Krisis ?menggulung’ perusahaan raksasa Amerika. Kini semuanya berubah. Era kapitalisme laissez-faire berakhir, super-power Amerika kehilangan pengaruh dan uang. Ia kini mirip Republik Pisang (Banana Republic) tapi punya senjata nuklir . Bagaimana Indonesia? [bagian pertama]
Hidayatullah.com–Kaum Republik masih mencoba memperlihatkan loyalitas membela sistem kapitalisme laissez-faire. Maka Senin, 29 September lalu, mereka menolak rancangan penyelamatan ekonomi senilai 700 milyar dollar dari pemerintahan George Bush. Rancangan itu pun kalah dalam voting di DPR (House of Representative), di Washington.
Akibatnya bursa saham Amerika terpuruk. Menyebar ketidak-pastian akan nasib ekonomi negeri super-power yang sedang dilanda krisis keuangan dahsyat itu. Isu itu kemudian berpengaruh ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia, negeri yang punya hubungan politik dan ekonomi sangat dekat dengan Amerika. Sejak reformasi 1998, berkat pengaruh IMF, Indonesia mengikuti Amerika melaksanakan sistem ekonomi kapitalisme laissez-faire. Presiden SBY menjadi sekutu dekat Presiden Bush.
Banyak pengamat berpendapat program 700 milyar itu esensinya untuk mencegah menyebarnya malapetaka ekonomi. Tapi yang menjadi masalah besar bagi kaum Republik, program penyelamatan itu jelas-jelas merupakan campur tangan pemerintah ke pasar, sesuatu yang diharamkan oleh ideologi laissez-faire. Berbagai langkah dalam program penyelamatan itu bertentangan dengan prinsip-prinsip pasar bebas (free market). ?’Penyelamatan yang masif ini bukanlah solusi. Ini cara sosialisme dan bukan Amerika,” kata Senator Jim Bunning dari Partai Republik (The Washington Post, 28 September 2008).
Karenanya sekitar 60% anggota Republik di DPR memilih menolak rancangan penyelamatan dari pemerintah, meski sudah mendapat dukungan dari calon presiden Barack Obama (Demokrat) mau pun John McCain (Republik).
Para anggota Parlemen dari Partai Republik, selain itu, dikabarkan tersinggung berat atas pidato Ketua DPR Nancy Pelosi (Partai Demokrat) menjelang pemungutan suara, yang teramat memojokkan Presiden Bush dan Partai Republik. Ketika itu Pelosi mengingatkan bahwa ketika pertama menjadi Presiden, Bush mewarisi anggaran surplus dari Presiden Bill Clinton (Demokrat) sebesar 5,6 triliun dollar.
Tapi dengan kecerobohan kebijakan ekonominya dalam tempo dua tahun, anggaran surplus tadi sudah defisit. ?’Setelah delapan tahun dengan kebijakan pajak yang tak bertanggung jawab dikombinasikan dengan kebijakan ekonominya, telah membawa kita mengalami nasib seperti sekarang ini,” ujar Pelosi.
?’Mereka mengklaim sebagai pembela pasar bebas maka semua diserahkan pada mentalitas. Tak ada regulasi, tak ada supervisi, tak ada disiplin. Tapi kalau gagal, kau akan dapat parasut emas dan para pembayar pajak yang akan membayarnya.” Kata-kata Pelosi itu memang tajam menghunjam tapi semuanya didukung fakta yang sebenarnya terjadi.
Setelah kegagalan rancangan itu di DPR, orang-orang Presiden Bush kasak-kusuk di Senat bagaimana agar rancangan itu – dengan perbaikan di sana-sini – bisa lolos. Antara lain, dengan pemotongan atau pembebasan pajak untuk kelas menengah. Jumlah tabungan atau deposito di bank yang dijamin pemerintah ditingkatkan dari 100.000 dollar menjadi 250.000 dollar. Yang lebih penting sejumlah regulasi disiapkan sehingga para pemilik bank tak seenaknya bermain seperti selama ini.
Tapi peranan calon presiden Barack Obama dalam menggoalkan rancangan itu cukup besar. Dia terus terang mendukung program ini. Anggota kaukus kulit hitam di DPR dia lobi sehingga banyak yang berubah sikap dari menantang jadi mendukung program itu.
Akhirnya program itu disetujui di Senat dan kemudian menang voting di DPR, Jumat, 4 Oktober lalu. Sikap Obama yang ?‘all-out” dalam menghadapi krisis ekonomi sekarang, membuat namanya lebih berkibar di hadapan pemilih dibanding John McCain, calon presiden dari Partai Republik. Obama tampak di atas angin berhadapan dengan John McCain yang selama ini merupakan pendukung laissez-faire.
Tapi sementara itu perusahaan terus ?bertumbangan satu persatu sebagai korban dari krisis keuangan yang menurut para ahli paling parah setelah depresi terburuk atau Great Depression 1929.
Kini disebut ada tiga bank sedang terancam bangkrut: National City Corp, Downey Financial Corp, dan Sovereign Bancorp. Ketiga? bank itu juga terkena imbas dari krisis kredit perumahan, subprime mortgage. Sebelumnya, Wachovia Corporation, salah satu bank besar dengan aset 783 milyar dollar (2007) dengan karyawan 122.000 orang, telah diambil-alih Wells Fargo, bank dari San Francisco.
