Thursday, 21 November 2024, 20:40

Peribahasa ini lengkapnya adalah Air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan juga. Ungkapan ini cocok untuk menggambarkan bahwa perilaku anak biasanya tergantung orangtuanya. “Apel tak akan jatuh jauh dari pohonnya�, setidaknya peribahasa negerinya Patrick Kluivert ini bisa juga dipakai untuk mendukung peribahasa yang pertama. Pendek kata, secara tak langsung dan tak disadari, anak akan �mengekor’ dengan sikap dan perilaku ortunya. Bisa dimaklumi memang, mengingat ortu adalah teladan bagi anak-anaknya. Apapun yang dilakukan oleh ortu, besar kemungkinan anak akan menconteknya. Terlebih bila ortunya memang �mendoktrin’ si anak agar tumbuh menjadi bagian dari cita-cita mereka. Celakanya, bila yang �diwariskan’ ortunya adalah perilaku jahat dan doyan maksiat. Wajar dong, bila kamu nanti menemui ada anak yang bandelnya kelewatan. Bahkan bukan hanya bandel, tapi jadi berandalan. Menyedihkan bukan? Padahal seharusnya ortu memberikan citra yang baik dong buat anak-anaknya, iya nggak?

Omong-omong masalah ini, kamu suka nongkrongin sinetron Keluarga Cemara nggak? Tanpa maksud promosi, tapi cuma ingin mengambil �hikmah’nya saja. Terutama dalam lagu yang menjadi soundtrack-nya sinteron yang dibintangi Adi Kurdi dan Novia Kolopaking ini. Keluarga ternyata memang merupakan hal yang terindah. Bahkan disebutkan dalam tembang itu, harta yang paling berharga, istana yang paling indah, puisi yang paling bermakna, dan mutiara tiada tara adalah keluarga.

Tapi apa jadinya bila keluarga kemudian berubah menjadi �neraka’? Anak-anak yang lahir hanya dibiarkan tumbuh dan menikmati hidupnya tanpa diberikan bekal yang cukup untuk bisa bertahan dalam arena kehidupan yang makin ganas. Bahkan nyaris tanpa belas kasihan, terutama bila itu menyangkut masa depan perkembangan kepribadian mereka. Malah tak mustahil bila anak-anak yang mewarisi ajaran salah ortunya—baik yang disengaja maupun yang tanpa disadari—akan menjadi semacam �neraka’ bagi ortunya sendiri. Gimana nggak, ortu bakal �kegerahan’ sendiri melihat tingkah laku darah-dagingnya yang senewen dan menyebalkan. Betul, nggak, Brur? Jangan sampe deh kita mengalami kehidupan model begitu!

Dan tentu saja, tugas menyelamatkan anak-anak ini dalam skala yang lebih luas adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya menjadi beban keluarga, tapi masyarakat dan negara juga wajib berperan. Akhirnya memang, semua adalah â€?orangtua’ mereka. Yang harus membim?¬bing dan mengarahkannya menjadi generasi yang berkualitas, baik ilmu dan ketakwaannya. Karena terus terang kita nggak ingin melihat teman-teman remaja memiliki gaya hidup yang amburadul.

Kita sudah sering menyaksikan kehidupan sebagian besar remaja yang tergoda untuk mewarnai dirinya dengan gaya hidup Barat. Urusan seks bebas, narkoba, kriminalitas, dan seabreg model kehidupan Barat yang rusak lainnya. Memprihatinkan memang. Namun perlu diingat, rusaknya kepribadian mereka bukan tanpa sebab. Ibarat munculnya asap, pasti karena ada api. Untuk menelusuri siapa yang paling bertanggung jawab, mungkin tak salah-salah amat bila â€?tuduhan’ itu dialamatkan kepada keluarga (orangtua). Dan tentu saja, peran orangtua dalam sebuah keluarga sangat berpengaruh bagi kehidupan anak-anaknya. Mengingat keluarga adalah â€?masyarakat’ yang paling sederhana.? ? 

Tanggungjawab orangtua
Sebagai ortu yang baik dan bertanggung jawab, tentu nggak bakalan membiarkan anaknya tumbuh menjadi �sampah’ masyarakat. Sebagai titipan dari Allah, anak adalah tanggungjawab orangtua untuk mengurusnya. Tidak saja diberikan �makanan’ jasmani, tapi juga �santapan’ ruhaninya. Karena memang manusia bukan cuma materi belaka, tapi ia memiliki ruh (baca: idrakshilah billah; memiliki kesadaran akan hubungannya dengan Allah). Tanggungjawab orangtua bukan cuma memberikan pendidikan umum saja, tapi wajib menanamkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan anak-anaknya. Sangat boleh jadi, keluarga yang menerapkan model begini akan menjadi �pesantren’ bagi anak-anaknya. Dan tak mustahil bila kemudian lahir generasi yang memiliki kepribadian Islam yang tinggi. Pikiran dan jiwanya terisi penuh dengan nilai-nilai Islam.

