gaulislam edisi 250/tahun ke-5 (18 Ramadhan 1433 H/ 6 Agustus 2012)
Enak banget kalo semua bisa kita pilih sesuai keinginan kita. Ingin kaya, langsung dikabulkan. Pengen banyak ilmu, diberikan dengan mudah. Kebelet nikah, jalannya gampang. Kesengsem kerjaan yang gajinya gede, langsung dapat. Wah, enak banget hidup kayak gitu. Kayak mimpi. Kita milihnya yang enak-enak dan sesuai selera. Persis dalam dongeng. Tapi sayangnya, kita hidup di dunia nyata. Penuh warna, penuh romantika. Tak bisa memilih sesuka kita. Tak bisa menolak ketika hadapi kenyataan yang berbeda dari harapan.
Bro en Sis rahimakumullah pembaca setia gaulislam, ada semboyan yang kesannya memang mimpi: “muda hura-hura, tua kaya-raya, mati masuk surga”. Enak bener hidup kayak gitu. Tapi pada kenyataannya, tidaklah mudah seperti semboyan berbau mimpi itu. Hidup itu banyak ujiannya. Banyak cobaannya. Kadang nikmat, kadang perih. Suatu saat bahagia, berikutnya sedih. Bisa kecewa, bisa juga gembira. Kita memang tak bisa memilih. Semua berjalan sesuai apa yang diberikan oleh Allah Swt. Memang, ada yang diberikan oleh Allah Swt. berupa hasil permohonan kita dalam doa yang kita khusyuk panjatkan. Namun tak sedikit pula yang tak disangka-sangka. Ada yang tak diminta malah datang, yang diinginkan tak kunjung menghampiri. Itulah hidup. Kita lahir memang untuk melihat kenyataan dan kita harus terbiasa menghadapinya. Berusaha untuk lebih baik. Menjadi yang terbaik. Syukuri yang diberikan saat ini, upayakan yang kita harapkan lebih baik.
Menjadi pengemban dakwah, saya pikir enak juga. Tapi, dalam kenyataannya tak selalu lurus-lurus saja. Seringkali banyak rintangan dan hambatan. Baik dari dalam diri maupun dari faktor luar. Penghambat dari dalam diri adalah rasa lelah dan malah putus asa. Kita sering merasa bahwa kita berada di jalan yang benar. Sudah menjadi bagian dari para pejuang Islam. Tapi kenapa Allah Swt. tak memberikan apa yang kita minta. Allah Ta’ala seolah jauh dari kita. Daripada kesenangan yang didapat, malah kesedihan yang melekat. Ada apa ini? Kita bisa saja bertanya demikian.
Sabar, Bro en Sis. Semua ada hikmahnya. Bukankah Allah Swt. udah berfirman (yang artinya): “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS al-‘Ankabuut [29]: 2)
Begitulah, selama kita hidup, ujian itu akan senantiasa datang. Jangan merasa sudah beriman, lalu tidak diuji lagi. Beueu.. tetep diuji Bro. Tentu ini sebagai ‘test’ pembuktian kalo kita bener-bener beriman. Insya Allah. Jadi, ya nggak usah kecewa kalo apa yang kita minta malah belum dikasih juga. Udah berusaha sekuat tenaga, hasilnya USG alias Usaha Selalu Gagal. Tak mengapa. Allah Swt. pasti punya rencana lain. Saya juga dulu sama lho. Sering minta ini dan itu dalam doa yang saya panjatkan, tapi nggak dikasih-kasih sama Allah Ta’ala. Berdoa sih ampir tiap saat. Tapi karena Allah Swt. belum mengijinkan, ya tetap aja nggak bisa.
Kejadian gempa dan tsunami dahsyat di Aceh pada 2004 silam, semua orang nggak kepengen dirinya jadi korban tsunami. Tapi apa boleh buat ketika Allah Swt. ngasih tuh tsunami. Saudara-saudara kita di sana nggak bisa apa-apa. Nggak bisa milih. Bagi yang masih hidup harus berani terima kenyataan dan harus dihadapi agar kehidupan terus berlangsung. Inilah, bahwa hidup tak bisa memilih. Ya, kalo kita berandai-andai memang pengennya yang baik-baik yang kita pilih. Tapi sayangnya nggak bisa tuh. Maaf saja. No option!
Jika mudah, mengapa dipersulit?
Bro en Sis rahimakumullah, meski hidup tidak bisa memilih “nasib” kita sesuai keinginan kita, tetapi harus dibedakan kalo urusannya berkaitan dengan hidup sebagai pilihan. Menjadi muslim itu pilihan kita. Beriman juga pilihan kita. Untuk hal keimanan adalah pilihan kita. Dakwah atau tidak dakwah itu pilihan yang tentu saja mengandung konsekuensi atas pilihan kita. Tapi masalah penghidupan kita nggak bisa memilih sesuka kita, misalnya pengen kaya terus langsung besoknya jadi tajir. Jangankan yang ngimpi kayak gitu, yang udah berusaha nyata sekalipun tak langsung dikabulkan Allah Swt.
