Friday, 22 November 2024, 03:48

gaulislam edisi 314/tahun ke-7 (23 Dzulhijjah 1434 H/ 28 Oktober 2013)
Setiap tanggal 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Setiap tahun selalu ada acara seremonial (belaka). Mungkin ada yang melaksanakan upacara, bikin lomba terkait momen tersebut, atau sekadar hiburan dan senang-senang saja atas nama peringatan hari Sumpah Pemuda. Selain itu, ada juga memikirkan esensinya, bukan sekadar peringatannya. Misalnya, mempertanyakan konsep diri dan jati diri para pemuda. Nah, yang terakhir ini masih mending. Sebab, kalo dipikir-pikir plus dirasa-rasa, memang jati diri para pemuda kita (termasuk remajanya tentu) sudah tercelup dengan warna lain. Gencarnya serangan budaya dari Korea misalnya, menjadikan banyak remaja Indonesia kena virus K-Wave (Korean Wave). Buktinya banyak yang gandrung dengan boyband asal Korea, juga drama-drama Korea dan segala bentuk produk budaya yang berhubungan dengan negeri ginseng itu. Bahkan ada yang parah, kegandrungan itu mengalihkan perhatiannya kepada syariat Islam dan juga akidah Islam lalu membuat tujuan hidup di dunia terpisah dari apa yang seharusnya dikejar untuk akhirat. Ini kan berbahaya, Bro en Sis.

Sobat gaulislam, selain serangan budaya yang menggerus jati diri pemuda Indonesia, juga justru ancaman itu ada yang datang dari dalam negeri sendiri. Coba kamu perhatikan dalam ‘ikrar’ Sumpah Pemuda. Yup! Semuanya bernuansa Indonesia, salah satunya bahasa. Tetapi apa yang terjadi? Bahasa Indonesia kini jadi bahasa asing bagi orang Indonesia sendiri. Apalagi setelah remaja lebih sering menggunakan bahasa yang membingungkan. Contohnya seperti dalam SMS yang pernah dikirim pembaca gaulislam ini: mIiqUuemzh _ kha sya iIkHha .. .. usia sya 16 ttahun alLmat sya d.parung …sya maUu nanya kHha!!! kalLo adda sso0rang guru yg mngungkit masa lLalLu anak murid nya yg amat sangat buruk d.Deppan anak murid llain appah kah masih ppantas dya d.Panggil GURU  ??? tterimakash iia qha attas jjawbn ea !!! miquemzh _

Hadeeeuhh, untuk baca SMS model gini, rasa-rasanya wajar kalo banyak orang bacanya sambil ngeden dan garuk-garuk kasur (hahahaha…).  Waduh, itu bahasa ajaib banget. Baca tulisan ini serasa jadi orang gagap. Astaghfirullah (jadi ngomongin orang gagap dah! Harap dipersori ya). Maka, tak mengherankan pula jika muncul broadcast via BBM (BlackBerry Messenger) atau WA (WhatsApp Messenger) yang kayaknya nyindir generasi alay: “Kalo tahun 1928, nulisnya Soempah Pemoeda. Kalo jaman sekarang nulisnya: cumpah? Miapah?” (haduuuh!). Kenapa sih harus terus main-main nggak jelas dalam jalani hidup ini seperti nggak punya tujuan utama?

 

Tentukan tujuan hidupmu!

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Bagi kita, kaum muslimin, sangat penting memperhatikan tujuan hidup kita. Ada tujuan jangka pendek (dunia), ada yang tujuannya untuk jangka panjang, yakni akhirat. Namun ada titik temu di antara kedua tujuan itu, yakni keduanya sama-sama harus berlandaskan keimanan dalam meraih tujuan yang ingin diharapkan. Saling terikat-kait antara tujuan dunia dan tujuan akhirat. Nggak bisa dipisahkan dan juga nggak bisa disusupi dengan niat dan cara yang nggak benar.

