gaulislam edisi 511/tahun ke-10 (14 Dzulqa’dah 1438 H/ 7 Agustus 2017)
Waduh! Emang ada ortu yang nakal ya? Kalo di cerita Pendekar Pemanah Rajawali sih ada, namanya Ciu Pek Tong (dikenal sebagai Bocah Tua Nakal), salah satu gurunya Kwee Ceng. Jiahaha, itu sih dalam cerita fiksi, dong (lagian kurang nyambung dengan tema ini, hehe..). Kalo dalam kenyataan ada nggak? Banyak! Jujur aja nih, sebenarnya kalo mau fair ngelihat aksi ortu dalam keluarga kita, atau keluarga besar kita rasanya perlu juga kita jembrengin. Ya, siapa tahu para orangtua kita juga akhirnya nyadar supaya jangan selalu menyalahkan seratus persen bahwa kenakalan remaja itu akibat kita nggak taat, kita nggak nurut sama ortu. Sebab, seringkali ortu dalam keluarga dan ikatan keluarga besar justru mengajarkan kenakalan yang akhirnya lambat-laun kita ikuti. Tapi, tentu saja nggak semua ortu nakal, sebagaimana nggak semua remaja tuh nakal. Betul nggak?
Apa sih yang dilakukan ortu kita di rumah dan keluarga besar kita sehingga bisa disebut kenakalan orangtua?
Seputar akhlak
Sobat gaulislam, pertama kita lihat dari sisi akhlak. Kok bisa? Bener lho. Entah apakah karena terlalu sibuk atau nggak ngerti harus berbuat, banyak ortu di rumah yang abai dalam soal akhlak Islam yang baik ini. Padahal, anak or kita-kita akan belajar pertama kali dari cara ortu, karena begitu dekatnya jarak antara kita dengan ortu.
Oya, akhlak ini adalah sifat yang harus dimiliki setiap muslim. Sebab, secara etimologis atau bahasa (lughatan) akhlaaq (bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Secara terminoligis (ishtilaahan) ada beberapa definisi. Misalnya menurut Imam al-Ghazali, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sementara menurut Abdul Karim Zaidan, akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya (Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A., Kuliah Akhlaq, hlm. 1-2)
Oya, definisi yang agak mudah dipahami dan sesuai fakta adalah yang saya dapetin nih pendapatnya Muhammad Husain Abdullah (Dalam bukunya, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, hlm 100), disebutkan bahwa secara bahasa akhlaq berasal dari kata al-khuluq yang berarti kebiasaan (as-sajiyah) dan tabiat (at-thab’u). Sedangkan menurut istilah (makna syara’) akhlak adalah sifat-sifat yang diperintahkan Allah kepada seorang muslim untuk dimiliki tatkala ia melaksanakan berbagai aktivitasnya. Sifat-sifat akhlak ini tampak pada diri seorang muslim tatkala dia melaksanakan berbagai aktivitas—seperti ibadah, mu’amalah, dan lain sebagainya. Tentu, jika semua aktivitas itu ia lakukan secara benar sesuai tuntunan syariat.
Intinya nih, akhlak bukan semata sifat moral, tapi emang perintah dari Allah Ta’ala. Itu sebabnya, ada penjelasan bahwa harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai perintah Allah Ta’ala. Dengan kata lain, jika ada orang yang jujur, sopan-santun, bertutur kata yang baik, tapi semua itu tidak sesuai dengan ajaran Islam dan perintah Allah Ta’ala maka nggak diterima amalannya. Contoh mudahnya, apa yang dilakukan oleh orang yang nggak beriman kepada Allah Ta’ala, perbuatan mereka sia-sia dilihat dari segi amalannya.
Nah, para ortu kita di rumah nggak semuanya ngerti soal ini. Bukan kita ngeledekin or ngejelek-jelekin, tapi emang faktanya ada yang begitu. Dalam hubungan dengan tetangga saja, banyak ortu yang malah secara tidak langsung ngajarin anak-anaknya untuk nggak baik dengan tetangga. Misalnya, kelakuan ortu yang doyan berantem ama tetangga atau yang kasuk-kusuk ngomongin tetangga. Eh, tetangga yang digosipin nggak suka, akhirnya nggak jarang terjadilah adu mulut sampe adu otot. Teman saya pernah jadi ketua RT dan ia sering dipusingkan dengan salah seorang warganya dari kalangan emak-emak yang doyan berantem dan nyari musuh dengan tetangga sendiri. Coba, kalo anak-anaknya sampe tahu gimana? Mungkin ada anaknya yang malu. Tapi nggak sedikit juga anak yang kemudian malah terinspirasi dengan kenakalan orangtuanya tersebut. Waktu saya di kampung dulu, ada orangtua yang suka ikut ngomporin anaknya untuk berantem dengan temannya. Kata-kata penyemangat yang sebenarnya lebih terasa hasutan dihembuskan, “Kamu jangan mau kalah sama dia. Lawan!”, misalnya.