Pernah membaca iklan rokok yang merupakan sindiran? “Jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah?” Hehehe.. iya itu untuk sindiran kepada kalangan tertentu. Khususnya yang berkaitan dengan biroksi di pemerintahan. Kalo ngurus KTP aja yang seharusnya mudah, malah bisa dipersulit untuk meraih keinginan tertentu, yakni cari duit sogokan. “Kalo pengen cepet, wani piro?” Gubrak!
Nah, apa kaitannya dalam pembahasan ini? Tentu kita ingin menyampaikan bahwa Islam itu mudah. Ngapain harus dipersulit? Untuk menjadi baik insya Allah mudah. Tapi mengapa harus dipersulit? Ada remaja yang nggak mau sholat dengan alasan celananya kotor. Lha, kenapa nggak mau, kalo kotor tapi tidak najis kan masih boleh dipake. Atau bisa aja pinjam sarung atau celana ke temannya untuk dipake saat shalat. Intinya, jangan mempersulit diri, gitu lho. Sebab, khawatir itu cuma alasan karena malas melakukannya aja. Soal ini, masuknya pilihan hidup yang insya Allah bisa dipilih.
Mengisi acara pengajian mungkin saja awalnya sulit. Bahkan bisa jadi sangat berat. Tapi, kan itu bisa dipelajari. Bisa dilatih. Ya, memang butuh waktu, butuh proses. Betul itu. Kita butuh pengorbanan waktu dan tenaga untuk bisa meraih apa yang kita inginkan. Tapi itu tidaklah sulit. Apalagi banyak teman lain yang siap mengajarkan, melatih, dan mendukung. So, jangan sampe ketika menghadapi sesuatu yang mudah, tapi kitanya sendiri yang berusaha mempersulit diri.
Oya, saya pernah lho mentraining teman-teman yang ingin bisa memiliki keterampilan menulis. Awalnya semangat. Tapi begitu berjalan mengerjakan beberapa latihan menulis, malah pada rontok di tengah jalan. Padahal, belajar adalah cara termudah untuk bisa. Jangan mempersulit diri dengan berbagai alasan. Ada yang bilang karena alasan kerja, karena banyak tugas di kampusnya, ada yang beralasan karena sulit mencari bahan bacaan. Wah, nggak seru banget alasannya. Walhasil, hanya ada satu orang yang berhasil menempuh “ujian” tersebut. Ya, dengan semangat dan keseriusannya belajar dan berlatih dia mendapatkan apa yang diinginkannya.
Menjadi orang yang konsen terhadap dakwah juga bukanlah hal yang sulit dan membuat kita harus mempersulit diri. Intinya kalo memang itu mudah, jangan dipersulit. Kalo kamu udah sadar dan masuk menjadi bagian dalam dakwah, jangan sampe mandeg dakwahnya. Jangan putus asa kalo sulit melaksanakan berbagai amanah dakwah. Amanah dakwah yang tidak bisa dikerjakan dengan lebih banyak, ya cobalah yang ringan dan jumlahnya sedikit dulu. Jangan mencoba meraih yang tak bisa dilakukan. Lebih parah lagi jika kita mempersulit diri padahal sesuatu itu sejatinya adalah mudah.
Bro en Sis pembaca gaulislam, tepat waktu dalam mengerjakan shalat adalah sikap yang bagus. Tapi kadang kita menyepelekan atau mempersulit diri. Apa sih susahnya mengorbankan waktu di setiap waktu shalat? Waktu yang dikorbankan juga tak lebih dari 15 menit. Ya, saya juga pernah ngalami hal yang seperti itu. Kalo udah datang penyakit malas dan ditimbun banyak kerjaan, jadi mengulur-ulur waktu shalat deh. Tapi, insya Allah nggak selalu seperti itu. Sebisa mungkin melakukan ibadah yang insya Allah mudah dilakukan itu dengan benar dan baik. Tak perlu mempersulit diri.
