gaulislam edisi 603/tahun ke-12 (8 Ramadhan 1440 H/ 13 Mei 2019)
Kamu pernah merasakan benci? Kepada siapa dan masalahnya apa? Berapa lama kamu benci? Mengapa bisa benci? Apakah kemudian bisa berubah jadi cinta? Jika tidak bisa berubah jadi cinta, apa penyebab yang menjadi alasannya?
Widih, banyak banget pertanyaannya. Kayak wawancara aja, ya. Daftar pertanyaan tadi serius lho, beneran. Pengen tahu aja sekaligus pengen tahu banget. Nggak sekalian tempenya? Eh, kok ngelantur?
Sobat gaulislam, di media sosial saat ini banyak orang yang menumpahkan kebenciannya. Gara-gara pilihan beda dalam pilpres, caci maki dan hujatan datang silih berganti dilakukan kedua belah pihak. Bener kata pepatah, lidah emang nggak bertulang, jadi lentur. Ngomong asal mangap, nulis asal puas egonya. Perkara orang yang baca ada yang suka atau benci, bukan urusannya. Waduh!
Tuh, daftar pertanyaan di awal paragraf tulisan ini bisa kamu jawab masing-masing. Sebab, bisa jadi memang berbeda fakta dan pengalaman. Tetapi, secara umum insya Allah nanti kita bahas rame-rame mengapa orang bisa cinta dan benci terhadap seseorang atau sesuatu (benda, pendapat, sikap). Mengapa ada yang bener-bener membabi buta dalam mencintai (termasuk dalam membenci)? Jarang ada yang sadar diri atas apa yang dicintai dan dibencinya. Sepertinya, mencintai sampai mati, membenci sampai mampus.
Eit, tapi tunggu dulu. Apa benar ada yang begitu? Kalo benar ada yang begitu rupa, waduh, kasihan banget. Eh, tapi gimana juga nih dalam pandangan Islam? Siap, kita bahas ampe tuntas ya. Jangan ke mana-mana. Duduk manis tetap baca artikel ini sampai selesai.
Alasan cinta dan benci
Alasan seseorang dalam mencintai dan membenci bisa berbeda-beda, lho. Tergantung pengalaman, pendidikan, kemampuan mengelola emosi, dan juga pemahaman agamanya. Jadi tidak bisa disamakan atau digeneralisir. Namun demikian, alasan seseorang mencintai orang lain umumnya karena dia berharap kebaikan bagi dirinya. Ya, tentu harus ada bahagia buat dirinya.
Aneh aja sih kalo orang mencintai seseorang tapi tidak untuk kebahagiaan dirinya. Setidaknya dia merasa tenang dengan pilihan cintanya. Dalam bahasa Simon May (penulis buku Love: A History), cinta itu semacam perasaan dimana kita merasa pulang. Ya, pulang. Kalo kita punya rumah atau tempat tinggal, ketika berada jauh di luar rumah, maka kita rindu untuk pulang. Ada muara tempat menumpahkan gundah-gulana. Bukan malah merasa was-was. Itulah cinta. Setidaknya ada yang mengartikan demikian.
Maka, ketika kita mencintai seseorang atau sesuatu intinya kita merasa senang dan tenang. Seperti berada di rumah. Bagaimana pun mewahnya hotel tempat kita menginap saat ada keperluan tertentu di luar rumah, tetap saja rindu pulang. Betapa pun nyamannya kasur empuk di rumah sakit, tetapi saja kita merindukan rumah, walau kasurnya keras.
Oya, bisa jadi pengalaman seseorang tentang cinta juga berbeda-beda memang. Namun intinya ada yang sama: memiliki ketenangan dan harapan dari orang yang dicintainya.
