugurkan saja. Pram menjawab dia nggak mau ada beban, Pak Toto menjawab tidak mau repot dan tidak mau skandalnya terbongkar. “Kalau sampai orang banyak tahu, kamu nggak bakal hidup tenang. Aku jamin itu!” katanya mengancam. Sementara Rudi dengan enteng beralasan belum siap punya anak.

Aku terus berjalan menyusuri trotoar dengan nafas tersengal-sengal sampai tiba-tiba perutku terasa sakit dan aku merasa selangkanganku terasa basah. Aku terkesiap, ternyata darah sudah meleleh di kakiku. Ya Allah, semoga bukan…

ooOoo

“Anda harus berhati-hati. Kandungan Anda masih muda, tidak boleh terlalu lelah. Kali ini Anda beruntung kandungan Anda tidak terganggu.” Itu kalimat yang melegakan batinku. Pelan-pelan kuusap kandunganku. Ini mungkin sudah bulan kedua janin itu ada di rahimku. Dokter itu terus memberikan nasihat sementara aku sendiri masih shock dan lemas setelah kejadian siang tadi. Setelah pendarahan aku buru-buru mencegat taksi dan pergi ke dokter kandungan. Darah berceceran di jok mobil, entah apa komentar supir taksi itu. Dan sekarang aku terbaring lemas di kamar klinik bersalin dengan perasaan lega bahwa janinku selamat.

“Silakan istirahat, dan segera beri kabar suami Anda kalau Anda dirawat di sini,” kata dokter itu ramah sambil menutupkan kelambu.

Ruangan itu sepi, dan aku mulai melamun. Lintasan bayangan pahit dosa yang pernah aku lakukan mengisi batin. Awal semuanya memang jelas salahku sendiri. Aku memang wanita yang selalu mencari perhatian dan kesenangan. Rasanya puas kalau melihat para pria itu bertekuk lutut di depanku. Melihat mereka kelimpungan mencari cara untuk dapat berkencan denganku. Aku juga berpikir soal kehamilan. Dua kali aku singkirkan daging bernyawa yang mulai tumbuh di rahimku. Ringan saja. Sampai aku mulai merasa bosan dengan semua kebiasaanku, dan mulai merasa bahwa sebenarnya aku adalah sampah. Dan para pria itu selama ini mengais sampah dan memakannya. Menjijikkan.

Dan di suatu malam aku terbangun dengan keringat dingin. Seolah ada tangisan bayi di telinga kiri dan kananku. Aku pun mulai membaca istighfar. Lucu dan miris rasanya aku membaca istighfar. Tidak percaya rasanya kalau aku sebenarnya memiliki Tuhan, dan aku hampir tak percaya kalau sebenarnya Tuhan itu Rahim. Lalu aku pun mandi di tengah malam itu dan menggigil kedinginan. Aku bertanya dalam hati; bagaimana rasanya kalau Tuhan mencabut nyawaku? Mungkin sakit, yang jelas aku sudah merasakan menjadi seorang pembunuh. Ketika kandungan kedua aku gugurkan aku sempat melihat bentuknya. Aku bergidig ngeri. Itukah darah dagingku? Sejak itu aku trauma menerpaku. Aku pun bersumpah tidak akan kusingkirkan kehamilanku yang berikutnya, siapa pun ayahnya. Dan aku ingat bahwa sejak siang tadi aku sudah aku tidak haid. Berarti satu bulan aku tidak haid. Aku pun gembira, bahwa aku ternyata hamil, meski aku tidak tahu siapa ayahnya. Dan meski aku juga bersumpah agar pria-pria jahanam itu tidak usah menjadi suami dan ayah bagi anakku ini.

ooOoo

Sore ini aku berada di Bandung. Duduk di serambi rumah sambil mencari-cari nama yang indah untuk anakku. Perutku sudah membuncit, sembilan bulan sudah kehamilanku. Kelahiran anakku tinggal menunggu waktu saja. Mungkin esok hari atau malah malam ini akan terjadi. Yang lebih membahagiakanku adalah kedua orang tuaku terus mendukung kehamilanku ini. Memang, akhirnya aku memilih untuk keluar dari rumah Tante Ve dan meninggalkan Jakarta, pulang ke rumahku di Bandung. Menangis aku sejadi-jadinya di pangkuan Mama, aku menceritakan semua catatan hitam hari-hariku di Jakarta. Menceritakan betapa liarnya diriku dan betapa aku telah membunuh janin-janinku. Kini, di pangkuannya aku mengemis rasa kasihannya kepadaku dan bagi calon anakku. Mama hanya bisa meneteskan air mata, dan Papa menarik nafas panjangnya.

