Orientalis Yahudi-Kristen berusaha meruntuhkan otoritas Al-Quran. Kini, muridnya sudah banyak di Indonesia. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-215
Oleh: Adian Husaini
Seperti kita bahas dalam dua kali catatan sebelumnya, dalam acara Konferensi Tahunan tentang Studi Islam (ACIS) VII di Riau, 21-24 November 2007, kepada para peserta dibagikan buku murid Nasr Hamid Abu Zaid, yaitu Dr. Nur Kholish Setiawan, yang berjudul Orientalisme, Al-Quran, dan Hadis. Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan karangan sejumlah akademisi di UIN Yogya, antara lain Dr. Sahiron Syamsuddin, yang juga alumnus salah satu studi Islam di Jerman.
Dalam buku ini, dimuat artikel pembuka oleh Dr. Nur Kolish yang berjudul “Orientalisme Al-Quran: Dulu, Kini, dan Masa Datang.” Dalam tulisan inilah, kita bisa menikmati pandangan berbagai orientalis terhadap Al-Quran. Dengan sangat bagus dan artikulatif, Nur Kholish menguraikan pemikiran-pemikiran para orientalis Al-Quran, seperti Abraham Geiger, Theodore Nöldeke, Christoph Luxenberg, Reiner Brunner, dan sebagainya. Tapi, sayang sekali, hampir tidak ada kritik yang diberikan terhadap pemikiran para orientalis tersebut. Bahkan, pada beberapa bagian, dia menekankan gagasannya, bahwa Al-Quran yang sekarang dipegang oleh kaum Muslimin masih bermasalah dan perlu dikritisi.
Karena itulah, Nur Kholish mempromosikan gagasan perlunya diterbitkan Edisi Kritis Al-Quran yang telah digagas oleh para orientalis Jerman. Ia menulis:
“Apparatus criticus zum Koran, rencana penerbitan edisi kritis Al-Quran yang digagas oleh Gotthelf Bergsträsser serta dilanjutkan oleh Otto Pretzl merupakan indikator akan perhatian terhadap edisi kritis teks Al-Quran, meski upaya tersebut belum bisa terwujud. Munculnya gagasan riset Bergsträsser dilandasi oleh terbitnya cetakan mushaf al-imam edisi Cairo pada tahun 1923 yang menjadi panduan baku umat Islam di seluruh dunia. Sementara, menurut Bergsträsser, penyeragaman baik cara baca, qira’ah, maupun ortografi Al-Quran meniadakan keragamannya, tanpa disertai dengan alasan-alasan akademis yang jelas. Dengan demikian, riset yang belum tuntas tersebut berkeinginan memberikan rekonstruksi terhadap keragaman cara baca dan ortografi Al-Quran yang “dihilangkan” dalam mushaf edisi Cairo 1923.” (hal. 9).
Sebagaimana dalam tradisi orientalis, dalam tulisannya ini, murid kesayangan Nasr Hamid Abu Zaid ini juga rajin mengungkap data-data pinggiran yang seolah-olah menunjukkan bahwa masih ada masalah dalam Al-Quran. Dia menulis panjang lebar pendapat Brunner yang mengutip sebagian penulis Syiah, bahwa Utsman bin Affan telah melakukan perubahan (tahrif) terhadap Al-Quran. Nur Kholish menulis dengan nada bersemangat untuk menggugat otoritas Al-Quran:
“Data-data yang ditampilkan Brunner mengenai wacana tahrif dalam Syi’ah semenjak abad ke-16 sampai dengan 19 menunjukkan bahwa “perlawanan” kaum Syi’ah terhadap dominasi mushaf Utsman seakan tidak pernah henti. Karya-karya kesarjanaan yang dilahirkan, baik dalam wilayah tafsir, hadits, maupun disiplin keislaman lainnya menjadi pengokoh, bahwa ada something wrong dalam penyusunan, unifikasi dan kodifikasi mushaf yang dilakukan pada kekhalifahan Utsman ibn ?Affan.”
