Saturday, 23 November 2024, 16:51

Saat mengendarai sepeda motor sepulang kerja, di depan saya ada sebuah mobil sedan. Karena jalanan cukup sempit saya nggak bisa menyalipnya dengan mudah. Apalagi dari arah berlawanan sering ada mobil juga. Setiap kali direm, di bagian belakang mobil sedan itu, di balik kaca belakangnya, ada tulisan teks berjalan dengan warna merah yang membuat saya harus berpikir keras untuk menyerap maknanya. Kalimat itu tertulis: “Jangan berani untuk sama�.

Jangan berani untuk sama? Ya, ada baiknya juga memang kalimat tersebut, meski kalimat itu menurut saya sangat bersayap alias bisa berarti banyak. Tergantung siapa yang menerjemahkannya dan untuk menjelaskan beragam maksud. Tentu sesuai pula dengan persepsi masing-masing orang. Itulah sebabnya kalimat tersebut saya nilai sebagai kalimat “bersayap�.

Kalimat “Jangan berani untuk sama�, bisa berarti bahwa kita nggak perlu minder untuk berbeda dengan yang lain. Bahkan perbedaan itu sangat boleh jadi justru sebuah keberanian. Tentu, kalo untuk sesuatu yang sama, nggak usah (terlalu) berani. Begitu kira-kira. Sebuah pilihan yang mungkin saja sudah dipertimbangkan sangat matang. Nggak asal aja.

Misalnya nih, kalo ada temen yang punya hobi mantengin info olahraga sepakbola mancanegara (dari mulai baca sampe nonton setiap pertandingannya di televisi), ya kita nggak perlu harus merasa sama dengan hobi temen kita itu. Apalagi jika kita nggak terlalu suka dengan segala hal yang berkaitan dengan sepakbola. Tapi, karena ingin dianggap gaul soal sepakbola dan supaya diterima dalam komunitas itu, akhirnya kita memberanikan diri untuk punya hobi yang sama. Hmm.. itu salah besar karena nggak mau jujur sama diri sendiri. Betul nggak sih? Meski tentu saja, dalam hal ini, kalo pun pengen sama hobinya dengan teman kita itu, silakan saja. Mubah aja kok.

Persamaan dan perbedaan
Sobat muda muslim, persamaan dan perbedaan itu memang bisa berarti banyak dan bisa banyak persepsi. Itu sebabnya, kita preteli dikit-dikit, pilah-pilah supaya bisa menentukan sikap. Nggak asal beda aja, atau nggak cuma merasa sama dengan yang lain. Setuju kan?

Nah, kalo kita �syarah’ (dianalisis dan diperjelas) lagi, insya Allah kita bisa nentuin sikap. Misalnya tentang keputusan kita memilih menjadi aktivis rohis. Tentunya kita memilih berbeda dengan kebanyakan teman lain yang justru saat itu lebih cenderung gabung di klub ekskul olahrga, tari, pecinta alam, atau kegiatan lainnya. Berbeda dari teman lain dengan menjadi aktivis rohis, tentunya ini adalah sebuah keberanian. Iya kan? Berani untuk beda dengan teman yang �biasa’ aja, dan berani untuk sama dengan aktivis rohis.

Lalu bagaimana dengan teman kita yang justru ingin berbeda dari komunitas anak rohis? Ia nggak berani untuk sama dengan anak rohis. Tapi berani untuk berbeda dari anak rohis dengan menjadi anak gaul yang hobinya dugem dan gaul bebas dengan lawan jenis. Baginya, menjadi aktivis dugem dan gaul bebas adalah sebuah keberanian untuk tidak sama dengan anak rohis.

Memang sih itu pasti bergantung sudut pandang. Maka, sebuah standar wajib dimiliki. Supaya nggak semua orang bisa mengklaim bahwa dirinya benar. Boleh aja sih merasa dirinya benar, tapi harus bisa buktiin dengan kuat kalo dirinya tuh benar.

