Amerika memang pusat kekufuran, tetapi Amerika juga pusat iptek. Dari urusan komputer hingga ayam goreng, Amerikalah pemimpinnya. Tak ayal lagi, Amerika diserbu jutaan manusia dari penjuru dunia, baik untuk menimba iptek maupun untuk memperbaiki status ekonomi. Nah, kali ini Permata mendapat kiriman tulisan yang sangat berharga dari seorang sahabat di negeri Paman Sam sana. Semoga catatan berikut bisa memberi manfaat buat kamu-kamu yang berkeinginan untuk belajar ke Amerika.
Siapa Bilang Pintar-pintar?
Saat anak-anak usia SMP di Indonesia sudah bergelut dengan teorinya Pascal dan Isaac Newton, seabrek calon mahasiswa college di Amerika yang bahkan tidak pernah mendengar nama-nama tersebut. Mereka mungkin juga cuma tersenyum pasrah (atau cuek, gaya khas orang Amrik akibat rasa pede yang terlalu tinggi) kalau kamu ajak diskusi tentang penentuan awal/akhir bulan Ramadhan dengan memperhatikan peredaran bulan. Kamu pun tidak perlu merasa heran apabila suatu saat nanti bertemu dengan orang Amerika yang tidak bisa menghitung penjumlahan tanpa kalkulator. Gaya hidup boleh dengan kartu kredit yang akrab dengan persentase bunga, tetapi hanya kalimat “I don’t know� yang akan keluar jika ditanya berapa dolarkah sekian persen dari sekian dolar.
Demikianlah kondisi sebagian penduduk Amerika, dengan sekolah umum yang digratiskan hingga tingkat SMU. Anak-anak yang di sekolah umum, kebanyakan sibuk dengan pesta pora, pacaran dan hura-hura. Sedangkan anak-anak yang dididik di rumah (homeschooling) hanya diwajibkan untuk mengerti dasar-dasar bahasa Inggris dan matematika dan bagaimana menjadi warga negara yang baik. Mungkin kamu pun akan sulit untuk percaya bahwa kemampuan spelling words (mengeja kata) antara orang asing dengan mereka yang lahir dan besar di sono, sering lebih baik para orang asingnya. Kebanyakan, hanya anak-anak yang hidup di lingkungan kaya atau pergi ke sekolah swasta top, yang memiliki pengetahuan baik. Tentu saja tidak bisa dipungkiri bahwa di antara segelintir tersebut, ada remaja-remaja yang serius dan atau jenius yang kelak akan mengisi universitas-universitas unggulan Amerika.
Kerja, Bukan Studi
Untuk menjadi seorang baker (tukang roti) memang tidak perlu kenal Mr. Pascal. Juga, tak perlu mampu mengeja kata “chemistry� dengan benar. Tetapi, seorang baker di Amerika bisa menjadi sukses dan mandiri, bahkan mampu meluaskan produknya ke luar negeri.
Kreativitas dan rasa percaya diri dengan kemampuannya inilah yang tidak dimiliki masyarakat Indonesia. Kesuksesan seakan-akan hanya diidentikkan dengan gelar dokter, insinyur ataupun kemampuan masuk rangking 10 besar di sekolah. Pekerjaan-pekerjaan lain seperti tukang masak, tukang roti, tukang batu atau petani, dianggap sebagai pekerjaan untuk orang yang tidak berpendidikan. Berbeda dengan anak-anak Amerika, yang sejak usia dini telah memiliki cita-cita yang disesuaikan dengan minat dan kemampuannya. Saya ingin menjadi perakit komputer, saya ingin menjadi juru masak, saya ingin menjadi petani buah, saya ingin menjadi tukang roti, adalah contoh-contoh cita-cita anak-anak Amerika. Mereka mungkin buta dengan matematika Kalculus atau kimia karbon, tetapi bukankah ada banyak bidang yang tidak memerlukan keduanya untuk menjadi sukses? Mereka mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, penuh semangat dan mampu menghasilkan kreativitas yang nyata. Bandingkan dengan lulusan SMU Indonesia yang mati-matian belajar kimia karbon, tetapi akhirnya hanya bekerja di Mac Donald, milik si Tukang Roti atau di KFC, si Pedagang Ayam Goreng.