Karena itulah, pada bagian berikutnya, dosen UIN Yogya ini kemudian menekankan, bahwa proyek untuk mewujudkan Edisi Kritis Al-Quran tersebut masih tetap berjalan hingga kini. Dia menulis:
“Meski demikian, tidaklah berarti bahwa proyek riset mengenai sejarah teks dan ortografinya telah selesai. Sejak tahun 2006, telah muncul proyek penelitian baru yang disponsori oleh Berlin Brandenburgische Akademic der Wissinchaft , sebuah lembaga riset milik pemerintah negara bagian Berlin-Brandenburg, mengenai edisi kritis teks Al-Quran. Proyek ini dilandasi kenyataan bahwa Al-Quran edisi kritis sampai saat ini belum ada. Sedangkan tujuan dari proyek ini bukanlah untuk menggantikan teks Al-Quran edisi cairo 1923 yang sampai sekarang menjadi satu-satunya mushaf yang beredar di seluruh penjuru Muslim. Sebaliknya, proyek dimaksudkan untuk menampilkan dokumentasi teks yang dijadikan sebagai pijakan dimungkinkannya melakukan kritik teks. Disamping itu, ia juga dimaksudkan dijadikan pijakan telaah sejarah teks, khususnya dalam kaitannya dengan keragaman tradisi lisan dan tulisan. Sedangkan tujuan yang ketiga adalah menjadikan dokumentasi teks tersebut sebagai pijakan melakukan sesuatu yang “belum lazim” dalam kesarjanaan Muslim, yakni proses kesejarahan dan proses perkembangan teks Al-Quran itu sendiri.” (hal. 38-39).
Lebih jauh dijelaskan oleh Nur Kholish, bahwa pijakan riset yang digunakan oleh proyek ini adalah upaya yang telah dilakukan oleh Otto Pretzel, Bergsträsser dan Arthur Jeffery yang telah mengumpulkan qira’ah syadz dalam pembacaan Al-Quran serta jenis tulisan yang beragam dalam manuskrip Al-Quran.
“Uraian di atas menunjukkan bahwa kajian Al-Quran dalam kesarjanaan non-Muslim cukup dinamis dan berkesinambungan. Temuan-temuan sarjana pendahulu semisal Geiger, Noldeke, dan beberapa nama lain terus-menerus dielaborasi oleh para sarjana berikutnya. Terlepas dari motif yang melatarbelakangi, nuansa akademik yang bisa ditangkap adalah penggunaan pelbagai metode dan pendekatan dalam melakukan pengkajian terhadap Al-Quran. Dalam wilayah ini, Al-Quran tidak ditempatkan pada wilayah yang “sakral” dan sarat dengan pelbagai nilai keutamaan religius, seperti yang diyakini oleh umat Muslim, melainkan ditempatkan sebagai sesuatu yang bisa disentuh dengan pendekatan sosial-humaniora, sejarah pada khususnya. (hal. 38-40).
Begitulah uraian Dr. Nur Kholish Setiawan tentang gagasan Al-Quran Edisi Kritis, atau Edisi Kritis Al-Quran. Seperti kita ketahui, ide membuat Edisi Kritis Al-Quran di Indonesia, pernah dilontarkan oleh Taufik Adnan Amal, dosen UIN Makasar yang juga pernah kuliah di Jerman. Di dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia terbitan Jaringan Islam Liberal (2002:78) dimuat sebuah tulisan berjudul “Edisi Kritis Alquran“, karya Taufik Adnan Amal. Tulisan itu memberikan gambaran bahwa masih ada persoalan dengan “validitas” teks Alquran yang oleh kaum Muslim telah dianggap tuntas.
Rencana penulisan Al-Quran Edisi Kritis itulah yang kemudian dikritik oleh Dr. Ugi Suharto, melalui dialog langsung dengan saudara Taufik Adnan Amal. Dalam soal qiraat, misalnya, Taufik mengajukan pemikiran tentang perlunya digunakan qiraat pra-Utsmani. Dalam emailnya kepada Dr. Ugi, Taufik menulis:
“Kenapa qiraat di luar tradisi utsmani digunakan? Alasannya sederhana sekali: kiraat pra-utsmani terkadang memberikan makna yang lebih masuk akal dibanding Idalam tradisi teks utsmani. Saya ingin mengulang kembali contoh yang pernah dikemukakan Luthfi dalam postingnya yang terdahulu: Bacaan “ibil” (unta, 88:17) dalam konteks 88:17-20, sangat tidak koheren dengan ungkapan “al-sama'” (langit), “al-jibal” (gunung-2), dan “al-ardl” (bumi). Dalam bacaan Ibn Mas’ud, Aisyah, Ubay, kerangka grafis yang sama dibaca dengan mendobel “lam”, yakni “ibill” (awan). Bacaan pra-utsmani ini, jelas lebih koheren dan memberikan makna yang lebih logis ketimbang bacaan mutawatir ibil. Demikian pula, bacaan Ubay dan Ibn Mas’ud “min dzahabin” untuk 17:93, memiliki makna yang lebih tegas dibanding bacaan “min zukhrufin” dalam teks utsmani. Masih banyak contoh lainnya yang bisa dielaborasi untuk butir ini.”
