Sunday, 24 November 2024, 07:58

Oleh Umar Abdullah

(Penulis Naskah dan Narator Kisah-kisah Teladan Program Voice of Islam)

Pembaca yang budiman, kata “subsidi” akhir-akhir ini semakin akrab kita dengar. Namun kita menangkap kesan bahwa subsidi itu sesuatu yang negatif. Subsidi itu akan memanjakan rakyat. Subsidi itu akan membuat rakyat jadi malas. Benarkah begitu?

Menurut salah satu ensiklopedia, subsidi adalah suatu bentuk bantuan keuangan yang biasanya dibayar oleh pemerintah, dengan tujuan untuk menjaga stabilitas harga-harga, atau untuk mempertahankan eksistensi kegiatan bisnis, atau untuk mendorong berbagai kegiatan ekonomi pada umumnya. Istilah subsidi dapat juga digunakan untuk bantuan yang dibayar oleh non-pemerintah, seperti individu atau institusi non-pemerintah. Namun ini lebih sering disebut derma atau sumbangan.

Dalam pandangan Ideologi Kapitalisme, negara harus melayani para Kapitalis, karena merekalah yang menaikkan dan menjatuhkan para penguasa. Negara tidak boleh mengasihani rakyat dengan subsidi. Kalau para Kapitalis bisa membeli BBM dengan harga standar internasional, maka rakyat miskin pun harus membeli BBM dengan harga tersebut. Bagi yang bisa beli syukur, yang nggak mampu beli silakan tersungkur. Memang sudah nasibnya. Rakyat yang miskin itu semakin miskin. Kualitas mereka pun semakin turun. Makanan tidak mampu mereka beli, kesehatan tidak terlayani, pendidikan apalagi. Mimpi. Akhirnya mereka pun semakin tidak punya daya tawar dan mudah dieksploitasi. Menjadi tenaga kerja yang sangat murah tak berdaya. Bahkan pun jika upah tidak dibayar. Ya, dalam sistem Kapitalisme, para kapitalislah yang sebenarnya berkuasa. Rakyat menjadi budak, Penguasa pun sebenarnya juga menjadi budak para Kapitalis.

Pandangan Islam sebaliknya, negara adalah pemelihara rakyatnya, semuanya. Yang kaya juga yang miskin. Yang muda ataupun yang tua. Yang sehat maupun yang cacat. Yang muslim juga non muslim. Semua harus terpelihara dengan pemeliharaan yang sempurna. Kepala negara Islam adalah pelayan rakyatnya. Lihatlah ketika Abu Bakar ash-Shiddiq diangkat menjadi Khalifah. Dalam salah satu poin pidato pengangkatannya sebagai kepala negara, beliau mengatakan:

“Ayyuhan naas (wahai sekalian rakyat)… Alaa innadh dha’iifa fiikum qawiyyun ?indii hattaa akhudzal haqqa lahu (Ketahuilah sesungguhnya orang yang lemah pada kalian adalah kuat di sisiku, hingga aku berikan hak kepadanya).”

Begitu pula, Khalifah Umar pernah berpidato,

“Hai sekalian rakyat, … kalian berhak menuntutku untuk tidak menjerumuskan kalian dalam kebinasaan, dan apabila kalian pergi dalam mengikuti ekspedisi-ekspedisi, maka akulah yang menjaga keluarga kalian laksana seorang ayah hingga kalian kembali kepada mereka…”

ooOoo

Pembaca yang budiman, dalam peradaban Islam, hati seorang kepala negara akan gelisah jika mendengar ada rakyatnya yang menangis tak henti-henti, termasuk tangisan anak-anak kecil. Dan itu terjadi pada Khalifah Umar bin Khaththab ra. Nah beginilah kisahnya.

Suatu sore Khalifah ?Umar bin Khaththab pergi bersama ?Abdurrahman bin ?Auf , sahabatnya, untuk melihat kondisi kafilah dagang yang baru saja tiba di Madinah. Dilihatnya kafilah itu sedang tertidur. Lalu Khalifah Umar dan Abdurrahman bin Auf duduk di dekat kafilah itu. Umar berkata kepada Abdurrahman, “Mari kita habiskan sisa malam di sini untuk menjaga tamu-tamu kita ini.”

