Friday, 22 November 2024, 01:56

gaulislam edisi 650/tahun ke-13 (13 Sya’ban 1441 H/ 6 April 2020)

Waduh, ngomongin maksiat lagi, nih. Emang nggak ada obrolan lain? Ehm, banyak sih pilihan obrolan, bejibun tema, malah. Cuma, karena sekarang orang masih tetep (atau malah makin banyak?) yang berbuat maksiat, bahkan di tengah pandemi Covid-19, rasa-rasanya perlu juga diingetin lagi, deh. Sebab, konsekuensinya berat, lho.

Sobat gaulislam, sepertinya kita perlu prihatin dengan cara berpikir orang saat ini. Beragam memang. Ada yang masuk akal, ada yang di luar nalar, ada yang ngeles, ada yang malas, ada yang suka-suka dia, banyak juga yang sesuai syariat. Pendek kata, ada yang mengikuti wahyu (al-Quran dan hadits), banyak pula yang malah mengikuti hawa nafsunya (baca: setan).

Ya, sebagai contoh di kalangan remaja di saat pandemi Coronavirus. Boro-boro diem di rumah, eh malah ke ATM aja berani. Asal jaga diri, alasannya. Antri di sana juga nggak takut. Bawa handsanitizer sebagai pelindung, katanya. Berseliweran di toko swalayan juga asik-asik aja, alasannya untuk membeli kebutuhan pribadi dan stok bahan pangan buat ngadem di rumah. Ke pasar? Banyak buanget! Mereka asik dan berani. Modalnya, yang penting jaga jarak dan bawa pelindung diri, minimal masker dan handsanitizer. But, kalo disuruh ke masjid, minimal hanya shalat fardhu berjamaah dan shalat Jumat, eh, bilangnya malah ikut anjuran pemerintah en takut kena Coronavirus. Duh, jadi gimana cara berpikirnya, ya?

Tawakal atau ngasal? Kok pilih-pilih keberaniannya? Urusan duniawi berani, yang penting bawa pelindung diri. Giliran urusan akhirat, kok berat? Setan emang pinter bikin tipu daya. Mestinya, kalo sama-sama pake pelindung diri sebagai bagian dari ikhtiar, ya ke masjid juga sama dong. Bawa sajadah sendiri, bawa handsanitizer (jika diperlukan), pake masker (kalo mau). Bener nggak, sih? Jangan sampe untuk urusan ibadah malah melempem, tapi urusan duniawi trengginas banget. Minimal sama semangatnya, deh.  Malah, seharusnya kalo urusan ibadah diperbanyak, sekaligus jauhi maksiat.

Bahaya maksiat

Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS asy-Syuraa [42]: 30)

Jadi intinya gini. Maksiat itu adalah perbuatan dosa. Tentu aja ada akibatnya dari perbuatan tersebut bagi kehidupan pelaku dan masyarakat pada umumnya. Termasuk dalam hal ini, adanya musibah itu tersebab maksiat yang dilakukan oleh manusia.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan perkataan Hudzaifah dalam fatawanya. Hudzaifah berkata, “Iman membuat hati nampak putih bersih. Jika seorang hamba bertambah imannya, hatinya akan semakin putih. Jika kalian membelah hati orang beriman, kalian akan melihatnya putih bercahaya. Sedangkan kemunafikan membuat hati tampak hitam kelam. Jika seorang hamba bertambah kemunafikannya, hatinya pun akan semakin gelap. Jika kalian membelah hati orang munafik, maka kalian akan melihatnya hitam mencekam.” (Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426, 15/283)

Kemunafikan itu maksiat, dosa. Jadi, kudu dijauhi, ya. Sebab, kemunafikan bisa membawa musibah. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah salah satu murid Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan akibat dosa adalah mendatangkan bencana (musibah). Itu sebabnya, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (dalam kitab al-Jawabul Kaafi, hlm. 87)

Yuk, coba kita pikir-pikir nih. Wabah Coronavirus itu pasti ada kaitannya dengan maksiat atau dosa-dosa yang kita lakukan. Ya, kita dan semua yang ada di negeri ini, termasuk di seluruh dunia. Musibah bagi orang beriman, azab bagi orang kafir dan munafik. Silakan didata sendiri apa saja kerugian yang didapat akibat wabah ini: jumlah korban meninggal dunia, ekonomi terganggu, stabilitas politik terancam, bahan pangan stoknya terbatas, pabrik-pabrik atau perusahaan banyak yang tutup karena para pekerjanya ada yang dirumahkan, dan berbagai persoalan lainnya. Menyedihkan memang. Namun, jika sekadar sedih lalu berbuat hanya mengandalkan ilmu kauniyah tanpa mengandalkan ilmu tanziliyah, rasa-rasanya sia-sia belaka. Mengapa?

Begini. Kita coba jelaskan terlebih dahulu perbedaan antara ilmu kauniyah dan ilmu tanziliyah. Menurut salah seorang guru saya, saat ini masyarakat lebih fokus dan disibukkan dengan bagaimana upaya mencegah tersebarnya Coronavirus hanya mengandalkan melalui cara-cara atau metode ilmu kauniyah, seperti pola hidup bersih dan sehat, social distancing (sekarang lebih dikenal dengan physical distancing), mengenakan masker, tetap berdiam diri di rumah, jarang keluar rumah jika tidak perlu banget, sampai diterapkan pembatasan sosial berskala besar, dan banyak juga diusulkan lockdown alias karantina.