Lha, kalo yang kayak gini gimana jadinya? Hmm.. itu sebabnya, menurut saya kalimat itu disebut “bersayap� alias banyak arti tergantung persepsi orang yang menerjemahkannya. Waduh, gimana urusannya dong? Mana yang benar dan mana yang salah? Kapan boleh berbeda dan kapan seharusnya sama?

Tenang sobat, nggak usah keburu bingung atau stres. Ini justru menurut saya adalah bagian dari kelemahan kita sebagai manusia. Dengan demikian, kita memang nggak bisa menentukan sesuatu itu benar atau salah sesuka hati, pikiran, atau perasaan kita (termasuk hawa nafsu kita). Bahaya. Karena apa? Karena bisa jadi banyak persepsi. Singkatnya, kita perlu standar yang mengatur batasan-batasan tersebut. Ya, kudu ada ukuran yang fixed. Nggak bisa sembarangan.

Inilah barangkali alasan kenapa “ukuran panjang satu meterâ€? pun sudah ditetapkan secara internasional. Alat pengukur lain harus dikalibrasi?  (diuji, dicocokan) dengan standar yang dibuat. Supaya ada kesamaan dan kejelasan penilaian. Bayangin deh kalo untuk sebuah ukuran saja harus ada sekian ukuran yang ditentukan sesuai selera masing-masing, kita pasti bingung pilih yang mana. Iya kan? Misalnya aja ukuran panjang “sedepaâ€? itu diukur lewat panjang rentangan dua tangan tiap orang yang beda-beda. Kalo kemudian masing-masing orang meyakini sesuai pengukurannya, kita pusing. Karena setiap ukuran panjangnya jadi sesuai â€?ukuran’ rentangan tangan masing-masing. Padahal, orang yang tinggi dengan yang pendek pasti beda ukuran rentang tangannya. Betul apa bener?

Boleh beda, tapi ada saatnya wajib sama
Sobat muda muslim, saya menulis artikel ini dengan judul, “arti sebuah perbedaan� tentu bukan tanpa alasan, lho. Begini nih penjelasannya. Berbeda boleh saja kok. Asal, itu dalam sebuah koridor yang dibolehkan untuk berbeda. Misalnya, untuk selera makan, ya nggak bisa disamain tiap orang. Rasa suka kepada lawan jenis juga nggak bisa disamain untuk semua orang. Warna baju juga boleh berbeda kok. Termasuk boleh juga berbeda pendapat dalam masalah furu’iyah (cabang). Misalnya, kita nggak bisa maksa orang untuk melakukan sholat shubuh dengan melakukan qunut atau tidak. Karena kedua pendapat itu masing-masing memiliki dalil. Untuk kasus ini nggak perlu ributlah. Nggak perlu mengklaim salah satu benar dan satunya pasti salah. Karena yang seharusnya disalahkan adalah yang nggak sholat shubuh. Seharusnya kedua belah pihak bersatu padu untuk menyadarkan yang masih belum mau sholat shubuh. Tul nggak seh?

Bagaimana dengan yang tidak boleh berbeda (dan itu harus sama), dalam masalah apa aja? Nah, menurut saya di sini berlaku pernyataan bahwa “bagi yang mau sama�, dapet gelar berani. Misal, sebagai muslim kita wajib menjadikan Islam sebagai the way of life kita. Bukan agama lain, atau kepercayaan lain (termasuk ideologi lain) untuk menuntun hidup kita. Ya, cuma Islam. Di sinilah kita wajib sama dan kudu berani untuk sama. Karena kesamaan ini jelas ada dalilnya. Ketika kita sudah menyatakan sebagai muslim, maka seluruh kehidupan kita harus rela diatur oleh Islam. Bukan yang lain.

Lho kok Islam sih? Ya iyalah, memangnya mau aturan yang mana? Apakah kepala sekolahmu nggak marah dan murka kalo sekolah di sekolahnya, tapi kamu malah milih aturan sekolah lain, atau setidaknya nggak percaya dengan aturan di sekolahmu sendiri. Adil nggak sih? Begitu juga dengan Islam. Kalo udah menyatakan masuk Islam, berarti kudu setia diatur sama Islam. Iya ndak?

Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan..� (QS al-Baqarah [2]: 208)

Dalam?  menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan: “Allah Swt. telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya agar mengadopsi sistem keyakinan Islam (â€?akidah) dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya selagi mereka mampu.â€? (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir I/247)

Imam an-Nasafiy?  menyatakan bahwa, ayat ini merupakan perintah untuk senantiasa berserah diri dan taat kepada Allah Swt. atau Islam (Imam an-Nasafiy, Madaarik al-Tanzil wa Haqaaiq al-Ta’wiil, I/112).

Imam Qurthubiy menjelaskan bahwa, lafadz “kaaffah� merupakan “haal� dari dlamiir “mu’miniin�. Makna “kaaffah� adalah “jamii’an.� (Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, III/18)

Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa, ayat ini diturunkan pada kasus Tsa’labah, �Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi. Mereka mengajukan permintaan kepada Rasulullah saw. agar diberi ijin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya mereka (padahal mereka sudah masuk Islam). Selanjutnya, permintaan ini dijawab oleh ayat tersebut di atas.

Terus nih, Imam Thabariy juga menyatakan: “Ayat di atas merupakan?  perintah kepada?  orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan syariat Islam secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satu pun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.â€? (Imam Thabariy, Tafsir Thabariy, II/337)

Ini artinya, kita nggak boleh menawar-nawar lagi untuk melakukan ibadah yang bukan berasal dari Islam. Misalnya aja, bagi seorang mualaf, karena dulunya setiap minggu ke gereja untuk kebaktian, maka setelah masuk Islam udah nggak boleh lagi tuh ikutan kebaktian di gereja. Karena emang udah bukan lagi ajaran dari Islam. Sebaliknya wajib taat sama Islam.

Sobat muda muslim, dengan ayat ini, berarti kita kudu total dalam memeluk Islam. Nggak boleh belang-belang. Nggak boleh setengah-setengah. Jangan sampe berbagai aturan kita pake untuk ngatur hidup kita, padahal kita muslim. Itu namanya “malapraktek�. Kita ngakunya muslim, tapi nyuri barang orang lain jadi hobi kita. Kita bilang ke mana-mana bahwa kita aktivis rohis, ternyata kita malah melakukan pacaran. Ortu kita rajin ngajinya, tapi yang diulik bukan al-Quran, melainkan primbon Jawa atau ajaran sekularisme. Lha, ini jelas salah prosedur, guys!

Di sinilah kita harus berani untuk sama. Nggak boleh nekat berbeda. Allah kembali menjelaskan dalam firmanNya, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.� (QS al-Ahzab [33]: 36)

Sebagai kesimpulan, bahwa “arti sebuah perbedaan� itu kudu jelas batasannya. Ada saatnya kita boleh berbeda, tapi ada saatnya kita harus sama. Tapi standar boleh dan tidaknya kita berbeda atau sama itu hanya aturan Islam. Ya, itu karena kita sebagai seorang muslim.

Guys, jangan sampe kita berani untuk beda, tapi ternyata “bedanya� kita itu malah dibenci dalam ajaran Islam. Karena apa? Karena perbedaan yang kita kampanyekan justru melanggar ajaran Islam. Misalnya, kita sebagai muslim berani beda dengan cara mengkampanyekan pentingnya demokrasi dan sekularisme sebagai the way of life kita. Atau, kita menganggap bahwa Islam nggak boleh diterapkan sebagai ideologi negara. Wah, itu sih namanya perbedaan yang tak pantas disandang dan bahkan mencoreng kepribadian kita sebagai Muslim. Bukan pahala yang didapat, tapi dosa. Ati-ati ya Bro! Yuk, kita berani sama menjadi seorang muslim yang taat dan pejuang Islam. Itu baru oke! [solihin: www.osolihin.wordpress.com]

(Buletin STUDIA Edisi 347/Tahun ke-8/25 Juni 2007)