Nah, ngomongin soal jati diri kita sebagai muslim, sebenarnya udah dijembrengin panjang lebar di edisi 313 pekan kemarin. Silakan kamu baca ulang ya (bagi yang udah pernah baca, kalo kamu belum pernah baca silakan baca biar paham juga ya). Adapun di edisi ini lebih detil lagi, yakni tentang tujuan hidup kita di dunia dan juga di akhirat. Sederhananya, apa sih tujuan hidupmu di dunia ini? Ingin jadi anak yang pinter dalam akademik di sekolah? Boleh. Ingin sukses berkarir setelah lulus kuliah? Silakan. Ingin menikah suatu saat dengan pasangan yang ideal? Monggo. Ingin sukses sebagai pengusaha? Nggak ada yang larang. Apa pun tujuan duniawi yang ingin kamu raih, silakan tak ada yang melarang. Hanya saja, Islam mengaturnya agar kita tak salah pilih jalan yang kemudian membuat kita tersesat.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu” (QS adz-Dzaariyaat [51]: 56)

Firman Allah Ta’ala dalam ayat yang lain, “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia” (QS al-Mu’minuun [23]: 115-116)

Sobat gaulislam, kedua ayat ini menjadi penjelas bagi kita untuk menentukan tujuan hidup kita. Saat ini yang kita sudah dan sedang rasakan adalah kehidupan dunia, dan yang belum adalah kehidupan akhirat. Tetapi ingat lho, bahwa hidup kita di dunia ini sementara (fana) dan hanya sekali.

Yup! Memang benar bahwa kehidupan kita fana, dunia ini juga fana, tapi yang harus menjadi perhatian kita dan kekhawatiran kita adalah: dengan cara apa kita meninggalkan dunia ini? Pada saat seperti apa kita wafat? Bekal amal apa yang kita bawa untuk dibawa menghadap Allah Swt.? Amal baikkah, atau justru amal buruk? Pilihan ada di tangan kita.

Pilihan? Betul. Sebab keyakinan kita tentang akhir dunia dan kehidupan akhirat adalah pilihan yang kita dapatkan setelah memahami hakikat penciptaan kita, alam semesta, dan kehidupan ini. Begitu pula dengan amalan yang kita lakukan, adalah atas dasar pilihan yang kita dapatkan setelah memahami hakikat dan tujuan kita selama di dunia ini. Masing-masing kita membawa amal kita. Bukan amalan orang lain.

Sobat gaulislam, kita berasal dari Allah Swt. dan akan kembali kepadaNya pada waktu yang telah ditentukan. Nah, selama di dunia ini kita juga diminta untuk beribadah kepada Allah Swt. Melaksanakan semua perintahNya dan nggak melakukan segala hal yang memang dilarang Allah Swt. Ini memang sederhana secara teori, tapi jarang yang bisa sukses dalam prakteknya. Semoga kita sih masuk ke dalam golongan orang-orang yang beriman kepada Allah Swt. dan beramal sholeh untuk bekal kehidupan setelah dunia ini. Amin.

 

Cinta dunia? Sewajarnya saja

Mencintai dunia boleh saja, tapi jangan berlebihan. Allah Swt. Berfirman (yang artinya):”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (QS al-Qashash [28]: 77)

Bro en Sis, kalo kamu pengen nikmatin keindahan dunia, silakan aja. Nggak dilarang kok. Ingin kaya? Monggo aja. Ingin mendapatkan status sosial yang tinggi menurut ukuran dan pandangan manusia, juga boleh-boleh saja. Belajar jenjang demi jenjang untuk mendapatkan ilmu dan gelar akademis, Islam pun tak pernah membatasi. Silakan.

Cuma nih, yang perlu dapet perhatian adalah jangan sampe kita terlalu silau dengan gemerlap indahnya dunia, sehingga malah bikin kita lupa diri dan melupakan Allah Swt. Kalo kita menikmati dunia bukan cuma yang halal, tapi yang haram pun diembat juga, itu namanya kita udah lupa diri, Bro. Bener.