Bagaimana dengan benci? Waduh, gimana ya? Benci harus punya alasan juga ya? Iya, lah. Harus. Hmm.. gini deh. Kebalikannya dari cinta kayaknya sih (eh, emang iya, kok). Kalo dengan cinta kita jadi tenang, maka benci membuat kita jengkel, gusar, gelisah, nggak tenang. Coba, ketika kita sudah membenci seseorang, biasanya yang ada di pikiran kita adalah menumpuk amarah, emosi nggak stabil, perasaan beraroma negatif menguasai hati lalu bergejolak bergelagak. Siap dimuntahkan lewat mulut melalui kata-kata kasar dan caci maki atau melalui jari tangan dengan menuliskannya penuh kebencian untuk memuaskan ego. Nggak peduli lagi, intinya menghamburkan kebencian karena orang yang kita benci pasti memiliki kesalahan super besar. Rasanya tak ada sedikit pun kebaikan pada orang yang dibenci. Wah, benci benar ya?
Jadi apa sih alasan keduanya yang mudah dicerna, nih? Oke. Orang mencintai karena ada kebaikan bagi dirinya dari orang yang dicintainya. Sementara benci, karena pikiran dan perasaan kita dikuasai dengan segala sesuatu yang memberikan persepsi bahwa orang tersebut akan merugikan kita atau membahayakan kita. Sampai sini paham? (eh, berasa denger ceramah Ustaz Adi Hidayat)
Cinta dan benci sewajarnya
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Cinta dan benci kepada seseorang itu sewajarnya saja. Nggak usah berlebihan, apalagi sampai membabi-buta. Demi memuaskan cintamu kepada seseorang atau kepada sesuatu, lalu kamu nabrak aturan. Demi memuaskan rasa bencimu kepada seseorang atau sesuatu lalu menghalalkan segala cara. Nggak gitu aturan mainnya, Bro en Sis.
Yuk, kita simak aja tulisan Ustaz Abdurrahman al-Amiry di blognya (alamiry.net) terkait cinta dan benci ini. Dalam tulisannya, menukil hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan juga pendapat sahabat dan ulama. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam (yang artinya), “Cintailah orang yang kau cintai sewajarnya saja, karena dia bisa menjadi orang yang engkau benci di masa depan. Dan bencilah orang yang engkau benci sewajarnya saja, karena dia bisa menjadi orang yang engkau sukai di masa depan.” (HR Tirmidzi, no: 1997 dishahihkan oleh Al-Albani)
Imam al-Munawi rahimahullah berkata ketika menerangkan hadits ini: “Bisa jadi rasa cinta akan berubah menjadi kebencian dengan perubahan zaman dan keadaan. Maka janganlah engkau berlebihan dalam mencintainya sehingga engkau menyesal ketika membencinya. Atau kebencian berubah menjadi rasa cinta maka janganlah engkau berlebihan dalam membencinya sehingga engkau malu untuk mencintainya” (Faidhul Qadir 1/176)
Umar bin Khattab radhiyallahu anhu pernah berkata, “Jangan sampai rasa cintamu berlebihan (terlalu mengelu-elukan karena suka). Dan jangan sampai rasa bencimu berlebihan menjadi kehancuran.” Maka Umar ditanya: “Bagaimana itu?” Maka beliau menjawab: “Jika engkau suka, maka engkau terlalu menge-elukannya seperti anak kecil. Dan jika engkau benci, maka engkau suka agar sahabatmu binasa.” (HR Bukhari dalam al-Adabul Mufrad No. 1322)
Dan dinukilkan juga dari Imam al-Hasan al-Bashri –rahimahullah- bahwa beliau berkata, “Cintailah sewajarnya dan bencilah sewajarnya. Karena sebuah kaum telah berlebihan dalam membenci kaum lainnya sehingga mereka binasa.”
Jadi nih, dengan hadits, perkataan sahabat, dan pendapat ulama yang sudah dipaparkan, mestinya kita jadi tahu bahwa cinta dan benci itu jangan terlalu diumbar. Sewajarnya saja yang memang dilihat pada saat kita melihatnya. Ketika ada kebaikan, tentu saja kita tak boleh menyembunyikannya.