Lalu, terhadap gagasan ini, Dr. Ugi menjelaskan kepada Taufik Adnan Amal:
“Contoh-contoh qira’ah yang Anda kemukakan untuk dijadikan Quran Edisi Kritis itu sudah diketahui oleh para sarjana. Mereka tidak keliru seperti Anda, dengan mencampur-adukkan antara qira’ah dan Al-Quran. Contoh “ibil” dengan “ibill” yang Anda pilih juga sudah diketahui lama oleh mereka. Lihat saja dalam tafsir al-Qurtubi yang bagi Anda menterjemahkannya itu sama dengan status quo alias mandeg. Saya akan buktikan bahwa Anda belum melampaui apa-apa dari Imam al-Qurtubi itu dan Anda mungkin belum membacanya juga mengenai “ibil” (takhfif) dan “ibill” (tatsqil) disitu. Dalam tafsir itu dikatakan oleh imam al-Mawardi bahwa perkataan “ibil” (takhfif) mempunyai dua makna: pertama unta, dan yang kedua awan yang membawa hujan. Dari sini kita berkesimpulan bahwa rasm “ibil” itu bisa memuat makna unta dan awan sekaligus, sedangkan apabila ditulis “ibill” (tatsqil) ia hanya memuat makna awan semata-mata. Jadi mana yang lebih komprehensif menurut “akal” Anda? Satu lagi, menurut al-Qurtubi perkataan “ibil” itu mu’annats (feminin) oleh itu sesuai dengan ayatnya “khuliqot“. Bagaimana dengan “ibill”?”
Demikianlah, kita bisa melihat, bahwa gagasan untuk membuat Al-Quran Edisi Kritis yang dimunculkan oleh para orientalis Jerman dan murid-muridnya di Indonesia ternyata masih terus disebarkan. Jika dulu gagasan seperti ini hanya tersimpan di buku-buku orientalis Yahudi-Kristen di pusat-pusat studi Al-Quran Barat, kini gagasan itu mulai diusung secara resmi dalam ruang kuliah di kampus Islam dan forum Konferensi Tahunan Studi Islam di Indonesia. Kita patut kagum terhadap para orientalis yang telah berhasil mendidik kader-kadernya dengan baik, sehingga menjadi penyambung lidah mereka.
Sebenarnya, kita yakin, para murid orientalis Yahudi-Kristen ini tidak akan mampu mewujudkan Al-Quran Edisi Kritis. Barangkali, mereka juga sadar akan hal itu, karena untuk ini mereka sangat tergantung kepada “tuan-tuan” mereka di Barat. Hanya saja, sepak terjang mereka sepertinya lebih ditujukan untuk menebar virus keraguan (tasykik) terhadap otentisitas Al-Quran.
Kepada penggagas Al-Quran Edisi Kritis, Dr. Ugi Suharto juga mengingatkan nasehat Abu ?Ubayd yang pernah berkata: “Usaha Utsman (r.a.) mengkodifikasi Al-Quran akan tetap dan sentiasa dijunjung tinggi, karena hal itu merupakan sumbangannya yang paling besar. Memang di kalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun kecacatan merekalah yang tersingkap, dan kelemahan merekalah yang terbongkar.”
Mushaf Utsmani adalah satu-satunya Mushaf Al-Quran yang telah disepakati seluruh kaum Muslim, sejak awal, hingga kini, dan sampai akhir zaman. Para sahabat, termasuk Ali r.a. pun semua menyepakati otoritas Mushaf Utsmani. Dalam bukunya, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis (2006), Adnin Armas, telah banyak mengklarifikasi pemikiran-pemikiran para orientalis yang meragukan otentisitas Al-Quran. Sayyidina Ali sendiri menyatakan: “Seandainya Utsman belum melakukannya, maka aku yang melakukannya.”
Kita bisa memahami jika para orientalis Yahudi-Kristen berusaha meruntuhkan otoritas Al-Quran, karena Al-Quran adalah satu-satunya Kitab yang memberikan kritik secara mendasar terhadap Kitab mereka. Karena itu, meskipun mereka bertahun-tahun mendalami Al-Quran, tetap saja mereka tidak beriman kepada Al-Quran. Tetapi, kita tidak mudah memahami, mengapa ada orang dari kalangan Muslim yang berhasil dicuci otaknya sehingga menjadi penyambung lidah para orientalis untuk menyerang Al-Quran. Kita patut kasihan, jauh-jauh belajar Al-Quran ke luar negeri akhirnya pulang ke Indonesia justru menjadi ragu dan menyebarkan keraguan tentang Al-Quran. Mudah-mudahan kita semua terhindar dari ilmu yang tidak bermanfaat; yakni ilmu yang tidak membawa kepada keyakinan dan ketaqwaan. Amin. [Jakarta, 7 Desember 2007/www.hidayatullah.com]
Catatan akhir pekan Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com