Friday, 22 November 2024, 10:03

Banyak mahasiwa di kampus-kampus IAIN/UIN begitu “resah” melihat perkembangan pemikiran dosen-dosennya. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-231

Oleh: Adian Husaini

Pada hari Ahad, 6 April 2008, dalam sebuah acara Lembaga Dakwah Kampus di Malang, Jawa Timur, sejumlah mahasiswa UIN dan STAIN dari beberapa kampus mengajukan pertanyaan kepada saya, bagaimana cara menghadapi dosen-dosen yang mengajarkan paham liberalisme. Ada yang menyatakan, bahwa di kampusnya, posisinya terjepit, karena tidak mudah untuk mengkritik dosen-dosen yang dalam mengajar jutsru menanamkan keragu-raguan terhadap Islam.

Pertanyaan semacam itu sudah berulangkali dilontarkan para mahasiswa dalam berbagai kesempatan. Dan itu tidaklah aneh. Sebab, kampus-kampus saat ini memegang prinsip kebebasan berpendapat. Di kampus itu dijamin kebebasan berpendapat. Dosen berpikiran sesat atau tidak, itu bukan urusan pimpinan kampus. Tapi, dianggap urusan individu masing-masing. Ada yang beralasan, bahwa keragaman pemikiran dalam kampus adalah bagian dari kekayaan dan kebebasan akademis.

Dalam pandangan Islam, tentu saja, pola pikir semacam itu tidak benar. Sebab, dalam Islam ada kewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kemunkaran yang berat dalam Islam adalah kemunkaran ilmu. Dosen yang mengajarkan paham Pluralisme Agama, misalnya, jelas-jelas telah melakukan tindakan munkar, yang tidak kalah destruktifnya dibandingkan dengan dosen yang menilep uang kampus.

Akibat diterapkannya asas kebebasan itulah, maka banyak mahasiswa menjadi korban. Mereka harus berjuang sendiri menyaring, mana pemikiran dosen yang keliru dan mana pemikiran yang benar. Biasanya, karena kebingungan dan tidak dapat menemukan jawaban, yang terjadi adalah sikap bingung dan apatis. Setiap hari belajar Islam, tetapi dirinya tidak kunjung mendapatkan ilmu yang meyakinkan dan menenangkan hati. Yang seringkali terjadi justru keragu-raguan, skeptis, kebingungan, dan keresahan.

Kebingunan dan skeptisisme adalah buah dari penanaman paham relativisme kebenaran yang diajarkan kepada para mahasiswa. Virus ini sudah begitu luas menyebar. Seringkali orang yang mengidapnya tidak sadar. Bahkan, banyak yang bangga mengidapnya; bangga karena tidak lagi meyakini Islam sebagai suatu kebenaran. Virus ini memang tidak menyerang tubuh manusia, yang diserang adalah pikiran.

Pengidap virus liberal ini biasanya sangat membanggakan akalnya dan mengecam orang Islam yang menjadikan wahyu sebagai pegangan kebenaran. Akal, kata mereka, lebih penting daripada wahyu. Mereka berpikir secara dikotomis, bahwa akal dan wahyu adalah dua entitas yang bertentangan. Jika akal bertentangan dengan wahyu, kata mereka, maka tinggalkan wahyu, dan gunakan akal. Karena mereka merelatifkan semua pemikiran yang merupakan produk akal manusia, maka jadilah mereka manusia-manusia relativis, yang tidak mengakui bahwa manusia bisa mencapai kebenaran yang hakiki yang meyakinkan (‘ilm).

Paham yang mendewakan akal semacam ini sudah lama ditanamkan di Perguruan Tinggi Islam. Pelopornya adalah Prof. Harun Nasution. Seperti dikatakan sendiri oleh Harun Nasution, bahwa misi dia dalam melakukan pembaruan pemikiran dan kurikulum di IAIN adalah mengembangkan paham Mu’tazilah di IAIN. Dalam buku “Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution“, Harun Nasution mengatakan:

“Sejak awal di McGill, aku sudah melihat pemikiran Muktazilah maju sekali. Kaum Muktazilah-lah yang bisa mengadakan satu gerakan pemikiran dan peradaban Islam. Selanjutnya malah mendirikan universitas di Eropa. Ini yang membuatku berfikir: kalau Islam zaman dulu begitu, mengapa Islam sekarang tidak. Sebaiknya Islam zaman sekarang lebih didorong lagi ke sana.

Sejak itu harapanku cuma satu: pemikiran Asy’ariyah mesti diganti dengan pemikiran-pemikiran Muktazilah, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional. Atau dalam istilah sekarang, metodologi rasional Muktazilah. Sebaliknya, metodologi tradisional Asy’ariyah harus diganti.”