Ketika keduanya sedang duduk, terdengar suara tangis anak kecil. Umar pun tersentak dan terdiam. Umar menunggu anak kecil itu menghentikan tangisnya, tapi anak itu terus menangis. Maka Umar berjalan dengan cepat ke arahnya dan ketika mendekatinya dan mendengar ibunya membujuknya, Umar berkata kepada perempuan itu, “Takutlah kepada Allah dan berbuat baiklah kepada anakmu yang masih kecil.”

Kemudian Umar kembali ke tempatnya. Tidak lama kemudian anak kecil itu kembali menangis. Maka Umar berlari menuju kepadanya dan memanggil ibunya, “Sudah kukatakan padamu, takutlah kepada Allah dan berbuat baiklah kepada anakmu.”

Umar kembali ke tempat duduknya, akan tetapi begitu ia duduk, ia pun tergoncang sekali lagi oleh tangis anak kecil itu. Maka pergilah Umar kepada ibunya dan berkata kepadanya, “Celakalah engkau, kulihat engkau seorang ibu yang jahat. Mengapa anakmu tidak bisa tenang?”

Perempuan itu berkata sementara ia tidak mengetahui siapa yang diajak bicara, “Hai Hamba Allah, engkau telah membuatku kesal. Aku menghentikan penyusuannya dan memberinya makanan, namun ia menolak.”

Umar berkata, “Mengapa engkau menghentikan penyusuannya?”

Perempuan itu menjawab, “Karena Umar hanya memberi tunjangan kepada anak yang sudah disapih (tidak menyusu lagi).”

Mendengar jawaban itu, Umar berkata sembari nafasnya tersengal-sengal, “Berapa umurnya?”

Perempuan itu menjawab, “Beberapa bulan.”

Umar berkata, “Celaka, jangan terburu-buru disapih.”

Pendengar yang Budiman, Abdurrahman bin Auf, sahabat Umar bin Khaththab berkata, “Pagi harinya Umar mengimami kami dalam shalat Shubuh. Orang-orang tidak menangkap bacaannya dengan jelas lantaran banyaknya menangis. Sesaat setelah memberi salam, Umar berkata, “Alangkah celaka Umar! Berapa banyak ia telah membunuh anak-anak muslimin?” Kemudian Umar menyuruh seorang juru panggil berseru di Madinah, “Janganlah terburu-buru menyapih bayi kalian (jangan cepat-cepat menghentikan penyusuan anak-anak kalian), karena kami akan memberi tunjangan dari Baitul Maal bagi setiap anak bayi dalam wilayah Islam.” Kemudian Umar menulis keputusan itu dan menyebarkannya kepada seluruh gubernurnya.

Demikianlah, para penguasa dalam pandangan Islam adalah pemelihara rakyatnya. Mereka selalu ingat pesan Rasulullah saw:

Al-Imaamu raa’in wa Huwa mas’uulun ?an ra’iyyatihi…

Seorang Pemimpin, seorang kepala negara, adalah penggembala, dan dialah yang akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya, atas rakyatnya.

Mereka pun sadar akan perintah Allah agar kekayaan itu jangan hanya berputar di dompet dan rekening orang-orang kaya saja, namun terdistribusi ke seluruh rakyatnya, khususnya kepada orang-orang yang tidak berpunya dari kalangan orang-orang miskin, ibnu sabil, anak-anak yatim, agar mereka bisa belanja, agar mereka bisa hidup sejahtera.

Allah SWT berfirman:

Maaaa afaaaa`allaahu ?alaa rasuulihii min aHlil quraa falillaahi wa lirrasuuli wa lidzilqurbaa wal yataamaa, wal masaakiini wabnis sabiili kay laa yakuuna duulatan baynal aghniyaaaa`i minkum wa maaaa aataakumurr rasuulu fa khudzuuhu wa maa nahaakum ?anhu fantahuu. Wat taqullaaha innallaaha syadiidul ?iqaab.

Artinya:

Apa saja harta rampasan perang atau fai-i yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak Yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya? beredar diantara orang-orang kaya saja di antara kamu.? Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia, Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.

Para kepala negara Islam pun tidak mempedulikan jika uang negara harus habis untuk membiayai rakyatnya. Karena mereka yakin Allah Sang Pembuat Syariat dan Maha Pemberi Rezki akan menggantinya.