Ada syair yang bagus dari sebuah nasyid yang mengingatkan agar kita tidak mudah tertipu dengan gemerlap dunia dan segala perhiasannya yang membuat kita lalai dan bahkan meninggalkan kewajiban. Begini sebagian lirik dari nasyid berjudul Fatamorgana yang dipopulerkan oleh Hijaz yang berkolaborasi dengan In Team: “…Deras arus dunia, menghanyutkan yang terlena/indah fatamorgana melalaikan menipu daya/dikejar dicintai bak bayangan tak bertepi/ tiada sudahnya dunia yang dicari/Begitu indah dunia siapa pun kan tergoda/harta pangkat dan wanita melemahkan jiwa/Tanpa iman dalam hati kita kan dikuasai/syaitan nafsu dalam diri musuh yang tersembunyi/Pulanglah kepada Tuhan cahaya kehidupan/Keimanan, ketakwaan kepadaNya senjata utama…”

Alangkah lebih mengenanya jika tak sekadar membaca syairnya seperti ini. Coba deh dengerin lagunya yang easy listening ini. Biasanya, nasyid seperti ini memang bisa menggugah nafsiyah kita yang mungkin saja udah tertimbun begitu banyak kesibukan dan urusan dunia lainnya.

Benar, dunia begitu indah gemerlapnya. Tapi tak semua yang ditawarkan itu baik, bahkan mungkin adalah jebakan untuk tergoda mencicipi kemaksiatan yang dikemas dengan manis dan menarik. Minuman keras, perzinahan, judi dan sejenisnya, menurut hawa nafsu manusia memang menyenangkan. Tapi, karena semua perbuatan itu dilarang oleh Allah Swt., maka hanya akan menuai siksa dan dosa jika dilakukan. Jika tak bertobat, tentunya nerakalah tempat kembalinya. Naudzubillahi min dzalik. Yuk, kita sadar diri ya.

Belajar, berdakwah, berjihad, dan amal shalih lainnya seringkali memberatkan kita. Belajar seringkali dihinggapi rasa malas, berdakwah pun kerap mendapatkan tekanan yang akhirnya kita futur, termasuk berjihad dan amalan shalih lainnya menjadi beban berat kita. Padahal, semua itu jika kita tunaikan dan dibarengi dengan keikhlasan, insya Allah akan mendatangkan pahala, dan juga menjadi jalan menuju surga yang telah dijanjikan Allah Swt. bagi hamba-hambaNya yang beriman dan beramal shalih.

Sobat gaulislam, dunia memang gemerlap, dan enak dinikmati. Tapi, jangan sampai gemerlap dunia itu membuat kita lalai dan meninggalkan kewajiban kita. Sewajarnya saja menikmati dunia, karena selebihnya dunia itu adalah ladang ujian yang harus menjadi perhatian kita agar tak terjerumus dalam tipu dayanya. Itu sebabnya, kita memang boleh saja memiliki banyak harta, tapi jangan sampe kekayaan yang kita miliki menjeremuskan kita ke dalam kesesatan atau membuat kita lalai dari mengingat Allah Swt. dan RasulNya. Yakni membuat kita malas berbuat baik atau enggan menginfakkan harta demi kemajuan Islam dan umatnya ini.

Yup, Islam nggak melarang kita menikmati segala macam perhiasan dan pernak-pernik yang ditawarkan dunia. Tapi, sewajarnya saja kita meraihnya. Jangan sampai kita tertipu dan gelap mata mencintainya untuk terus mengejarnya bak bayangan tak bertepi atau terus dicari seolah tiada bosannya dan tiada akhirnya untuk diburu. Semoga tidak demikian yang kita lakukan. Sebab, tujuan hidup kita adalah akhirat, dan dunia adalah sarana yang bisa kita raih untuk bekal di akhirat kelak. [solihin | Twitter @osolihin]