Akibatnya, memang anak-anak di satu keluarga itu akhirnya jadi belagu dan sering nyebelin kalo bergaul, juga kerap berbuat onar karena merasa ada legalitas secara tidak tertulis dari ortunya itu. Jadi, merasa pasti ada yang bakal ngebelain mereka, gitu lho.
Duh, kacau banget kan? Model ortu dalam keluarga yang kayak gitu nggak baik buat perkembangan anak-anaknya. Sebab, dalam hal akhlak bertetangga dan bergaul aja malah ngajarin nggak benar. Padahal, kita bertetangga dengan baik tuh bagian dari ajaran Islam. Oya, selain diminta berbuat baik, kita juga dilarang mengganggu tetangga kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang membuat tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR Muslim)
Ya, kita yakin ortu yang berbuat begitu memang ada alasannya. Yang paling mungkin adalah karena mereka ingin melindungi anak-anaknya. Cuma, caranya aja yang kurang atau malah nggak tepat. Tapi semoga saja ortu yang begini rupa nggak banyak. Ini sekadar satu contoh lho. Belum lagi soal ucapan, nggak jarang ortu yang ngeluarin kata-kata kasar dan kesannya jorok abis kalo kesel ama anak-anaknya pas marah. Waspadalah para ortu, sebab anak-anak akan meniru apa yang ortunya lakukan.
Ortu yang rada gengsi untuk meminta maaf ketika ia salah juga akan memberikan dampak buruk kepada anak-anaknya. Kesan yang paling mudah ditangkap sama anak adalah bahwa ortu tuh digambarkan susah untuk mengalah dan sekadar meminta maaf meski udah jelas berbuat salah. Misalnya aja kalo diskusi suka pengen menang sendiri. Mungkin awalnya malu kalo sampe kalah sama anaknya. Tapi, itu menjadi blunder karena anak akan menilai bahwa sikap ortu yang kayak gitu tuh nggak benar. Kalo anaknya yang kritis dan berani mungkin akan mengingatkan. Tapi, bagi anak yang nggak bisa komunikasi dengan baik, bukan mustahil kalo akhirnya antipati dan justru melakukan hal yang sama dengan ortunya. Apalagi ia merasa kalo kemudian kelakuannya ditegur sama ortunya, ia akan balik menegur dan menyalahkan ortunya (karena ortunya juga udah melakukan hal yang sama sebelumnya). Waduh, jadi tambah ribet kan?
Mengabaikan pelaksanaan syariat
Sobat gaulislam, kenakalan kedua nih, shalat. Ya, urusan shalat seringkali jadi masalah. Pelaksanaan syariat untuk individu ini acapkali diabaikan. Kalo ortunya aja sholatnya sesukanya, atau bahkan nggak sama sekali, akan menimbulkan dampak bagi anak. Apalagi jika menyuruh atau mengingatkan anaknya saja untuk sholat nggak pernah. Wah, mungkin nggak adil juga kalo di kemudian hari nyalahin anak yang nggak sholat. Wong, orangtuanya aja nggak sholat dan nggak membimbing anaknya untuk sholat. Kasihan juga kan?
Padahal, sejak awal tuh sebenarnya bisa dilakukan. Kadang nggak perlu ceramah berbusa-busa dari ortunya untuk mengajak anak-anaknya sholat. Cukup dengan teladan. Misalnya aja, kalo pas azan maghrib, ketika anak nonton televisi langsung diberitahukan singkat bahwa sudah masuk waktu sholat maghrib, tolong di-off-kan dulu tivinya, langsung wudhu dan barengan melaksanakan sholat maghrib. Insya Allah dengan pembiasaan seperti itu akan membekas pada anak.
Jadi, bukan cuma nyuruh-nyuruh doang tapi ia sendiri nggak melakukan dan mencontohkan kepada anak. Padahal, anak butuh teladan dari orangtuanya. Sekaligus tentunya anak akan menilai tentang kesesuaian antara ucapan dan perilaku ortunya. Kalo nggak match alias kagak nyambung, mungkin jangan nyalahin seratus persen kepada anak kalo akhirnya anak jadi ngeledekin ortunya.