Begitu pula jika pada diri seseorang yang kia benci ternyata ada sedikit kebaikan yang ditampakkan, ya tidak boleh diabaikan. Nggak boleh menutup mata. Artinya, secara sederhana. Katakan benar bila benar, katakan salah bila salah terhadap orang yang kita cintai dan kita benci. Sehingga insya Allah jadi obyektif. Bukan semata subyektif dan membabi-buta. Catatan, ini terutama dengan sesama muslim ya.
So, bagi kamu yang masih aja ngotot-ngototan di media sosial dalam membela capres yang kamu cintai dengan capres pilihan temanmu (dan itu tentu biasanya yang kamu benci), udah lah. Jangan ngabisin energi. Dosa udah pasti tuh. Sebab, udah saling mengumbar caci maki dan kebencian. Apalagi sampai viral karena di-share banyak follower-mu. Duh, jadi dosa jariyah, tuh. Ngeri!
Cinta tauhid, benci syirik
Sobat gaulislam. Ini baru bener. Sebab, tauhid dan syirik nggak mungkin bersatu dalam satu hati dan pikiran. Tauhid ya harus bersih dari syirik. Kalo soal ini, jelas kita harus punya keberpihakan. Mencintai tauhid, membenci syirik.
Itu artinya, kita mencintai Islam dan membenci kekufuran. Apa pun bentuknya. Soal ini mah, nggak ada kompromi alias nggak ada nego, deh. Harus memilih Islam dan menjadi pembelanya. Harus menunjukkan sikap keberpihakan kita. Berpihak kepada kebenaran tentunya. Sehingga cinta dan benci jadi jelas karena ada tuntunannya. Ok?
Oya, kalo tauhid kita cacat gara-gara ada syirik maka ibadah yang kita lakukan nggak diterima, lho. Beneran, Duh, rugi berat ini, sih. Syaikh Fudhail bin ‘Iyadh berpendapat (dalam Jaami’ul Ulum wal Hikam), “Sesungguhnya apabila suatu amalan sudah dilakukan dengan ikhlas, namun tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah maka amalan tersebut tidak diterima. Dan apabila amalan tersebut sudah sesuai dengan tuntunan Rasulullah, namun tidak ikhlas, maka amalan tersebut juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Nah, ini artinya. Mengesakan Allah (tauhid) wajib bersih dari syirik. Ya, menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya. Nggak sah ibadahnya kalo masih ada syirik. Misalnya nih, shalat tapi dalam waktu yang bersamaan percaya dukun, bahkan mengamalkan ilmu santet dan bersekutu dengan jin. Waduh, hati-hati lho, syirik bisa menghapus amal ibadah, bahkan seluruh amal. Tergantung jenis syirik yang dilakukan. Naudzubillahi min dzalik.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS al-An’am [6]: 88)
Apabila dia tidak bertaubat darinya maka diharamkan baginya surga, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS al-Maidah [5]: 72)
Nah, dengan demikian, jika pun kita harus mencintai dan membenci dengan benar dan baik, tunjukkan dalam pembelaan dan kecintaan kepada tauhid dan berikan kebencian sepenuhnya kepada kekufuran. Why? Iya, karena dalam hal ini urusannya dengan akidah. Nggak boleh main-main.
Sementara kalo membenci orang, apalagi sesama muslim, ya sewajarnya saja. Membenci kekufuran pun, ada aturannya. Bisa kita dakwahi orang yang melakukan kekufuran dengan cara yang baik. Kalo nggak sadar juga, ya sudah kita berlepas diri darinya. Tapi tetap membenci kekufuran yang dilakukannya, nggak berteman dengannya, apalagi menjadikannya sahabat. Nehi, dah!
Oya, di medsos memang banyak adu caci maki dan hujatan gara-gara beda pilihan dalam pilpres yang masih menyisakan kekisruhan sampai saat ini. Kalo pun mau nyebur di situ, pastikan jaga adab, fokus dengan adu argumen. Jangan tergoda menggelontorkan caci maki dan hujatan—termasuk dalam masalah-masalah pribadi yang nggak ada hubungannya. Apalagi di bulan Ramadhan nih, khawatir pahala puasa kita hangus. Ok, Bro en Sis? Sip, deh! [O. Solihin | IG @osolihin]