Demikianlah, setiap selesai jihad fi sabilillah, Rasulullah saw membagikan rampasan perang dan tak ada lagi yang tersisa. Khalifatur rasul Abu Bakar ash-Shiddiq pun mengikuti jejak Nabi. Kelebihan rampasan perang di Iraq dibagikan kepada penduduk Madinah, dan tak ada yang tersisa. Demikian pula yang berjalan pada kekhalifahan Umar Umar bin Khaththab. Pada masa pemerintahan Khalifah ?Umar seiring dengan makin luasnya wilayah yang dibebaskan, kekayaan dari rampasan perang atau ghanimah ini makin bertambah. Ditambah lagi pemasukan? dari kharaj dan jizyah. Di Iraq, Persia, Syam dan Mesir, rata-rata kafir dzimmi membayar jizyah dua dinar per kepala. Belum lagi Kharaj tanah yang dibayarkan para petani. Oleh Khalifah Umar kekayaan negara itu diperuntukkan untuk segala fasilitas umum serta ketertiban umum di daerah mereka masing-masing, sesudah itu kelebihannya baru dikirimkan ke Madinah sebagai pusat pemerintahan daulah Khilafah Islamiyah saat itu.

ooOoo

PyB, ada kisah menarik mengenai mengalirnya harta di masa Khalifah Umar bin Khaththab ini. Nah beginilah kisahnya…

Suatu saat Abu Hurairah, gubernur Khilafah untuk wilayah Bahrain, kembali ke Madinah. Gubernur Bahrain ini ditanya oleh Umar sang kepala negara, “Apa yang anda bawa?”

Jawab Abu Hurairah, “Saya membawa 500 ribu dirham.

PyB, Umar terkejut, lalu bertanya lagi, “Sadarkah apa yang anda katakan?”

Abu Hurairah mengulangi lagi bahwa dia membawa 500 ribu dirham. Umar mengira bahwa bicara Abu Hurairah sudah berlebihan sehingga mengulangi lagi pertanyaan itu. Setelah mendengar jawabannya Umar berkata, “Rupanya anda masih mengantuk. Pulanglah dulu dan tidurlah. Besok datanglah lagi.”

PyB, keesokan harinya sesudah Abu Hurairah datang lagi dan menegaskan lagi bahwa dia membawa 500 ribu dirham, Umar mengumumkan kepada orang banyak bahwa Abu Hurairah, gubernur wilayah Bahrain, datang membawa uang dalam jumlah besar. “Kalau kalian mau, akan kami hitungkan satu persatu untuk kalian atau akan kami timbang.”

Salah seorang dari orang-orang itu berkata, “Amirul Mukminin, saya melihat orang-orang asing membentuk sebuah lembaga keuangan.”

Khalifah Umar kemudian bermusyawarah dengan ?Ali bin Abi Thalib, ?Utsman bin ?Affan, dan Walid bin Hisyam bin al-Mughirah tentang bagaimana teknis pendistribusian harta ini. Khalifah Umar juga meminta pendapat kaum Muhajirin dan Anshar, juga mereka yang ikut dalam pembebasan-pembebasan. Agar tertib dan terdistribusi dengan baik, Khalifah Umar akhirnya membentuk sebuah lembaga keuangan yang dikenal dengan nama Baitul Mal atau Kantor Kas dan Perbendaharaan Negara, berikut dengan bagian-bagiannya.

Khalifah Umar kemudian mengundang Aqil bin Abi Thalib, Makhramah bin Naufal, dan Jubair bin Mut’im. Ketiganya adalah ahli nasab di kalangan Kuraisy. Khalifah Umar berkata kepada mereka, “Catatlah orang-orang menurut urutan kekeluargaan dan kedudukan mereka.”

Ketiga orang ini pun menulis dengan dimulai dari Banu Hasyim, kemudian Banu Taim kabilah Abu Bakr, Banu Adiy kabilah Umar.

Setelah mempelajari catatan itu, Khalifah Umar mengembalikan kepada mereka dan menyuruh mendahulukan banyak orang daripada keluarga Umar. Umar berkata, “Mulailah dari kerabat Rasulullah saw yang terdekat dan yang terdekat berikutnya sampai kepada tempat Umar yang sudah menjadi ketentuan Allah.”