Kalo beramal baik hanya mampu dengan senyuman, ya asal diniatkan ibadah akan dapat pahala. Jika kamu mampu menginfakkan uang hanya seribu rupiah pada suatu saat, ya lakukan dengan ringan dan mudah. Jangan menyulitkan diri dengan beranggapan, “ah, seribu mah kekecilan. Nanti saja saya udah punya duit seratus ribu baru deh infak supaya kerasa nilainya” Hehehe.. beramal shalih itu bukan semata dinilai dari jumlahnya lho. Tapi yang penting kualitasnya, yakni ikhas. Percuma juga kan kalo infak banyak tapi nggak ikhlas? *bagusan yang ikhlas dan banyak jumlahnya kayaknya deh. Hehehe…
Oya, kadang sebagai aktivis dakwah kita menetapkan standar tertentu demi keinginan yang paling ideal sesuai pilihan kita. Misalnya untuk urusan nikah. Kita menetapkan standar tinggi untuk hal-hal yang mubah. Seperti, syarat calon pasangan (suami/istri) harus sarjana, tidak cacat fisik, punya pekerjaan tetap, pernah kuliah, gajinya sekian, dari etnis tertentu, cantik/ganteng, keluarga baik-baik, dan seabrek lainnya. Memang sih, ada yang murni karena keinginannya, tapi juga nggak sedikit syarat itu ikut ditentukan oleh orang tuanya. Dalam hal ini, perkara yang awalnya mubah tersebut sering menjadi batu sandungan alias halangan untuk kita sendiri.
Saya pernah dengar cerita seorang teman tentang akhwat yang masang standar tinggi untuk calon suaminya (selain tentunya hal yang utama dia tetap memprioritaskan akhlak dan pemahaman agamanya yang bagus): harus sarjana (minimal S1); bisa bahasa Arab; aktivis dakwah. Tapi rupanya Allah Swt. mengujinya. Dia belum juga mendapatkan ikhwan pujaan sesuai targetnya. Meski konon kabarnya banyak ikhwan yang akhlak dan agamanya baik yang mecoba melamarnya namun tak sesuai dengan standar dalam hal yang mubah yang udah ditetapkannya. Walhasil sampai usianya yang berkepala tiga alias di atas 30 tahun, dia belum juga mendapatkan calon suami idealnya. Namun beberapa kemudian dapat kabar bahwa akhwat tersebut hanya mendapatkan suami lulusan SMA, tidak bisa bahasa Arab, dan bukan aktivis dakwah pula. Jadi, gimana tuh?
Bro en Sis, membuat standar yang mubah itu boleh saja. Tapi jangan sampe hal tersebut membuat dirimu sulit dan menyulitkan untuk ibadah. Soal jodoh memang urusan Allah Swt. Tak perlu ragu jika ada yang datang kepadamu seseorang yang serius dan sudah yakin agamanya bagus dan akhlaknya oke. Shalih atau shalihah deh. Coba saja. Sebab, kita nggak tahu kan kalo itu ternyata benar-benar jodoh kita. Tapi tentu jangan “gampangan” juga, dengan alasan yang penting siapa aja yang mau. Nggak juga. Tetap selektif, utamanya dalam perkara agama dan akhlaknya serta keimanan dan ketakwaannya. Mau serius, mau tanggung jawab dan mau menjadikan rumah tangga sebagai ladang ibadah dan berkontribusi untuk kemaslahatan keluarga, agama, dan dakwah Islam. Ok?
Saya cukup prihatin karena banyak juga aktivis dakwah yang masih membuat standar yang mubah seperti contoh tadi. Seolah itu menjadi ukuran saklek. Ini juga jadi catatan ringan tersendiri bagi saya. Ini memang perkara manusiawi. Aktivis dakwah memang manusia. Punya hati punya rasa. Tapi, mbok ya bisa mengukur diri lebih bijak. Bahwa kita tidak bisa bertindak semau kita, karena masih ada Allah Swt. yang mengerti tentang kita dan mengatur kehidupan kita. Jadi, jalani hidup apa adanya. Sembari tetap mengharap ridha Allah Ta’ala dari setiap perbuatan yang kita jalani.
Terakhir menutup catatan sederhana di edisi 250 ini, kita sepertinya perlu merenungkan kembali firman Allah Swt. (yang artinya): “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS al-Kahfi [18]: 28)
Ok deh sobat muda muslim, hidup memang pilihan. Kita mau jadi mukmin dan muslim adalah pilihan. Jadi orang baik juga pilihan. Bisa kita upayakan sembari menyadari bahwa di setiap pilihan ada konsekuensi berupa ujian. Namun, untuk persoalan di judul gaulislam di edisi pekan ini: “Andai Aku Bisa Memilih”, itu kaitannya dengan sebuah pengharapan dan keinginan akan sesuatu, juga tentang doa yang kita panjatkan kepada Allah untuk memohon kebaikan dalam hidup (rezeki, jodoh, nafkah dan sejenisnya). Namun dalam beberapa kasus yang kita inginkan tak jua dikabulkan oleh Allah Swt. Sabarlah. Sebab, itu juga adalah ujian. Tetapi yang terpenting adalah, kita punya pilihan hidup, yakni menjadi mukmin sejati yang tetap semangat berdakwah untuk menyebarkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam meski dalam penghidupan sehari-hari kita kekurangan secara ekonomi. Sabar dan tetap semangat! [solihin | Twitter: @osolihin | Blog: www.osolihin.net]