Di samping itu, Amerika memiliki dana jutaan dolar—yang sebagian berasal dari kekayaan negara-negara dunia ketiga—untuk membantu pengembangan usaha dan membiayai proyek-proyek penelitian ilmiah melalui laboratorium-laboratorium yang super lengkap. Demikianlah, kreativitas tanpa dana akan sia-sia, begitu pula sebaliknya.
Sisi Hitam
Berbasis pada ideologi sekulerisme, Amerika menjadikan kebebasan individu sebagai puncak kemanusiaan. Dalam persoalan kematerian, kebebasan berkreasi memang mampu membuka banyak lapangan pekerjaan, yang akhirnya membawa peningkatan taraf ekonomi masyarakat. Tetapi, dalam persoalan perbuatan, kebebasan ini telah menelan seluruh nilai-nilai kebenaran. Standar kebenaran tidak lagi berpatokan kepada tuntunan Ilahi, tetapi didasarkan kepada hasil keputusan parlemen. Setiap kebijaksanaan pemerintah, termasuk dalam sistem pendidikan, harus lepas dari kepentingan agama apapun. Pemerintah tidak boleh melarang alkohol (minuman keras) lantaran pihak Kristen Konservatif merasa keberatan, atau melarang penjualan babi karena pihak Yahudi mengharamkan. Agama hanya boleh dianut dalam kehidupan individu, tanpa bisa melangkah sejengkalpun ke dalam kehidupan bersama/umum.
Tentu saja, kita sebagai muslim tidak menerima gaya hidup jahiliyah Amerika. Namun maraknya pembunuhan, perkosaan ataupun penggunaan obat-obatan terlarang yang terjadi di sana—sebagai akibat kebebasan perilaku—tidaklah sebanding dengan kuatnya ideologi Amerika dalam mempengaruhi pola berpikir setiap anggota masyarakat, baik penduduk asli maupun pendatang. Ideologi tersebut memancarkan keyakinan, pemikiran dan sistem bahwa sekulerisme adalah jalan menuju sukses, dan kapitalisme/demokrasi adalah solusi kehidupan.
Lebih-lebih, Amerika telah memproklamirkan dirinya sebagai the melting pot, yang akan melebur segala macam budaya, perilaku dan cara berpikir. Es akan dicairkan, bahkan baja pun akan dilebur. Yang dari Cina lupa norma-norma ketimurannya, yang dari Jawa lupa sopan santunnya dan yang muslim dibuat lupa makna laa ilaha illa Allah-nya.
Rambu-rambu yang Penting
Para kaum intelektual yang belajar ke Amerika, biasanya akan kembali kepada kaum muslimin sebagai pemimpin umat. Posisi yang sangat penting ini juga akan menjadi sangat berbahaya jika kita terhanyut dalam fatamorgana kesuksesan ideologi Amerika dan menjadikan Amerika sebagai kiblat. Para pemimpin seperti ini akan menjauhkan umat dari Islam, dengan propaganda kapitalis-demokrasi-sekuler hasil didikan Amerika, dan mengurung Islam di dalam batas-batas urusan individual. Sadar atau tidak, mereka justru menyebarluaskan cara berpikir sekuler yang menomorsatukan asas manfaat dan kompromistis.?
Supaya tidak terjerumus ke dalam jeratan penjajahan intelektual ini, kita harus benar-benar membekali diri dengan pemahaman Islam yang benar, memahami perbedaan antara hadlarah (nilai-nilai ideologi) dan madaniyah (kematerian/kebendaan), sehingga bisa memilah mana yang boleh diambil (karena merupakan hasil madaniyah semata) dan mana yang tidak (karena mengandung nilai-nilai ideologi selain Islam).? Contohnya, ilmu ekonomi versi kapitalis boleh dipelajari untuk dipahami kelemahannya, selama tidak diniatkan untuk diterapkan di dunia Islam. Adalah ironis ketika pakar ekonom lulusan LN yang nota bene muslim ternyata tidak merujuk ke Islam dalam mencari jalan keluar dari krismon, namun justru mempraktekkan sistem ekonomi kapitalisme yang ribawi.
Bukankah Allah SWT telah memperingatkan: “Barangsiapa mencari ideologi selain dari Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya (di sisi Allah), dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.â€? (Al-Qur’an QS. Ali Imron 85) – Allah knows? best (Allahu a’lam).
[Abu Dluha, Mahasiswa Pasca Sarjana University of Texas, USA]