Apakah semua itu salah? Nggak juga. Masih menurut guru saya tersebut, upaya yang hanya terlalu mengandalkan kepada ilmu kauniyah tersebut, kurang mantep. Terutama, hubungan dengan Allah Ta’ala jadi minim. Tetapi yang lebih perlu digaungkan, terutama oleh para ulama adalah, cara-cara yang menggunakan ilmu tanziliyah, seperti berdoa, berdzikir, qiyamu lail, shalat fardhu berjamaah dan sejenisnya.

Oya, ilmu kauniyah itu adalah ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia karena interaksinya dengan alam. Sementara ilmu tanziliyah adalah ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan Allah, baik dalam kitab maupun hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.

Nah, karena musibah ini datang disebabkan adanya dosa atau maksiat yang dilakukan masyarakat (khususnya yang muslim), maka perlu digaungkan agar masyarakat mau berhenti dari maksiat dan kembali melaksanakan syariat. Berdoa jangan dilupa, dzikir dirutinkan (terutama dzikir pagi dan sore), shalat malam digiatkan, sedekah dibiasakan, dan aktivitas amal shalih lainnya. Maka, benar apa yang disampaikan Imam Syafi’i rahimahullah, saat menghadapi wabah, “Aku belum menemukan solusi yang lebih manjur untuk menghilangkan wabah dibanding bertasbih (kepada Allah).” (Hilyatul Auliya’, jilid 9, hlm. 136)

Enaknya emang kalo semua orang bisa muhasabah. Introspeksi diri. Mungkin ada kesalahan yang tidak disengaja. Maksudnya baik, tapi sebenarnya cara atau hasilnya jadi salah. Bisa juga sengaja berbuat salah. Tiap hari bikin dosa. Apalagi yang model gini, harus segera bertaubat. Bagi yang nggak sengaja berbuat salah pun tetap bertaubat. Intinya, menyadari kesalahan kita dan berusaha untuk memperbaikinya dengan istighfar (jika maksiat kepada Allah seperti meninggalkan shalat). Kalo berbuat dosa kepada makhluk-Nya, seperti mencuri, menipu, durhaka kepada kedua orang tua, maka taubatnya harus diiringi dengan meminta maaf kepada orang yang telah kita zalimi tersebut.

Taubat nasuha

Sobat gaulislam, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran [3]: 135)

Berdasarkan ayat ini, perbuatan keji (fahisyah) seperti zina dan ghibah, pelakunya harus bertaubat. Emang sih, setiap manusia nggak bisa luput dari dosa, maka yang terpenting adalah bertaubat ketika berbuat dosa, baik yang tidak disengaja, apalagi yang sengaja melakukan dosa.

Oya, taubat itu wajib disegerakan. Nggak boleh ditunda-tunda, karena kita nggak tahu kan ajal kita datangnya kapan? Jadi, begitu sadar telah berbuat dosa langsung taubat. Istighfar, menyesal, tidak mengulanginya, lalu menjauhinya, kemudian menutupnya dengan memperbanyak amal shalih. Dianjurkan juga pelaku maksiat yang bertaubat untuk melakukan shalat sunnah taubat.

Dalil yang mendukung anjuran shalat sunnah taubat adalah hadits Abu Bakr ash-Shiddiq radiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Tidaklah seorang hamba melakukan dosa kemudian ia bersuci dengan baik, kemudian berdiri untuk melakukan shalat dua rakaat kemudian meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.” Kemudian beliau membaca ayat ini: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (HR Tirmidzi, no. 406, Abu Daud, no. 1521, Ibnu Majah, no. 1395. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Kamu udah tahu tata cara shalat taubat? Kalo belum, secara singkat saya jelaskan, ya. Menurut Ustaz Ammi Nur Baits, Dewan Pembina Konsultasi Syariah (konsultasisyariah.com), tata cara shalat taubat sebagai berikut:

Pertama, berwudhu dengan sempurna (sesuai sunah). Kedua, shalat dua rakaat, tata caranya sama dengan shalat pada umumnya. Ketiga, tidak ada bacaan khusus ketika shalat. Kamu bisa membaca al-Fatihah kemudian membaca surat apapun yang kamu hafal. Keempat, berusaha khusyuk dalam shalatnya, karena teringat dengan dosa yang baru saja dia lakukan. Keenam, beristigfar dan memohon ampun kepada Allah setelah shalat. Tidak ada bacaan istighfar khusus untuk shalat taubat. Bacaan istighfarnya sama dengan bacaan istigfar lainnya, misalnya: astaghfirullah wa atuubu ilaih. Ketujuh, inti dari shalat taubat adalah memohon ampun kepada Allah, dengan menyesali perbuatan dosa yang telah dia lakukan dan bertekad untuk tidak mengulanginya.

Yuk, agar wabah Coronavirus segera pergi dari negeri kita dan negeri-negeri kaum muslimin lainnya, selain kita mengamalkan ilmu kauniyah yang udah dijelasin tadi, juga menggaungkan cara pencegahan dengan ilmu tanziliyah. Terutama introspeksi diri dan tinggalkan maksiat dengan cara segera bertaubat. Siap, ya? Sip! [O. Solihin | IG @osolihin]