gaulislam edisi 653/tahun ke-13 (4 Ramadhan 1441 H/ 27 April 2020)
Sobat gaulislam, alhamdulillah hari ini—saat buletin kesayangan kamu ini terbit—sudah hari ke-4 di bulan Ramadhan. Semoga amal shalih kita di bulan mulia ini diterima oleh Allah Ta’ala sebagai pemberat timbangan kebaikan di yaumil hisab nanti. Insya Allah.
Kita patut bersyukur bisa menikmati bulan Ramadhan. Allah Ta’ala memberikan kehendak dan karunia kepada kita agar bisa merasakan nikmatnya ibadah di bulan mulia ini nan penuh barokah. Rasa syukur kita wajib diwujudkan dengan tetap melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan senantiasa beriman dan beribadah hanya kepada-Nya. Aneh banget kan, kalo kita dikasih nikmati tapi malah nggak bersyukur. Kurang ajar banget, ya? Begitlah. Semoga kita bukan orang yang demikian. Naudzubillahi min dzalik.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, kalo memasuki bulan Ramadhan, banyak kaum muslimin dari berbagai kalangan jadi mendadak baik. Ini harus disyukuri, jangan dinyinyiri. Bahwa masih ada kelemahan, memang kita semua seharusnya senantiasa berbenah. Udah bagus mau berubah di momen bulan mulia ini. Namun memang nggak boleh cukup puas hanya dengan ilmu dan amal yang minim alias sedikit. Terus menjadi baik dari waktu ke waktu. Nah, semoga Ramadhan ini makin membuat kita jadi lebih baik. Jadi shalih, atau lebih shalih, atau terus berbuat amal shalih, baik amal qashir (pribadi) maupun ama muta’addi (manfaatnya untuk orang lain). Insya Allah.
Nah, omong-omong tentang keshalihan, kita berarti sedang membicara diri kita dan juga teman atau orang lain. Sebab, setiap orang bisa terpengaruh dari orang lain. Kebaikan dirinya mestinya bisa ditularkan kepada yang lain. Pun, hati-hati karena adakalanya keburukan dari orang lain malah kita contoh dan diterapkan. Bahaya.
Intinya, bisa saling berpengaruh satu sama lain dalam mencapai keinginan atau kebutuhan tertentu. Itu sebabnya, seringkali manusia hanya fokus memandang orang lain untuk memenuhi kepuasaan bagi dirinya semata. Itu pun hanya sebatas hawa nafsunya. Maka, kita bisa melihat banyak remaja atau siapa pun menjadikan orang lain sebagai idolanya alias panutannya, meskipun orang tersebut jauh dari ketaatan kepada Allah Ta’ala. Alasannya, orang tersebut sesuai dengan keinginannya. Padahal, keinginan seseorang bisa berbeda-beda. Lebih bahaya lagi jika ukurannya hawa nafsu semata.
Itu sebabnya, kepada para murid saya sering saya sampaikan agar mereka menjadi pribadi yang baik, menjadi orang yang shalih. Sebab, bukan tak mungkin suatu saat akan menjadi rujukan orang lain. Akan menjadi sorotan tersebab ia adalah santri atau alumni pesantren. Jadilah orang yang shalih karena bila kemudian ada orang yang menjadikan kita inspirasi kehidupannya, insya Allah hal yang baik yang akan mereka ambil dari kita. Walau, tentu saja berat karena kita bisa saja berbuat salah. Namun, setidaknya ada upaya dari kita untuk senantiasa menjaga diri dari hal-hal yang buruk. Ada tanggung jawab sosial. Maka, mohonlah pertolongan Allah Ta’ala agar kita senantiasa dimudahkan dalam berbuat baik dan beramal shalih.
Semoga para orang tua bisa menjadi teladan baik bagi anak-anaknya. Semoga kita semua bisa menjadi contoh yang menginspirasi dan memotivasi bagi kehidupan keseharian mereka, baik selama masih bersama para orang tua di rumah, semoga juga setelah dewasa nanti, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau bekerja jauh dari rumah sehingga harus tinggal di luar kota.
Siapa sih orang shalih itu?
