Monday, 25 November 2024, 08:07

“Adalah Rasulullah SAW. apabila mengangkat pimpinan suatu kesatuan pasukan dan dinas-dinas? rahasia, maka beliau menasihati, khusus kepada pimpinan itu, dengan nasihat takwa kepada Allah serta berlaku baik kepada kaum muslimin yang menyertai mereka.” (H.R. Imam Muslim)Kekuasaan sering membuat orang lupa diri. Menganggap diri lebih hebat dari orang lain, sehingga merasa sah-sah saja menekan dan mendikte, meneror bahkan mengancam pesaing atau malah memberangus rakyatnya sendiri. Sampai-sampai ketika tidak berkuasa pun akan terkena penyakit post power syndrome. Dan inilah pemandangan yang selalu bisa kita lihat baik melalui kacamata sejarah atau menyaksikan langsung perilaku para penguasa dan agen-agennya.

Dalam diri manusia memang berkembang perasaan hubbussyiyadah (cinta kekuasaan) sebagai perwujudan dari gharizah al baqa (naluri mempertahankan diri) karena selalu ingin dianggap eksis dalam kehidupannya. Hal ini wajar selama masih dalam frame yang benar. Namun, bila ternyata cinta kekuasaannya itu sangat tinggi sehingga menguasai jiwa dan pikirannya, ini sangat berbahaya.

Maka wajar saja bila Rasulullah selalu mewasiatkan takwa kepada para calon pemimpin yang akan mengemban tugas kekuasaannya. Karena memang kekuasaan itu cenderung akan membawa orang kepada tindakan sewenang-wenang. Nilai takwa inilah yang nantinya bakal mampu meredam segala tindakan yang menyalahgunakan kekuasaan, untuk kemudian seenaknya berperilaku, dari mulai korupsi, kolusi sampai memeras dan memakan harta rakyat.

Kekuasaan itu baru akan benar-benar teruji dan terbuktikan kekuatan atau kelemahannya ketika terjadi segala bencana yang mendera negerinya. Apakah bisa mengatasi semua malapetaka itu atau malah dengan sengaja menciptakan huru-hara? Mencipatakan kedamaian atau menyulut kekerasan? Mengkondisikan kesejahteraan atau membuat kesenjangan? Ini memang tak lebih dari political game yang diperankan penguasa dan para pesaingnya untuk saling menjatuhkan.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz, saat melakukan pengontrolan di Baitul Mal pernah menutup hidungnya karena bau minyak kesturi yang menyebar di ruangan itu. Melihat sikap khalifah yang seperti itu, petugas baitul mal penasaran dan bertanya kepada khalifah. “Wahai khalifah, apakah gerangan yang membuat engkau seperti itu?” Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata, “Harta di baitul mal ini adalah milik rakyatku. Dan aku tidak ingin memakan harta rakyatku, walau hanya dengan mencium wangi minyak ini.”

Begitulah salah satu sikap khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam memegang amanah kekuasaannya, yang tentu saja sulit mendapatkan modelnya pada pemimpin sekarang ini, yang cenderung menjadikan kekuasaan sebagai alat memperkaya diri dan mencekik orang lain, termasuk rakyatnya sendiri.

Padahal seharusnya para pemimpin itu melindungi dan mengayomi rakyatnya. Rasulullah SAW. bersabda:

“Sesungguhnya imam (pemimpin) itu adalah laksana perisai, dimana orang-orang akan berperang di belakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung (bagi dirinya).” (H.R. Muslim dari Al A’raj dari Abu Hurairah).

Jadi jelas, seorang pemimpin yang betul-betul menjaga dan mempertanggung jawabkan amanat kekuasaannya ia akan melaksanakan kewajiban mengemban amanat itu dengan sungguh-sungguh dan menjadi pelindung rakyatnya dalam segala hal.

Rasulullah SAW. pernah memberi nasihat kepada Muadz bin Jabal dan Abi Musa Al Asy’ari ketika mereka diangkat jadi wali, “Kalian berdua harus bisa menyampaikan kabar yang menyenangkan, dan bukannya kabar yang menyedihkan. Kalian juga harus menyampaikan kabar gembira dan bukannya menjadikan mereka (rakyat) jera.” (H.R. Bukhari)

Kita jadi bertanya, apakah kondisi sekarang ini sudah sesuai yang dianjurkan Rasulullah SAW? Kalau belum, kita sama-sama harus muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa) [O. Solihin]

1 thought on “Menguji Kekuasaan

Comments are closed.