Wachovia betul-betul oleng. Padahal bank yang berpusat di Charlotte, North Carolina itu, sudah berusia 100 tahun, dan terbukti mampu menyelamatkan diri dari berbagai krisis, termasuk dari Great Depression 1929. Kali ini dia tersungkur.
Sebelumnya, Washington Mutual Inc, bank simpan-pinjam terbesar di Amerika yang berkantor pusat di Seattle oleng dan diambil-alih The Federal Deposit Insurance Corp (FDIC), badan federal penjamin deposito. Badan itu menjual Washington Mutual Inc – biasa disingkat WaMu – seharga 1,9 milyar dollar kepada Bank JP Morgan Chase.
Sudah terlalu banyak lembaga keuangan raksasa yang bangkrut di Amerika sepanjang September ini. Sebutlah Merril Lynch, Lehman Brothers, dan American International Group (AIG). Sebelumnya sudah bangkrut Fanny Mae, Freddy Mac, dan Bear Stearns. Semua ini kelas raksasa. Belum dihitung lembaga keuangan kelas menengah semacam IndyMac, bank dari Los Angeles yang bangkrut Juli lalu. Jumlahnya sudah puluhan.
Maka kini raksasa keuangan yang masih tersisa di Amerika Serikat tak lagi banyak. Yang paling solid ada tiga, yaitu Bank of America, JP Morgan Chase, dan Citigroup. Itu pun tak berarti ketiganya bebas dari guncangan krisis. Senin, 29 September lalu, misalnya, ketiganya mengalami penurunan saham sampai lebih 10%. Citigroup tahun lalu sudah oleng terpaksa disuntik dana dari Timur Tengah dan China.
Krisis yang sudah dimulai pertengahan tahun lalu, pada September justru menunjukkan keganasan yang meningkat dengan bangkrutnya sejumlah lembaga keuangan raksasa itu. Sampai kapan krisis berakhir? Tak ada ahli yang berani meramalkan dengan tegas.
Profesor Paul Krugman, guru besar ekonomi di University of Princeton dan kolomnis The New York Times, berpendapat bahwa yang amat mengkhawatirkan, pemerintah sama sekali tak berfungsi dalam menghadapi krisis besar ini. Kongres tak sedikit pun mempercayai Gedung Putih. ?’Maka seperti dikatakan seorang teman, kita ini sudah menjadi Republik Pisang (banana republic) dengan memiliki senjata nuklir,” kata Paul Krugman (The New York Times, 30 September 2008).
Memang setelah Partai Republik dikalahkan Partai Demokrat dalam pemilihan umum sela akhir 2006, Presiden Bush menjalankan masa pemerintahannya dengan sulit. Adalah Bush sendiri yang dianggap sebagai penyebab utama kekalahan Partai Republik, antara lain, karena kebijakannya dalam Perang Iraq yang banyak dikecam rakyat Amerika sebab bakal menghabiskan dana 3 triliun dollar.
Bush dianggap mengobarkan perang itu dengan alasan palsu, seperti senjata pemusnah massal yang tak pernah ditemukan dan kaitan Saddam Hussein dengan jaringan terorisme Al-Qaeda yang juga tak pernah bisa dibuktikan. Perang ini kemudian menjadi pemicu kenaikan harga? minyak bumi dunia, dan menjadi salah satu pemicu terjadinya krisis keuangan ini.
Sejak kekalahan dalam Pemilu sela akhir 2006, Bush menjadi bebek pincang (lameduck). Ia masih memerintah sebagai presiden tapi dengan kekuasaan yang lemah karena kongres dikuasai kelompok oposisi, Partai Demokrat. Dengan ditolaknya rancangan penyelamatan ekonomi Presiden Bush oleh DPR tadi, berarti sekarang Bush sudah tak didukung para anggota DPR dari Partai Republik, partainya sendiri.
Di saat seperti inilah sekarang Amerika menghadapi krisis keuangan yang dahsyat yang menyebabkan banyak perusahaan raksasa yang selama ini menjadi ikon Amerika – semacam Lehman Brothers dan AIG — jatuh bangkrut. Bisnis macet, pengangguran melonjak, utang luar negeri membengkak, pantas negeri ini sekarang disebut Republik Pisang – sebutan untuk negeri lemah di Amerika Latin – tapi memiliki senjata nuklir.
Sebenarnya program 700 milyar dollar itu mirip dengan proyek Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) berbiaya Rp 650 triliun dalam krisis moneter di Indonesia 1998. Yang menjadi masalah, krisis keuangan ini sudah merembet ke mana-mana. Misalnya, penjualan mobil – bisnis paling marak di Amerika setelah perumahan – sekarang amat lesu.
Sulitnya pengucuran kredit bank ditambah ketidak-pastian banyak orang akan nasib pekerjaannya, menyebabkan bisnis mobil betul-betul melorot. Tahun ini diperhitungkan 500 sampai 600 dealer mobil akan tutup, lebih besar dari tahun lalu, 430 dealer, dan tahun sebelumnya, 295 dealer menutup usahanya. [berlanjut bagian kedua/www.hidayatullah.com]
Penulis adalah Direktur Institute for Policy Studies (IPS) Jakarta