Sejak awal tahun 1970-an sebenarnya sudah banyak yang memberikan kritik terhadap pemikiran Harun Nasution. Salah satu kritik yang serius diberikan oleh senior Harun Nasution di McGill, yaitu Prof. Dr. HM Rasjidi. Tetapi, kritik Rasjidi dianggap angin lalu. Proyek ‘Muktazilahisasi’ IAIN pun sebenarnya hanya batu pijakan untuk melakukan Westernisasi IAIN, sebab pemikiran yang dikembangkan kemudian, bukanlah benar-benar pemikiran Muktazilah, tetapi pemikiran Islam ala Barat.

Karena itulah, kini, dengan mudah kita bisa mengamati, luasnya peredaran virus lieral ini. Virus! Sekecil apa pun dia, tetaplah virus. Dia mempunyai daya yang merusak seluruh jasad. Virus pemikiran ini pun tidak berbeda hakekatnya dengan virus penyakit yang mempunyai daya rusak yang tinggi terhadap jasad. Jika pikiran seseorang sudah dirusak oleh virus liberal, maka dia pun otomatis akan menjadi penyebar virus yang sama ke pada orang lain.

Saat berada di Kota Malang, 6 April 2008 itu, saya menemukan sebuah buku berjudul “Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama- Seri Ensiklopedia Islam dan Sains,” terbitan Lembaga Kajian Al-Qur’an dan Sains (LKQS) Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 2006. Inilah salah satu lembaga yang diandalkan oleh UIN Malang untuk mengeluarkan konsep-konsep yang Qur’ani.

Kita berharap, mudah-mudahan UIN Malang benar-benar menjadi kampus Islam yang serius dalam menegakkan konsep keilmuan Islam dan menerapkannya dalam kehidupa akademis di kampusnya. Kita berharap, dari kampus-kampus Islam akan lahir cendekiawan-cendekiawan Muslim yang mumpuni keilmuannya dan memiliki keyakinan dan komitmen yang kuat dalam perjuangan menegakkan kebenaran.

Untuk meraih cita-cita itu, maka para dosen dan khususnya pimpinan kampus Islam perlu sangat serius dalam merumuskan konsep keilmuan Islam dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari di kampusnya. Sebagai layaknya seorang yang menanam padi, maka petani bukan hanya harus rajin memupuk dan merawat tanamannya, tetapi pada saat yang sama, juga harus menjaga tanamannya dari serangan hama yang merusak tanaman. Adalah aneh, jika ada petani yang rajin memupuk padinya, tetapi membiarkan saja tanamannya dimangsa tikus, ulat tanaman, atau jenis-jenis hama lainnya. Virus-virus liberal yang bergentayangan di dunia kampus dan masyarakat saat ini tak ubahnya seperti hama yang menggerogoti tanaman.

Jika kita telaah buku “Intelektualisme Islam” terbitan UIN Malang ini, kita mendapati pemikiran yang kontradiktif. Banyak pemikiran yang baik, tetapi sekaligus juga pemikiran yang merusak. Antara obat dan racun dipadukan menjadi satu. Salah satu artikel yang berisi racun pemikiran berjudul, “Pengembangan Ilmu Agama Islam Berbasis Integrasi“, ditulis oleh seorang dosen UIN Malang yang menyelesaikan pendidikan S-1 dan S-2 di UIN Yogyakarta.

Mengikuti garis pemikiran Harun Nasution, dosen UIN Malang ini juga memuji habis-habisan paham Muktazilah dan mencaci maki paham Ahlu Sunnah dan para tokohnya. Simaklah kutipan dari artikel tersebut:

“Matinya filsafat di dalam tradisi pemikiran Islam menunjukkan, secara implisit, hilangnya otoritas kelompok muktazilah dalam mengendalikan pemerintahan, karena ia satu-satunya aliran yang mengagungkan akal. Mereka digantikan oleh kelompok sunni yang lebih menjunjung tinggi wahyu dari pada akal. Watak pemikiran sunni yang anti akal, pada giliran selanjutnya, menjelma ke dalam bentuk propaganda “anti-filsafat” dan “filsafat bertentangan dengan agama. Maka tidak heran jika kemudian muncul tokoh semisal sang hujjah al-Islam, Imam al-Ghazali, seorang tokoh besar dari kalangan sunni, sangat anti filsafat, meskipun sebelumnya ia termasuk pecinta filsafat. Bukunya Tahafut al-Falasifah” merupakan bukti sejarah atas ketidaksenangannya terhadap filsafat

Propaganda seperti itu semakin mendapat justifikasi di tangan seorang ahli fiqih yang juga tokoh sunni, Imam Syafi’i, dengan kitabnya “ar-Risalah”. Sejak saat itu, terjadi penyeragaman pemikiran keagamaan. Lewat karya itu, nalar agama diresmikan. Ketika kita bicara tentang Islam dan bagaimana cara untuk menyelesaikan persoalan yang muncul di muka bumi, maka semua jawabannya ada di dalam Al-Qur’an, sebuah ortodoksi keagamaan yang dipaksakan.” (hal. 279-280).