Nampaknya Banu Adiy, kabilahnya Umar bin Khaththab tidak puas dengan pengurutan yang diminta Umar dan ingin mereka diurutkan pada permulaan daftar. Mereka berharap demikian karena mereka merasa sebagai kerabat kepala negara. Banu Adi mendatangi Umar dan berkata, “Wahai Umar, Anda pengganti Rasulullah saw dan pengganti Abu Bakar, mengapa tidak menempatkan diri Anda seperti yang sudah tiga orang itu kerjakan!

Khalifah Umar menatap marah kepada para kerabatnya dari Banu Adi itu sambil menjawab, “Bagus, bagus sekali Banu Adi! Kalian ingin makan di atas punggungku dan ingin aku memberikan kebaikan-kebaikanku kepada kalian! Tidak, demi Allah, sampai nanti ada penggilan untuk kalian, dan letakkanlah Banu Adi pada urutan terakhir dalam catatan itu!”

Demikianlah Khalifah Umar menempatkan dirinya dan karib kerabatnya justru pada bagian terakhir dari urutan distribusi tunjangan tersebut.

Kemudian Khalifah Umar mulai membagikan tunjangan-tunjangan yang diberikan setiap tahun tersebut. Tunjangan:

  • untuk Abbas bin Abdul Muththalib paman Nabi 12.000 dirham,
  • untuk Shafiyah binti Abdul Muththalib saudara Abbas 6.000 dirham,
  • untuk para Ummul Muminin istri-isteri nabi saw masing-masing 10.000 dirham.
  • Untuk laki-laki veteran Perang Badar masing-masing 5.000 dirham.
  • Untuk mereka yang pernah hijrah ke Habasyah dan veteran Perang Uhud masing-masing 4.000 dirham.
  • Untuk anak-anak veteran Perang Badar masing-masing 2.000 dirham.
  • Untuk Hasan dan Husain putra Ali bin Abi Thalib masing-masing 5.000 dirham.
  • Untuk setiap orang yang ikut hijrah sebelum futuh Makkah 3.000 dirham.
  • Untuk setiap orang yang ikut dalam pembebasan-pembebasan 2.000 dirham.
  • Untuk anak-anak Muhajirin dan Anshar 2000 dirham.
  • Dan kepada yang lain dibagi menurut kemampuan mereka membaca al-Qur`an dan perjuangan mereka.
  • Untuk muslimin yang datang dan menetap di Madinah 25 dinar.
  • Untuk penduduk Yaman, Syam dan Iraq ada yang diberi tunjangan sekitar 2000, 1000, 900, dan 300 dirham. Tidak ada yang kurang dari 300 dirham.

Umar berkata, “Sekiranya harta cukup banyak niscaya saya bagikan untuk setiap orang 4000 dirham: 1000 untuk keperluan perjalanannya, 1000 untuk senjatanya, 1000 untuk keluarga yang ditinggalkannya, dan 1000 untuk kuda dan bagalnya.”

Umar juga menentukan tunjuangan untuk bayi yang baru lahir 100 dirham, dan kalau sudah besar bisa mencapai 200 dirham per tahun. Bila sudah akil baligh mendapat tambahan. Bagi orang yang membawa anak asuh berhak mendapat 100 dirham dan bagi yang mengasuh anak tersebut mendapat 100 dirham per bulan, dan untuk penyusuan dan nafkahnya diambilkan dari Baitul Mal.

Demikianlah, Umar bin Khaththab sang Khalifah menyalurkan pembagian harta itu kepada semua orang. Tak seorang pun yang tidak kebagian. Sampai sisa terakhir, semua keluarga dan kabilah mendapat bagian antara 250-300 dirham. Kepala negara ini ingin sekali orang yang menerima tunjangan dapat menerimanya hingga ia mau memikul sendiri beban yang begitu berat itu. Hizam bin Hisyam al-Ka’bi menceritakan bahwa ayahnya berkata, “Kulihat Umar bin Khatahtab membawa catatan berkas Kabilah Khuza’ah ke Qudaid. Tak ada perempuan yang terlewat, yang gadis dan yang janda, semua diberi ke tangan mereka sendiri. Setelah itu ia pergi ke Usfah, juga dengan tugas seperti itu sampai Umar meninggal.

Kepada para gubernurnya, Khalifah Umar mengontrol sampainya dana tunjangan itu ke setiap rakyat di masing-masing wilayah, sebagaimana Umar menyampaikan tunjangan itu di Madinah dan sekitarnya.