Menurut Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah, tentang pengertian shalih, beliau berkata, “Orang yang menjalankan kewajiban terhadap Allah dan kewajiban terhadap sesama hamba Allah. Kedudukan shalih pun bertingkat-tingkat” (Fathul Bari, juz 2, hlm. 314)
Sebagai remaja, kamu jangan merasa kekunoan dengan membaca kisah-kisah para ulama atau orang shalih di masa lalu. Jangan merasa pula bahwa membaca novel atau kisah fiksi itu kekinian. Nggak selalu kok. Bahkan kisah lama seperti dalam al-Quran dan hadits nabi atau biografi para ulama akan memberikan inspirasi dan motivasi karena semua itu faktanya ada. Nyata.
Nah, terkait pembahasan ini, saya kutipkan beberapa pendapat ulama tentang orang yang shalih.
Syaikh Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan hati.” (Siyar A’lam An Nubala’, jilid 8, hlm. 435)
Maksud beliau adalah dengan hanya memandang orang shalih, hati seseorang bisa kembali tegar. Itu sebabnya, jika orang-orang shalih dahulu kurang semangat dan tidak tegar dalam ibadah, mereka pun mendatangi orang-orang shalih lainnya.
‘Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin ‘Iyadh, kami akan semakin sedih dan merasa diri penuh kekurangan.”
Ja’far bin Sulaiman rahimahullah mengatakan, “Jika hati ini ternoda, maka kami segera pergi menuju Muhammad bin Waasi’.”
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan sempit dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi Ibnu Taimiyah untuk meminta nasihat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasihat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” (dikutip dari rumaysho.com)
Jadilah orang yang shalih, karena ia akan menebarkan manfaat bagi sesamanya. Bahkan, hanya dengan memandang wajahnya hati menjadi tenteram dan tenang. Luar biasa. Memang berat menjadikan diri kita sebagai orang yang shalih, tetapi bukan berarti tak bisa diwujudkan. Insya Allah kita berupaya keras dan memohon pertolongan Allah Ta’ala. Semoga kita semua bisa menjadi orang yang shalih (baik, secara pribadi) dan sekaligus mushlih (melakukan perbaikan, mengajak orang lain menjadi baik). Insya Allah.
Ibrah dari orang shalih
Sobat gaulislam, saya sering memotivasi diri sendiri dan juga para murid saya di pondok untuk membaca kisah para ulama. Selain tentunya, juga kisah para nabi dan para sahabat nabi. Mengapa? Sebab, dalam kisah-kisah tersebut mengandung banyak ibrah. Apa itu ibrah?
Kata ‘ibrah berasal dari `abara – ya`buru – `abratan wa `ibratan yang pada asalnya berarti menyeberang dari satu tepi sungai ke tepi yang lain yang ada di seberangnya. Karenanya, sampan penyeberang dalam bahasa Arab disebut `abbârah.
Terkait dengan hal ini, Imam al-Ghazali rahimahullah berkata: Makna i`tibar adalah seseorang yang menyeberang dari apa yang disebutkan kepada apa yang tidak disebutkan, karenanya ia tidak membatasi diri pada apa yang disebutkan saja. (Ihya’ `Ulumud-Din juz 1, hlm. 62)
Lalu Imam al-Ghazali memberi contoh sebagai penjelasan. Beliau berkata: Misalnya, seseorang menyaksikan suatu musibah yang menimpa orang lainnya, maka jadilah musibah itu sebagai ibrah baginya, maksudnya, orang itu “menyeberangkan” apa yang dilihat dan disaksikannya kepada dirinya untuk menggugah kesadarannya bahwa bisa saja dirinya terkena musibah yang mirip dengannya.
Jadi, seseorang yang mengambil ibrah artinya ia menyeberangkan suatu peristiwa yang terjadi pada orang lain ke arah dirinya. Untuk apa? Dijadikan pelajaran.
Mau sedikit cerita nih, di Pesantren Media saya memberikan materi pelajaran Menulis Dasar, kadang-kadang materi pelajaran Jurnalistik dan materi pelajaran Penulisan Skenario. Saya sering memotivasi santri agar semangat membaca kisah-kisah nyata dari para ulama, atau kisah-kisah dalam al-Quran, dan jadikan sebagai bahan tulisan atau membuat film inspirasi berisi hikmah dan dakwah.
