gaulislam edisi 816/tahun ke-16 (23 Dzulqa’idah 1444 H/ 12 Juni 2023)
Remaja muslim emang kudu gitu. Amanah, mestinya sudah mengupayakan dan pastinya jadi ciri seorang muslim. Jangan jadi pengkhianat. Jujur? Tentu saja. Bukan sekadar sikap moral agar dipercaya manusia, tetapi perintah jujur adalah langsung diajarkan dalam Islam. Bahkan itu menjadi salah satu ciri seorang muslim. Nah, seorang muslim juga kudu cerdas. Minimal tahu apa yang kudu dikerjakan dan tahu mana yang kudu ditinggalkan. Level berikutnya, nggak mudah dikerjai orang. Ini penting banget, lho. Sebab, sebagai remaja muslim kudu memiliki sifat seperti itu. Lebih keren lagi kalo kamu juga semangat dan giat menyampaikan kebenaran dari apa yang kamu pelajari. Mantap!
Sobat gaulislam, sifat amanah dan jujur aja di kalangan remaja sering jadi persoalan. Maksudnya, banyak remaja yang masih sulit diberikan amanah, karena seringnya malah berkhianat. Dikasih amanah jangan melakukan sesuatu karena alasan tertentu, eh malah melakukan. Jangan main game, eh malah doyan. Diberikan amanah jadi ketua organisasi siswa atau santri, eh malah menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi. Belum lagi soal kejujuran. Duh, masih banyak remaja yang belum bisa terus terang. Bohong jadi kebiasaan, bahkan jadi karakter. Ini parah dan berat banget, sih. Inilah salah satu problem di kalangan remaja, termasuk remaja muslim.
Kalo bicara soal kecerdasan, ya mestinya remaja muslim itu cerdas-cerdas. Ciri yang paling mudah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Nah, jadi kalo masih belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, sulit menilai mana yang baik dan mana yang buruk, berarti belum cerdas. Oya, cerdas juga bisa dinilai apakah lambat atau cepat ketika diminta berpikir atau mencari jawaban alias solusi dari masalah yang dihadapi. Sat set atau malah lola alias loading-nya lama.
Amanah, jujur, dan cerdas itu memang dibutuhkan banget di zaman sekarang. Kesemuanya kudu nyambung satu sama lain. Jadi harus terkumpul semua kondisi tersebut. Jangan sampai amanah, tetapi nggak jujur, apalagi nggak cerdas. Jujurnya oke, cerdasnya oke, tetapi nggak amanah. Wah, bahaya itu. Misalnya pinter ngitung duit, dan juga jujur dalam mencatatnya (pemasukan dan pengeluaran), tetapi dia nggak amanah, misalnya duitnya dikorupsi atau laporannya nggak bener. Bahaya juga. Itu sebabnya, memang kudu terkumpul semua. Nggak boleh ada yang minus.
Belajar dari Rasulullah
Sepertinya kamu pernah dengar ya istilah Shiddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathanah. Iya, kalo nggak salah itu waktu masih belajar di sekolah dasar, deh. Ini sifat wajib bagi para nabi, termasuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mesti ada. Nggak boleh lenyap.
Dirangkum dari berbagai sumber bacaan dan juga mengingat-ingat pengetahuan yang pernah didapat, saya ringkas saja penjelasan terkait sifat wajib bagi para nabi, termasuk tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pertama, shiddiq. Ini artinya benar. Bukan hanya perkataannya yang benar, tapi perbuatannya juga benar. Intinya jujur. Sejalan dengan ucapannya. Beda sekali dengan pemimpin sekarang yang kebanyakan hanya kata-katanya yang manis, tetapi perbuatannya berbeda dengan ucapannya. Kamu bisa lihat sendiri deh, gimana para politikus dan para pejabat kalo bersilat lidah dan bertumpah dahak. Banyak ngibulnya.
Mustahil Nabi itu bersifat pembohong/kizzib, dusta, dan sebagainya. Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS an-Najm [53]: 3-4)
Kedua, amanah. Ini artinya benar-benar bisa dipercaya. Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Itu sebabnya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dijuluki oleh penduduk Mekkah dengan gelar “Al Amin” yang artinya terpercaya jauh sebelum beliau diangkat jadi nabi. Apa pun yang beliau ucapkan, penduduk Makkah memercayainya karena beliau bukanlah orang yang pembohong.
Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu.” (QS al-A’raaf [7]: 68)
So, mustahil banget kalo Nabi itu khianat terhadap orang yang memberinya amanah. Nggak mungkin.
Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ditawari kerajaan, harta, dan wanita oleh kaum Quraisy agar beliau meninggalkan tugas ilahinya menyiarkan agama Islam, beliau menjawab, “Demi Allah… wahai paman, seandainya mereka dapat meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan tugas suciku, maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan (Islam) atau aku hancur karena-Nya.” (hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq dalam al-Maghazi (Sirah Ibnu Hisyam) dengan sanad dari Ya’qub bin Utbah bin al-Mughirah bin al-Akhnas)
Jadi, meski kaum kafir Quraisy mengancam membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi beliau tak gentar dan tetap menjalankan amanah yang beliau terima. Itu sebabnya, seorang muslim harusnya bersikap amanah seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketiga, tabligh. Ini artinya menyampaikan. Segala firman Allah yang ditujukan oleh manusia, disampaikan oleh Nabi. Tidak ada yang disembunyikan meski itu menyinggung Nabi. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.” (QS al-Jin [72]: 28)
Firman Allah Ta’ala di ayat lain (yang artinya), “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya.” (QS ‘Abasa [80]: 1-2)
Kamu perlu tahu juga, ya. Terkait ayat ini, dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum yang buta yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Berilah petunjuk kepadaku, ya Rasulullah.” Pada waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy, sehingga Rasulullah berpaling daripadanya dan tetap mengahadapi pembesar-pembesar Quraisy. Ummi Maktum berkata: “Apakah yang saya katakan ini mengganggu tuan?” Rasulullah menjawab: “Tidak.” Ayat ini (ayat 1 sampai 10) turun sebagai teguran atas perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim yang bersumber dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Ya’la yang bersumber dari Anas).
Kalo menurut standar umum di kalangan kita bisa jadi apa yang dilakukan Nabi itu adalah hal yang wajar. Saat sedang berbicara di depan umum atau dengan seseorang, biasanya banyak di antara kita nggak suka diinterupsi oleh orang lain. Namun untuk standar Nabi, itu tidak cukup. Itu sebabnya, Allah Ta’ala menegurnya.
Sebagai seorang yang tabligh, meski ayat itu menyindirnya, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menyampaikannya kepada kita. Itulah sifat seorang Nabi. So, nggak mungkin Nabi itu kitman atau menyembunyikan wahyu.
Keempat, fathanah. Ini artinya Cerdas. Mustahil Nabi itu bodoh alias baladah atau dungu. Dalam menyampaikan 6.236 ayat al-Quran kemudian menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits membutuhkan kecerdasan yang luar biasa, dan Allah Ta’ala memberikan kecerdasan kepada Rasul-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam harus mampu menjelaskan firman-firman Allah kepada kaumnya sehingga mereka mau masuk ke dalam Islam. Beliau juga harus mampu berdebat dengan orang-orang kafir dengan cara yang sebaik-baiknya.
Apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu mengatur ummatnya sehingga dari bangsa Arab yang bodoh dan terpecah-belah serta saling perang antar suku, menjadi satu bangsa yang berbudaya dan berpengetahuan dalam 1 negara yang besar yang dalam 100 tahun melebihi luas Eropa. Negara tersebut membentang dari Spanyol dan Portugis di Barat hingga India Barat.
Itu semua membutuhkan kecerdasan yang luar biasa. Bahkan Michael H. Hart yang konon kabarnya membenci Muslim pun menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh nomor 1 mengungguli Nabi Isa dan tokoh-tokoh dunia lainnya, tersebab prestasi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang luar biasa di bukunya yang berjudul “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History”. Bukan hanya dari segi agama, tapi juga dari segi dunia.
Maka, kita semua, seluruh kaum muslimin itu mestinya memiliki juga sifat sebagaimana yang dimiliki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walau, tentu saja ada jarak yang membentang jauh. Beda level banget. Nggak mungkinlah kita bisa menyamai sifat tersebut yang memang sifat wajib bagi Nabi. Nggak level. Hanya saja, kita diwajibkan menjadikan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan yang baik. Maka, tentu aja kita bisa berupaya untuk memiliki sifat shiddiq (benar perkataan dan perilaku alias jujur), amanah (benar-benar bisa dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran kepada sesama manusia), dan fathanah alias cerdas.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Orang-orang yang jujur, urusan mereka akan langgeng. Adapun para pendusta, urusan mereka akan terputus. Hal ini telah terbukti berdasarkan pengalaman dan merupakan sunnatullah yang tidak akan engkau jumpai adanya perubahan padanya.” (dalam Syarh al-Aqidah al-Ashfahaniyyah, hlm. 682)
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Empat perkara yang mencerahkan wajah dan membuatnya semakin elok: 1) menjaga kehormatan; 2) amanah; 3) dermawan; 4) ketakwaan.” (dalam Zaadul Ma’ad, jilid 2, hlm. 216)
Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Kematian telah menyingkap hakikat dunia. Karena itu, seorang hamba yang cerdas, ia (kematian) tidak menyisakan kebahagiaan di sana. Tidaklah hati seorang hamba selalu mengingat kematian, melainkan dunia ini akan terasa rendah baginya, serta akan hina segala yang ada di atasnya.” (dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 353)
Jadi, sudah sepantasnya kita terus dan tetap belajar memperbaiki adab kita, dan meningkatkan pengetahuan kita. Sifat shiddiq, amanah, fathanah dan tabligh bagi kita kaum muslimin, umatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, memang kudu dipelajari. Berlelah-lelah dalam belajar. Kalo menurut Ustaz Adi Hidayat, adab itu lahir dari proses pendidikan, seperti jujur, disiplin, tanggung jawab dan lain sejenisnya. Namun, akhlak lahir dari proses ibadah. Nah, berarti sifat-sifat tadi kita upgrade melalui pendidikan dan juga ibadah. Siap, ya! [O. Solihin | IG @osolihin]