Khalifah Umar selalu mendorong dan mengajak rakyatnya supaya memanfaatkan tunjangan yang mereka terima itu dengan sebaik-baiknya. Umar berkata, “Kalau nanti tunjangan untuk orang-orang Arab pedalaman itu sudah diberikan dapat mereka belikan kambing untuk daerah mereka. Kemudian kalau sudah keluar tunjangan kedua dapat mereka belikan lagi. Saya khawatir kelak sesudah saya, kalian akan dipimpin oleh orng-orang yang tidak lagi mau mengeluarkan tunjungan pada masa mereka…”

Demikianlah, sejak saat itu rakyat negara Khilafah mulai mengalami kemakmuran. Demikian seterusnya berlangsung hingga masa Khilafah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah Baghdad.

ooOoo

Demikianlah Pembaca yang budiman, Subsidi itu positif, dalam pandangan Islam. Subsidi jadi seolah-olah negatif, karena diopinikan oleh antek-antek Kapitalis dari kalangan penguasa, pengusaha, intelektual, dan pemilik media massa. Dan memang itulah cara kerja para Kapitalis dan antek-anteknya yang bengis dan berperilaku iblis. Oleh karena itu sudah saatnya keadaan yang tidak berperikemanusiaan ini diganti dengan keadaan yang penuh kasih sayang. Penguasa menyayangi rakyatnya, khususnya rakyat miskin. Rakyat pun mendoakan penguasanya. Itulah sistem Islam, sistem yang rahmatan lil ?aalamiin. Itulah sistem pemerintahan Khilafah. Allahu Akbar! [GI-Online]

4 thoughts on “Subsidi Itu Positif, Man!

  1. Wah, wah! Islam asyik banget ya! Emang harusnya jadi kepala negara ya harus spt itu. Masalahnya, semuanya udah kena Racun kapitalis. Pemerintahnya gila harta, rakyatnya yang kaya ngaku miskin, biar dpt bantuan.
    Ya, gitu deh! Kalau sistemnya nggak pakai aturan ALLAH!
    Kl alasan orang kapitalis itu subsidi itu bikin males and ngabisin uang negara, sebenarnya nggak juga! Buktinya, pejabat yg clubing di mall, makan di resto mewah and nongkrong di kave mahal masih banyak tuh!
    Lagian, lihat aja, berapa banyak uang rakyat yg dah dah dikorup, SDA yg dah dikeruk ma kapitalis! Buanyak buanget tuh!
    Kl semuanya dibalikin and buat rakyat, pasti bisa buanget…!

  2. Ya, tapi satu hal penting yg perlu kita lakukan dan persiapkan sbl negara diatur dg tatanan Islam. Opo to?
    Mari kita biasakan hidup kita masing2 sesuai dg syariat Islam. Agar jika presidennya mo pake syariat Islam, kita gak kaget and bingung alias domblong. Yg pasti, semua kekayaan negara jika dikembalikan ke rakyat, rakyat bisa menggunakannya untuk bersyukur (beribadah) kepada Allah.

  3. ass!
    Nanya ya! Boleh kan?
    Kl dlm Islam tuh bentuk subsidi yang paling tepat spt apa ya? Biar rakyat sejahtera but tdk jd males and jd bodoh.
    Soalnya, di Saudi tuh sekolah and rumah sakit gratis. Dan penduduk di sana tuh nggak kerja aja digaji 1 jeti per bulan.
    Tapi, kebanyakan mereka kok bodoh banget ya.
    Buktinya, guru ngaji aja datengin dari Indonesia, perawat dari India, dokter dari Amerika.
    And kebanyakan prilakunya jg kasar bgt.
    terutama ama pembantunya.
    maaf and makasih.

  4. ya…itulah akibatnya jika rakyat hanya disubsidi materi dunia doang. Coba ja pemerintahnya memprogramkan “wajib ngaji” (subsidi moral, pendidikan islam, dakwah islamiyyah) untuk seluruh rakyat, gak bakalan ada perilaku yg “ngisin-ngisini”.
    Selain tu, subsidi atau sedekah atau zakat itu sebetulnya diberikan kpd “al-mustahiqqun” (orang-orang yg pantas diberi ZIS sesuai ketentuan syariat), bukan kepada semua rakyat.
    Zakat itu diambil dari harta orng2 kaya, diberikan kepada kaum fakir miskin.

Comments are closed.