Begitulah pendapat seorang dosen UIN Malang tentang Muktazilah dan Ahlu Sunnah. Kita mungkin bertanya, virus apa yang menjangkiti dosen UIN Malang itu, sampai begitu rupa menjadi pemuja Muktazilah dan menistakan Ahlu Sunnah? Padahal, dia adalah alumnus pesantren Ihyaul Ulum Dukun Gresik, — satu pesantren NU yang tentunya berpaham Ahlu Sunnah, dan bukan Muktazilah. Kita bisa menebak, si dosen ini terjangkit virus liberal semacam ini di tempat dia menimba ilmu, yaitu di UIN Yogya.

Jika kita mau menggunakan akal kita sedikit saja, maka kita dengan mudah dapat menemukan bahwa pemikiran dosen UIN Malang tersebut tentang Muktazilah dan Ahlu Sunnah adalah “asbun”. Menyebut bahwa watak pemikiran sunni adalah “anti akal” adalah sangat keterlaluan. Jawaban-jawaban kaum Sunni terhadap pemikiran-pemikiran Muktazilah adalah jawaban-jawaban yang menggunakan akal, dan bukan menggunakan “dengkul”.

Peneliti INSISTS, Henri Shalahuddin MA — yang menulis skripsi (di ISID Gontor) tentang Muktazilah dan tesis Masternya (di IIUM) tentang al-Ghazali — telah menerbitkan sejumlah makalahnya tentang kekeliruan pemikiran Harun Nasution dalam soal Muktazilah dan Ahlu Sunnah. Misalnya, dalam permasalahan tentang rasionalitas baik dan buruk (al-Husnu wa l-qubhu aqliyani) yang menjadi perdebatan antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H) menyatakan, bahwa perbedaan antara Muktazilah dan Ahlu Sunnah bukan pada soal “kemampuan akal”, apakah ia dapat mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan. Sebab keduanya sepakat bahwa akal manusia dapat mengetahuinya. Namun yang menjadi perdebatan adalah apakah suatu perbuatan yang berhak mendapatkan pahala atau siksa kelak di Akhirat, ditetapkan oleh akal atau wahyu?

Tokoh-tokoh Mu’tazilah, seperti Abu l-Hudzail al-‘Allaf, Ibrahim al-Nazhzham dan al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar berpendapat bahwa sebelum datangnya wahyu, manusia tetap wajib mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi hal-hal buruk, sesuai dengan kemampuan akalnya. Sedangkan menurut Imam Asy’ari, pahala dan siksa hanya bisa ditetapkan dengan wahyu. Beliau mengutip ayat Al-Quran, antara lain: “…dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul” (QS. Isra’: 15).

Jadi, dalam menjawab argumementasi Muktazilah, Asy’ari juga menggunakan akal. Tetapi, akal yang tidak lepas begitu saja dari wahyu. Dalam kajiannya terhadap pemikiran Harun tentang Muktazilah, Henri Shalahuddin menyimpulkan:

“Klaim Prof. Dr. Harun Nasution tentang rasionalisme Mu’tazilah dengan menafikan sisi rasionalitas paham Asy’ariyah, tidaklah tepat. Golongan Mu’tazilah yang diklaim paham yang paling rasional oleh Harun, sejatinya tidaklah demikian. Bahkan, Mu’tazilah seringkali membebani akal melebihi kapasitasnya, sehingga berlaku arogan di depan Sang Khalik. Seperti mewajibkan Tuhan mengutus Rasul, memberikan pahala atau siksa sesuai amal perbuatan manusia, membuat “kebijakan sendiri” kategori masuk surga atau neraka dan sebagainya.”

Tentang kedudukan akal dan wahyu, dalam kitabnya, “al-Iqtishad fi l-I’tiqad“, al-Ghazali membuat gambaran yang indah:

“Perumpamaan akal adalah laksana penglihatan yang sehat dan tidak cacat. Sedangkan perumpamaan Al-Qur’an adalah seperti matahari yang cahayanya tersebar merata, hingga memberi kemudahan bagi para pencari petunjuk. Amatlah bodoh jika seseorang mengabaikan salah satunya. Orang yang menolak akal dan merasa cukup dengan petunjuk Al-Qur’an, seperti orang yang mencari cahaya matahari tapi memejamkan matanya. Maka orang ini tidak ada bedanya dengan orang buta. Akal bersama wahyu adalah cahaya di atas cahaya. Sedangkan orang yang memperhatikan pada salah satunya saja dengan mata sebelah (picak, red), niscaya akan terperdaya”.