“Papa pasti jijik pada saya,” kataku dengan air mata yang telah habis.

“Memang, tapi kamu adalah manusia dan akan melahirkan manusia. Kalau Allah masih memberi kesempatan hidup dan maaf kepadamu, maka apa hak Papa menolak dan memaafkan kamu, Non. Papa malu pada Allah yang Maha Rahim,” Papa menjawab pasrah.

“Tinggallah kamu di sini, lahirkan anakmu dan mari kita besarkan anak dan cucu Papa. Kita jadikan dia tumbuhan yang lebih baik dari kita semua. Tumbuhan yang tidak berbenalu seperti kita.”

Kuusap-usap dengan lembut perutku yang menjadi tempat bernaung calon anakku. Dan astaghfirullah, kontraksi itu…

“Papa, perut Noni sakit…”[]

diambil dari Majalah Permata edisi 01/Tahun 7/Mei 2002

20 thoughts on “Rahim

  1. ALLAHUROBBI..BIMBING DAN TUNTUNLAH KAMI AGAR SENANTIASA ISTIQOMAH DI JALAN-MU YG LURUS..MUDAHKANLAH URUSAN KAMI DAN BERKAHILAH SETIAP LANGKAH KAMI…AMIN

  2. Ya Allah cintailah kami……
    ajarilah kami untuk selalu mencintai-MU…..
    dan sertakanlah kami selalu dengan orang-orang yang mencintai-MU……

    Aaaaaaamiiin………………………

  3. Astagfirullah…..Ya Rahman.. karuniakan pada ku putra dan putri yang shaleh dan shalehah agar aku menjadi wanita yang sempurna…terlalu mudah bagi-Mu ya Rabbi.. bukan karena aku tidak bersyukur atas berlimpah ni’mat dari-Mu..

  4. Subhanallah….
    MahaSuci Allah yang menerima taubat hamba2-Nya… MahaSuci & Sgala Puji bagi Allah yang mengabulkan doa,yang mberi nikmat walaupun kepada hamba2 yang berdosa…

  5. Apa keistimewaan perempuan dibandingkan dengan laki-laki?. Perempuan mempunyai organ di tubuhnya yang bernama ‘rahim’, laki-laki tidak ada. Rahim tidak saja nama ‘organ’ yang ada di tubuh perempuan, tapi juga salah satu Nama Tuhan, Yang Maha Rahim. Tidak ada satu laki-laki pun yang pernah hidup di dunia ini, selain Adam As. ‘pasti’ hidup terlebih dahulu di dalam ‘rahim’ seorang perempuan yang bernama ‘IBU’. Dalam rahim terjadi pertemuan yang ‘sakral’, antara jasad dengan ‘roh’ dari Tuhan, Allah SWT. Apa pun ‘hebat’-nya manusia dalam merekayasa genetik manusia, mereka tidak akan mungkin mampu ‘menkloning’ anak manusia di luar ‘rahim’ seorang ibu.

    Apa ‘mukjizat’ dari kloning manusia?. Akan lahir manusia dolly yang sekaligus menjawab ‘kebohongan’ tentang adanya ‘Anak Tuhan’. Anak tuhan tidak ada, kecuali jika Tuhannya berwujud sang ‘manusia’. Karena itu, umat Islam tidak perlu takut atau ‘terheran-heran’ dengan masalah kloning manusia, dalam Al Quran sudah disinyalkan akan masalah ini (QS. 3:59). Tetapi, karena merasa sangat ‘cerdi’k dan ‘pintar’ mereka berbohong, bahwa Isa As. adalah Anak Tuhan, akhirnya sampai ‘detik’ ini, masalah Nabi Isa As. dikalang mereka tidak terselesaikan, maka peristiwa kloning manusia atau ‘manusia dolly’, sekaligus menjawab permasalahan tersebut. Semoga menyadarkan mereka.

  6. Subhanallah……………….
    smoga Allah memberikan ampunan apada nnya..karna hanya dialah yang maha pengampun lagi maha penyayang;;;
    smoga kita tetap islikomah dalam dakwah ini..
    AMIN

  7. SubhanaAllah……. aQ meneteskan air mata baca ini,,, Ya Allah berikan Aq jalan Yang lurus menujumu,, hidarkan dari godaan setan yang terkutuk Amiiin….

Comments are closed.