Kisah orang-orang shalih senantiasa memberikan manfaat. Maka, seringlah membaca kisah atau biografi mereka. Saya memberikan contoh seperti dalam Kitab Hilyatul Auliya karya Imam Abu Nu`aim al-Ashfahani, yang berjilid-jilid itu. Alhamdulillah saya memiliki kitab tersebut beberapa jilid. Luar biasa banyaknya kisah tersebut. Kita bisa membaca dan mengambil ibrah dari perjalanan hidup mereka. Pada suatu kesempatan di kelas, saya juga menyampaikan materi dari buku “Potret 28 Tokoh Tabi’in” karya Azhari Ahmad Mahmud. Ini sekadar menyebut contoh buku yang memuat kisah para ulama, yang tentu saja terkategori orang-orang shalih.
Kitab Qishashul Anbiyaa karya Imam Ibnu Katsir rahimahullah juga sangat menarik. Para santri diarahkan juga untuk membaca kitab seperti ini agar mendapatkan manfaat yang banyak. Kisah-kisah ini bukan khayalan, tetapi kenyaatan. Sehingga bisa mengambil ibrah dari setiap peristiwa yang dialami para nabi dan umatnya.
Saya coba ambilkan beberapa contoh dari Kitab Hilyatul Auliya. Misalnya pendapat Imam Syafi’i rahimahullah tentang wabah. Beliau menyampaikan,“Aku belum menemukan solusi yang lebih manjur untuk menghilangkan wabah dibanding bertasbih (kepada Allah).” (Hilyatul Auliya’, jilid 9, hlm. 136)
Kisah lainnya. Misalnya tentang catatan dosa-dosa. Bilal bin Sa’d rahimahullah yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa, namun tidak menghapusnya dari catatan amalan hingga memperlihatkannya pada hari kiamat, meski orang itu telah bertaubat.” (Hilyatul Auliya jilid 5, hlm. 226)
Kisah tentang tawadhu’ para ulama salaf juga menarik. Berkata Yahya bin Ma’in rahimahullah, “Aku belum pernah melihat orang semisal Ahmad bin Hambal, kami berkawan dengannya selama 50 tahun, dia tidak pernah membanggakan diri terhadap kami sedikit pun dari apa yang ada pada dirinya dari keshalihan dan kebaikan.” (Hilyatul Auliya’ jilid 9, hlm. 181)
Menarik pula tentang pendapat yang memotivasi bahwa pengorbanan seseorang dalam mencari ilmu meski yang didapat ternyata hanya sedikit. ’Amir bin Syarahil asy-Sya’by rahimahullah berkata, “Seandainya seseorang melakukan safar dari ujung Syam menuju ujung Yaman, lalu dia hanya menghafal sebuah kalimat, namun kalimat itu terus bermanfaat baginya sepanjang umurnya, maka saya menilai bahwa safarnya tersebut tidaklah sia-sia.” (Hilyatul Auliya’, jilid 1, hlm. 313)
Masih banyak kisah lainnya dari sumber lainnya yang luar biasa banyaknya. Bahkan bisa jadi juga kisah teladan itu kita dapatkan dari orang-orang shalih yang kita kenal dan dekat dengan kita. Ambil ibrahnya agar kita bisa menjadi lebih baik. Insya Allah.
Yuk, mumpung Ramadhan, dan mungkin banyak di antara kita juga lebih banyak di rumah saat masa wabah Covid-19 ini. Manfaatkan kesempatan ini untuk lebih banyak belajar. Membaca buku yang bermanfaat semisal kisah para nabi, kehidupan para sahabat nabi, dan juga biografi ulama. Ambil ibrahnya.
Oya, jangan lupa juga membaca al-Quran tetap menjadi prioritas selama Ramadhan ini, ya. Semoga Ramadhan ini membuat kita makin dekat dengan Allah Ta’ala. Makin shalih dan jadilah orang yang mushlih (melakukan perbaikan dengan mengajak orang lain berbuat baik). Semangat! [O. Solihin | IG @osolihin]