Suer nih, bahwa anak-anak adalah cermin bagi orangtua. Bagaimana orangtuanya, begitulah anaknya. Like father, like sons. Saat kita sebagai orang tua menatap mata anak kita, mengamati bentuk hidungnya, cara berjalannya dan gaya bicaranya, kita akan temukan diri kita sebagai ortunya pada anak-anak kita. Maka bila ortu kepengen nggak dipermalukan di depan orang lain oleh tingkah polah anak-anak, berarti sebagai ortu pun jangan berbuat hal yang memalukan di depan anak-anak kita sendiri. Ini pesan buat kita para orangtua (soalnya saya yang nulis juga punya anak kelas 2 SMA).
Oya, dari sisi kita sebagai anak, mungkin kita bisa mengingatkan kepada para orangtua yang ada saat ini bahwa pelaksanaan syariat yang lemah dalam kehidupan ortu di rumah sebagai keluarga dan keluarga besar juga lambat-laun akan berpengaruh kepada kita-kita sebagai anak-anaknya. Dalam soal berbusana saja, banyak di antara ortu kita (khususnya yang belum ngerti tuntunan syariat) yang mendandani kita dengan pakaian yang nggak benar dan nggak baik. Kita sih dulu nggak berpikir kalo berpakaian itu ada aturannya apa nggak. Pokoknya pake. Atau mungkin adik-adik kita saat ini, mereka nggak mafhum juga kalo berpakaian itu ada batasannya. Kapan boleh harus berpakaian menutup aurat, kapan dan di mana aurat tidak harus ditutupi.
Pengetahuan dalam hal pelaksanaan syariat untuk individu saja, khususnya berpakaian, seringkali terabaikan oleh para orangtua. Kenakalan ortu yang (mungkin saja) tidak disengaja ini bisa membentuk karakter kita dan sudut pandang kita dalam melihat berbagai masalah. Wajar dong kalo kemudian banyak di antara temen cewek kita yang sulit dikasih tahu tentang wajibnya berjilbab kalo keluar rumah atau ada orang asing (bukan mahram) yang berkunjung ke rumahnya. Karena merasa berkerudung dan berjilbab tuh kalo mo ke tempat pengajian aja. Duh, menyedihkan banget deh. Dan, itu sebagian dari kita pernah merasakannya. Itu sebabnya, kita memohon kepada orangtua untuk membina kita sebagai anak-anaknya dengan pembinaan yang benar dan baik sesuai tuntunan syariat Islam.
Ini baru soal sholat dan berbusana lho (dan kebetulan memang ini yang lebih menonjol masalahnya). Kayaknya masih banyak deh pelaksanaan syariat Islam yang belum dibiasakan di tengah keluarga oleh para orangtua. Misalnya tentang kewajiban menuntut ilmu agama. Itu kan bagian dari kewajiban yang harus ditunaikan juga. Seringkali kita dapati orangtua justru menggeber anak-anaknya untuk belajar ilmu-ilmu umum seperti matematika, kimia, fisika, bahasa Inggris dan sejenisnya.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam.Bukan nggak boleh belajar ilmu umum, lho. Silakan saja jika mampu. Tapi seharusnya ortu juga mendorong anak-anaknya untuk belajar Islam secara maksimal. Dalam hal ini seringkali abai, gitu lho. Bahkan kebanyakan dari orangtua lebih ngerasa bangga kalo anaknya tuh pinter matematika, fisika, kimia, bahasa Inggris. Bangga dalam hal itu boleh aja, tapi jangan sampe kemudian melupakan kebanggaan yang lebih baik yakni kalo anaknya bisa ngaji, bisa baca al-Quran, dan rajin dakwahnya. Tapi sekarang lebih menyedihkan lagi ketika banyak orangtua yang merasa lebih bangga jika anaknya pinter nyanyi dan juara kontes di ajang unjuk bakat dan ajang sejenisnya. Bahkan ada orangtua yang gigih mengarahkan dan memfasilitasi anak-anaknya untuk bisa ikutan di ajang begituan. Duh, bentuk kenakalan orangtua yang seperti ini bisa mengantarkan anak-anaknya untuk permisif dan hedonis. Oya, nggak semua orangtua begini, tapi itu umumnya memang demikian. Nelangsa banget deh kita-kita sebagai anak. Tapi bagi kita yang ortunya udah ngarahin kita ke jalan kebenaran Islam, bersyukurlah.
Yuk, kita sadar diri, bentengi diri dengan ajaran Islam, sambil mencoba mengajak ortu kita agar juga taat agama. Supaya masuk surga sekeluarga. Bukan sebaliknya. Stop kenakalan ortu, agar kenakalan anak tak begitu saja terjadi. [O. Solihin | Twitter @osolihin]