Anak selain sebagai anugerah �terindah’ yang diberikan Allah, juga anak sebagai �hiburan’ yang enak dipandang mata dan perhiasan hidup di dunia. Bahkan Allah menyatakan bahwa anak adalah sebagai bukti kebesaran dan kasih sayang Allah, pelanjut, penerus, dan pewaris orangtua, tapi juga sekaligus ujian. Firman Allah Ta’ala,: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.� (At Taghaabun: 15).

Dengan demikian, memang orangtua-lah yang paling bertanggung jawab dan paling berkewajiban mendidik anak-anaknya. Kenapa harus dididik? Anak ibarat selembar kertas putih polos, Non. Ia bisa diberikan coretan dan warna apa saja oleh orangtuanya. Kalo itu �goresan’ yang benar dan �warna’ yang indah, maka anak akan tumbuh menjadi �hiburan’ yang enak dipandang mata. Bahkan mampu mengangkat citra ortunya. Iya, nggak? Malah teman-teman remaja suka berkelakar kalo mampu berprestasi, siapa dulu dong bapaknya?

Sabda Rasulullah saw: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orangtuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.� (HR. Abu Dawud). Nah, maka wajar kalo ortu itu sangat bertanggung jawab terhadap kehidupan anak-anaknya. Mereka harus merawat, membesarkan dan mendidik anaknya. Jangan cuma pengen enaknya tapi nggak mau anaknya. Iya, nggak Brur? Anak cuma dibiarkan tumbuh dan belajar dari kehidupannya saja tanpa dididik dengan menanamkan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya. Sementara orangtua dua-duanya sibuk bekerja untuk memenuhi pundi-pundi harta dan mengejar karir. Tentu ini nggak baik bukan? Mana tanggungjawabnya?

Allah swt berfirman: “Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandai?¬nya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah (iman, ilmu, dan amal), yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka, oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.â€? (An Nisaa’ : 9). Berkaitan dengan tanggungjawab ini, Rasulullah juga bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang telah dipercayakan kepadanya. Dan seorang ayah bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya. Dan seorang ibu bertanggung jawab atas harta dan anak suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atasnya.â€? (HR. Bukhari Muslim).

Sangat boleh jadi, bila semua orangtua di dunia ini memperhatikan anak-anaknya dengan baik, mendidiknya dengan nilai-nilai Islam yang benar, kita nggak bakalan menyaksikan anak-anak yang tumbuh menjadi berandalan. Kasus pembajakan bus kota dan tawuran di Jakarta belakangan ini, merupakan �prestasi’ jeblok anak-anak sekolah. Yang bertanggung jawab dalam masalah ini memang tak seratus persen orangtua di rumah, tapi juga masyarakat dan negara sebagai sebuah �keluarga’ yang besar dan kompleks.

Hak-hak Anak
Dalam pandangan Islam, anak-anak juga mempunyai hak yang bisa didapatkan dari ortunya. Selain mendapatkan hak untuk hidup dan mendapat nama yang baik, anak juga punya hak untuk mendapatkan kasih sayang dan pendidikan. Ortu nggak boleh â€?merampas’ hak hidup?  anak lewat aborsi misalkan, atau malah menelantarkan kehidupannya. Dan orangtua nggak boleh lepas tangan dalam urusan kasih sayang dan pendidikannya.

Kasih sayang adalah hak anak yang wajib diberikan orangtuanya. Celakanya, kondisi sekarang di mana orangtua dua-duanya tipe jarum super alias jarang di rumah dan suka pergi, anak hanya sedikit—kalo nggak mau dikatakan nol—dalam mendapatkan kucuran kasih sayang ortunya.

James Coleman, dalam Abnormal Psychology and Modern Life, menyebut kekurangan kasih sayang sebagai communicable disease (penyakit menular). Karena itu Islam sebagai agama yang membawa misi rahmatan lil �alamin mewajibkan orangtua untuk mengekspresikan kasih sayang mereka kepada keluarganya. “Orang yang paling baik di antara kamu ialah yang paling penyayang kepada keluarganya,� kata Rasulullah saw. Bahkan Allah swt berfirman: “Bertakwalah kamu kepada Allah tempat kamu saling memohon, dan peliharalah kasih sayang dalam keluarga.� (An Nisaa’: 1).