Menistakan kemampuan dan peran kaum sunni dalam membangun peradaban Islam juga sangat a-historis. Kaum sunni telah terbukti dalam sejarah mampu mewujudkan peradaban Islam yang hebat. Yang membawa Islam ke berbagai pelosok dunia, termasuk ke wilayah Nusantara adalah kaum Sunni, bukan kaum Muktazilah. Karena itu, adalah berlebihan dan tidak beradab terlalu mudah mencaci maki kaum Sunni dan tokoh-tokohnya seperti Imam al-Ghazali, Imam al-Syafii, dan sebagainya. Sebagai gantinya, seperti kita baca dalam artikelnya, dosen UIN Malang ini pun akhirnya taklid buta pada tokoh-tokoh liberal seperti Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun.

Sebagai pengidap virus liberal, dosen semacam ini juga aktif menyebarkan virusnya, baik melalui pengajaran maupun tulisan. Sebagai salah satu kampus yang membawa nama Islam, seyogyanya UIN Malang juga peduli dengan virus-virus liberal yang merusak pemikiran mahasiswanya. Kita sebenarnya kasihan dengan dosen muda semacam ini. Pintar tapi keliru. Tapi, kita tahu, dia pun sebenarnya juga merupakan korban virus, yang mungkin tidak dia sadari. Kita juga kasihan kepada mahasiswanya. Belum jadi apa-apa nanti sudah rajin memaki-maki para ulama yang alim, shalih, begitu besar jasanya terhadap Islam.

Sebagai bagian dari umat Islam, kita wajib mengingatkan mereka. Mudah-mudahan pimpinan kampus UIN Malang mau peduli dengan masalah pemikiran semacam ini. Kita semua akan bertanggung jawab di hadapan Allah, kelak di Hari Kiamat. [Depok, 4 Rabiulakhir 1429 H/11 April 2008/HIDAYATULLAH.COM]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan http://hidayatullah.com/

2 thoughts on “Virus Liberal di UIN Malang

  1. assalamualaek,
    hingga saat ini, mu’tazilah & sunni hanya di pisahkan benang tipis yg sdkt mudah utk dibedakan. Benang tpis itu melahirkan sbuah pmahaman utk memudahkan: mu’tazilah lebih mengedepankan aqal (tanpa membuang wahyu), sedangkan ahlu sunnah lebih mengutamakan wahyu (tanpa mengesampingkn aqal). Jikalau benar ahlu mu’tazilah membuang wahyu, bisa dipastikan mereka sesat dan jika ahlu sunni membuang akal, bisa dpastikan mereka juga salah besar mengingat banyak dalil qur’an yg secara implist memerntahkan menggunakan akal dalam setiap permasalahan. Jika kita tela’ah kembali, Mu’tazilah, -begitu golongan ini disebut- pada awalya berawal dr faktor perbdaan pendapat antara wasil bin atho’ dan muridnya al-asy’ari. Tidak satupun dari mereka yg mau utk disebut mereka bukan ahli sunnah. Sayangnya, generasi selanjutnya yang salah tangkap. Menurut saya, mu’tazilah yg benar adalah yg tetap berpegang kpd qur’an hadist, dan sunni yg benar adlh sunni yg tidak ‘katrok’ menerima wahyu secara mentah, tapi tetap menggunakan akal. Tidak mudah utk menyalahkan salah satunya, disalah satu pesantren sunni di sidoarjo, tempat saya nyantri, toh juga memakai kitab fiqh karangan ibnu rusyd yg k0n0n disebut mu’tazilah. Dan mash banyak lagi ktab2 ‘ulama yg dsebut mutazilah’ tanpa terasa dik0nsumsi publik sunni. Jikalau harun nasution menyebut mu’tazilah yg membuat islam dahulu maju dan dosen uinmalang yang menyebut sunni adlh anti akal, saya kira itu hanya utk mempermudah pemahaman.wallahu a’lam. Uin malang aman-aman aja kok pak, insya Allah semua full sunni! Dosen penulis buku itu juga bukan liberalis yg kerap mengagas adanya revisi alqur’an. Sem0ga Allah melindungi kita, Syukron katsiro…Kritik dan saran via e-mail ialmushoffa@rocketmail.com

Comments are closed.