Dalam sebuah riwayat, “Seorang perempuan miskin datang menemuiku,� kata Aisyah r.a., “Ia membawa dua orang anak perempuan. Aku memberikan tiga butir kurma kepadanya. Ia memberikan dua butir kurma kepada anaknya. Ia bermaksud untuk memakan sisanya. Tetapi kedua orang anaknya berusaha merebutnya, sehingga kurma itu pun jatuh dari tangannya. Akhirnya, perempuan itu tidak makan kurma satu butir pun. Aku terpesona dengan perilaku perempuan itu. Aku ceritakan peristiwa itu kepada Rasulullah saw. Ia bersabda: “Barangsiapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka.� (H.R. Bukhari, Muslim, dan Turmudzi).
? ? ? ? ? 
Ortu wajib mewariskan kebenaran
Kalo soal harta biasanya sudah jauh-jauh hari disiapkan orangtua agar masa depan anaknya nggak terkatung-katung dalam hidupnya. Tapi sangat jarang orangtua yang peduli terhadap akidah anak-anaknya. Padahal seharusnya orangtua memberikan perhatian yang lebih dalam urusan ini. Anak harus dididik sejak masih berada dalam rahim ibunya sampai ia masuk ke liang lahat. Dan tentu saja dengan pendidikan agama yang memadai. Sabda Rasulullah: “Agama itu nasihat. Kami bertanya: �Untuk siapa?’ Jawab Nabi: �Bagi Allah, dan kitab-Nya, dan rasul-Nya, dan pemimpin-pemimpin, serta kaum muslimin pada umumnya.� (HR. Muslim).

Tapi ironisnya, sekarang sebagian besar orangtua malah membiar?¬kan anaknya diwarisi dengan nilai-nilai yang sangat bertentangan dengan Islam. Menipisnya perhatian dan kasih sayang mereka seiring dengan mulai tergodanya anak-anak dengan didikan â€?orangtua’ baru mereka. Bisa dipahami, saat ortu pergi anak hanya diasuh oleh baby sitter dan menerima pendidikan dari televisi yang menggantikan peran orangtua dalam mendidik. Karuan saja si “Kotak Ajaibâ€? ini mampu menjadi teman sekaligus guru bagi anak-anaknya. Benda ini pandai bercerita tapi sekaligus lihai menyihir. Tak heran bila kemudian anak tumbuh menjadi generasi warisan televisi, padahal tak semua informasi yang dikeluarkannya baik-baik. Malah lebih banyak merusak kepribadian penontonnya. Iya, nggak?

Coba aja kamu lihat sendiri, betapa banyak teman-teman remaja yang latah mengikuti trend yang diciptakan khusus untuk menghancurkan generasi muda via tv ini. Kasus pergaulan bebas, misalkan. Itu diilhami lewat tayangan film-film yang tak jauh dari perilaku itu. Serial Lupus Milenia, Beverly Hills, Dawson’s Creek, Melrose Place, dan Clueless setidaknya mewakili jenis film yang dimaksud.

Hebatnya kesaktian televisi yang mampu menyedot perhatian anak-anak sudah dibuktikan dalam penelitian di AS, Inggris dan Australia. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa di ketiga negara itu, waktu yang dihabiskan anak-anak sekolah untuk menonton acara televisi rata-rata 3 jam sehari atau 20-25 jam dalam seminggu. Itu hampir sama lamanya dengan kewajiban mereka dalam belajar. (Kompas, 19/4/95). Di kalangan anak prasekolah, lama anak menonton televisi lebih banyak lagi, 26,3 jam seminggu, di mana tiga jam diantaranya tayangan iklan. Waduh, heboh juga ya, Brur! Di negerinya Wiro Sableng ini bisa jadi polanya sama, atau mungkin malah lebih â€?gila’ lagi. Bisa-bisa seharian anak-anak nggak beranjak dari hadapan si “Kotak Ajaibâ€? itu. Dan selama itu pula mereka â€?diceramahi’ dengan materi yang sangat berbahaya bagi kehidupannya. Sangat mengerikan, bukan?? 

Jadi sudah seharusnya para ortu menyadari posisinya, bahwa keberadaan dan tingkah lakunya itu bakal dicontek anaknya. Maka supaya tidak mewariskan kejahatan dan kesalahan bagi anak-anaknya, ortu harus pandai memberikan kasih sayang dan pendidikan yang benar. Pendidikan yang akan menyelamatkan anak-anaknya dari kerusakan akidah dan akhlaknya. Karena kerugian terbesar bagi sebuah keluarga adalah �menciptakan’ anak-anak yang bermasalah dalam hidupnya. Mereka menjadi sampah masyarakat, hanya gara-gara tidak dididik dengan benar dan baik oleh orangtuanya sebagai sebuah �masyarakat’ sederhana.

Semoga peribahasa Air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan juga bisa menjadi peribahasa yang terindah dalam kehidupan, maka ortu harus mewariskan kebenaran kepada anak-anaknya.

Dalam sebuah hadits masyhur riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw bersabda: “Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga hal: shadaqah jariah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shaleh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya.�

Akhirnya kita memang mendambakan ortu yang mampu mendidik kita ke jalan yang benar. Karena mustahil mendapatkan warisan kebaikan dari ortu yang?  selalu memberikan gambaran buruk bagi kita. Apalagi bila gambaran buruk itu ditampakkan pula oleh masyarakat dan negara yang memang secara tak langsung menjadi â€?orangtua’ kita juga.

Gimana, Brur?

(Buletin Studia – Edisi 20/Tahun 1)